PROPOSAL
PENELITIAN
Pilihan-Pilihan
Hukum Dalam Penyelesaian Konflik Pertanahan
(Studi
Kasus Sengketa Tanah Sri Wedari Kota
Surakarta)
Oleh
Sarjita, Dkk.
A. Latar Belakang Masalah
Dalam
upaya memperkuat dimensi keadilan di semua bidang, pembangunan yang adil dan
merata, serta dapat dinikmati oleh seluruh komponen bangsa di berbagai wilayah
Indonesia akan berpengaruh pada peningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam
pembangunan, mengurangi gangguan keamanan, serta menghapuskan potensi konflik sosial untuk tercapainnya Indonesia
yang maju, mandiri dan adil.
Dalam
memperkuat dimensi keadilan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia telah
menetapkan Agenda IV Penegakan Hukum sebagaimana tertuang dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun
2010-2014. Dalam RPJM tersebut ditegaskan bahwa wujud dari penegakan hukum (rule of law)[1]
adalah munculnya kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena kepastian
hukum akan memberikan rasa aman, rasa adil dan kepastian berusaha bagi
masyarakat. Di samping itu juga akan
berdampak positip pada perbaikan iklim
investasi yang pada giliranya akan memberi dampak positip pada perekonomian
Indonesia.
Sasaran
proses penegakan hukum yang merupakan upaya memperkuat dimensi keadilan
tersebut akan tercermin dari persepsi
masyarakat pencari keadilan untuk merasakan kenyamanan, kepastian, keadilan dan
keamanan dalam berinteraksi dan mendapat pelayanan dari para aparat penegak
hukum (hakim, jaksa, kepolisian, advokat). Di sisi lain diharapkan semakin
berkembang kualitas kebebasan pelaksanaan hak-hak sipil (civil rights)[2]
dan hak-hak politik rakyat yang semakin seimbang dengan peningkatan kepatuhan
terhadap pranata hukum.
Untuk
memperkuat dimensi keadilan di bidang pertanahan, proses penegakan hukum
khususnya penanganan dan penyelesaian masalah, konflik dan sengketa serta
perkara pertanahan idealnya juga harus dilakukan secara efektif, efisien, serta
menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi dan demokrasi.[3]
Perjuangan atau pergulatan untuk memperkuat dimensi
keadilan dalam penanganan dan penyelesaian masalah, konflik dan sengketa serta
perkara pertanahan bukanlah merupakan suatu hal yang mudah untuk dicapai, apalagi
diwujudkan. Hal ini, didasarkan pada
pertimbangan, bahwa bekerjanya hukum di dalam masyarakat dipengaruhi oleh
berbagai faktor non hukum seperti: politik,
ekonomi, social, budaya, dan
pertanahan keamanan. Oleh karena itu, dalam pergulatan untuk memperkuat dimensi
keadilan yang terkait dengan penanganan
dan penyelesaian masalah, konflik dan sengketa serta perkara pertanahan
diperlukan pilihan-pilihan hukum, apakah
akan memilih untuk menerapkan kaidah-kaidah Hukum Perdata, Pidana, Administrasi
Negara/Tata Usaha Negara, Hukum Adat ataukah Hukum Islam.
Sebagai
contoh pada penanganan dan penyelesaian kasus sengketa tanah Taman Sri Wedari
Kota Surakarta. Penanganan dan penyelesaian Sengketa Tanah Sri Wedari di
Kelurahan Sri Wedari Kecamatan Laweyan Kota Surakarta antara Pemerintah Kota
Surakarta dengan Ahli Waris KRT. Wirjodiningrat, meskipun sudah terbit putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), ternyata dalam perkembangannya belum
memberikan tanda-tanda akan berakhirnya atau tuntasnya persoalan konflik
tersebut. Pilihan hukum yang dilakukan
oleh Ahli Waris KRT. Wirjodiningrat dengan menempuh prosedur penyelesaian
melalui 2 (dua) pilihan hukum, yaitu melalui gugatan perdata di PN Surakarta menyangkut
status kepemilikan dan gugatan di PTUN Semarang menyangkut syah atau tidaknya
prosedur penerbitan tanda bukti kepemilikan hak atas tanah (Sertipikat).
Proses
penyelesaian sengketa tanah Sri Wedari melalui gugatan dengan menerapkan
pilihan hukum perdata telah berlangsung sejak Tahun 1975-1983 sejak bergulirnya
gugatan Perkara Perdata Nomor 147/1970 tertanggal 29 Agustus 1975, sedangkan
proses melalui pilihan hukum administrasi Negara/tata usaha Negara berlangsung sejak
tahun 2003-2006 melalui gugatan Nomor
75/G/TUN/2002/PTUN-Smg tertanggal 9 Juni 2003 yang kemudian dilanjutkan proses Peninjauan
Kembali (PK) di Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI). Dalam upaya
penanganan dan penyelesaian konflik tanah Sri Wedari tersebut, pernah pula dilakukan pilihan
penyelesaian yang bersifat non hukum, yaitu melalui upaya Mediasi[4] yang difasilitasi oleh Komisi IV DPRD Kota
Surakarta.
Terhadap
upaya permohonan Peninjauan Kembali (PK) oleh Pihak Pemkot Surakarta dan Kantor
Pertanahan Kota Surakarta tersebut, berdasarkan Solopos. Com, PK resmi ditolak.[5]
Namun demikian, ternyata pilihan-pilihan hukum dalam penanganan dan
penyelesaian sengketa tanah Sri Wedari tersebut, belum lagi menunjukan
tanda-tanda akan berakhirnya pergulatan untuk meraih keadilan. Kondisi belum tuntasnya sengketa tersebut
tercermin dari aspek yuridis dan sosial budaya sebagai berikut:
1. Meskipun
sudah ada pelaksanaan putusan (eksekusi) Perkara Perdata Nomor 3000 K/Sip/1981
tertanggal 17 Maret 1983 pada bulan April 1984 antara Ahli Waris KRT dengan
Pemkot Surakarta. Wirjodiningrat,
ternyata sengketa muncul kembali dengan
Perkara Sengketa TUN Nomor 75/G/TUN/2002/PTUN-Smg tertanggal 9 Juni 2003
antara Ahli Waris KRT. Wirjodiningrat sebagai Penggugat dengan Kantor
Pertanahan Kota Surakarta sebagai Tergugat.
2. Perkara
Sengketa TUN Nomor 75/G/TUN/2002/PTUN-Smg telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
karena telah diterbitkan Putusan Kasasi Nomor 125 K/TUN/2004 tertanggal 2
Pebruari 2004.
3. Kantor
Pertanahan mengajukan PK ke MA-RI. Meskipun ada upaya hukum PK oleh Kantor
Pertanahan Kota Surakarta, tentunya PK tidak menunda pelaksanaan Isi Putusan. Oleh karena itu dalam rangka
melaksanakan isi putusan MA Nomor
125K/TUN/2004 tersebut, Kantor Pertanahan Kota Surakarta mengajukan
permohonan pembatalan Sertipkat HP Nomor 11 dan Nomor 15 ke BPN-RI.
4. Sementara
itu dari sisi budaya, Taman Sri Wedari sudah menjadi milik (ruang)
publik/masyarakat dan cagar budaya.[6]
Bahkan telah menjadi salah satu ikon Kota Solo.[7]
Sengketa
Sri Wedari Makin Ruwet:[8]
Belum lagi usai perselisihan antara ahli
waris KRT. Wirjodiningrat dengan Pemkot Solo, kini muncul masalah baru. H.M.
Jaril yang sebelumnya menjadi kuasa hukum Ahli Waris KRT. Wirjodiningrat
mengklaim telah membeli tanah Sri Wedari dari kliennya seharga Rp. 27,5
miliar. Meskipun informasi tersebut
kemudian dibantah oleh Sdr. Gunadi sebagai Ahli Waris KRT Wirjodingrat,[9]
bahwa tanah tersebut tidak pernah dijual
kepada H.M. Jaril, karena HM. Jaril
selaku kuasa hukum Ahli Waris KRT. Wirjodiningrat telah dicabut dari
kedudukanya sebagai penerima kuasa melalui Akta Notaris tertanggal 4 Desember
2009.
Memperhatikan
uraian kasus sengketa tersebut di atas,
meskipun dalam penanganan dan penyelesaian konflik tanah Sri Wedari,
para pihak telah mengambil sikap untuk melakukan pilihan-pilihan hukum (perdata
dan/atau administrasi Negara/tata usaha Negara), namun ternyata belum menunjukan
adanya tanda-tanda akan berakhir atau selesainya konflik tanah dimaksud.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka peneliti dalam penelitian ini memilih
untuk merumuskan judul: Pilihan-Pilihan Hukum Dalam Penyelesaian Konflik Tanah
(Studi Sengketa Tanah Sri Wedari).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
proses penanganan dan penyelesaian konflik tanah Sri Wedari?.
2.
Apakah pilihan-pilihan hukum yang telah
ditempuh oleh para pihak dapat menyelesaikan akar permasalahan konflik tanah
Taman Sri Wedari?.
3.
Apakah masih memungkinkan dilakukan
pilihan-pilihan hukum lain yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam upaya
penyelesaian konflik tanah Sri Wedari?.
C. Maksud dan Tujuan Penelitian
1. Maksud
Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk melukiskan
atau menguraikan bagaimana proses penanganan dan penyelesaian konflik, keberhasilan
pilihan-pilihan hukum yang telah ditempuh oleh para pihak menyelesaikan
konflik, beserta pilihan-pilihan hukum lain yang masih memungkinkan untuk
ditempuh oleh para pihak dalam mengakhiri konflik tanah Sri Wedari.
2.
Tujuan
Penelitian
a. Untuk
mengetahui bagaimana proses penanganan dan penyelesaian konflik tanah Sri
Wedari yang sampai saat ini belum
menunjukan adanya tanda-tanda akan berakhir/selesai.
b. Untuk
mengetahui apakah pilihan-pilihan hukum yang telah ditempuh oleh para pihak tersebut
dapat menyelesaikan akar permasalahan konflik yang bersangkutan;
c. Untuk
mengetahui apakah masih terbuka alternatif pilihan-pilihan hukum lain, misalnya
menerapkan pilihan hukum adat, Islam, atau pidana.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi
peneliti hasil penelitian merupakan upaya dalam meningkatkan pemahaman secara
menyeluruh dan lebih baik sehubungan dengan pengertian, implementasi kebijakan
penanganan dan penyelesaian konflik pertanahan serta pilihan-pilihan hukum yang
tepat dalam memperkuat dimensi keadilan di bidang pertanahan.
2. Bagi Institusi, hasil penelitian ini akan
bermanfaat sebagai bahan masukan (imput) dalam perumusan kebijakan penangangan
dan penyelesaian konflik di bidang pertanahan khususnya dan penegakan hukum (rule of Law) pada umumnya.
E. Kerangka Pemikiran Teoristis dan
Konseptual
1.
Konflik
Pertanahan dan/atau Konflik Agraria
Menurut
Boedi Harsono,[10]
bahwa hukum tanah bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya. Ia hanya mengatur
salah satu aspek yuridisnya yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah. Dengan
demikian hukum tanah adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan tanah sebagai satu kesatuan yang merupakan sistem. Lebih lanjut
Beliau menyatakan bahwa dalam hukum tanah kita sebutan “tanah” dipakai dalam
arti yuridis, sebagai suatu pengertian
yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA. Tanah dalam pengertian
yuridis adalah permukaan bumi (Pasal 4 ayat (1) UUPA), sedang hak atas tanah
adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berdimensi dua dengan
ukuran panjang dan lebar.
Penegrtian Hukum Agraria dapat dilihat
dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit hukum agrarian dapat diartikan
tanah dan dapat pula diartikan hanya tanah pertanian. Pengertian Agraria dalam arti luas dapat dilihat dalam
UUPA. Menurut Undang-undang in,i agraria meliputi bumi, air, dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan al;am yang terkandung di dalamnya. UUPA menentukan bahwa
dalam pengertian bumi, selain permukaan
bumi termasuk tubuh bumi, di bawahnya serta yang berada di bawah air
(Pasal 1 butir 4). Pengertian air termasuk perairan pedalaman maupun laut
wilayah Indonesia (Pasal 1 butir 5). Sedangkan yang dimaksud ruang angkasa
meliputi ruang di atas bumi dan air (Pasal 1 butir 6).
Pengertian
tanah telah membawa implikasi yang luas di bidang pertanahan. Menurut Herman
Sosangobeng dalam Oloan Sitorus,[11]
secara filosofis hukum adat melihat tanah sebagai benda berjiwa yang tidak
boleh dipiosahkan persekutuannya dengan manusia. Tanah dan manusia, meskipun
berbeda wujud dan jatidiri, namun merupakan satu kesatuan yang saling
mempengaruhi dalam jalinan susunan
keabadian tata alam besar (macro-cosmos)
dan alam kecil (micro-cosmos). Dalam
pada itu, tanah dipahami secara luas, sehingga meliputi semua unsure bumi, air,
udara, kekayaan alam, serta manusia sebagai pusat, maupun roh-roh di dalam supranatural yang terjalin secara
tuh menyeluruh.
Pandangan
yang melihat tanah secara utuh
menyeluruh (holistic) ini
ketika akan dijabarkan ke dalam azas dan pranata hukum, tampaknya mengalami
dinamika dan modifikasi. Sebagai contoh dalam penguasaan dan pemilikan tanah
dikenal azas pemisahan horizontal (horizontale
scheiding),[12] yaitu suatu azas
yang menyatakan bahwa pemilik tanah tidak otomatis sebagai pemilik benda-benda
yang ada di atas tanah. Sementara itu Negara Anglosakson yang mengartikan tanah
sebagai (land) sebagai permukaan
bumi, tubuh bumi, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam tubuh bumi, maka
azas penguasaan pemilikan tanahnya-pun mengenal azas perlekatan (azas natrekking atau azas accessie)[13]
sebagaimana tertuang dalam Pasal 570 KUH Perdata, yaitu azas yang menyatakan
bahwa pemilik benda-benda di atas tanah pada prinsipnya juga melekat pada
pemilikan tanah. Oleh karena itu, dalam konstek UUPA, yaitu Pasal 4 ayat (1)
mengartikan bahwa tanah yang hanya permukaan bumi (the surface of the earth) membawa konsekuensi, hak atas tanah pun
secara hukum adalah hak atas permukaan
bumi, tidak termasuk sekaligus merupakan hak atas benda-benda di atas tanah dan
kekayaan alam di tubuh bumi.
Sebagai
perbandingan, pengertian tanah menurut Simson (1975:5) dalam Sarjita,[14]
menurut Hukum Inggris: tanah tidak dipandang hanya terdiri atas permukaan bumi,
akan tetapi juga dianggap termasuk segala sesuatu yang melekat padanya, dan
juga udara yang terdapat di atasnya sampai ke langit, serta apa saja yang
terletak di bawahnya sampai pusat bumi, termasuk pula tanah yang meliputi air
dan karena itu bahkan dasar laut-pun adalah tanah.
Selanjutnya
Boedi Harsono[15]
menyatakan bahwa Hukum Agraria dalam UUPA bukan hanya satu perangkat bidang
hukum, melainkan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing
mengatur hak penguasaan atas sumber-sumber dalam alam tertentu yang termasuk
pengertian sebagaimana yang diuraikan dalam UUPA.
Adapun
yang termasuk kelompok kajian bidang Hukum Agraria dimaksud meliputi: 1) Hukum
Tanah; 2) Hukum Pertambangan; 3) Hukum Perikanan; 4) Hukum Penguasaan Atas
Tenaga dan Unsur-Unsur Dalam Ruang Angkasa (bukan Space Law); dan 5) Hukum Kehutanan.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa, hukum tanah merupakan salah satu bagian dari
kajian kelompok bidang hukum agraria, karena ternyata masih ada kajian bidang
hukum lainnya.
Kemudian,
jika diuraikan lebih lanjut maka hak-hak atas tanah yang akan menjadi objek
penguasaan/pemilikan baik oleh perorangan maupun kelompok orang, dan badan
hukum terdiri dari: a) Hak Milik meliputi Hak Milik yang sudah terdaftar maupun
Hak Milik Adat yang belum terdaftar sebagaimana ditentukan dalam Pasal 56 UUPA;
b) Hak Guna Usaha; c) Hak Guna Bangunan; d) Hak Pakai; e) Hak Sewa; f) Hak
Membuka Tanah; g) Hak Memungut Hasil Hutan; h) Hak-hak lain yang tidak termasuk
dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang (UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang HM Sarusun,
UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda
yang terkait dengan tanah, serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang
disebutkan dalam Pasal 53 UUPA).
Tanah
menjadi pusat objek kajian yang utama, karena tanah itu mewadahi semuanya. Hal ini
mengingat kata “agraria” berasal dari
bahasa Latin “agrarius” yang
merupakan pengembangan dari akar kata “ager”
yang berarti tanah pertanian (perladangan, persawahan), atau “akker”. Jadi agrarian adalah segela
sesuatu yang berhubungan dengan lahan atau ladang pertanian. Dalam
perkembangannya, pengertian agrarian mempunyai makna yang lebih luas, serta
ditujukan juga terhadap tanah-tanah selain lahan pertanian.
Contoh
konflik tanah: Hasil penelitian Douglas Kammen[16]
(Doktor lulusan Cornell Amerika University) yang berjudul “Kekerasan dan
Media Massa” menyimpulkan bahwa Pembantaian Dukun Santet sebanyak ± 100 orang
di Kabupaten Banyuwangi dan kemudian menyebar ke berbagai kabupaten di Daerah
Jawa Timur (Jember, Malang, Bagian Selatan, Situbondo, Pasuruan) pada tahun
1998 ternyata dilator-belakangi soal/masalah pertanahan (pengalihan fungsi
tanah, sistem bagi hasil antara pemilik tanah dengan penggarap, kepemilikan
tanah dengan tuan-tuan tanahnya (landlord). Hal sejenis juga pernah terjadi di
wilayah Provinsi Jawa Barat, tepatnya di Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut
dan Cianjur. Hasil kesimpulan menyatakan
bahwa 2/3 korban adalah para pemilik tanah. Sedangkan sisanya adalah
orang-orang yang mengambil kesempatan membala dendam atau melampiaskan
kebencian dengan menafaatkan memonetum dukun santet.
2.
Tipologi
Konflik/Sengketa Pertanahan/Agraria
a. Berdasarkan
Lampiran 01/Juknis/D.V/2007 tentang Juknis Penangangan dan Penyelesaian
Sengketa Pertanahan Keputusan Kepala BPN
Nomor 34 Tahun 2007 dilakukan tipologi sengketa pertanahan yang terdiri atas:
1) Penguasaan dan Pemilikan tanah; 2) Penetapan hak dan Pendaftaran tanah; 3)
Batas dan Letak Bidang Tanah; 4) Pengadaan Tanah; 5) Tanah Objek Landreform; 6)
Tuntutan Ganti Rugi Tanah Partikelir; 7) Tanah Ulayat; 8) Pelaksanaan Putusan
Pengadilan.
b. Berdasarkan
Maria S.W. Sumardjono,[17]
terdiri atas: 1) Sengketa di atas tanah
Perkebunan; 2) Sengketa di atas tanah Kawasan hutan; 3) Sengketa di atas tanah
yang telah dibebaskan oleh Pengembang Perumahan/Perkantoran/Kawasan Industri,
dll.; 4)Sengketa di atas tanah Objek Landreform; 5) Sengketa di atas tanah
bekas tanah Partikelir Eks. UU Nomor 1 Tahun 1958; 6) Sengketa di atas tanah bekas Hak barat; 7)
Sengketa di atas tanah yang dikuasai oleh TNI-ABRI; 8) Sengketa antara
masyarakat dengan PT. KAI, PT. Pelindo, dll.; 9) Sengketa-sengketa lain yang
terkait dengan pendaftaran tanah yang berasal dari tumpang tindih girik dan
eigendom yang berasal dari pelaksanaan putusan pengadilan. Adat.
c. Berdasarkan
Hasil Penelitian Litbang Harian Kompas dalam Sarjita[18],
tipologi sengketa/konflik Tanah/Agraria terdiri atas: 1) Sengketa Perkebunan;
2) Sengketa Kawasan Hutan; 3) Sengketa Kawasan Perumahan; 4) Objek Landreform; 5) Sengketa Hak dan Batas;
6) Sengketa Putusan Pengadilan;
3.
Bekerjanya
Hukum Dalam Penyelesaian Konflik Di Masyarakat
Dalam
kaitannya dengan berlakunya hukum, Soerjono Soekantor, Poernadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto,[19]
Sudikno Mertokusumo[20]
menjelaskan bahwa di dalam teori-teori hukum, biasanya dibedakan antara tiga
macam hal yang berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal berlakunya hukum tersebut
biasanya disebut “gelding” (bahasa
Belanda atau “geltung” (bahasa
Jerman). Berlakunya kaidah hukum di
dalam masyarakat harus memenuhi atau
berdasarkan anggapan-anggapan (asumsi) sebagai berikut: a) Hukum berlaku
secara yuridis (Juristiische Geltung),
apabila penentuan di dasarkan pada
kaidah yang lebih tinggi tingakatannya (H. Kelsen) atau bila terbentuk menurut
cara yang telah ditetapkan (W. Zeverbergen), atau apabila menunjuk hubungan
keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya (J.H.A. Logemann); b) Hukum
berlaku secara sosiologis (Soziologische
Geltung), apabila kaidah hukum tersebut efektif. Artinya kaidah tersebut
dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa, walaupun diterima atau tidak
diterima oleh masyarakat (Teori Kekuasaan/Machttheorie:
Gustav Radbruch), atau kaidah tadi berlaku karena diterima atau diakui oleh
masyarakat (Teori Pengakuan/Annerkennungstheorie:
Gustav Radbruch; c) Hukum tersebut berlaku secara filosofis (Filosofiche Geltung) Artinya
sesuaidengan cita-cita hukum (Rechtidee) sebagai nilai npositip yang tertinggi.
Sedangkan menurut Selo Soemardjan dalam
Satjipto Rahardjo,[21]
dinyatakan bahwa efektivitas hukum berkaitan erat dengan factor-faktor sebagai
berikut: a) Usaha-usaha menanamkan hukum di dalam masyarakat, yaitu penggunaan
tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metode agar warga masyarakat
mengetahui, menghargai, mengakui dan mentaati hukum; b) Reaksi masyarakat yang
didasarkan pada sistem nilai-nilai yang berlaku. Artinya masyarakat mungkin
menolak atau menentang atau mungkin mematuhi hukum karena compliance, identification, internalization atau
kepentingan-kepentingan mereka terjamin pemenuhannya; c) Jangka waktu penanaman
hukum, yaitu panjang pendeknya jangka waktu di mana usaha-usaha menanamkan itu
dilakukan dan diharapkan member hasil.
Analisis
bekerjanya hukum menurut Robert B. Seidman dalam Satjipto Rahardjo[22],
menyatakan dalil-dalil sebagai berikut: a) Pembentukan atau pembuatan hukum
yang dibedakan menjadi 2 (dua) model masyarakat. Pertama masyarakat yang
berbasis akar nilai-nilai (value
concensus). Kedua model masyarakat yang bterbentuk dalam nuansa konflik
atau pertentangan nilai-nilai tersebut. b) Bekerjanya Hukum Di Bidang
Pengadilan, Pada masyarakat dengan model yang dilandasi atau berbasis akan
nilai-nilai (vaue concensus), maka
pranata pengadilannya tentunya tidak serumit yang terdapat pada masyarakat yang
berlandaskan pada nilai-nilai yang berbeda atau konflik.; c) Pelaksanaan Hukum, yaitu terkait dengan
apakah bentuk peraturan yang telah diundangkan itu mengungkapkan pola tingkah
laku sosial yang ada pada waktu itu: 1) Apakah yang dikatakan oleh pengadilan
(putusan) itu sama dengan yang dilakukan olehnya; ataukah 2) Apakah tujuan yang
secara tegas dikehendaki oleh suatu peraturan itu sama dengan efek peraturan
itu dalam kenyataannya.
[1] Konsep “Rule of Law”, didasarkan pada ketentuan
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan Ke-III yang disahkan pada tanggal 10
November 2001. Konsep tersebut merupakan
satu-satunya cara untuk mempraktekan “negara berdasar hukum”. Meskipun konsep “rule of law” berstruktur sosiologis atau mempunyai asal
usul sosialnya sendiri, yakni berakar sosial dan berakar budaya Eropa. Oleh karena itu, menurut Ketua MA RI (Prof. Dr. H. Bagir Manan , S.H.,
M. C.L.) konsep “Rule of Law”, yang dipahami sebagai “Negara berdasar hukum”,
harus dibangun berdasar hukum yang berakar sosial dan budaya Indonesia. Bahkan
harus Back to law and order, yakni
mengupayakan agar arah dan watak dari sistem hukum yang dikembangkan di
Indonesia harus benar-benar menjadi
hukum Indonesia. Harus pul dicarikan
doktrin-doktrin alternative, seperti doktrin Rule of Moral atau Rule of Justice, atau di Introduksi menjadi
doktrin Rule of Pancasila. (A.M.
Mujahidin, Studi Kritis Makna Rule Of
Law Atas Negara Berdasar Hukum Di Indonesia (Varia Peradilan Nomor 261
Agustus 2007): 43-50.
[2] Konsep
hak-hak sipil (civil rights)
berhubungan dengan pemikiran dan tingkah laku kelompok masyarakat, pemerintah, individu untuk saling
memperlakukan sesama dengan adil.
Sedangkan menurut John Locke (1632-1704) ,menyatakan bahwa hak-hak sipil
berhubungan dengan hak-hak alamiah (natural
rights), yaitu setiap manusia diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah
yang tidak dapat lepas, diantaranya hak hidup, kemerdekaan, hak milik, dan hak
untuk mengusahakan kebahagiaan. (Valentinus Miharso, (2009), Perjuangan Hak-Hak Sipil Di Amerika Dan
Implikasinya Bagi Indonesia Membongkar Pemikiran Martin Luther King JR. Dan
Malcolm X, Yogyakarta, Sekolah pasca Sarjana UGM: 37.
[4] Upaya Mediasi Tunggu Putusan PK, .http//www. Harian Suara
Merdeka (20 Desember 2006).
[5] Sengketa Sri Wedari, PK BPN Resmi Di Tolak. http//www.
Solopos.com (7 Oktober 2009).
[8] Sengketa Sri Wedari Makin Ruwet. >http://www.Batavia.co.id (7
Januai 2010).
[9] Ahli Waris Bantah Jual Tanah Sri Wedari. >http//www. Finrol
Lifesteal (10 Januari 2010).
0 komentar:
Posting Komentar