Penguasaan
Dan Pemilikan Tanah dan Hunian Rumah Oleh Orang Asing[1]
Oleh
Sarjita, S.H., M. Hum.[2]
Pendahuluan
Seperti
kita maklumi bahwa, pemenuhan hak dasar rakyat yang telah diamanatkan dalam
konstitusi Negara Kita (UUD 1945),
merupakan fokus utama dalam era pemerintahan sekarang ini. Bangsa Indonesia
akan mempunyai pondasi yang kokoh apabila warga negaranya terlebih dahulu
terpenuhi kebutuhan dasarnya bagi kehidupan yang manusiawi. Salah satu hak
dasar yang diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) adalah bahwa: “Setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Telah
kita ketahui bersama juga, bahwa tanah (tempat
tinggal) dan/atau rumah merupakan
kebutuhan dasar bagi setiap manusia dalam meningkatkan harkat, martabat, mutu
kehidupan dan penghidupan, serta sebagai pencerminan diri pribadi dalam upaya
peningkatan taraf hidup, kepribadian dan peradaban bangsa. Rumah merupakan pusat
pendidikan keluarga, persemaian budaya, penyiapan generasi muda, serta menjadi
roda penggerak pembangunan ekonomi nasional.
Oleh
karena itu, Pemerintah yang dalam hal ini melalui Badan Pertanahan RI dengan telah
merumuskan 11 Agenda Prioritas. Salah satunya yaitu mengenbangkan dan
memperbaharui politik, hukum dan kebijakan pertanahan, yang dibingkai dalam
sebuah kebijakan berupa Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang
merupakan salah satu perwujudan dari Reforma Agraria (RA). Sementara itu di Sektor
Perumahan oleh Kementerian Perumahan Rakyat juga telah dikembangkan beberapa
kegiatan yang berdampak positip bagi Pemerintah, stakeholder dan masyarakat yang berupa, Deklarasi gerakan Nasional
Pengembangan Sejuta Rumah oleh Presiden RI
pada tahun 2003, dan Pemancangan Pertama Pembangunan Rumah Susun
Sederhana di Pulo Gebang oleh Presiden RI Tahun 2007 yang lalu, sebagai tanda
dimulainnya program pembangunan rusuna seribu menara.
Di samping sedang giat-giatnya
Pemerintah melakukan upaya pembangunan permukiman (tanah/tempat tinggal dan/atau rumah) tersebut, di sisi lain muncul persoalan
sehubungan
dengan penguasaan dan pemilikan tanah oleh orang asing yang terus berkembang
selaras dengan semakin meningkatnya kehadiran orang asing di Indonesia.
Keinginan orang asing untuk dapat mempunyai tanah Hak Milik secara normatif
jelas dan telah ditegaskan tidak mungkin
diakomodasi di dalam Peraturan Perundang-undangan Negara Kita. Hal tersebut
merupakan penerapan prinsip nasionalitas
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA). Namun
demikian, dalam kenyataannya sering terjadi perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang asing bertentangan/menyimpang
dengan semangat nasionalisme dimaksud.
Dari
hasil penelusuran di Media Cetak dan
Elektronik diperoleh informasi bahwa:
a. Ketua Umum DPP REI (Teguh Satria dan Prof. DR. Maria Wulani Sumardjono,
SH., M. CL., MPA sudah mengajukan draf
usulan revisi PP Nomor 41 Tahun 1996 dan kepada Menteri Perumahan Rakyat dan
BPN. PP Nomor 41 Tahun 1996
tersebut belum cukup komprehensif
mengatur tentang hak atas tanah beserta bangunan untuk orang asing. (Aturan Kepemilikan Asing Terbit Akhir Tahun
2008, 21 juni 2008.)
b. Bakal direvisinya PP Nomor 41 Tahun 1996 tentang Kepemilikan
Properti bagi orang asing menjadi perhatian serius pengembang perumahan.
Pasalnya PP itu yang membatasi hak atas tanah orang asing selama 25 tahun
membuat pengembang kesulitan menggarap pasar orang asing. Menurut Henry J,
Gunawan (Direktur Utama PT. Surya Inti Permata) Keberadaan PP Nomor 41 tahun
1996 menjadikan orang asing lebih memilih sewa rumah atau tinggal di apartemen
sewa. Pada hal jumlah mereka di Jawa
Timur saat ini mencapai kisaran 10.000 orang. (Serius Bidik Orang Asing, Pengembang Menunggu Revisi Kepemilikan
Properti: Harian Surya Surabaya, 27
Pebruari 2009).
c. Hukum di Indonesia Memang ruwet. PP Nomor 41 Tahun 1996 tentang
Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan Di
Indonesia. Rumah Susun (Apartemen) yang boleh dibeli oleh Warga Asing
hanyalah yang dibangun di atas tanah Hak
Pakai Atas Tanah Negara. Sementara pada umumnya apartemen dibangun di atas
tanah dengan Hak Guna Bangunan. Ironisnya,
makin banyak jenis hak atas tanah, makin lebar celah “penyelundupan” hukum di
Indonesia. Banyak terjadi dan udah
menjadi rahasia umum, kepemilikan asing atas property terjadi dengan atas nama
pasangan atau teman berwarga Negara Indonesia, yang “dilegalkan” dengan
pemberian kuasa di antara mereka. Oleh karena itu PP Nomor 41 Tahun 1996
perlu segera direvisi. (Haryo Damardono,
Ruwet, Hukum Tanah Di Indonesia: Kompas, 4 Pebruari 2010.)
d. Saat ini tercatat sekitar
85.000 orang asing yang tersebar di Indonesia,
adapun kemampuan pengembang untuk membangun dan menyediakan apartemen atau
kondominium sekitar 10.000 unit. Ini merupakan prospek yang luar biasa. Oleh karena itu harus diarhkan pada kepemilikan kondominum dan apartemen mewah
dengan persyaratan: 1) Dari sisi lokais/letak bangunan bukan
apartemen atau kondominum yang terletak di Ground floor, tapi di lantai 2 ke
atas; 2) Dari Kuantitas, maksimal yang boleh dimiliki hanya 2 unit; 3) Dari Nilai
apartemen atau kondomium hanya boleh yang
masuk dalam katagori mewah, yaitu berkisar
Rp. 3-5 milyar. (Irwan Nurhadi,
Pengamat Properti dari Universitas Taruma Negara: “Batasan Kepemilikan Properti
Asing Harus Jelas”, Harian Sinar Harapan, 6 Pebruari 2010).
e. orang. (Serius Bidik Orang
Asing, Pengembang Menunggu Revisi Kepemilikan Properti: Harian Surya Surabaya, 27 Pebruari 2009).
Sehubungan dengan beberapa persoalan yang menyangkut regulasi dan
implementasi kepemilikan tanah dan rumah hunian bagi orang asing tersebut, maka
pada kesempatan ini akan dilakukan
kajian dan pembahasan sebagai berikut:
1.
Apa
makna atau arti dari penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah?.
a. Penguasaan menurut Prof. DR. Satjipto Rahardjo, SH., merupakan
karakteristik suatu masyarakat pra hukum
dan bersifat faktual (mementingkan kenyataan pada suatu saat). Hubungan yang
nyata antara seseorang dengan barang yang ada dalam kekuasaannya. Dalam hal ini
terkandung 2 unsur, yaitu 1) kenyataan bahwa suatu barang itu berada dalam
kekuasaan seseorang (corpus possessionis); 2)
sikap batin orang yang bersangkutan untuk menguasai dan menggunakannya (animus posidendi). Cara untuk memproleh penguasaan
dapat dilakukan melalui 2 jalan, yaitu: 1) tanpa ada persetujuan penguasa atau
yang menguasai sebelumnya; 2)
berdasarkan penyerahan, merupakan cara penguasaan atas suatu barang dengan
adanya persetujuan dari penguasa atau yang menguasai sebelumnya.
b. Pemilikan mempunyai sosok
hukum yang lebih jelas dan pasti apabila dibandingkan dengan pengertian
penguasaan. Dalam penguasaan tanpa perlu
menunjuk pada hukum. Terkandung di dalamnya
kompleks hak-hak, yang kesemuanya dalam digolongkan ke dalam ius is rem, karena
berlaku terhadap setiap orang. Karakteristik dari kepemilikan (Fitzgerald
dalam Satjipto Rahardjo) yaitu: 1) Pemilik mempunyai hak untuk
memiliki barangnya, meskipun empunya tidak memegang atau menguasai barang, oleh
karena itu telah direbut daripadanya oleh orang lain. Maka hak atas barang itu
tetap ada pada pemegang (empunya) hak semula. 2) Pemilik mempunyai hak untuk
menggunakan dan memanfaatkan serta menikmati barang yang dimilikinya;
3)Pemilikan mempunyai cirri tidak mengenal jangka waktu; 4) Pemilikan mempunyai
cirri yang bersifat sisa. Seorang yang memiliki tanah dapat menyewakan tanahnya
kepada orang lain, dan dapat pula memberikan sesuatu hak di atas hak miliknya (Contoh dengan Hak Guna Bangunan atau Pakai) kepada
pihak lain, serta memberikan hak untuk melintasinya kepada pihak lain, sedang
ia tetap memiliki hak atas tanah itu yang terdiri dari sisanya sesudah hak-hak
itu diberikan kepada pihak lain. 5) hak untuk mengalihkan kepada pihak lain.
Hal tersebut tidak dipunyai oleh orang yang menguasai barang, karena adanya azas memo dat quat nonhabet.
c. Penggunaan adalah wujud
tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia
d. Pemanfaatan adalah
kegiatan untuk mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah wujud fisik penggunaan
tanahnya
2. Bagaimana konsep
Kepemilikan dalam Hukum Islam?
Asas
dalam hukum Islam menekankan bahwa tanah adalah milik Allah. Oleh karena itu,
pandangan Hukum Islam tentang kepemilikan tanah
sangat berbeda jauh dengan konsep kepemilikan tanah dalam pandangan
kapitalisme, sosialisme dan komunisme. Perbadaanya terletak pada hakekat
kepemilikan yang sesuangguhnya atas tanah, di mana Islam tidak mengenal adanya
kebabasan kepemilikan secara mutlak karena pada dasarnya setiap perilaku
manusia harus dalam kerangka hukum Allah sebagai pencipta dan pemilik yang
sesungguhnya terhadap tanah. Islam mengatur secara rinci mengenai cara
perolehan dan pemanfaatan kepemilikan.
Dalam
kaitan ini Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (dalam) Jamaludin Mahasasri, 2008:
92-93, membedakan ke dalam 3 (tiga) jenis kepemilikan terhadap tanah, yaitu:
a.
Kepemilikan Individu (Milkiyyah
Fardiyyah). Syariat mmengatur kepemilikan individu dengan mendasarkan pada
5 (lima) cara terjadinya kepemilikan
tanah. 1) Bekerja (al-‘amal) salah satunya dengan cara atau upaya menghidupkan
tanah mati (terlantar); 2) Warisan (al-irts). Warisan harta termasuk di dalamnya
adalah tanah; 3) Keperluan harta
untuk mempertahankan hidup. Harta termasuk tanah mutlak diperlukan
seseorang untuk mempertahankan hidup; 4) Pemberian Negara (Itha’al-daulah).
Pemberian tanah oleh seseorang disertai persyaratan yang bersifat wajib, yaitu
mengolah (menghidupkan) atau tidak menelantarkan tanah; 5) Harta yang diperoleh
individu tanpa berusaha seperti hibah, hadiah, wasiat dsbnya.
b.
Kepemilikan Umum (Milkiyyah
‘Ammah). Adalah bentuk kepemilikan yang dimiliki oleh masyarakat dalam menafaatkan suatu kekayaan yang berupa
barang yang mutlak diperlukan dalam hajat hidup orang banyak secara
bersama-sama;
c.
Kepemilikan Negara (Milkiyyah
Dauliyyah) adalah bentuk kepemilikan terhadap harta yang pengaturan
pemanfaatannya di tangan khalifah sebagai kepala Negara. Termasuk kategori ini
adalah harta ghanimah, fa’I, kharaj,
jizyah, harta yang tidak memiliki ahli waris dan tanah milik Negara.
3. Bagaimanakah regulasi penguasaan dan kepemilikan tanah dan
rumah hunian oleh orang asing?.
a.
UU Nomor 5 Tahun 1960,
yaitu: 1) Pasal 42 UU Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan bahwa: Yang
dapat mempunyai hak pakai ialah: a. warga Negara Indonesia; b. orang asing yang berkedudukan di
Indonesia; c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia; d. badan
hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. 2) Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal
yang bersangkutan disebutkan bahwa: “…
Orang-orang dan badan-badan hukum
asing dapat diberi hak pakai, karena hak
ini hanya memberi wewenang yang terbatas.”. Pasal 45 UU Nomor 5 Tahun 1960,
yang menyebutkan bahwa: “ Yang dapat mnjadi pemegang hak
sewa ialah: a. warga Negara Indonesia; b.
orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c. badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. 3) Penjelasan Umum Angka Romawi II butir
5 UU Nomor 5 Tahun 1960 menyebutkan bahwa: Sesuai dengan azas kebangsaan
tersebut dalam Pasal 1, maka menurut
Pasal 9 jo. Pasal 21 ayat (1) hanya warga Negara Indonesia saja yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah. Hak Milik kepada orang asing dilarang (Pasal 26
ayat (2). Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya
terbatas. …”.
b.
Peraturan P.pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak
Pakai Atas tanah
Pasal 39 PP tersebut menyatakan bahwa Yang dapat mempunyai Hak Pakai
adalah: 1) WNI; 2) Badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; 3) Departemen,
Lembaga Pemerintah Non Departemen dan Pemerintah Daerah; 4) Badan-badan Sosial
dan Keagamaan; 5) Orang Asing yang
berkedudukan di Indonesia [Penjelasan Pasal tersebut:
Orang asing yang berkedudukan di Indonesia adalah orang asing yang kehadirannya
di Indoneis memberikan manfaat bagi pembangunan nasional]; 6.) Badan
hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; 7.) Perwakilan Negara Asing
dan perwakilan badan internasional.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing
Yang Berkedudukan Di Indonesia. PP
tersebut merupakan penjabaran lebih lanjut dari UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang
Rumah Susun dan UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman dan juga
terkait dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 berkaitan dengan status pemilikan Hak
Pakai Atas Tanah Negara. PP tersebut
mengatur secara garis besar ketentuan sebagai berikut: 1) Pada prinsipnya
orang asing yang berkedukan di Indonesia diperkenankan memiliki satu (sebuah)
rumah tempat itnggal, bisa berupa rumah yang berdiri sendiri atau satuan rumah
susun (Sarusun) yang dibangun di atas tanah Hak Pakai; 2) Rumah yang berdiri
sendiri dapat dibangun di atas tanah Hak pakai atas tanah Negara (HPTN) atau
Hak Pakai yang berasal dari Tanah Hak Milik yang diberikan oleh Pemegang Hak
Milik dengan Akta PPAT; 3) Perjanjian pemberian HP di atas Hak Milik wajib
dicatat dalam Buku Tanah dan Sertipikat Hak Milik yang bersangkutan. Jangka
waktu HP di atas HM sesuai kesepakatan dalam perjanjian, tetapi tidak boleh
lebih lama dari 25 tahun. Jangka waktu HP tersebut tidak dapat diperpanjang,
tetapi dapat diperbaharui untuk jangka waktu 20 tahun, atas dasar kesepakatan
yang dituangkan dalam perjanjian yang baru, dengan catatan bahwa orang asing
tersebut masih berkedudukan di Indonesia. 4) Bila orang asing yang memiliki
rumah yang dibangun di atas Hak Pakai di atas Tanah Negara, atau berdasarkan
perjanjian dengan pemegang hak tidak berkedudukan lagi di Indonesia, dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak atas rumah
dan tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat. 5) Bila dalam jangka waktu
tersebut hak atas tanah belum dilepaskan atau dialihkan kepada pihak lain tyang
memenuhi syarat, maka terhadap rumah
yang dibangun di atas Hak Pakai
di atas tanah Negara (HPTN) rumah beserta tanah yang dikuasai WNA dilelang bila
rumah tersebut dibangun di atas Hak Pakai atas tanah Hak Milik, maka rumah
tersebut menjadi milik pemegang Hak Milik.
d.
Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah
Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing. Permenag/Ka. BPN ini merupakan tindak lanjut dari perintah
ketentuan Pasal 7 PP Nomor 41 Tahun `1996.
e.
Peraturan Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 8 Tahun 1996 tentang Perubahan Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan
Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing. Permenag/Ka. BPN.
f.
Peraturan Menteri Negara
Agraria?Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang
Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak
Atas Tanah Negara.
g.
Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang
Tata cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak
Pengelolaan. Pasal 49 s/d 65.
h.
Surat Edaran (SE) Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor
110-2871 tertanggal 8 Okotber 1996 tentang Pelaksanaan PP Nomor 41 Tahun 1996
tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang
Berkedudukan Di Indonesia. Dalam SE
tersebut ditegaskan:
1)
bahwa yang dimaksud dengan orang asing dari segi kedudukanya dapat
dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu: 1) orang asing yang bertempat tinggal di
Indonesia secara menetap (penduduk Indonesia dibuktikan dengan Izin Tinggal
Tetap; dan 2) orang asing yang tidak tinggal di Indonesia secara menetap,
melainkan hanya sewaktu-waktu berada di Indonesia, dibuktikan dengan Izin
Kunjungan atau Izin Keimigrasian lainnya
berbentuk tanda yang diterakan pada
Paspor atau dokumen kimigrasian lainnya yang dimiliki orang asing yang
bersangkutan.
2)
Jumlah rumah
hunian yang boleh dimiliki atau dibeli
maksimal sebuah atau satu rumah saja. Untuk memastikan
hal tersebut kapada orang asing yang akan membeli rumah di Indonesia hendaknya
diminta untuk membuat Surat Pernyataan bahwa yang bersangkutan tidak memiliki
rumah tempat tinggal atau hunian di Indoneisa pada waktu melakukan perbuatan
hukum pembelian/penguasaan rumah hunian.
3)
Rumah Hunian yang
diperbol;ehkan dimiliki oleh orang asing dikecualikan
atau tidak termasuk dalam kategori /klasifikasi rumah sederhana atau
rumah sangat sederhana.
4. Siapa saja yang termasuk
kategori Orang Asing?
Di
dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA,
khususnya pada Pasal 42 tidak dijelaskan siapa orang asing, demikian pula dalam
Pasal 39 PP Nomor 40 tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah. Penjelasan Pasal 39 PP Nomor 40 Tahun 1996
memberikan arah bahwa yang dimaksud Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia
adalah orang asing yang kehadirannya di
Indonesia memberikan manfaat bagi pembangunan nasional.
Selanjutnya
di dalam Pasal 1 butir 2 PP Nomor 41
Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah
Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing
Yang Berkedudukan Di Indonesia, hanya mengadopsi penjelasan sebagaimana tercantum
dalam Penjelasan Pasal 39 PP Nomor 40 Tahun 1996. Kemudian jika diperhatikan Penjelasan Pasal 1
butir 2 PP Nomor 41 Tahun 1997, yaitu
ditambah kata “dan berkontribusi”.
UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI secara ‘a contrario yang disebut
sebagai Warga Negara Asing (WNA) adalah yang tidak termasuk dalam kategori WNI
sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 dan
Pasal 5. Hal tersebut ditegaskan dalam
Pasal 7 yang menyatakan bahwa: Setiap
orang asing yang bukan WNI diperlakukan
sebagai orang asing. Demikian
pula di dalam UU Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, khususnya pada Pasal
1 butir 6, bahwa orang asing adalah orang bukan WNI.
Berdasarkan PP Nomor 25
tahun 2008 tentang Persyaratan Dan Tata Cara pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil. Disebutkan hal-hal sebagai
berikut: Pasal 1 butir 2 tentang Penduduk, yaitu WNI dan Orang Asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Pasal
1 butir 4: Orang Asing adalah orang bukan WNI.
Sedangkan untuk Pelaporan Pendaftaran Pindah Datang Orang Asing di Wilayah
NKRI, berdasarkan ketentuan Pasal
33 PP tersebut, yang memiliki Izin Tinggal
Tetap harus memenuhi persyaratan: 1)
Kartu keluarga; 2) KTP untuk orang asing; 3) Foto kopy Paspor dengan menunjukan
aslinya; 4) Foto kopy Kartu Izin Tinggal Tetap; 5) Menunjukan Buku Pengawasan
Orang Asing; dan 6) Surat Keterangan Catatan Kepolisian. Sedangkan untuk Orang Asing yang yang
memiliki Izin Tinggal Terbatas dalam NKRI disyaratkan: 1) Surat Keterangan
empat Tinggal; 2) Foto kopy Paspor; 3) Fotokopi Katu Izin Tinggal Terbatas; dan
4) Surat keterangan Catatan Kepolisian.
Dengan
demikian untuk memahami siapa itu orang asing, maka perlu diketahui siapa saja
yang termasuk dalam klasifikasi/kategori sebagai Warga Negara Indonesia (WNI).
Menurut Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun2006 tentang Kewarganegaraan disebutkan bahwa
yang menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang –orang bangsa Indonesia
asli (orang-orang bangsa Indonesia yang
menjadi Warga Negara Indonesia sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak
sendiri) dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang
sebagai warga Negara.
Selanjutnya
di dalam Pasal 4 dan 5 UU tentang Kewarganegaraan tersebut di atas ditegaskan
mengenai siapa saja yang masuk dalam klasifikasi Warga Negara Indonesia WNI),
yaitu:
a.
Setiap orang yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah RI
dengan Negara lain sebelum Undang-undang
ini berlaku sudah menjadi WNI. Sebagai
Contoh Warga Negara Indonesia yang didasarkan pada berlakunya: 1) UU Nomor 3 Tahun
1948 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara,
yang kemudian dilakukan perubahan dengan UU Nomor 6 Tahun 1947 dan UU
Nomor 8 Tahun 1947 serta UU Nomor 11 Tahun 1948. 2) UU Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraa RI, yang
kemudian dilakukan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 yang
merubah ketentuan Pasal 18 dari UU tersebut.
b.
Anak yang lahir dari perkawinan
yang sah dari seseorang:
1)
ayah dan ibu WNI;
2)
ayat WNI dan ibu WNA;
3)
ayah WNA dan ibu WNI;
4)
ibu WNI, tetapi tetapi ayahnya
tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum Negara asal ayahnya tidak memberikan
kewarganegaraan kepada anak tersebut.
c.
Anak yang lahir dalam tenggang
waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan
ayahnya WNI; Ditentukannya tenggang waktu 300 hari
dengan pertimbangan bahwa tenggang waktu tersebut merupakan tenggang waktu yang
dianggap cukup untuk meyakini bahwa anak tersebut benar-benar anak dari ayah
yang meninggal dunia.
d.
Anak yang lahir:
2)
di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI;
3)
di luar
perkawinan yang sah dari seorang
ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu (dibuktikan dengan penetapan pengadilan) dilakukan
sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau sebelum kawin;
4)
di wilayah RI yang pada waktu lahir tidak jelas
status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
5)
di wilayah Negara RI apabila
ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui
keberadaannya;
e.
Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara RI selama
ayah dan ibunya tidak diketahui.
f.
Anak yang dilahirkan di luar
wilayah Negara RI dari seorang ayah dan ibu WNI yang karena ketentuan dari
Negara tempat anak tersebut dilahirkan
memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;
g.
Anak dari seorang ayah dan ibu
yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
i.
Anak WNI yang lahir di luar
perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun atau belum kawin diakui secara sah
oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai WNI.
j.
Anak WNI yang belum berusia 5
tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan
pengadilan tetap (Pengadilan Negeri) diakui
sebagai WNI.
0 komentar:
Posting Komentar