Oleh
Sarjita, S.H., M. Hum.[2]
Latar Belakang
“tanah tidak
akan langsung mendatangkan kemakmuran bagi manusia, akan tetapi kegiatan
pembangunan di atas tanah oleh manusia tersebutlah yang dapat
langsung menghadirkam kemakmuran itu sendiri”.
Demikian keyakinan yang ada dalam benak/pikiran
kami. Tentunya hal tersebut belum cukup, masih diperlukan prasyarat lain,
diantaranya seperti: legitimasi (legitimacy)
atau keabsahan kekuasaan[3], otoritas (outhority) atau wewenang,[4] moral (hatinurani) dan aklaktul kharimah atau
budi penguasa.
Kekuasaan itu merupakan sesuatu yang
senantiasa melekat pada seseorang, kelompok orang. Oleh karema itu, dalam
melihat kekuasaan dari seseorang atau kelompok orang harus dicermati
menggunakan dua variabel: Pertama,
terkait dengan scope of power yang menunjuk pada kegiatan, tingkah laku serta
sikap dan keputusan-keputusan yang menjadi objek dari kekuasaan. Kedua terkait dengan domain
of power yaitu jangkauan kekuasaan untuk menjawab pertanyaan
siapa-siapa saja atau pelaku, seseorang,
sekelompok orang, organisasi atau kolektivitas yang kena kekuasaan.
Max Weber dalam Miriam Budihardjo
membagi tiga macam wewenang, yaitu Pertama,
tradisional berdasarklan kepercayaan
diantara anggota masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasaan yang
dilandasi oleh tradisi itu adalah wajar dan patut dihormati. Kedua, kharismatik berdasarkan kepercayaan anggota masyarakat pada
kesaktian dan kekuatan mistik atau religius seorang pemimpin. Ketiga, rasional-legal, berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum rasional yang melandasi
kedudukan seseorang pemimpin.
Legitimasi
((legitimacy) adalah istilah
normatif. Untuk melihat secara lebih mendalam dari objek legitimasi kita bedakan kedalam dua hal, yaitu berdasarkan materi (substansi) wewenang dari segi fungsinya yaitu untuk tujuan apa
wewenang itu ada, yang dalam kehidupan sehari-hari menjelma ke dalam dua
lembaga yaitu hukum sebagai lembaga
penataan masyarakat yang normatif, dan dalam kekuasaan eksekutif negara sebagai lembaga penataan efektif
untuk memgambil tindakan berdasarkan atributif, delegasi atau mandat. Subjek
wewenang/kekuasaan mempertanyakan dasar wewenang seseorang atau kelompok orang
untuk membuat undang-undang dan peraturan bagi masyarakat dan untuk memegang
kekuasaan negara (perolehan kewenangan). Secara garis besar makna legitimasi
apabila dikaitkan dengan demokrasi, pada
prinsipnya terdapat tiga macam legitimasi subjek kekuasaan yaitu: 1) legitimasi
religius; 2) legitimasi eliter; dan 3) legitimasi demokratis (kedaulatan
rakyat). Sedangkan kriteria legitimasi menurut Frans Magnis Suseno,[5] ada tiga kemungkinan yang
dapat digunakan, yaitu legitimasi sosiologis (tradisional, kharismatik dan
rasional-legal), legalitas (sesuai dengan hukum atau peraturan yang berlaku),
dan legitimasi etis (moral).
Legitimasi legalitas secara
konstitusionil jelas tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan
bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sehubungan dengan legitimasi ini,
Endriatmo Soetarto[6]
menyatakan bahwa berdasarkan amanat konstitusi secara tegas meletakan negara
sebagai pembela utama dan penerima mandat paling sah dalam memastikan
terpenuhinya kepentingan dan
kesejahteraan dan tentu saja kedaulatan rakyat petani dan warga pedesaan ada
umumnya. Namun sebaliknya, potret wajah
Indonesia dewasa ini, dalam hal struktur keagrariaanya, secara kasat mata tak
pelak lagi membuat hati kita sangat prihatin. Secara realitas, masih banyak
petani gurem yang hanya menguasai tanah sempit ternyata makin banyak dari waktu
ke waktu, tunakisma (landless) di
pedesaan juga makin membesar dari waktu ke waktu.
Mandat untuk menyusun regulasi Sumber
Daya Agraria, khususnya sektor pertanahan bermula/diawali dari diterbitkannya Tap MPR RI Nomor
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Menurut
Joyo Winoto,[7]
Pembaruan Agraria TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 adalah langkah strategis dan
mendasar untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk meneguhkan dan memantapkan kelembagaan/institusi BPN selaku LPND yang
diberikan amanah untuk mengelola pertanahan pada tahun 2006 Presiden menerbitkan Perpres Nomor 10 Tahun
2006 tentang Badan Pertanahan Nasional,
dan pada tahun 2010 diterbitkan lagi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun
2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010 yang
memerintahkan otoritas BPN untuk menyusun RUU
Pertanahan yang akan mencakup 1) sinkronisasi
dan harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait tanah, seperti UU
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan,
UU Budi Daya, UU Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Perkebunan, UU Penataan Ruang; dan 2) Pengaturan
Penataan Tanah Masyarakat Hukum Adat Dalam Sistem Keagrariaan Nasional.
Selanjutnya
dalam perkembangan/dinamika pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) khususnya di
bidang Kehutanan, Pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan
Moratorium Kehutanan. Terkait dengan Kebijakan Pemerintah tersebut, salah satu
hal yang mempunyai implikasi besar bagi BPN RI adalah segera dikeluarkannya
Instruksi Presiden (Inpres) Moratoriun Hutan,[8]
namun belum settle, [masih menjadi polemik terkait dengan kebijakan
dan kewenangan (substansi dan luasan)], apakah
keseluruhan hutan atau sebagian hutan. Meskipun masih terjadi pro dan kontra
terkait dengan substansi dan luasan dari moratotrium hutan yang diambil oleh
Pemerintah dalam rangka menyeimbangkan
dan menselaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan serta
upaya penurunan Emisi Gas Rumah Kaca melalui penurunan emisi dari deforasi dan
degradasi hutan, akhirnya berujung pada diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor
10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan Penyempurnaan Tata Kelola
Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut
tertanggal 20 Mei 2011. Penundaan pemberian izin baru hutan alam
primer dan lahan gambut yang berada di
kawasan hutan konversi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi
biasa/tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan area penggunaan lain (apl).
Dalam
pelaksanaan tugas ini, Ketua BKPRN ditugaskan untuk melakukan percepatan
konsolidasi Peta Induktif Penundaan Izin
Baru ke dalam revisi Peta tata Ruang Wilayah sebagai bagian dari pembentukan
tata kelola penggunaan lahan melalui kerjasama dengan Gubernur, Bupati/Walikota
dan Ketua Satuan Tugas Persiapan pembentukan Kelembagaan REDD+[9]
Dalam Inpres
tersebut, moratorium hutan dikecualikan terhadap: 1) permohonan yang
telah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan; 2) Pelaksanaan
pembangunan nasional yang bersifat vital, yaitu geothermal, minyak dan gas
bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu; 3) perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan
hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku; 4)
Restorasi ekosistem.
Adapun institusi
dan/atau lembaga pemerintah yang wajib melaksanakan Intruksi Presiden ini
adalah: 1) Kementerian Kehutanan; 2) Kementerian Lingkungan Hidup;
3)Kemnetreian Dalam Negeri; 4) BPN-RI;
5) BKPRN; 6) Bakorsuranal; 7) Gubernur;
dan 8) Bupati/Walikota.
Implikasi terbesar dari Inpres tersebut adalah
orientasi pembangunan yang sebelumnya mudah mendapatkan [tanah
negara] tanah-tanah yang
dikuasai negara langsung di kawasan
hutan akan bergerak di luar kawasan hutan, jika bergerak di luar kawasan hutan
maka itu merupakan otoritas/kewenangan
BPN RI.[10]
Konsekuensi lebih lanjut dari kebijakan pemerintah
tersebut di atas, bagi BPN RI akan nampak pada
kegiatan dan/atau usaha (perkebunan, pertambangan dan
aktivitas-aktivitas lain) yang memerlukan tanah sebagai salah satu sumber daya
alam/agraria menjadi sasaran utama yang akan dikejar oleh semua orang. Kegiatan dan/atau usaha di atas akan
berimplikasi pada dua hal, yaitu: Pertama,
meningkatnya sengketa/konflik tanah dan/atau agraria serta sumber daya alam; Kedua, meningkatnya nilai tanah (Land value).
Secara lebih
tegas, Kepala BPN RI mengkhawatirkan kemungkinan akan terjadinya rekonsentrasi
dari penguasaan dan pemilikan tanah,
yang selama ini diperjuangkan
untuk redistributif. Terjadinya
Rekonsentrasi tanah, ini menjadi tantangan ke depan bagi BPN-RI terkait dengan
cita-cita untuk mewujudkan tanah bagi keadilan dan kesejahteraan rakyat.[11]
Cara berposes
rekonsentrasinya, suatu Badan Hukum yang melakukan kegiatan/usaha di bidang
pertambangan, perkebunan, pengembang perumahan, insfrastruktur) memulai dari
tahapan Izin Lokasi yang berfungsi pula
sebagai Izin Perubahan Penggunaan Tanah, kemudian diikuti dengan tahapan pembebasan tanah/pengadaan tanah, apakah
objeknya dikuasai/dimiliki oleh perorangan, kelompok orang (masyarakat hukum
adat), dan badan hukum swasta. Bahkan tidak jarang asset badan hukum publik
(Pemerintah, BUMN/Pemerintah Daerah, BUMD) di daerah strategis menjadi sasaran
pembebasan/pengadaan tanah, misal dengan cara tukar guling (ruilslag). Di sini secara teknis peran “lembaga pelepasan hak”
diperlukan karena calon penerima/subjek hak atas tanah tidak dapat bertindak
sebagai subjek hak atas tanah yang akan dilepaskan, dan perubahan hak atas tanah dengan cara (peningkatan/penurunan
hak) dari HM menjadi HGB/HP atau sebaliknya dari HP menjadi HGB. Dimana Surat Permohonan Peningkatan/Penurunan Hak Atas
Tanah berperan pula sebagai Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas tanah.
Sementara itu,
dalam rangka pembangunan nasional di bidang ekonomi untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat, Pemerintah telah menetapkan MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia).
Dengan MP3EI, maka sasaran, arah, timeline
menjadi jelas. Siapa berbuat apa, siapa berinvestasi berapa dan dimana.
Pembangunan
nasional diarahkan pada empat sasaran pokok yaitu: Pertama, pro-pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas (pro-growth); Kedua, menciptakan dan
memperluas lapangan kerja (pro-job); Ketiga, meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui program-program
jaring pengaman sosial yang berpihak kepada masyarakat miskin dengan cara
menekan angka kemiskinan (pro-poor); Keempat, meningkatkan kualitas
pengelolaan lingkungan
hidup/pro-lingkungan (pro-environmental).[12]
Untuk mendukung pencapain keberhasilan sasaran tersebut, Pemerintah
menetapkan sepuluh sasaran strategis, dimana empat sasaran pokok yang telah disebutkan di atas termasuk di dalamnya. Sedangkan enam sasaran lainnya adalah: 1)
Stabilitas ekonomi terjaga; 2) pembiayaan dalam negeri semakin kuat dan
meningkat; 3) ketahanan pangan dan air makin meningkat; 4) ketahanan enegri
makin meningkat; 5) daya saing ekonomi nasional menguat dan meningkat; 6)
pendapatan perkapita makin meningkat.
Di lain pihak
dalam dunia/iklim investasi/usaha. kita menghadapi berbagai persoalan terkait
dengan belum membaiknya atau terciptanya
birokrasi di bidang perizinan yang efisien (good governance),
kepatuhan pada hukum (rule of law)
dan keamanan berusaha/berinvestasi; dan, insfrastruktur serta
ketenagakerjaan.
Terkait dengan
belum terciptanya birokrasi di bidang perizinan yang efisien (good Governance), Pemerintah telah
mengagendakan perbaikan tata kelola
Pemerintahan dan Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi di dalam
Naskah Kebijakan Pembangunan
Nasional 2010-2014. Wujud dari perbaikan tata kelola pemerintahan yang
baik tercermin dari penurunan tingkat korupsi (penulis masih mempertanyakan
kualitas dan kuantitas keberhasilan dalam
upaya pencegahan dan/atau penindakan pelaku tindak pidana korupsi)
meskipun sudah diundangkan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Jo. UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Jis UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi). Kemudian
terkait dengan perbaikan pelayanan
publik, dan pengurangan ekonomi biaya tinggi, Pemerintah juga telah melakukan
reformasi birokrasi secara substansial yang meliputi: 1) Struktur (Konsolidasi
struktural dan peningkatan kapasitas Kementerian Negara termasuk PAN/LPND, BKN,
LAN, dll; 2) Penguatan Otonomi Daerah
(Otda) termasuk SDM-nya; 3) Regulasi dan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan
perundang-undangan (Pusat-Daerah), dll.
Sedangkan untuk kualitas Pelayanan Publik, Pemerintah menerbitkan UU
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 112,
TLN No. 3038).
Untuk memberikan
sumbangan/kontribusi terkait dengan keamanan berinvestasi/berusaha dan upaya
penyelesaian sengketa/konflik yang timbul, BPN-RI menggulirkan beberapa program
kegiatan unggulan, yaitu Penertiban Tanah yang Terindikasi Terlantar (PP Nomor 11 Tahun 2010 Jo. Perkaban Nomor 4
Tahun 2010, Perkaban tentang Pendayagunaan Tanah Negara Eks Tanah Terlantar
juga dalam tahap pembahasan), Reforma Agraria (RA) dengan Objek Tanah Negara eks Kawasan Hutan, Tanah Negara eks
Tanah Terlantar, Tanah Negara eks Tanah HGU dan HGB yang telah berakhir
jangka waktu berlakunya dan tidak diperpanjang jangka waktu berlakunya oleh
Pemegang hak atas tanahya, serta Tanah Negara lainya). Sementara itu Draf
Peraturan Pemerintah (PP) RA sedang
dalam proses pembahasan Lintas Sektor, [13] Penyelesaian Sengketa dan
Konflik Pertanahan, Larasita (Perkaban Nomor 18 Tahun 2009, serta Legalisasi
Asset.
Dilihat dari
asal Tanah Negara yang menjadi Objek RA dengan Tanah Negara objek kegiatan Land
Reform (LR) Keputusan Ka. BPN Nomor 25
Tahun 1992 tentang Pedoman Pelaksanaan Permohonan Penegasan Tanah Negara
Menjadi Objek Pengaturan Penguasaan tanah Landreform)
ada beberapa persamaan, yaitu:
Tabel
1: Perbandingan Objek Tanah RA dengan Tanah Objek Landreform
TN Objek
Reforma Agraria
|
TN Objek
Landreform
|
Tanah Negara Bebas
|
Tanah Negara bebas
|
Tanah Negara Eks Kawasan Hutan
|
Tanah-tanah Eks Hak Erfpacht
|
Tanah Negara Eks HGU/HGB yang telah berakhir jangka
waktu berlakunya dan tidak dimohon perpanjangan HAT-nya oleh Pemegang Hak
|
Tanah Eks HGU yang telah berakhir waktunya
dan tidak diperpanjang oleh pemegang hak atau telah dicabut dibatalkan oleh
Pemerintah
|
Tanah Negara lainnya.
|
Tanah-tanah bekas gogolan serta tanah-tanah
bekas Hak Ulayat/Adat
|
[1] Makalah disampaikan pada
Workshop Nasional Pertanahan, Hotel
Sentral Jakarta: 14-15 Desember 2011. RI.
[2] Lektor/Pembina (IV/a) pada
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta, Dosen Luar Biasa pada
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
[3] Kekuasaan yang dilembagakan. Kekuasaan dianggap sebagai kemampuan
pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga
tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang
mempunyai kekuasaan (Harold D. Laswell
dan Abraham Kaplan, dalam Miriam Budihardjo) Konsep Kekuasaan
Tinjauan Kepustakaan, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa),
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991: 10..
[4] Kekuasaan yang dilembagakan,
kekuasaan yang tidak hanya de facto menguasai, melainkan juga berhak untuk
menguasai. Wewenang adalah kekuasaan yang berhak untuk menuntut ketaatan, jadi
berhak untuk memberikan perintah. (Frans Magnis Suseno, Etika Politik Modern
Prinsip-prinsip Moral dasar Kenegaraan Modern, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2001:53.
[5] Frans Magnis Suseno, Ibid,
58-59.
[6] Endriatmo Soetarto, Pancasila
dan Pembaruan Agraria, Falsafah, Refleksi dan Aksi Menuju Masyarakat Agraris
Yang Berkeadilan, Restorasi Pancasila Mendamaikan Politik Identitas Dan
Modernitas (Prosiding Simp[osium Peringatan Hari Lahir Pancasila, Kampus
Fisip UI, Depok, 31 Mei 2006.: Jakarta, Fisip UI, Tempo, PPD, Brighten
Institut,: 288-289.-
[7] Joyo Winoto, Reforma Agraria Mandat Politik, Konstitusi dan Hukum
Dalam Rangka Mewujudkan Tanah Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat,
BPN-RI, Jakarta, 2007: ii.
[8]Adalah kebijakan tata kelola
perbaikan/ pengelolaan sumberdaya hutan (alam)/kehutanan yang baik (good forest governance) di Indonesia.
Meliputi jeda tebang kayu menurut kelangkaan jenis dan fungsi hutan serta jeda
konversi kawasan hutan untuk pemanfaatan non-kehutanan (pertanian, perkebunan
dan pertambangan). Berdasarkan Inpres Nomor 10 tahun 2011, penundaan pemberian izin baru,
rekomendasi, pemberian izin lokasi dilakukan
selama 2 (dua) tahun terhitung sejak Instruksi Presuden ini dikeluarkan (20 Mei
2011-20 Mei 2013)
[9] Lembaga REDD+ (Reducing Emision from Deforestration and
Forest Degrardation) adalah lembaga yang dibentuk oleh Presiden untuk
mengkkordinasikan perencvanaan, pelaksanaan dan pemantauan REDD+.
[10] Sambutan Kepala BPN-RI pada Pembukaan Rakernas BPN RI, Jakarta: 7
Pebruari 2011, hlm. 8.
[11] Sambutan Kepala BPN-RI pada Pembukaan Rakernas BPN RI, Jakarta: 7
Pebruari 2011, hlm. 9.
[12] Pidato Kenegaraan Presiden RI Dalam Rangka HUT Ke-45 Proklamasi
Kemerdekaan RI di Depan Sidang Bersama DPRRI dan DPDRI, 16 Agustus 2010,
hlm. 6.
Simak pula Pidato Presiden RI
pada Penyampaian Keterangan Pemerintah Atas RUU tentang APBN TA 2011 dan
Beserta Nota Keuangannnya di Depan Rapat Paripurna DPRRI,: 16 Agustus 2010,
hlm. 5.
[13] Meskipun dalam Inpres Nomor 1
Tahun 2010 tertanggal 19 Pebruari 2010
diharapkan PP Reforma Agraria yang mencakup: 1) Penataan sistem hukum
dan politik; 2) Pelaksanaan Landreform plus, pemberian akses terhadap
masyarakat untuk memanfaatkan tanahnya sampai saat ini (Juli 2011) belum
terbit, yang seharusnya pelaksanaan sosialisasi PP Reforma Agraria sejalan/bersamaan dengan PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
0 komentar:
Posting Komentar