Asas
Pemisahan Horizontal Dalam Hukum Tanah
Nasional
(Sebagai
bahan masukan dalam penyusunan Draf RUU Pertanahan)[1]
Oleh
Pendahuluan
Apakah
hukum yang berlaku terhadap tanah dengan sendirinya berlaku juga
terhadap bangunan beserta benda-benda yang berdiri di atasnya, dan siapakah
menurut hukum pemilik bangunan beserta
benda-benda yang didirikan atau ada di atas tanah kepunyaan pihak lain?.
Sekilas
dua pertanyaan tersebut di atas, secara kasat mata (fisik) mudah untuk dijawab,
yaitu pemilik tanah atau pemegang hak atas tanah. Apakah jawaban tersebut dapat
diberlakukan setiap saat/waktu tanpa memperhatikan sistem hukumnya. Tentunya tidak.
Oleh karena itu, jawaban menjadi rumit,
jika persoalan tersebut kemudian berkembang, dan dihadapkan pada persoalan hukum/yuridis yang sebenarnya.
Jika
ditelusuri sehubungan dengan hukum yang
berlaku di Indonesia terhadap tanah, dapat kita bedakan menjadi:
Sebelum
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA) berlaku di Indonesia, yaitu pada tanggal 24 September 1960 di Indonesia
berlaku 2 (dua) perangkat hukum tanah,
yaitu hukum tanah barat yang bersumber
pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan hukum tanah adat yang
bersumber pada Hukum Adat.
Selanjutnya
untuk melihat mengenai hukum tanah yang berlaku sebelum UUPA diundangkan, maka
perlu dicermati Bab IV Ketentuan-Ketentuan (aturan) Peralihan[3] dari
Pasal 53 s/d 58 UUPA. Substansi masing-masing pasal tersebut secara garis besar
berisi hal-hal sebagai berikut:
Pasal
53 ayat (1): mengatur mengenai hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana
diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h (hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak
menumpang dan hak sewa tanah pertanian yang bertentangan dengan UUPA diusahakan
hapusnya di dalam waktu yang singkat).
Pasal
53 ayat (2): Ketentuan Pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (2) dan
ayat (3) diberlakukan terhadap hak-hak yang sifatnya sementara di atas.
Pasal
54 Sehubungan dengan ketentuan Pasal 21 dan 26 UUPA, untuk penentuan status WNI
yang mempunyai kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan telah menolak
kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sesuai peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan, dianggap hanya berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal
55 ayat (1): Konversi Hak-hak asing menurut Ketentuan Konversi Pasal I, II,
III, IV dan V UUPA dijadikan HGU dan HGB hanya berlaku untuk sementara selama
sisa waktu hak-hak tersebut, dengan jangka waktu paling lama 20 (dua puluh)
tahun. Untuk
selanjutnya terhadap tanah–tanah negara Eks Hak Barat tersebut ditindaklanjuti dengan
dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 Jo. PMDN Nomor 3 Tahun
1979.
Pasal
55 ayat (2): mengenai pemberian HGU dan HGB hanya terbuka/dimungkinkan untuk badan-badan hukum yang untuk sebagian
atau seluruhnya bermodal asing, jika hal itu diperlukan oleh undang-undang yang
mengatur pembangunan nasional semesta berencana. Telah ditindak lanjuti pula dengan UU Nomor 1 Tahun 1967
Jo. UU Nomor 11 Tahun 1970 Jis. Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1980.
Sedangkan Untuk Penanaman Modal Dalam Negeri berpedoman pada UU Nomor 6 Tahun
1968 Jo. UU Nomor 12 Tahun 1970 Jis. UU Nomor 6 Tahun 1968. Selanjutnya
dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1992 tentang Tata Cara Penanaman
Modal yang kemudian dirubah dengan Kepres Nomor
97 Tahun 1993. Pada Era Reformasi UU Penanaman Modal Asing dan Penanaman
Modal Dalam Negeri tersebut di nyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan
Pasal 38 UU Nomor 25 Tahun 2007.
Pasal
56 mengatur mengenai ketentuan hukum yang berlaku terhadap hak milik, yaitu
ketentuan-ketentuan hukum adat setempat
dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi
wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam Pasal 20, sepanjang
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UUPA. Hal tersebut,
diatur mengingat ketentuan Pasal 50 ayat (1) UUPA, mewajibkan bahwa Hak Milik diatur dengan undang-undang. Hal ini
merupakan pekerjaan rumah kita bersama sebagai anak bangsa, meskipun UUPA sudah
akan berusia hampir 50 tahun pada tanggal 24 September 2010 nanti, UU tentang Hak Milik dimaksud
belum juga dilahirkan.
Pasal
57 mengatur mengenai pemberlakukan ketentuan Hypotheek dan Credietverband dalam
Buku Ke II KUH Perdata (S. 1908-542 Jo.
1909-586 dan S. 1909-584 sebagaimana telah dirubah dengan S. 1937-190 Jo. S.
1937-191). Ketentuan tersebut telah
dinyatakan tidak berlaku dengan diterbitkannya ketentuan Pasal 29 UU Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Pasal
58 mengatur ketentuan hukum yang berlaku, selama peraturan-peraturan
pelaksanaan UUPA belum terbentuk. Yaitu berlaku ketentuan dari
peraturan-peraturan baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dan hak-hak atas tanah, yang ada pada mulai berlakunya UUPA masih tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam UUPA serta diberi
tafsiran yang sesuai.
Pemberlakukan UU PA Di Beberapa Daerah Di Indonesia
Sesudah
berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA) beserta peraturan pelaksanaannya berlaku di Indonesia, yaitu
pada tanggal 24 September 1960. Pemberlakukan UU Nomor 5 Tahun 1960 ini
ternyata tidak berlaku secara serentak di seluruh Wilayah NKRI. Pemberlakuaan
UUPA Di Indonesia, ternyata terdapat 2 (dua) Provinsi yang mengalami keterlambatan dalam
memberlakukan UUPA, yaitu Provinsi Irian Barat (Irian Jaya) sekarang Papua dan
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Untuk Provinsi DIY dan Irian Barat
(Papua) didasarkan pada 2 (dua) peraturan perundang-undangan yang berbeda.
Untuk
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tanggal
1 April 1984 berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakukan Sepenuhnya
UU Nomor 5 Tahun 1960 Di Provinsi DIY. Sedangkan untuk Provinsi Irian Barat (Irian Jaya) sekarang
Provinsi Papua dan Papua Barat, pemberlakuan UUPA beserta Peraturan
pelaksanaanya baru terhitung pada tanggal 26 September 1971 berdasarkan PMDN
No. 8 Tahun 1971 tentang Pelaksanaan UUPA di Provinsi Irian Barat. Pemberlakuan
UUPA yang berbeda di kedua wilayah provinsi tersebut, tentunya membawa konsekuensi hukum pula,
yaitu sehubungan pelaksanaan ketentuan Konversi baik itu yang menyangkut
hak-hak barat maupun terhadap hak-hak adat Indonesia.
Pertama,
keterlambatan dalam pelaksanaan UUPA[4] di
Provinsi Irian Jaya (Papua) untuk konversi Hak-hak Barat berdasarkan SK Mendagri Nomor SK.59/DJA/1973
tertanggal 30 Mei 1973 ditentukan batas waktu pendaftaran konversi bekas hak
barat tanggal 26 September 1973, sedangkan batas akhir jangka waktu berlakunya tanah bekas konversi hak barat
maksimal tanggal 26 September 1991 (SK Mendagri Nomor SK. 21/DJA/1980 tanggal 15 April 1980).
Sementara untuk pelaksanaan Konversi bekas hak adat Indonesia yang didasarkan
pada Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria (PMPA) Nomor 2 Tahun 1962 baru
dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Irian Jaya Nomor 247
Tahun 1988.
Kedua,
keterlambatan pemberlakukan UUPA sepenuhnya
di DIY berdasarkan Keppres Nomor 33 Tahun 1984 tertanggal 9
Mei 1984, dan Kepres itu berlaku surut terhitung sejak tanggal 1 April 1984
(Pasal 3 Kepres Nomor 33 Tahun 1984). Pasal 1 Kepres tersebut menyatakan bahwa:
UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan
pelaksanaannya, dinyatakan berlaku sepenuhnya untuk seluruh wilayah Propinsi
DIY. Selanjutnya pada Pasal 2 ditegaskan, bahwa Pelaksanaan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diatur oleh Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 2 Keppres tersebut, diterbitkan
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 66
Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Pemberlakuan Sepenuhnya UU No. 5 Tahun 1960 Di
Provinsi DIY. Yang kemudian diikuti Pembentukan Kantor Agraria Kabupaten
Sleman, Kulonprogo, Gunung Kidul dan Kantor Agraria Kotamadya Yogyakarta
berdasarkan Kepmendagri Nomor 67 Tahun 1984.Yang untuk selanjutnya disusul
beberapa Keputusan Menteri Dalam Negeri, yaitu: 1) Kepmendagri Nomor 68 Tahun
1984 tentang Pemberlakukan PMDN Nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang
Pemberian Hak Atas Tanah Di Propinsi DIY; 2) Kepmendagri Nomor 69 Tahun 1984 tentang Penegasan Konversi dan
Pendaftaran Hak Atas Tanah Hak Milik Perorangan Berdasarkan Perda DIY Nomor 5
Tahun 1954 di Provinsi DIY; 3) Kepmendagri Nomor SK.590.34-746 tentang
Pengesahan Perda Provinsi DIY Nomor 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku
Sepenuhnya UU No. 5 Tahun 1960 Di Provinsi DIY; 4) Perda Provinsi DIY No. 3
Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UU No. 5 Tahun 1960 Di
Provinsi DIY.5) Surat Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor:
590/1885 tertanggal 29 Oktober 1984 kepada Bupati Kepala Daerah Se-DIY tentang
diperlakukannya UUPA Secara Penuh di Privinsi DIY.
Dari
uraian tersebut di atas, maka dapat digambarkan bahwa pemberlakuan hukum tanah
di Wilayah Indonesia sebagai berikut:
Waktu/Daerah/
Wilayah
|
D.I.Y
|
Irian
Barat
(Irian
Jaya)/
Papua
|
Daerah/Wilayah
Indonesia selain DIY dan Irian Barat/
|
Jaman
Pemerintah Hindia Belanda (VOC/1602
s/d 14 Agustus 1942 Perjanjian Kalijati)
|
Hukum
Adat, Agraische Wet (S. 1870-55) Jo S.
1925-447), Rijskblaad Kasultanan Jogjakarta Tahun 1981 No. 16 Rijsblaad
Kadipaten Paku Alaman Tahun 1918 nomor
18., Stb. Tahun 1941 No. 47 (Persetujuan atau kontrak Politik Antara
Pemerintah Hindia Belanda dengan Kasultanan Jogjakarta tertanggal 18 Maret
1940). Psl.39-40, 41: Penguasaan atas Tanah
|
Hukum
Adat, Agraische Wet (S. 1870-55) Jo S.
1925-447), Domeinverklaring S.1870-118, Algemene, Buku Ke II KUH Perdata
|
Hukum
Adat, Agraische Wet (S. 1870-55) Jo S.
1925-447), Domeinverklaring S.1870-118, Algemene Domein verklaring S.
1875-119a, Domein Verklaring Sumatra S. 1874-94f, Domeinverklaring Menado
S. 1877-55, Domeinverklaring residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo
S. 1888-58, KB tgl. 16 April 1872 (S. 1872-117, Buku Ke II KUH Perdata
|
Jaman
Pemerintah Bala Tentara Jepang (8 Maret 1942 s/d 14 Agustus 1945)
|
Hukum
Adat, Agraische Wet (S. 1870-55) Jo S. 1925-447), Rijskblaad Kasultanan
Jogjakarta Tahun 1981 No. 16 Rijsblaad Kadipaten Paku Alaman Tahun 1918 nomor 18.,
|
-sda-
|
-sda-
|
Jaman
Pemerintah RI17-8-1945 s/d 24 September 1960
|
-sda-
|
-sda-
|
-sda-
|
s/d 25
September 1971
|
Hukum
Adat, Rijskblaad Kasultanan Jogjakarta Tahun 1981 No. 16 Rijsblaad Kadipaten
Paku Alaman Tahun 1918 nomor 18.,
|
-sda-
|
UU
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria beserta
Peraturan pelaksanaannya.
|
26
September 1971 s/d sekarang
|
Hukum
Adat, Rijskblaad Kasultanan Jogjakarta Tahun 1981 No. 16 Rijsblaad Kadipaten
Paku Alaman Tahun 1918 nomor 18.,
|
UU PA
beserta Peraturan pelaksanaannya.
|
UU
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria beserta
Peraturan pelaksanaannya.
|
Mulai
1 April 1984 – sekarang.
|
UUPA
beserta Peraturan pelaksanaannya.
|
UUPA
beserta Peraturan pelaksanaannya.
|
UUPA
beserta Peraturan pelaksanaannya.
|
Secara
garis besar, Hukum Tanah yang berlaku
sebelum diberlakukannya UU Nomor 5 Tahun
1960, berlaku 2 (dua) perangkat hukum
tanah, yaitu hukum tanah barat yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata) dan hukum tanah adat yang bersumber pada hukum adat.
Kedua
perangkat hukum tersebut, mempunyai asas yang berbeda dalam menyikapi hubungan antara tanah dengan
benda-benda yang ada di atasnya. Hukum
tanah barat yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata),
berlaku ketentuan bahwa benda-benda atau bangunan menjadi bagian dari tanahnya
karena berlaku asas perlekatan (asas natrekking
atau asas accesie) sebagaimana diatur
dalam Pasal 500 KUHPerdata). Atas dasar asas itu, maka pemilikan atas tanah
menurut Hukum Barat itu meliputi juga pemilikan dari bangunan yang ada di
atasnya (Pasal 571 KUHPerdata). Bangunan yang didirikan di atas tanah kepunyaan
pihak lain menjadi milik yang empunya tanah (Pasal 601 KUH Perdata), kecuali diperjanjikan lain. Sedangkan
menurut Hukum Adat (dikenal dengan hak-hak atas tanah Adat Indonesia) tunduk
pada asas Pemisahan Horizontal[5] (Horizontale Scheiding) antara tanah
dengan bangunan atau benda-benda yang ada atau berdiri di atasnya. Dengan kata
lain, pihak yamg membangun adalah pemilik dari bangunan tersebut.
[1]Makalah pernah disampaikan pada FGD Policy Paper
RUU Pertanahan yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan
(Puslitbang) BPN-RI), 3 Oktober 2011, Akmani Hotel, Jakarta.
[3] Mengandung kaedah penunjuk yang menyatakan suatu hukum atau suatu
jabatan (badan, lembaga) dapat tetap berlaku atau harus tetap berlaku walaupun
ada perubahan peraturan perundang-undangan. Aturan /ketentuan peralihan
tersebut berfungsi untuk mencegah kekosongan hukum (legal
vacuum, recghtvacuum). Karena dengan terjadinya perubahan atau penggantian
hukum secara a priori meniadakan
semua aturan hukum dan semua lingkungan jabatan yang ada, kecuali yang dinyatakan
atau dapat dibiarkan tetap berlaku. Dengan kata lain, perubahan atau
penggantian aturan hukum mengakibatkan semua aturan hukum (the existing law) dan semua lingkungan jabatan (badan) tidak
berlaku lagi, kecuali yang dinyatakan atau dapat dibiarkan tetap berlaku untuk
menjamin fungsi pemerintahan agar tetap berjalan, baik yang menyangkut fungsi
pelayanan maupun fungsi ketertiban umum (public
order, openbaar orde) tetap berjalan sebagaimana mestinya. Di samping itu
Aturan/Ketentuan Peralihan juga mengandung muatan hokum transitoir (transitoirecht temporary law). Sifat
kesementaraan itu berlangsung sampai diadakan azas dan aturan hukum dan lingkungan
jabatan baru. Aturan/Ketentuan Peralihan ini memberikan dasar bagi penegak
hokum untuk tetap menerapkan aturan hukum lama atau membiarkan lingkungan
jabatan lama tetap menjalankan segela wewenang, kecuali yang bertentangan
dengan aturan hukum baru. (Bagir Mana, Perjalanan Aturan Peralihan UUD 1945,
Varia peradilan No. 259 Juni 2007, hlm. 21-22.)
[4] Sarjita, Perbedaan Persepsi Antara Masyarakat Hukum Adat dengan
Fungsionaris Pemerintah Sebagai salah Satu Faktor Timbulnya Sengketa Hukum
Tanah Di PTUN, Jakarta, Program Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum
(PPLIH)-Hukum Administrasi Negara (HAN) FH-UI, 1995. Hlm. 28-29.
[5] Asas ini diadopsi dari hukum adat
yang menyatakan bahwa penguasaan dan pemilikan tanah tidak meliputi
penguasaan dan pemilikan benda-benda di atas tanah (bangunan, tanaman, benda
bernilai ekonomis lainnya). Jadi pemilik tanah, tidak otomatis menjadi pemilik
benda-benda yang terdapat di atasnya. Oleh karena itu, jika di dalam suatu jual
beli atas [sebidang tanah] juga
dimaksudkan meliputi benda-benda yang ada di atas tanah (misalnya bangunan dan
tanah), maka hal itu harus dinyatakan secara tegas di dalam akta jual beli
dimaksud. (Oloan Sitorus dan Zaki Sierrat, Hukum Agraria Di Indonesia Konsep
Dasar dan Implementasinya, Jogjakarta, MKTI, 2006, hlm. 69
0 komentar:
Posting Komentar