Teori-teori Konflik Sosial Yang Relevan Untuk Analisis
Terhadap Sengketa Tanah
Oleh
Sarjita, S.H., M. Hum.
1. Kaidah Dialektika63: G.W. Hegel (ilmuwan yang dilahirkan
di Stuttgart Jerman: 1770-1831.) Akal adalah proses dinamik yang bergerak
secara dialektik yang menimbulkan kontradiksi, oposisi, negasi. Kaidah
Dialektik terdiri dari tiga tahap: l) Tesis (konsep abstratk): 2) Antitesis
(Kontradiksi- kontradiksi dalam konsep): 3) Sinresis (penyatuan-penyatuan
konsep-konsep kontradiksi, suatu kesamaan dari pertentangan-pertentangan)
Analisis Dialektik64 : Karl Marx (Trier, Jermam: 1818-1883) Menurut
teori ini sebagai perkembangan dari Teori Kaidah Dialektika G.W. Hegel,
menjeiaskan bahwa
1.
Achmad
Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik ilmu Pengetahuan Manusia (Kajian
Ilmu), Yogyakarta, LSFI, 200 : 99-118
2.
Ibid hlm
01-181
Pandangan mengenai pertentangan antara tesis
dengan antitesis serta titik temu keduanya yang akan membentuk sintesis
baru" kemudian menjadi tesis baru. Dalam pertentangan dengan tesis baru
itu, muncul antitesis baru, dan akhirnya kedua tesis yang saling bertentangan
ini tergabung dalam satu sisntesis baru yang lebih tinggi tingkatannya. Dimulai
dari penolakan atas ide-ide yang ada dan penggantiannya dengan ide-ide baru
yang bertentangan. Bagaimanapun ide baru itu bukan merupakan yang terakhir,
ide-ide itu akhirnya akan ditolak juga. Dalam hal ini teori Karl Marx tetap
menggunakan bentuk analistik dialekyika (yang meliputi kepekaan terhadap
kontradiksi- kontradiksi internal dan perjuangan antara ide-ide lama dan
ide-ide baru serta bentuk-bentuk sosial) tetapi dia menolak idealisme filosofis
dan menggantikannya dengan pendekatan materialistik. Menurut Marx, suatu pemahaman
ilmiah yang dapat diterima tentang gejala sosial menurut ilmuwan itu yang dapat
dijadikan metode untuk mengambil sikap yang benar terhadap hakikat permasalahan
itu.
2. The Image of Limited Good65 (Amerika George
Foster, 1967) Setiap komunitas selalu mempersepsikan bahwa segala sesuatu yang
ada dalam lingkungan kehidupannya selalu berada dalam keadaan terbatas
jumlahnya baik yang berkaitan dengan SDA, kekuasaan, kesempatan maupun sesuatu yang
hadir dalam bentuk seperti status sosial. Setiap komunitas dan kesatuan sosial,
terutama yang masih diwarnai dengan kehidupan agraris selalu memiliki sebuah
sistem gagasan keterbatasan sumber daya (resources limited). Pihak yang telah
berhasil memperoleh/ mendapatkan sumber daya yang terbatas secara berlebihan
secara tidak langsung telah mengambil hak orang lain secara berlebihan pula.
Karena itu "mereka" wajib segera mengembalikan/mendistribusikan
kelebihan itu kepada masyarakat, karena itu memang hak bersama yang harus
dikembalikan.
3. Teori Prisoners Dilemma66 (Hubungan Sumber daya dengan
Kekerasan: Homer- Dixon) Resaurces Searcity dengan Kekerasan (Violence): Tidak
selamanya bahwa kalau SDA terbatas kekerasan terjadi, sebaliknya walaupun SDA
melimpah kekerasan tetap terjadi. Permainan non-zero-sum, dua pemain dalam
permainan, apakah mereka akan memilih bekerjasama atau berkhianat.
1) Kedua pemain akan beruntung jika mau bekerjasama; 2) Jika
salah satu pemain mau bekerjasama akan tetapi pemain lainya berkhianat, maka permain
yang berkhianat akan lebih beruntung; 3) Jika kedua-duanya berkhianat, maka
kedua-duanya tidak akan rnendapat apa-apa. Karena keuntungan dari bekerja sama
selalu lebih kecil dari apabila yang satu berkhianat, maka selalu ada godaan untuk
berkhianat.
4. Teori The Tragedy of the Commons67 (Garrer W.
Harding) Sumber daya yang di "share" oleh kelompok masyarakat/orang:
udara, air, tanah, ikan di laut, kayu di hutan, serta perumahan seringkekali
dipersepsikan/diperlakukan sebagai "commons" atau milik umum. Logika
"the Commons", maka setiap anggota masyarakat berhak mengambil SDA
tersebut, dan membuang limbah/sampah ke dalam "Commons ". deh karena
itu biayanya dapat distribusikan kepada setiap orang semua individu atau rumah
tangga dengan siapa mereka men "share the cammons". Celakanya mereka
yang egois, bisa mendapatkan lebih dari bagiannya, dan membayar lebih sedikit
dari yang seharusnya dan pada prakteknya semua individu,RT berusaha melakukan
hal ini. Sebagai akibatnya sejalan dengan pertumbuhan. populasi dan
keserakahan, maka "the commans" menjadi hancur terjadilah apa yang disebut
"the tregedy of the
3.
Sjafri
Sairin, Peruhahan Sosial Masyarakat Indonesia Perspektif Antrophologi,
Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2002: 70.
4.
Peter
Beilharz, Teori Teori Sosial Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka,
Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2002: 29l -303.
5.
Ibid hlm
291-303
Commons" . Perebutan SDA dapat diuraikan ke dalam tiga
faktor, yaitu: l) pola dan regim akumulasi yang bernuansa distribusi tidak
seimbang secara spesial; 2) bentuk-bentuk akses dan kontrol terhadap sumber
daya alam yang juga tidak merata (termasuk dalam kepemilikan dan penguasaan);
3) para aktor yang muncul dari hubungan sosial produksi yang tidak seimbang
itu; Ada tiga macam Searcity: l) Supply indunced (ketika sumber daya menyusut);
2) demand-indunced (ketika sumber daya yang statis terbagi merjadi
potongan-potongan yang kecil sekali untuk setiap individu; 3) structural scarcity
(ketika beberapa-satu atau dua kelompok tertentu mendapat bagian yang sangat
besar atau banyak, sementara yang lainnya sangat kecil atau sedikit). Akhimya
muncul konflik.
5. Teori Fungsionalisme Struktural68 (Talcott
Parson, 1903-1979) Masyarakat pada dasarnya terintegrasi atas dasar kata
sepakat (general agreements) dari para anggota-anggotanya akan nilai-nilai
kemasyarakatan tertentu yang mempunyai daya mengatasi perbedaan-perbedaan
pendapat dan kepentingan di antara para anggota masyarakat. Masyarakat sebagai
suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk
equilibrium. Dalam suatu masyarakat di matta frekuensi interaksi sosial di
antara warganya cukup tinggt, sikap toleransi yang institusinalize (terbuka
struktur sosialnya), akan dapat membatasi/menekan timbulnya akibat negatif
konflik. Sebaliknya masyarakat di mana frekuensi interaksi sosialnya tidak
terlalu tinggi, biasanya pertentangan tidak membawa tidak membawa akibat yang
negatif. Konflik dianggap sebagai cara mengurangi ketegangan, dan sebagai alat
untuk menyesuaikan norma-norma baru, yang sesuci dengan perkembangan yang ada.
Konflik dianggap sebagai cara mengurangi ketegangan, dan sebagai alat untuk
menyesuaikan norma-norma baru, yang sesuai dengan perkembangan yang ada.
6. Teori Pendekatan Konflik69 Asumsi-asumsi yang
dibangun: 1) Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang
tidak pernah berakhir, atau perubahan sosial merupakan gejala yang melekat pada
diri setiap masyarahat; 2) Dalam setiap masyarakat rnengandung konflik-konflik
di dalam dirinya atau konflik merupakan gejala yang melekat dalam setiap diri
masyarakat; Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberi sumbangan bagi
terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial: 4) Setiap masyarakat
terintegrasi di atas pengusaan atau dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah
orang-orang yang lain. Perubahan sosial terutama timbul/bersumber pada kenyataan
akan adanya unsur-unsur yang saling bertentangan di dalam setiap masyarakat.
Kontradiksi intem bersumber di dalam kenyataan bahwa setiap masyarakat mengenal
pembagian kewenangan atau otoritas (outhority) secara tidak sama/merata. Hal
ini menimbulkan 2 kategori sosial, yakni: 1) mereka yang memiliki otoritas; 2)
Mereka yang tidak memiliki otoritas. Pembagian otoritas yang bersifat dikhotomis
itu memimbulkan kepentingan-kepetingan yang berlawanan satu sama lain. Mereka
yang memiliki otoritas ada kecenderungan untuk mempertahankan memelihara status
quo, dan yang tidak memiliki otoritas ada kecenderungan untuk merombak status
quo. Oleh karena itu. antara mereka yang memiliki otoritas dan mereka yang
tidak memiliki otoritas akan senantiasa berada dalam situasi konflik. Dengan
bertambahnya otoritas pada satu pihak, dengan serta merata berarti pula
berkurangnya otoritas pada pihak yang lain. Solusi yang mereka tawarkan: l)
Konsiliasi; 2) Mediasi; 3) Perwasitan.
7. Teori Konflik Ibn Kaldunia. Dalam Teori ini oleh lbn Kaldun
dijelaskan adanya Tiga Pilar Utama. yaitu: Watak psikologis yg merupakan dasar
6.
Nasikun,
Sistem Sosial lndonesia,Jakarta, PT. Raja GrafindoPersada, 2003:I0-I6
7.
Ibid..
8.
Hakimul
lkhwan Affanfi. On, Cit.: 118-119 .
sentimen dan ide yang membangun hubungan sosial di antara
berbagai kelompok manusia keluarga, suku dll.); Penomena politik, berhubungan
dengan perjuangan memperebutkan kekuasaan dan kedaulatan yang melahirkan
imperium, dinasti dan negara; Penomena ekonomi, yang berhubungan dengan
pemenuhan kebutuhan ekonomi baik pada tingkat individu keluarga, masyarakat
maupun negara; Manusia memiliki tiga potensi, yaitu intelgibilia, sensibilia,
dan spiritualia. Jika tiga potensi itu dapat dikembangkan dengan baik, maka
manusia akan dapat melaksanakan amahnya sebagai khalifah di muka bumi; Namun
manusia juga memiliki potensi lain yang dapat mendorong bertindak agresif. Hal
tersebut karena manusia dipengaruhi oleh animal power (ada sifat kebinatangnya)
atau rational animal atau animal rational atau hayawaanun natiqun. Potensi lain
yaitu cinta terhadap (identitas) kelompoknya/ashobiyah, dan agreasif sebagai
muncul pertumpahan darah/permusuhan.yang mengakibatkan konflik. Tentang akar
berdirinya negara. Karena negara merupakan perkembangan paling maju dari
kehidupan kelompok manusia yang dipandang sebagai arena pertarungan antar
kelompok dalam masyarakat untuk memperoleh kekuasaan dan puncak kekuasaan tsb adalah
kekuasaan negara; Masyarakat berkembang dalam dua bentuk, yaitu (nomaden
society) dan (sedentary society) Kekuasaan raja atau Kepala Negara. Peran yang
diharapkan dari seorang pemimpin adalah menjadi penengah dan pemisah di antara
kelompok yang berbeda. (Prans Magnis Suseno71) Tentang Fungsi Negara.
yaitu Menjadi Wasit yang tidak memihak) Proses pemilihahannya dilakukan oleh
Ahl al Holli Wa-Aqdi, yaitu terdiri dari orang- orang yang meapunyai
kompetensi. Seorang dapat menjadi pemimpin apabila: 1) pengetahuan (ilmu); 2.)
keadilan; 31 kesanggupan; 4) tidak mengalami cacat anggota badan yg dapat
mempengaruhi pendapat dan tindakannya; 5) berasal dari keturunan Quraisy
(Kelompok suku yang paling besar dan kuat yang berhak atas keduduknn sebagai
raja atau kepala negara. Syarat ke lima masih terjadi perbedaan pendapat).
Kekuasaan dijalankan dengan lemah lembut dan penuh keadilan; Setiap orang dapat
mengemukakan pendapat secara bebas, tanpa rasa takut dan tekanan; Kekuasaan dijalankan
dengan donasi, kekerasan, dan teror.Tidak ada kebebasan dalam menyampaikan
pendapat sehingga tidak mau peduli dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Kekuasaan
dijalankan dengan menjatuhkan sanksi-sanksi atau hukuman-hukuman. Karl Marx
yang memandang konflik disebabkan oleh perebutan sumber-sumber ekonomi, yaitu
distribusi ekonomi atau perebutan sumber-sumber ekonomi. Di sini Ibn Kaldun
memandang, bahwa tidak melihat faktor ekonomi lebih dominan dibandingkan faktor
lain sebagai penyebab konflik. Yang lebih dominan adalah faktor sosial-politik.
Semakin penguasa negara menjalankan perekonomian di bahwah kekuasaan politik
yang korup akan mengakibatkan hancurnya ashobiyah yang mengantarkan seorang penguasa
pada puncak kemewahan dan kenikmatan hidup. Sehingga terjadi ketimpangan
sosial, kemiskinan dan ketidakadilan). Secara etimologi, yaitu sebagai
kedekatan hubungan seseorang dengan golongan atau kelompoknya dan berusaha
sekuat tenaga untuk memegang prinsip-pinsip dan nilai-nilai yang dianut kelompok
tersebut; Nasionalisme (Osman Raliby). Solidaritas (Muhsin Mahdi), Solidaitas
Sosial (Muhi Ali) Kekelabatan dan kerukunan: Persekutuan, terjadi karena
keluarnya seseorang dari garis keturunannya yang semula ke garis keturunan yang
lain; Kesetiaan (persahabatan karena pergaulan). Penggabungan, Perbudakan. Kesimpulan
dari teori ini Konflik memang sesuatu yang selamanya ada dalam masyarakat.
karena memiliki akar dalam diri manusia dan kondisi eksternal. baik politik
maupun ekonomi. Namun, demikian konflik tidak selalu bersifat
9.
frans
Magnis Suseno, Etika politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern
destruktif. Manusia tidak akan menjalankan fungsi sebagai
khalifah jika selalu diwarnai oleh tindakan anarkis dan destruktif.
Efektivitas
Bekerjannya Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa/Konflik Di Masyarakat
Dalam kaitannya dengan berlakunya
hukum, Soerjono Soekanto, Poernadi Poerbacaraka dan Soerjono Soekanto,72 Sudikno
Mertokusumo73 mengenai kekuatan berlakunya undang-undang, menjelaskan
bahwa di dalam teori-teori hukum, biasanya dibedakan antara tiga macam hal
berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal berlakunya hukum tersebut biasanya disebut
"gelding" (bahasa Belanda) atau "geltung" (bahasa Jerman).
Sehingga terdapat anggapan-anggapan sebagai berikut:
1. Hukum berlaku secara yuridis (juristische Geltung), apabila
penentuan didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya (H. Kelsen),
atau bila terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan (W. Zevenbergen), atau apabila
menunjukan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya (J. H.A.
Lagemann) ;
2. Hukum berlaku secara sosiologis (soziologische Geltung),
apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah tersebut dapat dipaksakan
berlakunya oleh penguasa, walaupun diterima atau tidak diterima oleh masyarakat
(teori keuasaan/machtteori: Gustav Radbruch), atau kaidah tadi berlaku karena diterima
atau diakui oleh masyarakat (teori pengakuan/ Anerkennungstheorie : Gustav
Radbruch) ;
3. Hukum tersebut berlaku secara filosofis (filosofische
Geltung). Artinya sesuai dengan cita-cita hukum (Rechtidee) sebagai nilai
positif yang tertinggi.
Lebih lanjut menurut Selo Soemardjan dalam Satjipto Rahardjo74
dinyatakan bahwa efektivikasi hukum berkaitan erat dengan faktor-faktor sebagai
berikut:
1. Usaha-usaha menanamkan hukum di dalam masyarakat yaitu
penggunaan tenaga manusia, alat-alat organisasi dan metode agar warga –warga
masyarakat mengetahui, menghargai, mengakui dan mentaati hukum;
2. Reaksi masyarakat yang didasarkan pada sistem nilai-nilai
yang berlaku. Artinya, masyarakat mungkin menolak atau menentang atau mungkin mematuhi
hukum karena compliance, identification, internalization atau kepentingan-kepentingan
mereka terjamin pemenuhiannya;
3. Jangka waktu penanaman hukum, yaitu panjang atau pendeknya
jangka waktu dimana usaha-usaha menanamkan itu dilakukan dan diharapkan
memberikan hasil.
Oleh karena itu, untuk melihat bagaimana berfungsi atau
berlakunya serta bekerjanya hukum, Soerjono Soekanto75 senantiasa dapat
dikembalikan pada paling sedikit 4 (empat) faktor, yaitu:
1. Hukum atau peraturan itu sendiri;
2. Pefugas yang menegakkannya;
3. Fasilitas yang diharapkan mendukung pelaksanaan hukum; dan
4. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan
tersebut.
Pada sisi lain Soerjono Soekanto76 dalam
kaitannya dengan penegakkan hukum, artinya bagaimana menyelesaikan hubungan
nilai -nilai
10.
Purbacaraka,
Purnadi dan Soekanto. Soerjono, Perihal Kaidah Hukum, PT. Citra Adina Bakti,
Bandung. 1993.: 87-94.
11.
Sudikno
Merkusumo, Op. Cit.., hlm.75-76.
12.
Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Alumi, 199: 55.
yang
terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak
sebagai rangakian penjabaran nilai tehap akhir, untuk menciptakan, memelihara, mempertahankan
kedamaian pergaulan hidup. Terdapat lima faktor yang saling berkaitan erat,
oleh karena merupakan esensi penegakan hukum, yang juga merupakan tolok ukur
dari pada efektivitas penegakan hukum. Kelima faktor tersebut adalah:
1.
Faktor hukumnya
sendiri, antara lain dikarenakan tidak diikutinya azas- azas berlakunya undang-undang,
belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk penerapan
undang-undaag, ketidak jelasan kata-kata di dalam undang-undang yang
mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya;
2.
Faktor
penegak hukum, baik yang membentuk maupun yang menerapkan. Misalnya
keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan
siapa dia berinteraksi, tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi, kegaitan
yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk
membuat proyeksi, belum adanya kemampuan untuk menunda kepuasan dalam pemenuhan
suatu kebutuhan tertentu, dan kurangnya daya inovatif yang sebelumnya merupakan
pasangan konservatisme ;
3.
Faktor fasilitas
(sarana dan prosarana penunjang) yang mendukung penegakan hukum:
4.
Faktor
masyarakat yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku dan diterapkan; dan
5.
Faktor
kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta- dan rasa yang berdasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Analisis bekerjanya hukum menurut Robert B. Seidman dalam
Satjipto Rahardjo77 menyatakan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang
pemegang peranan (role occupant) ifrt diharapkan bertindak;
2. Bagaimana seorang pemegang pelanan itu akan bertindak
sebagai suatu respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan
yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya- aktivitas dari lembaga- lembaga
pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainya
mengenai dirinya;
3. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan brrtindak
sebagai respon terhadap peraturan merupakarr fungsi peraturan-peraturan hukum
yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya akrivitas dari lembaga- lembaga
pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainya
mengenai diri mereka, serta umpan-umpan balik yang datang dari pemegang
peranan;
4. Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak
merupakan fungsi peraturan-peraturan yang rnengalur tingkah laku mereka-
sanksi- sansinya, aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan
kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainya mengenai dirinny, serta umpan
balik yang datang dari pemegang peranan serta birokrasi.
Jika dilukiskan, bagaimana bekerjanya hukum menurut Robert
B. Seidman tersebut nampak sebagai berikut:
13.
Soerjono
Soekanto, Op. Cit. hlm. 8-9, 17-18.
14.
Op. Cit,
hlm, 56-28
Gambar
1: Bekerjanya Hukum Menurut R B. Sidman.
Faktor-faktor Sosial dan Personal lainya
Umpan
blik
Bekerjanya
hukum di dalam suatu masyarakat dimulai dengan tahapan-tahapan, yaitu:
1.
Pembentukan
atau pembuatan hukum. Menurut dalam Satjipto Rahardjo78 dibedakan
menjadi 2 Dua model masyarakat tersebut adalah:
Pertama,
masyarakat yang berbasis akan nilai-nilai (value concensus). Masyarakat yang
demikian itu akan sedikit mengenal konflik-konflik atau tegangan di dalamnya
sebagai akibat adanya kesepakatan mengenai nilai- nilai yang menjadi landasan
kehidupannya. Tidak terdapat perbedaan di antara para anggota-anggotanya
mengenal apa yang seharusnya diterima sebagai nilai-niali yang seharusnya
dipertahankan di dalam masyarakat. Masalah yang dihadapi dalam pembuatan atau
pembentukan hukum hanyalah menetapkan nilai-nilai apakah yang berlaku di dalam masyarakat
itu. Kedua, model masyarakat konflik. Di sini bukalah kemantapan dan
kelestarian yang menjadi tanda ciri masyarakat, melainkan perubahan /dinamika
serta konflik-konflik sosial. Berdirinya masyarakat tertumpu pada suatu
perhubungan di mana sebagian warga masyarakatnya mengalami tekanan-tekanan oleh
sementara warga lainnya. Dengan demikian pembuatan atau pembentukan hukum
berada dalam siatuasi konflik satu sama lainnya. Oleh karenanya menurut
Chamblis dan Seidman, di dalam model masyarakat yang kedua ini pembentukan hukum
akan dilihat sebagai suatu proses adu kekuatan, di mana negativ merupakan senjata
di tangan lapisan yang berkuasa. Sekalipun terdapat pertentangan nilai-nilai di
dalam masyarakat, negara tetap berdiri sebagai badan yang tidak memihak (value
-neutral).
Model
Masyarakat yang terbentuk dalam nuansa konflik atau pertentangan nilai-nilai
tersebut menurut Schuyt dalam Satjipto Raharjo79 ada 2 (dua)
kemungkinan yang akan timbul. Yaitu sebagai sarana untuk mencairkan pertentangan
(conflictop lossing, dan sebagai tindakan yang memperkuat terjadinya pertentangan
lebih lanjut (conflictversterking).
2.
Bekerjanya
Hukum di Bidang Pengadilan
Kedua model masyarakat sebagaimana menjadi landasan pembentukan
atau perbuatan hukum tersebut di atas, tenyata juga akan menjadi landasan bagi
bekerjan bagi bekerjaannya pranata (hukum) pengadilan di masyarakat. Pada model
masyarakat yang dilandasi atau berbasis akan nilai-nilai (volue concensus),
maka pranata pengadilannya tentunya tidak serumit yang terdapat pada masyarakat
yang berlandaskan pada nilai-nilai yang berbeda atau konflik.
15.
Op. Cit.
hlm. 49.
16.
Op. Cit.
hlm. 50.
Namun demikian, bekerjanya hukum di bidang pengadilan
menurut Chamblis dalam Satjipto Rahardjo80 akan dipengaruhi oleh 2
(dua) faktor utama, yaitu: tujuan yang hendak dicapai dengan penyelesaian
sengketa itu dan tingkat pelapisan sosial yang terdapat di dalam masyarakat.
Pada masyarakat yang kurang terlapis dan kurang kompleks akan cendenrung untuk
memakai pola penyelesaian berupa perukunan, sebaliknya pada masyarakat yang
mempunyai tingkat pelapisan sosial yang tinggi dan lebih kompleks. Kecenderungannya
ada pada penerapan peraturan-peraturan. Pola bekerjanya hukum di Bidang
pengadilan tersebut apabila disajikan dalam bentuk bagan akan nampak sebagai
berikut:
Gambar 2:
Pola Bekerjanya Hukum Di Bidang Pengadilan
3.
Pelaksanaan
Hukum
Menurut P. Scholten, dalam Satjipto
Rahardjo (1986:69) disebutkan bahwa “Hukum diciptakan untuk dijalankan, hukum
yang tidak pernah dijalankan pada
hakikatnya telah berhenti menjadi hukurn".
Bahkan menurut Satjipto Rahardjo
(1986:70) hukum tidak dapat bekerja atas dasar kekuataanya sendiri. Oleh karena
itu bekerjanya hokum diperlukan campur tangan manusia. Manusialah yang
menciptakern hukum, tetapi juga untuk pelaksanaan dari pada hukum yang telah
dibuat itu masih diperlukan campur tangan manusia pula.
Persoalan muncul berkaitan dengan
bekerjanya hukum dalam masyarakat. yaitu apakah hukum yang dijalankan di dalam
masyarakat benar-benar mencerminkan gambaran hukum yang terdapat di dalam
peraturan hukum sebagaimana dimaksudkan oleh pembentuk hukum. Terhadap
persoalan tersebut Roscoe Pound, dalam Satjipto Rahardjo (1986: 71) mengadakan
pembedaan antara law in the books dan law in action.
Pembedaan ke dalam dua jenis tersebut,
untuk menjawab persoalan yang mengemuka, antara lain:
Apakah hukum di dalam bentuk peraturan
yang telah diundangkan itu mengungkapkan pola tingkah laku sosial yang ada pada
waktu itu:
a. Apakah yang dikatakan oleh pengadilan itu sama dengan yang
dilakukan olehnya:
b. Apakah tujuan yang secara tegas dikehendaki oleh suatu
peraturan itu sama dengan efek peraturan itu dalam kenyataannya.
Terhadap bekerjanya hukum, khususnya yang
berkaitan dengan penerapan hukum, menurut Chamblis Seidman dalam Satjipto
Rahardjo8l melihat adanya kecenderungan pada setiap organisasi untuk
menggantikan tujuan-tujuan resmi sebagaimana ditetapkan dalam peraturan-peraturan
hukum dengan kebijakan dan kegiatan sehari-hari yang dirasakan akan miningkatkan
secara maksimal keuntungan yang diperoleh dan menekan sampai minum
hambatan-hambatan terhadap bekerjanya organisasi itu.
17.
Op. Cit.
hlm. 50.
18.
Sebagai contoh, terlihat atau tercermin dalam administrasi
hukum pidana. Orang-orang yang mengalami penahanan sampai dengan penjatuhan keputusan
oleh hakim adalah mereka yang dianggap paling tidak mampu untuk menyumbangkan
sesuatu agar tidak mengalami penindakan oleh hukum. Contoh lain, yaitu mereka
yang apabila terhadapnya dilaukan penindakan oleh hukum, tidak menyebabkan
timbulnya gangguan pada organisasi-organisasi yang menjalankan penegakan hukum.
Manurut Satjipto Rahardjo82
kedua penulis yaitu Chamblis dan Seidman telah sepakat untuk memberi istilah
terhadap praktik-praktik yang dilakukan atas dasar pertimbangan pragmatis
dengan istilah sub-culture organisasi. Oleh karena itu
institusi/lembaga-lembaga penegak hukum seperti pengadilan, kepolisian,
legisiative dan sebagainya telah terlena menjalani kehidupannya sendiri serta
mengejar tujuan-tujuan dari organisasinya pula. Dengan demikian, akhirnya
terbentuk culture, yang selanjutnya akan memberikan pengarahan pada tingkah
laku organisasi serta para pejabatnya dalam sehari-hari.
Masih sehubungan dengan masalah keberlakuan
atau efektivitas hukum yang di dalamnya berisi kaidah-kaidah. Bruggink, dalam
alih bahasa oleh B. Arief Sidharta83 menguraikan tentang keberlakuan
kaidah hukum, yang dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu : a) Keberlakuan empiris
atau empiris kaidah hukum yang sering disebut efektivitas hukum; b) Keberlakuan
Normatif atau Formal Kaidah hukum; dan c) Keberlakuan Evaluatif Kaidah Hukum.
Kemudian berdasarkan pendekatan para
teoritikus, terdapat dua perbedaan mengenai keberlakuan hukum,. Pertama
Kelompok teori yang dibangun atas dasar bahan-bahan empirik. Menurut teori ini,
maka keberlakuan faktual dan keberlakuan evaluatif empiris menempati posisi sentrai.
Sedangkan kelompok Kedua yaitu menempatkan posisi sentral atau penting terhadap
keberlakuan hukum bermatifa dan materiil, serta menolak cara kerja empiris.
4.
Hukum dan
Nilai-nilai Di Masyarakat;
Menurut L. L. Fuller dalam Satjipto
Rahardjo,84 Arief Sidharta B85 dalam melihat keterkaitan
hukum dengan nilai-nilai masyarakat, dituangkan dalam bentuk delapan prinsip
legalitas, yang mensyaratkan bahwa, hokum harus :
a. dipresentasikan dalam aturan-aturan umum;
b. aturan-aturan ini harus dirumuskan (dipublikasikan) kepada
mereka yang menjadi objek pengaruraa aturan-aturan tersebut;
c. aturan-aturan itu tidak boleh memiliki daya berlaku surut
(harus non-retroaktit);
d. aturan-aturan itu dirumuskan secara jelas;
e. aturan-aturan itu tidak boleh mengandung pertentangan;
f.
aturan-aturan
itu tidak boleh menuntut sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi;
g. aturan-atuan itu harus kurang lebih konstan, artinya aturan
itu tidak boleh terus menerus diubah; dan
h. pemerintah harus sebanyak mungkin berpegang teguh pada
(mematuhi) aturan-aturan ini.
Hal ini dapat, dibandingkan dengan
beberapa aspek yang harus dipenuhi oleh hukum menurut Ibnu Khaldun, dalam
Hakimul lkhwan Arlandi (2004:123). Yaitu:
19.
Loc. Cit.
hlm. 75
20.
Arief
Sidharta, Refleksi Tentang Hukum. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti, 1999:
147-l51
21.
Satiipto
Rahardio,op. Cit., hlm. 78.
22.
Arief B.
Sidharta. Op. Cit. 262
1) Hukum yang ditetapkan oleh kekuasaan tidak boleh dipaksakan
atau berupa intimidasi bagi rakyat yang dipimpin.
2) Hukum tidak menjadi penghambat pertumbuhan dan perkembangan mental,
psikologis seseorang. Apabila hukum diperlakukan sejak kecil, maka dapat
menimbulkan efek di mana orang tersebut tumbuh dan berkembang dalam ketakutan
dan secara psikologis akan merusak mental dan kejiwaannya.
3) Hukum akan dapat berlaku secara efektif apabila muncul dari
kesadaran jiwa, bukan doktrinal. Oleh karena itu menjadi keharusan menetapkan hukum
yang bisa diterima dan diikuti rakyat.
0 komentar:
Posting Komentar