Pengelolaan
Tanah Desa dan Problematikanya[1]
Oleh
Sarjita[2]
Pendahuluan
Pada
umunya kita mempunyai bayangan tentang daerah sebagai wilayah yang terdiri atas pusat-pusat
permukiman dengan beraneka ragam sebutan, seperti desa, kampong, lembang,
marga, nagari, gampong yang didiami
oleh petani-petani dengan segala karakteristiknya. Dalam hal ini hubungan
kekeluargaan (keakraban, tolong-menolong atau gotong royong, dan keterikatan) sebagai
sifat mempengaruhi hubungan-hubungan lain secara kuantitatif relatif lebih tinggi
apabila dibandingkan dengan perkotaan.
Perlu disadari oleh kita semua,
bahwa pengertian desa adalah istilah atau pengertian yang beranekaragam.
Pembagian secara administratif wilayah Negara Indonesia terdiri atas wilayah yang
meliputi provinsi, kabupaten/kota,
kecamatan, dan desa. Disamping desa
dalam pengertian administratif, dapat dijumpai juga jenis desa dengan
menerapkan kriteria yang lain, misal
berdasarkan topografi: desa pegunungan, desa dataran rendah, desa dataran
tinggi, desa pantai; Kemungkinan juga
dapat didasarkan pada kriteria
jenis usahannya, yaitu kampong peladang berpindah-pindah, desa perkebunan
rakyat, desa nelayan, dll.
Secara
historis, Menurut S.M.P. Tjondronegoro[3] Pemerintah
Indonesia lebih banyak mengandalkan pada
desa dalam pengertian administratif. Hal
ini dapat kita telusuri sejak Pemerintahan
Hindia Belanda pada tahun 1906 yang menfokuskan pada Desa Jawa (Inlandsche Gemeente Ordonnantie). Studi Desa pada Jaman
Pemerintahan Hindia Belanda, dapat dirujuk beberapa tulisan/hasil karya R.
Soepomo, J.H. Boeke, DH. Burger., E de Vries dan J. C. Breman. Sebagai contoh
karya tulis tentang Desa di Makasar (A.A. Cense), Batak (J.H. Neumann), Ambon
(J. Keuning), Bali (R. Goris), dan Minangkabau (BJO Shrieke). Kemudian setelah
Indonesia merdeka, dapat dirujuk karya ilmiah Soetardjo Kartohadikoesoemo
(1953) yang orientasinya ke Pedesaan
Jawa dengan topik: 1)
bentuk desa, 2) masyarakat penduduk hukum asli; 3) pemerintah desa; 4) rumah tangga desa; dan
5) desa sebagai daerah otonom. Pada jaman setelah Orde Baru, terdapat studi
tentang desa oleh Koentjaraningrat
(1964), Sajogyo (1973), Bayu Suryaningrat (1981), Dorojatun Kuntjorojskti
(1982), Loekman Soetrisno (1988), SMP Tjondronegoro (1996),
Mubyarto (1996), Philip H. Combs dan Manzor Ahmed (1984).
Secara
kronologis, pada jaman Pemerintahan Kolonial Belanda (1906) otonomi pada pemerintahan desa diatur dengan (IGO untuk desa di Jawa dan IGOB untuk desa di Luar Jawa);
selanjutnya pada tahun 1958-1965 dengan
UU Nomor 19 Tahun 1965 mencabut Ordonantie Nomor 212 Tahun 1907 ada
usaha untuk mendirikan pemerintahan tingkat tiga dengan nama “Desapradja”.
Namun, upaya tersebut tidak sempat terlaksana karena adanya beberapa Instruksi
Menteri Dalam Negeri yang melarang
pelaksanaannya.
Setelah diundangkan UU Nomor 5
Tahun 1979 tentang Desa, dikenal adanya desa keturunan (geneologis) dan desa teritorial. Berdasarkan UU itu pula, secara administratif
di tingkat bawah dikenal dua bentuk , yaitu “Kelurahan dan Desa” yang merupakan titik puncak dari kecenderungan “formalisasi desa”. Dengan
diberlakukannya UU Nomor 5 Tahun 1979 tersebut, cirri-ciri birokrasi mulai
terasa, lambat laun atau secara bertahap mengurangi otonomi desa, sehingga dalam jangka panjang pengertian desa geneologis
(keturunan) akan hilang dan tingal tersisakan desa territorial administratif
saja.
Wujud Otonomi
dan/atau pemberdayaan (partisipasi) warga Desa
UU Nomor 5 Tahun 1979 yang
mulai berlaku terhitung 1 Desember 1979 ini, mengisyaratkan suatu kebijakan
Pemerintah, agar diadakan penyatuan dan/atau penyeragaman istilah persekutuan
masyarakat hukum adat yang berupa “Kampong (Papua), Marga (Palembang), Nagari (Sumatera
Barat), Pertuanan/wewengkon (Jawa),[4] Kampung (Sanggau, Kalimantan Barat, dan
Kalimantan Selatan), Lembang (Toraja)[5], Gampong (Nangroe Aceh Darussalam/NAD)[6] serta Negeri (Maluku) [7]sebagainya
menjadi “Desa”.
Secara tidak lansung dengan
diberlakukannya substansi UU tersebut, mempunyai
3 (tiga) akibat penting terhadap otonomi desa dan/atau masyarakat hukum adat
atau daerah dengan nama lain yang setingkat, yaitu: 1) melemahkan posisi
pemerintahan informal yang dalam hal ini dipegang oleh para Kepala Marga,
Lembang dll., sehingga tinggal tersisa untuk melaksanakan kehiatan-kegiatan
yang bersifat ritual upacara adat, bahkan dijadikan sebagai ajang komoditi
pariwisata belaka; 2) wilayah Hak Ulayat, marga, Kampong dll., terbagi ke dalam
beberapa desa dengan satu pucuk pimpinan (otoritas tunggal) pada Kepala Desa;
3) Kekuasaan pemimpin masyarakat hukum adat, Marga atau lebang, dll., apalagi
dengan dihapuskannya Peradilan Adat/Inheemse
Rectspraak (UU Darurat Nomor 1 Tahun
1951, maka otoritas untuk menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan tanah
menjadi kewenangan Peradilan Umum (Pengadilan Negeri).[8]
Kebijakan
Pemerintah sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 1979 tersebut, dengan
berjalannya Era Reformasi yang tertuang dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 yang
kemudian di gantikan dengan UU Nomolr 32 Tahun 2004 jo. Perpu Nomor 3 Tahun
2005 dilakukan peninjauan kembali mengenai eksistensi desa. Wujud otonomi desa yang
partisipatif tersebut tercermin dalam: Pertama, Pasal 200, ayat (1) yaitu Susunan
Pemerintahan Desa yang terdiri dari
Pemerintah Desa dan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD). [Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah sebutan nama Badan Perwakilan Desa sebagaimana dimaksud
dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pemnentukan Peraturan :Perundang-undangan];
Kedua,
Pasal 200 ayat (2) dan ayat (3) yaitu bahwa pembentukan, penghapusan, dan/atau
penggabungan desa dengan memperhatikan
asal-usulnya atas prakarsa masyarakat, termasuk dalam hal ini perubahan status
desa menjadi Kalurahan didasarkan pada
usul dan prakarsa pemerintah desa dan badan permusayawaratan desa; Ketiga, Pasal 203 ayat (1) yang menyatakan bahwa Kepala Desa dipilih lansung oleh dan dari
penduduk desa warga negara RI yang memenuhi syarat; Keempat, Pasal 203 ayat
(3) pengakuan eksistensi/keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan diakui keberadaannya berlaku ketentuan
“hukum adat setempat” yang ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman
pada Peraturan Pemerintah; Kelima,
Pasal 206 huruf a yang berkaitan dengan kewenangan desa salah satunya didasarkan pada urusan pemerintahan yang
sudah ada sesuai asal-usul desa; Keenam,
Pasal 209 ayat (1) tentang keanggotaan
BPD disyaratkan wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan
musyawarah dan mufakat; Ketujuh, Pasal 215 ayat (1)
berkaitan dengan pembangunan kawasan perdesaan baik yang dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota atau pihak ketiga mengikutsertakan pemerintah desa
dan BPD; Kedelapan, Pasal 216 yang mengisyaratkan bahwa pengaturan
tentang desa yang akan dituangkan dalam Perda
wajib mengakui dan menghormati
hak, asasl-usul, dan adat istiadat desa
Kemudian dengan dikeluarkannya PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang
Desa. Penjelasan Umum PP Nomor 72 Tahun 2005 yaang menyatakan bahwa prinsip
dasar yang dianut, 1) keanekaragaman
yang memiliki makna bahwa desa dapat
disesuaikan dengan asal-usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat; 2) Partispasi; 3) Otonomi asli; 4)
Ddemokrasi; 5) Pemberdayaan masyarakat.
Satu hubungan kekuasaan yang
direorganisasi melalui kedua UU tersebut adalah penyelenggaraan pemerintahan
secara desentralisasi yang berarti penyerahan kewenangan dari pemerintahan pusat
kepada pemerintah daerah dengan berbagai
harapan agar kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah demi kesejahteraan
rakyat menjadi lebih sesuai dengan “hajat hidup rakyat”. Otonomi seharusnya menempatkan masyarakat sebagai jantung dari
segala tujuan pembangunan. Apa yang dikatakan oleh Mohammad Hatta[9]
sebagaimana dimuat dalam Majalah Keng Po,
27 April 1927, perlu dimaknai secara dalam. Beliau menyatakan bahwa Otonomi
masyarakat tak hanya melaksanakan demokrasi, tetapi juga mendorong
berkembangnya prakarsa dalam bentuk pelaksanaan
kebijakan untuk kepentingan masyarakat lokal. Termasuk dalam hal ini
adalah regulasi (tataran normatif) dan/atau kebijakan (tataran implementasi)
yang bagaimana serta hal-hal apa yang akan
dilakukan Pemerintah Kab/Kota dalam mengelola
kekayaan daerah, dan/atau Pemerintah Desa dalam mengelola kekayaan Desa,
khususnya tanah kas desa. Lalu bagaimana
realisasinya ?.
Dasar
Hukum Pengelolaan Tanah (Kas) Desa
Secara
garis besar dasar hukum pengelolaan tanah (kas) desa, berdasarkan hirarkhi
peraturan perundang-undangan, didasarkan pada: Pertama, UU Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004,
khususnya pada Pasal 212-216 ayat (1)
tentang Keuangan Desa yang menyatakan bahwa Keuangan desa adalah semua hak dan
kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa
uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik desa berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Kedua,
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Peraturan Pemerintah ini merupakan tindak lanjut dari UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
PP Nomor 72 Tahun 2005. PP ini menggantikan keberadaan PP Nomor 76 Tahun
2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa sebagai tindak lanjut dari
pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999 Pada Pasal 68 PP Nomor 72 Tahun 2005 tersebut
menyatakan bahwa Sumber Pendapatan asli desa, terdiri a. dari hasil usaha desa,
hasil kekayaan desa, hasil swadaya
dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang
sah. Dstnya.. Selanjutnya dalam Pasal 69 lebih ditegaskan lagi bahwa kekayaan
desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a menyebutkan: kekayaan
desa terdiri atas, tanah kas desa, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu,
bangunan desa, pelelangan ikan yang dikelola oleh desa, dan lain-lain kekayaan
milik desa. Lebih lanjut dalam Pasal 106
ayat (2) PP tersebut memerintahkan kepada Menteri (Dalam Negeri) mengatur mengenai Pedoman Penetapan dan
Penegasan Batas Desa, Administrasi Desa, Tata Naskah Dinas di Lingkungan
Pemerintah Desa, Asosiasi/Paguyuban/Forum Komunikasi Badan Permusyawaratan
Desa, dan Pemerintah Desa, serta tanah kas desa. Ketiga, Peratutan
Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007
tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa yang mulai berlaku pada tanggal 31
Januari 2007. Keempat, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 16 PMDN Nomor 4
Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Tanah Kas Desa, maka seharusnya tata cara pengelolaan kekayaan
desa diatur/dituangkan dalam produk hukum berbentuk Peraturan Bupati/Walikota. Khusus di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, regulasi tentang pengelolaan tanah kas desa dituangkan dalam produk
hukum berbentuk Peraturan Gubernur DIY Nomor 11 Tahun 2008 yang mulai berlaku pada tanggal 6 Mei 2008 (Lembaran Daerah Provinsi DIY
Tahun 2008 No. 12).
Istilah
Tanah Kas Desa
Jika kita telusuri secara
seksama, dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
pengelolaan tanah (kas) desa sebagaimana penulis telah uraikan di atas, maka
diketemukan istilah “tanah kas desa”. Peraturan perundang-undangan
tersebut menggunakan sebutan “tanah kas
desa” sebagai bagian dari kekayaan desa yang berupa benda tidak begerak, yaitu
tanah. Kekayaan desa
adalah barang milik Desa yang
berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD) atau perolehan hak lainnya
yang sah (Pasal 1 butir 9 PMDN Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan
Desa. Tanah kas desa merupakan bagian dari “tanah desa”[10] yang penggunaan atau pemanfaatannya digunakan
untuk pembiayaan kelangsungan pelaksanaan pemerintahan desa. Pengertian atau
istilah tanah desa yang meliputi juga tanah kas desa, terdapat Pasal 6 ayat (2)
Peraturan daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah
Di Daerah Istimewa Yogyakarta yang menyebutkan bahwa Tanah Desa dipergunakan
untuk: a. member nafkah kepada para petugas Kalurahan yang selanjutnya disebut
tanah lungguh. B. memberi pengarem-arem (pension); c. Kas Desa; d. Kepentingan Umum. Penjelasan Pasal 6 ayat (2) sub 6 dari Perda tersebut: merupakan
nafkah: 1. Bagi Bekel-bekel yang diberhentikan karena reorganisasi atau
sejak jaman kebekelan; 2. Pamong-pamong
yang diberhentikan karena gabungan/pembaruan Kalurahan; 3. Pamong-pamong yang
diberhentikan menurut peraturan yang selekas mungkin akan diadakan. Sedangkan Tanah Desa yang digunakan untuk
kepentingan umum antar lain berupa
pembangunan jalan-jalan desa, penggembalaan hewan, kuburan umum (pemakaman),
danau-danau, pasar desa, lapangan-lapangan, dll.
Pendapat lain dikemukakan oleh
Gunawan Wiradi[11] dalam kaitannya dengan bentuk atau status
penguasaan tanah tradisional, yang terdiri atas: a. tanah yasan, yasa, atau yoso, yaitu tanah di mana hak seseorang
atas tanah itu berasal dari kenyataan bahwa dia atau leluhurnya yang
pertama-tama membuka atau mengerjakan tanah tersebut. Hak atas tanah ini
memperoleh status yuridis dalam UUPA (UU Nomor 5 Tahun 1960) dikonversi menjadi
tanah milik[12];
b. Tanah
norowito, gogolan, pekulen, pelayangan, kesikepan, dan sejenisnya adalah
tanah pertanian milik bersama, yang daripadanya para warga desa dapat
memperoleh bagian untuk digarap, baik secara bergilir maupun secara tetap,
dengan syarat-syarat teretntu. Untuk memperoileh hak garap ini, pada umunya
diperlukan syarat bahwa si calon itu statusnya menjadi tanah milik bagi
penggarapnya yang terakhir. Hal ini dalam Ketentuan UUPA dikonversi menjadi Hak
Pakai untuk tanah yang sifatnya bergiliran, dan yang sifatnya tetap menjadi hak
milik; c. Tanah Titisoro, bondo deso, kas desa, adalah tanah milik desa yang
biasanya disewakan, diskapkan, dengan cara dilelang kepada siapa yang mau
menggarapnya. Hasilnya dipergunakan sebagai anggaran rutin ataupun pemeliharaan
desa, seperti memperbaiki jalan, jembatan, masjid, dll. Hal yang sama berlaku
juga untuk tanah sanggan, yaitu berupa tanah sawah di Jawa milik/kepunyaan Desa
yang hasilnya untuk memperkuat Kas Desa. Seorang yang menggunakan tanah dengan
Hak Sanggan mempunyai wewenang pemilikan yang sifatnya sementara, misalnya
menyewa dari Desa. Sesuai ketentuan UUPA, hak seseorang tersebut dikonversi
menjadi Hak Pakai; d. Tanah bengkok,
yaitu tanah yang diperuntukan bagi pejabat desa terutama lurah, yang hasilnya
dianggap sebagai gaji selama mereka menduduki jabatan itu.
Pengertian tanah pada huruf d,
yang berupa bengkok tersebut sejalan dengan pengertian tanah desa sebagaimana tertuang dalam Pasal 1
butir 10 yang menyebutkan bahwa Tanah
Desa adalah barang milik desa berupa tanah bengkok, kuburan, dan titisoro. Dari beberapa pengertian penguasaan
tanah secra tradisional sebagaimana dikemukakan oleh Sdr. Gunawan Wiradi
tersebut, maka tanah (milik) desa dapat dikelompokan men jadi 2 (dua) jenis, Pertama,
yaitu tanah kas desa atau biada disingkat dengan sebuitan TKD; Kedua,
yaitu Tanah Bengkok.
Tanah Kas Desa (TKD)
berdasarkan Instruksi Mendagri No. 12
Tahun 1996 tentang Pengelolaan dan Pengembangan Tanah Kas Desa, adalah suatu
lahan yang dimiliki oleh Pemerintah Desa dan dikelola untuk kegiatan usaha
desa, sehingga menjadi salah satu sumber pendapatan desa yang bersangkutan.
Dengan pengertian itu dapat disimpulkan bahwa TKD adalah merupakan kekayaan
desa dan juga merupakan sumber pendapatan asli desa di samping sumber-sumber
pendapatan lainnya.
Pengertian tanah kas desa dapat
juga diketemukan rumusannya dalam SKB Nomor
157 Tahun 1997/2 Tahun 1997 antara Mendagri dengan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN tentang Pengurusan Hak Dan Penyelesaian Sertipikat Tanah Kas
Desa. Pada Pasal 1 huruf b, disebutkan
bahwa Tanah Kas Desa adalah suatu bidang
tanah yang dimiliki oleh Pemerintahan Desa dan dikelola untuk kegiatan usaha
desa sehingga menjadi salah satu sumber pendapatan Desa yang bersangkutan.
Tanah Kas Desa (TKD) secara
umum diketemukan di Pulau Jawa, namun ada juga di daerah-daerah tertentu,
seperti di Bali. Menurut Darmayuda[13] sesuai ketentuan UUPA tanah TKD dikenal
dengan sebutan tanah druwe desa.
Tanah druwe desa terdiri dari: a. tanah kas desa; b. tanah laba pura, tanah ini
adalah tanah untuk kepentingan Pura dan sesuai SK Mendagri Nomor SK.
555/DJA/1986 tentang Penunjukan Pura sebagai Badan Hukum Keagamaan yang dapat
mempunyai Hak Milik Atas tanah ; c. tanah pekarangan desa (PKD); d. tanah ayahan
desa (AYD). Secara garis besar tanah PKD
dan AYD merupakan tanah milik desa yang telah dikuasai oleh anggota desa dan
telah disertipikatkan menjadi milik pribadi.
Secara normatif pengertian
tanah kas desa dirumuskan dalam Peraturan Gubernur DIY Nomor 11 Tahun 2008 pada
Pasal a butir 8, yaitu tanah milik desa
berupa bengkok/lungguh, pengarem-arem, titisara, kuburan, jalan-jalan desa,
penggembalaan hewan, danau-danau, tanah pasar desa, tanah keramat,
lapangan-lapangan dan tanah yang dikuasai oleh Pemerintah Desa.
[1] Makalah disajikan pada FGD Pengelolaan Tanah Kas Desa Kabupaten
Sleman, (Projek Peningkatan Kapasitas Berkelanjutan Untuk Desentralisasi/Sustainable Capacity Building for
Decentralization Project SCB-DP), 28 Maret 2009, di Balai Besar Latihan
Ketransmigrasian Yogyakarta.
[2] Lektor (Pembina/IV/a) Pada Jurusan Manajemen Pertanahan Sekolah
Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta.
[3] Soediono M.P. Tjondronegoro,
Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan, Departemen Komunikasi
Pengembangan Masyarakat IPB, Bogor,
2008., hlm. 41-42.
[4] Sarjita, Konflik Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat Antara Kampoeng
Kajoe Poloe dan Kajoe Batoe Dengan Pemerintah Kota Jayapura (Thesis), Program
Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta, 2003: 119.
[5] Paramita Iswari, Dkk., Bongkar Pasang Strategi Dalam Implementasi
Pembaruan desa dan Agraria di Tiga Wilayah Belajar Sanggau, Garut dan Toraja”,
dalam Tanah Masih Di Langit Penyelesaian
Masalah Penguasaan Tanah Dan Kekayaan Hutan Di Indonesia Yang Tak Kunjung Tuntas
Di Era Reformasi, Yogyakarta, Yayasan KEMALA, 2005: 313-328.
[6]Pasal 1 butir 20 Jo. Pasal 115 -117
UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh.
[7] Penjelasan Pasal 202 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.Jakarta, CV. Eka Jaya,2004: 197.
[8] Sarjita, Ibid., hlm. 120-121.
[9] Harian Kompas, Otonomi Tak Ubah Kinerja Pemerintahan Daerah, 28
April 2008, hlm. 5
[10] Kristiyani, Dkk., Perda DIY Nomor 5 Tahun 1954, Dalam Himpunan Peraturan-Peraturan Daerah DLL Perihal Tanah, Yogyakarta, 1981:hlm.
21-22, 32.
[11] Gunawan Wiradi, Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria” dalam
SMP. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua
Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa dari Masa ke
Masa, Jakarta, PT. Garmedia, 1984: 293.
[12] Bandingkan dengan pengertian dalam
Buku Petunjuk Teknis Tata Pendaftaran Tanah Buku I
Pendaftaran Tanah Secara Sistematik, Badan Pertanahan Nasional, Jakarta,
1999: 58.
[13] I Made Suasthawa Darmayuda, Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat Di Provinsi Bali, Denpasar, PT. Upada Sastra, 2001:
200.
2 komentar:
terima kasih atas informasi dan ilmunya
Terimakasih atas tambahan pemahaman yang sangat berharga
Posting Komentar