Tindak
Pidana di Bidang Pertanahan
Oleh
Sarjita, S.H., M. Hum.
Muhadar86
menggunakan istilah "kejahatan" untuk menyatakan tindak pidana di bidang
pertanahan. Menurut beliau, kejahatan di bidang pertanahan sebenarnya bukanlah
suatu istitah baru dalam hukum pidana tetapi mempakan istilah yang sama dengan
kejahatan pada umumnya sebagaimana diatur dalam Buku Ke II KUHP. Hanya saja
kejabatan di bidang pertanahan ini berhubungan dengan tanah atau pertanahan
sebagai objek atau salah satu unsur adanya kejahatan.
Pasal-pasal
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang terkait dengan kejahatan
atau tindak pidana di bidang pertanahan adalah sebagai berikut:
1. Kejahatan terhadap penyerobotan tanah diatur dalam Pasal 167
KUHP:
(1) Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan
atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum, atau
berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya
tidak pergi dengan secara diancam dengan pidana pedana paling lama sembilan
bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
(2) Barang siapa masuk dengan merusak
atau memanjat, dengan menggunakan anak kunci palsu perintah palsu atau pakaian
jabatan palsu atau barang siapa tidak setahu yang berhak lebih dahulu serta
bukan karena kehkilafan masuk dan kedapatan di situ pada waktu malam, dianggap
memaksa masuk;
(3) Jika mengeluarkan ancaman atau
menggunakan sarana yang dapat menakutkan orang pidana menjadi paling lama satu
tahun empat bulan;
(4) Pidana tersebut dalam ayat I dan 3
dapat ditambah sepertiga jika yang melakukan kejahatan dua orang atau lebih dengan
bersekutu.
2. Kejahatan terhadap pernberian sumpah palsu dan keterangan
palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 242 KUHP.
(1) Barang siapa dalam hal dimana undang-undang menentukan
supaya memberi keterangan di atas sumpah, atau mengadalian akibat hukum kepada
keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas
sumpah, baik dengan dasar, atau tulisan, olehnya sendiri maupun oleh kuasanya
yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
(2) Jika keterangan palsu di atas
sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka,
yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(3) Disamakan dengan sumpah palsu
adalah janji atau pengikatan, .yang diharuskan menurut aturan-aturan umum atau
yang menjadi pengganti sumpah;
1.
Muhadar,
Viktimisasi Di Bidang Pertanahan, Laksbang Presindo, Yogyakarta, 2006:
46
3. Kejahatan terhadap pemalsuan surat-surat masing-masing
diatur dalam Pasal 263, 264, 266, dan 274 KUHP: PasaI263 KUHP:
(1) Barang siapa membuat seeara tidak
benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau
pembebasan hutang, atau yang diperuntukan sebagai bukti dari pada sesuatu hal,
dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut
seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat
menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama
enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama
barang siapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak benar atau yang
dipalsu seolah-olah benar atau tidak palsu, jika pemakaian surat itu dapat
menimbulkan kerugian.
Pasal 264 KUHP:
(1) Pemalsuan surat diancam dengan
pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:
a. Akta-alda Otentik;
b. Surat hutang dan sertipikat hutang dari sesuatu negara atau
bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;
c. Surat sero atau hutang atau sertipikat sero atau hutang dari
suatu perkumpulan yayasan, perseroan atau maskapai;
d. Talon, tanda bukti dividen atau dengan dari salah satu surat
yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai
pengagnti surat-surat itu;
e. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukan untuk
diedarkan.
(2) Diancam dengan pidana yang sama
barang siapa dengan sengaja mekakai surat tersebut dalam alat pertama yang
isinya tidak benar atau yang dipalsu seolah-olah benar dan tidak palsu, jika pemakaian
surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pasal266 KUHP:
(1) Barangsiapa menyuruh masukan
keterangan palsu ke dalam suatu akta otekrik mengenai sesuatu hal yang
kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau
menyuruh orang lain pakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan
kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun;
(2) Diancam dengan pidana yang sama,
barang siapa dengan sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai
dengan kebenaran, jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.
Pasal274 KUHP:
(1) Barang siapa membuat secara tidak
benar atau memalsu surat keterangan seorang pejabat selaku penguasa yang syah,
tentang hak milik atau hak lainnya atas sesuatu barang, dengan maksud untuk
memudahkan penjualan atau pengadannya atau untuk menyesaikan pejabat kehakiman atau
kepolisian tentang asalnya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun;
(2) Diancam dengan pidana yang sama,
barang siapa dengan maksud tersebut. memakai surat keterangan itu seolah-olah
benar dan tidak palsu.
4. Kejahatan penggelapan terhadap hak atas barang tidak
bergerak, seperti tanah, rumah sawah. Kejahatan ini biasa disebut dengan kejahatan
stellionaat, yang diatur dalam pasal
385 KUHP.
Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun:
(l) barang siapa dengan maksud menguntungkan
diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan atau
membebani dengan crediet verband sesuatu hak atas tanah Indonesia, sesuatu
gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan, padahal diketahui bahwa yang mempunyai
atau turut mempunyai hak atasnya adalah orang lain.
(2) Barang siapa dengan maksud yang
sama menjual, menukarkan, atau membebani dengan crediet verband, sesuatu hak
tanah lndonesia yang telah dibebam crediet verband, atau sesuatu gedung,
bangunan, penanaman atau pembenihan di atas tanah yang juga telah dibebani
demikian, tanpa memberitahukan tentang adanya beban itu kepada pihak yang lain.
(3) Barang siapa dengan maksud yang
sama mengadakan credieet verband mengenai sesuatu hak tanah lndonesia, dengan
menyembunyikan kepada pihak lain bahwa tanah yang berhubungan dengan hak tadi
sudah digadaikan;
(4) Birang siapa dengan maksud yang
sama mengadaikan atau menyewakan tanah dengan hak Indonesia, padahal diketahui
bahwa orang lain yang mempunyai atau turut mempunyai hak atas tanah itu;
(5) Barang siapa dengan maksud yang
sama menjual atau menukarkan tanah dengan hak Indonesia yang telah digadaikan,
padahal tidak diberitahukan kepada pihak yang lain, bahwa tanah itu telah
digadaikan:
(6) Barang siapa dengan maksud yang
sama, menjual atau menukarkan tanah dengan hak Indonesia untuk suatu masa,
padahal diketahui, bahwa tanah itu telah disewakan kepada orang lain untuk masa
itu juga.
Dari Pasal-Pasal di Dalam KUHP tersebut di atas, jika
disajikan dalam bentuk tabel akan nampak sebagai berikut:
Tabel 1 :
Pasal-Pasal Tindak Pidana Di Bidang Pertanahan Yang Diatur dalam KUHP
No
|
Perihal
|
Pengaturan
Pasal
|
Ancamana
Pidana
|
Keterangan
|
Penyerobotan
Tanah
|
167
KUHP
|
Paling
lama 9 bulan dan/atau denda Rp. 300
|
Kejahatan
|
|
Sumpah
Palsu dan Keterangan Palsu
|
242
KUHP
|
Paling
lama 7 tahun
|
Kejahatan
|
|
Pemalsuan
Surat
|
263
KUHP
|
Paling
lama 6 tahun
|
Kejahatan
|
|
Pemalsuan
Surat
|
264
KUHP
|
Paling
lama 8 tahun
|
Kejahatan
|
|
Menyuruh
memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik
|
266
KUHP
|
Paling
lama 7 tahun
|
Kejahatan
|
|
Pemalsuan
Surat Keterangan
|
274
KUHP
|
Paling
lama 2 tahun
|
Kejahatan
|
|
Penggelapan
terhadap ha katas barang tidak bergerak
|
285
KUHP
|
Paling
lama 4 tahun
|
Kejahatan
|
Sumber:
Moeljatno, KUHP, Jakarta, Bina Aksara 1985
Di samping itu masih ada lagi tindak pidana di bidang
pertanahan yang di luar Kitab undang-undung Hukum Pidana (KUHP). seperti yang
tercantum dalam Peraturan perundan -undangan, seperti :
1. Pasal 52 UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria.
Ketentuan Pasal 52 UUPA menyatakan bahwa:
(1) Barang siapa dengan sengaja
melanggar ketentuan dalam Pasal 15dipidana dengan hukuman kurungan
selama-lamanya 3 bulan dan/atau
(2) Peraturan pemerintah dan peraturan
perundangan yang dimaksud dalam pasal 19, 22, 24 ayat (1), 46, 47, 48, 49 ayat
(3) dan 50 ayat (2) dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran
peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda
setinggi- tingginya Rp. 10.000,-
(3) Tddak pidana dalam ayat (1) dan (2)
pasal ini adalah pelanggaran
Berdasarkan penjelasan Pasal 52 UUPA,
sanksi pidana tersebut diperlukan untuk menjamin pelaksaman sebaik-baiknya dari
ketentuan pasal- pasal tersebut. Sebagai contoh, ketentuan Pasal 15 UUPA bahwa
tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan-hubungan dengan
tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah berwajiban memelihara
tanah, termasuk menambah kesuburanya serta mencegah kerusakannya. Di sini jelas
bahwa UUPA berusaha untuk menjaga keseimbangan pemenuhan kebutuhan/ kepentingan
masyarakat dan kepentingan perorang, sehingga akan tercapai tujuan pokok yaitu
kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat.
2. Pasal 6 UU Nomor 51 /Prp/1960 tentang larangan Pemakaian
Tanah Tanpa izin yangg Berhak Atau Kuasanya. Ketentuan pasal 6 UU Nomor
51/Prp/1960 menyatakan bahwa
(l) Dengan tidak mengurangi berlakunya
ketentuan dalam Pasal 3, 4 dan 5, maka dapat dipidina dengan hukuman
selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000,-
(lima ribu rupiah),
(2) Ketentuan-ketentuan mengenai
penyelesaian yang diadakan oleh Menteri Agraria dan penguasa Daerah sebagai
yang dimaksud dalam Pasal 3, 4 dan 5 dapat memuat ancaman pidana dengan hukuman
kurungan selama- lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
5.000,- (lima ribu Rupiah) terhadap siapa yang melanggar atau tidak memenuhinya.
(3) Tindak pidana tersebut dalam pasal
ini adalah pelanggaran.
Berdasarkan penjelasan angka 6 PP tersebut, maka mengingatakan
sifat dan perbuatannya maka yang dapat pidana itu tidak saja terbatas pada pemakaian-pemakaian
tanah yang dimulai sesudah berlakunya Perpu ini, tetapi juga pemakaian tanah
yang terjadi (dimulai) sebelumnya dan kini masih tetap berlangsung.
Cara penyelesaian yang harus ditempuh terhadap pemakaian
tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya ini, terlebih dahulu diharuskan
diusahakan tercapainya penyelesaian dengan jalan musyawarah dengan pihak- pihak
yang bersangkutan. Jika dengan jalan rnusyarvarah tidak membawa hasil, maka yang
akan menetapkan penyelesaiannya adalah Menteri Agrari (Kepala BPN) dengan
memperhatikan kepentingan rakyat pemakai tanah yang bersangkutan. kepentingan
penduduk lainnya di daerah tempat letaknya perusahaan kebun dan luas tanah yang
diperlukan perusahaan itu untuk menyelenggarakan usahanya.
Yang lebih menarik lagi, bahwa terhadap pemakaian tanah
tanpa seijin yang berhak untuk kuasanya ini, Menteri Agraria (Kepala BPN) atau
Penguasa daerah dapat ditempuh pengosong air tanpa tidak diperlukan perantaiaan
pengadilan, bahkan disamping perintah pengosongan dapat pula dilakukan tuntutan
Pidana.
Dalam Pasal 1 PP tersebut, disebutkan pula bahwa yang
dimaksud dengan tanah yaitu meliputi tanah yang langsung dikuasai oleh Negara
maupun tanah yang tidak termasuk tanah yang dkuasai langsung oleh Negara, yung
dipunyai dengan sesuatu hak oleh perseorangan atau badan-badan hukum. Sedangkan
yang dimaksud memakai tanah, yaitu rnenduduki , mengerjakan dan/atau menguasai
sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau bangunan di atasnya, dengan tidak
mempersoalkan apakah bangunan itu dipergunakan sendiri atau tidak.
3. Pasal 10 uU
Nomor 56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah pertanian;
Pasal l0 IIU Nomor 56/Prp/1960 menyebutkan bahwa:
(1) Dipidana dengan hukuman kurungan
selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,- :
a.
Barang siapa
melanggar larangan yang tercantum dalam pasal4;
b.
Barang siapa
tidak melaksanakan kewajiban tersebut pada pasal 3, 6 dan 7 ayat (1);
c.
Barang siapa
melanggar larangan yang tercantum dalam pasal 9 ayat (1) atau tidak melaksanakan
kewajiban tersebut pada pasal itu ayat (2).
(2) Tindak pidana tersebut pada ayat
(1) pasal ini adalah pelanggaran.
(3) Jika terjadi tindak pidana sebagai
yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini. maka pemindahan hak itu batal
karena hukum, sedang tanah yang bersangkutan jatuh pada negara, tanna hak untuk
menuntut ganti kerugian berupa apapun.
(4) Jika terjadi tindak pidana sebagai
yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b pasal ini, maka kecuali di dalam hak
termaksud dalam pasal 7 ayat (1) tanah yang selebihnya dari luas maksimum jatuh
pada Negara yaitu jika tanah tersebut semuanya milik terhukum dan/ atau
anggota-anggota keluargannya, dengan ketentuan bahwa ia diberi kesempatan untuk
mengemukakan keinginannya mengenai bagian tanah yang mana yang akan dikenakan
ketentuan ayat ini. Mengenai tanah yang jatuh pada Negara itu ia tidak berhak
atas ganti kerugian berupa apapun.
Berdasarkan pada ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan
Pemerintah tersebut dapat dijelaskan beberapa hal sebagai berikut:
a.
yang termasuk
dalam pengertian pelanggaran terhadap ketentuan tersebut adalah:
(1) jika
orang atau orang-orang sekeluarga yang memiliki tanah pertanian yang jumlah
luasnya melebihi luas maksimum memindahkan hak miliknya atas seluruh atau
sebagian tanahnya tersebut, tanpa izin Kepala Daerah Kabupaten/ Kota yang bersangkutan.
Ijin pemindahan hak hanya diperbolehkan atau diberikan apabila hak yang dipindahkan
itu tidak melebihi batas maksimun. Karena pada prinsipnya pemindahan hak atas tanah
pertanian dilarang apabila pemindahan hak itu rnengakibatkan timbulnya atau
berlangsungnya pemilikan tanah yang luasnya kurang dari dua hektar. Larangan tersebut,
dikecualikan karena: Pertama, pembagian warisan. Kedua, kalau si penjual hanya
memiliki bidang tanah yang luasnya kurang dari dua hektar dan tanah itu dijual
sekaligus.
(2) Orang-orang dan kepala-kepala keluarga
yang anggorta-anggotanya keluargannya menguasai tanah pertanian yang jumlah
luasnya melebihi luas maksimum dan tidak melaporkan hal tersebut kepada Kepala
Agraria Daerah Kabupaten Kota (sekarang Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota) yang bersangkutan di dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak mulai
berlakunya peraturan ini (l Januari 1961).
(3) Barang siapa sejak berlalunya
peraturan ini (l Januari 1961) memperoleh (pembelian, pewarisan. hibah
perkawinan dan sebagainya) tanah pertanian, hingga tanah pertanian yang
dikuasai olehnya dan anggota-anggota keluarganya berjumlah lebih dari luas maksimum,
tidak berusaha, supaya paling lambat I (satu) tahun sejak diperolehnya tanah
tersebut jumlah tenah pertanian yang dikuasai itu lausnya tidak melebihi batas
maksimum.
(4) Barang siapa menguasai tanah pertanian
dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya Peraturan ini (1 Januari
1961) sudah berlangsung 7 tahun atau lebih tidak mengembalikan tanah itu kepada
pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan
tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan.
4. Pasal 15 UU Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil
Tanah Pertanian.
Ketentuan Pasal l5 UU Nomor 2 Tahun 1960 menyebutkan bahwa:
(1) Dapat dipidana dengan hukuman denda sebanyak-banyaknya
Rp. 10.000,-
a. Pemilik yang tidak memenuhi ketentuan dalam pasal 3 atau
pasal 11;
b. Penggarap yang melanggar larangan tersebut pada pasal 2;
c. Barang siapa melanggar larangan tersebut pada pasal 8 ayat
(3).
(2) Perbuatan pidana tersebut pada ayat 91) di atas adalah
pelanggaran;
Dari ketentuan tersebut di atas jika
dilihat secara seksama dari ketentuan Pasal 3, 11, 3 dan pasal 8, maka yang
dapat terkena ketentuan pidana dalam pasal 25 UU ini adalah:
a. Pemilik, yaitu orang atau badan hukum yang berdasarkan suatu
hak menguasai tanah yang membuat suatu perjanjian bagi hasil dengan penggarap
dilakukan: 1) tidak tertulis; 2) tidak dilakukan di hadapan Kepala Desa atau
daerah yang setingkat dimana tanah yang menjadi objek perjanjian tersebut
terletak; serta 3) tidak dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari
pemilik dan penggarap; d) tidak mendapat pengesahan dari Camat/Kepala Kecamatan
yang bersangkutan atau pejabat lain yang setingkat. E) Perjanjian bagi hasil
yang dibuat sebelum berlakunya UU ini (7 Januari 1961), setelah panen
berikutnya tidak segera menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam UU ini.
b. Penggarap, yaitu Orang-orang tani yang dengan mengadakan
perjanjian bagi hasil tanah garapan akan melebih 3 (tiga) hetar, dan
badan-badan hukum yang menggarap tanah akan tetapi tidak memiliki izin dari Menteri
Muda Agraria (sekarang Kepala BPN) atau pejabat yang ditunjuk olehnya
c. Mereka yang melakukan perjanjian bagi hasil dengan
menerapkan unsur- unsur sistem ijon,
5. Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Pasal 67 UU Nomor 41 Tahun 2004 menyebutkan bahwa;
(1) Setiap orang yang dengan sengaja
menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk
pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah di-wakafkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah
diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4l dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 tahun dan /atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00-
(lima ratus juta rupiah);
(2) Setiap orang yang dengan sengaja
mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam
pasal 44, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau
denda paling banyak Rp. 400.000.000,00- (empat ratus juta ruprah);
(3) Setiap orang yang dengan sengaja
rnenggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan
harta benda wakaf melebihi jurniah yang ditentukan sebagaimana dirnaksud dalam
Pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,00- (tiga ratus juta rupiah).
Perlu diketahui bahwa dalam pengelolaan
harta benda wakaf, berdasarkan ketentuan Pasal 12 UU tersebut, Nazhir
(perseorangan, organisasi maupun badan hukum) dapat menerima imbalan dari hasil
atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak
melebihi l0 %.
Selanjutnya harta benda wakaf yang
sudah diwakafkan berdasarkan ketentuan Pasal 40 UU tersebut dilarang untuk
dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar; atau
dialihkan dalam bentuk pengalihan haknya. Harta benda wakaf yang telah
diwakafkan berdasarkan ketentuan Pasal 4l ayat (1), (2), (3) UU tersebut
dimungkinkan untuk dapat ditukarkan dengan harta benda wakaf yang lain dengan
persyaratan: 1) telah memperoleh izin tertulis dari Menteri Agaria-RI dengan
persetujuan Badan Wakaf Indonesia 2) Hafia Benda pengganti manfaatnya dan nilai
tukarnya sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula yang
ditetapkan oleh Bupati /Wali kota berdasarkan rekomendasi tim penilai yang
anggota- anggotanya terdiri dari unsur Pemda Kab,4) harta, Kantor Pertanahan
Kab/Kota, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kab/Kota; dan Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan.;
3) dikarenakan digunakan untuk kepentingan umum sesuai rencana umum tata ruang
(RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan syariah. 4) harta benda wakaf tidak dapat
dipergunakan sesuai ikrar wakaf; atau 5) pertukaran dilakukan untuk keperluan
keagamaan secara langsung dan mendesak. 6) hafia benda penukar/pengganti
memiliki sertipikat atau bukti kepemilikan sah sesuai dengan Peraturan perundang-undangan:
Harta benda wakaf juga dilarang untuk
dilakukan perubahan dari sisi peruntukannya, kecuali telah diperoleh izin
tertulis dari Badan Wakaf Indonesia. izin tersebut dapat diberikan apabila
harta benda wakaf ternyata tidak dapat diprergunakan dengan peruntukannya yang
dinyatakan dalam ikrar wakaf,
6. Pasal 77 PP Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun.
Ketentuan Pasal 77 PP tersebut menyebutkan bahwa :
(1) Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud Pasal 30, Pasal 31. Pasal 34. Pasal 34 ayat (1) dan ayat
(3), Pasal 38 ayat (7), Pasal 39 ayat (1), Pasal 61 ayat (2) dan ayat(3), Pasal
67, diancam pidana kurungan selama-lamanya I (satu) tahun dan/atau denda
setingi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah);
(2) Perbuatan pidana sebagai mana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran.
Tindak pidana yang diancam berdasarkan
ketentuan Pasal 77 PP Nomor 4 Tahun 1988 tersebut, antara lain:
a. Pelaksanaan pembangunan Rumah Susun dan Lingkungannya yang
tidak berdasarkan izin yang diberikan oleh Pemerintah Daerah.
b. Penyelenggaraan pembangunan rumah susun tidak meminta
pengesahan dari Pemerintah Daerah atas pertelaan yang menunjukan batas yang jelas
dari masing-masing satuan rumah Susun, bagian bersama, benda bersama. Dari tanah
bersema beserta uraian nilai perbandingan pioporsional.
c. Perubahan rencana peruntukan dan pemanfaatan rumah Susun
yang tidak didasari pada Perizinan dari Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksu pada
huruf a dan b.
d. Pada waktu pelaksanaan pembangunan rumah susun terjadi
perubahan struktur bangunan dan instalasi suda rencana pembentukan dan
pemanfaatan rumah susun, akan tetapi tidak meminta izin dan pengesahan mengenai
perubahan tersebut kepada Instansi yang berwenang.
e. Penyelenggara pembangunan rumah susun tidak memliki izin
layak huni setelah menyelesaikan pembangunan, dan tidak menyerahkan dokumen perizinan
beserta gambar-gambar dan ketentuan-ketentuan teknis kepada Perhimpunan
Penghuni;
f.
Penyelenggara
bangunan rumah susun tidak menyelesaikan status hak guna bangunan di atas tanah
hak pengelolaan baik secara keseluruhannya
g. Penyelenggara pembangunan rumah susun tidak memisahkan rumah
satuan-satuan rumah susun ke dalam bagian bersama, benda bersama dan tanah
bersama.
h. Penghuni yang tidak mematuhi kewajiban yang berupa: l)
melaksanakan peraturan tata tertib dalam rumah susun dan lingkungannya sesuai
dengan ADRT; 2) membayar iuran pengelolaan dan premi asuransi kebakaran; 3) memelihara
rumah susun dan lingkunganya termasuk bagian bersama benda bersama dan tanah
bersama;
i.
Penghuni
yang melanggar larangan berupa: 1) melakukan perbuatan yang membahayakan
keamanan ketertiban dan keselamatan terhadap penghuni yaitu bangunan dan
lingkungannya; 2) mengubah bentuk dan/atau menambah bangunan diluar satuan
rumah susun yang dimiliki tanpa mendapat persetujuan perhimpunan penghuni.
j.
Penyelenggara
pembangunan rumah susun tidak mengelola rumah susun yang bersangkutan dalam
jangka waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun
sejak terbentuknya perhimpunan penghuni atas biaya penyelengara pembangunan.
7. Pasal 19 PP Nomor 24 Tahun 1661 tentang Pelaksanaan Pembagian
Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.
Pasal 19 PP Nomor 224Tahun 1991 menyatakan bahwa:
(1) Pemilik tanah yang menolak atau
dengan sengaja menghalang-halangi pengambilan tanah oleh Pemerintah dan
pembagiannya, sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat(2), dipidana dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya
Rp. 10.000,- sedang tanahnya diambil oleh pemerintah tanpa pemberian ganti kerugian.
(2) Barang siapa dengan sengaja
menghalang-halangi terlaksananya Perarturan Pemerintah ini dipidana dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-
(3) Tindak pidana yang dimaksudkan
dalam ayat (1) dan (2) pasal ini adalah pelanggaran.
Peraturan ini dikeluarkan dalam rangka
pelaksanaan Landreform, dimana terhadap pemilik tanah yang melebihi batas
maksimum termasuk dalam UU Nomor 50/Prp/1950 diberi kesempatan untuk mengajukan
usul kepada Menteri Agraria (Sekarang Kepala BPN) mengenal bagian tanah atau bagian-bagian
mana dari tanahnya yang ia inginkan tetap menjadi miliknya. Apabila ternyata pemilik
tanah tersebut rnenghalang-halangi Pemerintah dalam menetapkan bagian tanah
mana yang tetap menjadi hak pemilik dan tanah mana langsung dikuasai oleh
Pemerintah, untuk selanjutnya dibagi- bagikan dengan hak milik kepada para
petani oleh Panitia Landreform Daerah Tingkat II (Pemerintah Kabupaten/Kota),
dengan skala prioritas: a) penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan;
b) buruh tani tetap pada bekas pemilik, yang mengerjakan tanah yang
bersangkutan; c) pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan; d)
penggarap yang belum sampai 3 tahun mengerjakan tanah yang bersangkutan; e)
penggarap yang mengerjakan tanah hak milik; f) penggarap tanah-tanah yang oleh
Pemerintah diberi peruntukan lain berdasarkan Pasal 4 ayat (2) dan (3); g)
penggarap yang tanah garapannya kurang dari 0,5 hektar; h) pemilik yang luas
tanahnyam kurang dari 0,5 hektar: i) Petani atau buruh tani lainya.
Di dalam peraturan ini juga diberikan
penjelasan mengenai batasan- batasan tentang petani, yaitu orang, baik yang
mempunyai maupun yang tidak mempunyai tanah sendiri, yang mata pencahariannya
adalah mengusahakan tanah untuk pertanian. Penggarap, yaitu petani. yang secara
sah mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif tanah yang bukan
miliknya, dengan memikul seluruh atau sebagian dari resiko produksi nya.
Buruh Tani Tetap, adalah petani yang mengerjakan atau
mengusahakan secara terus-menerus tanah orang lain dengan mendapat upah. Pekerja
tetap, adalah orang yang bekerja pada bekas pemilik tanah secara terus menerus.
1 komentar:
Beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan perlunya Peraturan tentang Kode Etik Pertanahan adalah Posisi Petugas Ukur BPN yang justru dekat dengan kemungkinan Kriminalisasi Bidang Pertanahan. Contoh kasus: Pada Proses permohonan hak pada kantor pertanahan, penghitungan biaya ukur berdasarkan luas tanah pada alas hak yang dapat berupa Surat Keterangan Penguasaan Atas Tanah (SKUHAT, SKT, SP4FAT dll) yang umumnya terdapat diluar Pulau Jawa. Biasanya Surat-surat tersebut tidak mencantumkan luas dan Kalaupun mencantumkan luas, terdapat tanda plus minus nya (+) dan jika tidak ada plus minus pada luasan tanah maka bisa jadi terdapat perbedaan luas hasil ukur oleh petugas ukur. Masalah muncul ketika ternyata luas hasil ukur lebih besar dari luas tanah pada Surat Permohonan, sehingga pemohon dimintakan untuk membayar kembali kekurangan biaya. Untuk mengantisipasi masalah kerepotan harus membayar kedua kalinya, Petugas ukur diminta melaksanakan pengukuran sebelum permohonan masuk, tentunya tanpa dibekali Surat Tugas Pengukuran. Hal ini menyebabkan keamanan petugas ukur tidak terjamin dilapangan. Jika menolak tugas akan mendapat “sanksi sosial”, jika menerima tugas maka langkah pertama sang petugas ukur sudah “salah” secara perdata. Dilema terjadi pula apabila kekurangan bayar yang ternyata hanya terhadap tanah dengan kelebihan luas 2-3 M² saja. Apabila dibiarkan maka instansi akan terlibat tindak pidana yang merugikan negara. Apabila dimintakan uang lebih sebagai antisipasi kekurangan bayar kepada pemohon, belum ada kebijakan tentang itu. Alih-alih ingin antisipasi malah kemungkinan dituduh pungli atau pemohon bisa saja membayarkan kekurangan bayar sambil berkomentar bahwa hasil hitung biaya awal kurang baik. Petugas ukur pun tidak bebas senyatanya dan dapat dituduh melakukan penyalahgunaan wewenang. Dari hal ini sekiranya perlu dibentuk aturan khusus tentang prosedur pelayanan tambahan dan perlindungan hukum bagi petugas yang benar-benar melaksanakan tupoksinya dengan baik. Walaupun dalam Pasal dalam Pasal 50 KUH Pidana mengatakan bahwa orang yang melaksanakan perintah UU tidak boleh dipidana tentunya Pasal ini harus di tafsirkan lebih dalam. Prosedur administrasi yang baik akan melindungi keamanan petugas dilapangan dengan lebih baik kecuali yang memang nyata-nyata melakukan tindak pidana, tentunya akan terkena sanksi.
Posting Komentar