Manajemen Perolehan dan Pelepasan Hak Atas Tanah serta Problematika
Hukum Penyelesaian Konflik Pertanahan[1]
Oleh
Sarjita, S.H., M. Hum.
Pendahuluan
Sesuatu
yang menjadi impian atau dambaan bagi setiap orang (persoon), kelompok orang, dan/atau badan hukum (rechts persoon) baik itu
badan hukum privat maupun badan hukum publik apabila akan, sedang atau telah
menguasai, memiliki, menggunakan bahkan memanfaatkan suatu bidang tanah adalah diharapkan adanya jaminan kepastian
(perlindungan) hukum akan hak-hak dan kewajiban yang melekat pada hak atas
tanah yang bersangkutan.
Secara normatif, hak-hak dan kewajiban yang melekat pada
sesuatu hak atas tanah telah banyak dilakukan regulasi/pengaturan baik
berdasarkan Hukum Islam, Hukum Adat, bahkan dalam hukum positip (ius constitutum) Hukum Nasional dengan
Hukum Tanah Nasional (UUPA beserta
peraturan pelaksanaannya).
Sebagai ilustrasi/gambaran dapat kami utarakan salah satu regulasi dalam
pasal peraturan perundang-undangan yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pada tataran teknis Pasal 32 ayat (2) yang berbunyi:
Dalam hal atas suatu bidang tanah yang sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum
yang mempunyai tanah tersebut dengan iktikad
baik dan secara nyata menguasainya,
maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak
diterbitkannya sertpikat itu telah tidak mengajukan keberatan secara tertulis
kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke
Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.
Penerapan ketentuan Pasal
32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 tersebut, biasa dikenal dengan sebutan lembaga rechtsverwerking sebagai penerapan dari ketentuan
hukum yang sudah ada dalam hukum adat
dan sekarang ini merupakan bagian dari Hukum Tanah Nasional (Penjelasan Pasal
32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997).
Lalu muncul pertanyaaan, apakah
dengan telah dirumuskannya secara normatif ketentuan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor
24 Tahun 1997 tersebut, kemudian seseorang dapat tenang dan merasa aman
(terjamin), bahwa dikemudian hari sertipikat tanah yang dimiliki akan (terhindar) dari gugatan di Pengadilan
baik di Pengadilan Umum/Negeri dengan tuntutan
bahwa Sertipikat yang digugat tidak mempunyai kekuatan hukum dan/atau Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) dengan tuntutan bahwa agar sertipikat dinyatakan batal atau tidak sah setelah 5 (lima) tahun
sejak diterbitkan?. Saya pastikan tidak,
kalau persyaratan yang bersifat mendasar yaitu
pemegang hak dalam memperoleh tanah yang dimohonkan sertipikat dilakukan
tidak dengan iktikad baik dan secara nyata
tidak menguasainya atau alias diperoleh dengan iktikad buruk.
Di ketentuan pasal lain dari
PP Nomor 24 Tahun 1997 tersebut, juga memungkinkan potensi terjadinya sengketa,
konflik dan perkara pertanahan, apabila substansi ketentuan yang bersangkutan pelaksanaannya
tidak dilakukan koordinasi dengan baik dan benar antara Panitera Pengadilan,
Pihak yang berkepentingan, maupun aparat/petugas dari Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota. Sebagai contoh Kasus/sengketa Tanah Meruya, yang beberapa tahun
lalu mencuat di media elektronik dan media cetak. Ketentuan Pasal 55 ayat (1), (2) dan (3) PP Nomor 24 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa:
Ayat (1) Panitera
Pengadilan wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor Pertanahan mengenai isi
semua putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dan penetapan
Ketua Pengadilan yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada data mengenai
bidang tanah yang sudah terdaftar atau satuan rumah susun untuk dicatat pada
buku tanah yang bersangkutan dan sedapat
mungkin pada sertipikatnya dan daftar-daftar lainnya;
Ayat (2) Pecatatan dapat
dilakukan juga atas permintaan pihak yang berkepentingan, berdasartkan salinan
resmi putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau
salinan penetapan Ketua Pengadilan yang bersangkutan yang diserahkan olehnya
kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Ayat (3) Pencatatan hapusnya
hak atas tanah, HPL dan HM Sarusun berdasarkan putusan Pengadilan dilakukan
setelah diperoleh surat Keputusan mengenai hapusnya hak yang bersangkutan.
Beberapa pertanyaaannya
yang muncul, adalah:
1) apakah sistem koordinasi antara
Pengadilan dengan Kantor Pertanahan sudah dibangun/dilakukan secara optimal,
ataukah masih berpikir secara sektoral (kepentingan) lembaga/institusi
masing-masing. Bahkan ada statmen/pernyataan
kalangan aparat penegak hukum yang berpendapat dan mendalilkan/beralasan bahwa ketentuan PP tersebut tidak/kurang mengikat aparat penegak hukum sebagaimana
halnya seperti Undang Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang
(Perpu), dan dianggap sebagai kebijakan yang bersifat intern;
2) apakah
pihak yang berkepentingan (masyarakat) juga telah memahami ketentuan tersebut,
sehingga kepentingan para pihak terjamin/terlindungi oleh hukum?;
3) apakah selama ini
mekanisme/prosedur/proses penerbitan SK Pembatalan Hak Atas Tanah/Sertipikat oleh
BPN RI yang merupakan pelaksanaan dari Putusan Pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewisjde) tidak mengalami stagnan/kemandegan?.
Sengketa
pertanahan, juga berpotensi untuk terjadi sebagai akibat dari pelaksanaan Pasal 131 ayat (4) huruf a angka 1) PMNA/Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1997 sebagai
Peraturan Pelaksanaan dari PP Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Yaitu berkenaan dengan pemberian kewenangan secara substansial kepada Notaris[2] yang bukan PPAT dalam membuat Akta Pelepasan
Hak Atas Tanah yang dituangkan dalam Akta Notaris. Tentunya Notaris yang
bersangkutan bertindak bukan dalam
kapasitas sebagai PPAT, akan tetapi produknya berupa “Akta
Notaris” dan bukan Akta PPAT serta terkait dengan perbuatan hukum pelepasan hak
atas tanah yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum. Jika dicermati secara seksama, maka
pengamatan kami peluang kewenangan tersebut,
bertentangan dengan UUPA (UU Nomor 5 Tahun 1960) khususnya Pasal 2 ayat
2 huruf b dan c, yang seharusnya dilakukan oleh PPAT sebagai pejabat yang “membantu” Kepala Kantor
Pertanahan Kab/Kota di Bidang Pendaftaran Tanah.[3] Ternyata, ketika Pihak Kedua akan mengurus
sertipikat terhadap sebidang tanah tersebut, ditemukan fakta hukum oleh Kantor
Pertanahan Kab. Bogor bahwa tanah yang dilepaskan berdasarkan Akta Notaris
tersebut masuk dalam Sertipikat PT. X, bahkan pada waktu dilakukan pengukuran
dalam rangka permohonan sertipikat tanah oleh Pihak Kedua, Petugas Ukur dari
Kantah Kab. Bogor dan Pihak kedua dilaporkan oleh Pemilik Tanah (PT. X) ke
Polres Bogor untuk selanjutnya diproses secara pidana, karena memasuki
pekarangan orang lain secara melawan hukum/tidak sijin dari pemilik tanah.
Persoalan
sengketa, konflik dan perkara pertanahan, juga muncul sebagai akibat pelaksanaan
peraturan perundang-undangan pada tataran kebijakan lintas sektor. Benturan
kepentingan antar/lintas sektor dalam pengelolaan
Sumber Daya Alam secara luas antara sektor-sektor Pertanahan (UU Nomor 5 Tahun
1960 beserta peraturan pelaksanannya) dengan sektor-sektor lain di luar
otoritas pertanahan, seperti Sektor Kehutanan (UU Nomor 41 Tahun 1999 Jo. UU
Nomor 41 Tahun 2004), Pertambangan (UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, UU
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara/Minerba), Penyelenggaraan Kewenangan Pemerintahaan Di Bidang Pertanahan Oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 Jo. UU No. 12 Tahun 2008 Jis.
PP Nomor 38 Tahun 2007), HP3 untuk wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU Nomor 27 Tahun 2007), Pemanfaatan Ruang Nasional,
Propinsi dan Kabupaten/Kota, Kecamatan hingga Desa sebagai pelaksanaan dari
Penataan Ruang (UU Nomor 26 Tahun 2007 Jo.PP Nomor 68 Tahun 2010), Pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Jo. PP Nomor
91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan
Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, dll).
Persoalan
sengketa dan konflik serta perkara pertanahan, juga kadangkala menjadi hal yang bersifat krusial, apabila
ternyata terdapat 2 (dua) putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewisjde) dimana diktumnya berbeda satu dengan
lainnya, dan putusan yang lain tersebut
tidak dipertimbangkan dalam putusan pengadilan berikutnya atau yang (terakhir).
Lalu bagaimana langkah
strategis yang dapat kita lakukan setelah kita
mampu mengambil hikmah/pelajaran berharga dari persoalan-persoalan tanah yang muncul di
atas, dengan kata lain bagaimana upaya
meredukasi sengketa, konflik dan perkara
pertanahan serta penanganan dan penyelesaiannya (Perkaban
Nomor 3 Tahun 2011), supaya tidak terulang kembali akan kesalahan yang sama
dikemudian hari. Ini bukan pekerjaan
yang mudah untuk dijawab dan mudah untuk dilaksanakan. Tentunya penanganan dan
penyelesaian serta pencegahan munculnya sengketa, konflik dan perkara
pertanahan harus dilakukan secara
simultan dengan melibatkan semua pihak yang terkait, yaitu: 1)
Masyarakat (perorangan) (UU Nomor 25 Tahun 2009), dan Investor selaku Pelaku Usaha dalam rangka penanaman
modal (UU Nomor 25 Tahun 2006); 2) Pemerintah Pusat yang dalam hal ini Aparat
BPN-RI beserta jajarannya maupun kementerian atau LPND lainya serta Pemerintah
Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) serta Pemerintah Desa; 3) Yudikatif
sebagai Penegak Hukum (Hakim, Jaksa, Advocat dan Kepolisihan Negara); serta 4) Legislatif
(DPR dan DPD) terkait dengan perumusan/pembentukan UU di bidang Agraria/Pertanahan.
Penerbitan
Sertipikat sebagai tanda bukti kepemilikan atas sebidang tanah merupakan
perwujudan/realisasi dari bagian policy (kebijakan) pengelolaan tanah di tanah air yang
dilaksanakan oleh BPN RI, harus mencerminkan dan menghasilkan kesejahteraan,
keadilan, keberlanjutan dan harmonisasi (keseimbangan) hak-hak masyarakat.
Penerbitan
sertipikat hak atas sebidang tanah berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 1997, dan PP
Nomor 40 Tahun 1996 termasuk di dalamnya Sertipikat Hak Tanggungan (HT) berdasarkan
UU Nomor 4 Tahun 1996 dan Sertipikat Tanah Wakaf berdasarkan
UU Nomor 41 Tahun 2004 Jo. PP Nomor 42 Tahun 2006 Jis PP Nomor 28 Tahun 1977 termasuk
salah satu bentuk pelayanan yang termasuk dalam ruang lingkup pelayanan publik
khususnya pelayanan administratif yang diatur dalam Pasal 5 ayat (7) huruf a UU
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, di samping bentuk-bentuk pelayanan yang lain seperti IMB
dan IMBB ( UU Nomor 28 Tahun 2002 PP Nomor 36 Tahun 2005 tentang Bangunan Gedung), Izin Usaha, Surat Nikah (UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan), dll..
Pasal
5 ayat (7) huruf a menyatakan bahwa “tindakan administratif pemerintah yang
diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam
rangka mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda warga negara.”
Dalam
kaitan dengan pelaksanaan UU Pelayanan Publik tersebut, pada Pasal 39 dan 51
serta 58 UU Pelayanan Publik memberikan
hak kepada masyarakat untuk: 1) memberikan masukan terhadap penyusunan kebijakan, penyelenggaraan pelayanan publik yang dimulai
sejak penyusunan standar pelayanan sampai dengan evaluasi dan pemberian
penghargaan (Pasal 39); 2) membentuk dan/atau
melakukan pengawasan pelayanan publik dalam bentuk pengaduan melalui
lembaga Ombudsman, dan/atau DPR, DPR Provinsi, DPR Kabupaten/Kota (Pasal 39); 3) menggugat penyelenggara atau pelaksana
melalui peradilan tata usaha negara apabila pelayanan yang diberikan
menimbulkan kerugian di bidang tata usaha negara (Pasal 51); 4) mendorong
pemprosesan Pimpinan penyelengara dan/atau pelaksana pelayanan publik ke
lembaga peradilan umum apabila penyelenggara melakukan perbuatan melawan hukum
dan/atau penyelenggara melakukan tindak pidana (Psl. 58).
Sehubungan
dengan uraian beberapa persoalan pertanahan baik yang timbul pada tataran
peraturan perundanga-undangan (normatif), kebijakan dan teknis pelaksanaan di
bidang pertanahan sebagaimana tersebut di atas, tentunya secara yuridis dan
sosiologis serta psikologis akan berakibat pada masyarakat selaku penerima
manfaat pelayanan publik baik secara
langsung maupun tidak langsung akan
merasakan dampaknya, yaitu bisa berupa kerugian yang bersifat materiil maupun
inmateriil. Hal yang sama risiko itu,
juga akan menimpa juga bagi aparat penyelenggara negara (BPN-RI beserta
jajarannya) secara yuridis di pengadilan
baik berupa gugatan yang mempunyai aspek perdata, dan/atau pidana, serta tata usaha negara. Disamping
itu, kredibilitas keberadaan Institusi
BPN RI di mata masyarakat menjadi menurun dan dipertanyakan.
Sementara
untuk membenahi sistem pelayanan publik di Bidang Pertanahan tidak dapat hanya
tergantung/dilakukan secara intern BPN-RI (peningkatan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM), peningkatan Anggaran untuk penyediaan sarana dan prasarana,
dll), melainkan juga tak kalah
pentingnya yaitu pembenahan yang bersifat ekstern dari luar kelembagaan BPN RI
(Perumusan Peraturan Perundang-undangan di bidang pertanahan yang mempunyai
perspektif ke depan oleh pembentuk UU,
penegakan hukum bidang pertanahan oleh aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa,
Advokat dan Hakim), serta masyarakat sebagai pihak yang menjadi sasaran
pelayanan publik sebagai bagian dari pelaksanaan peraturan perundang-undangan.
Rumusan Pemasalahan
Sesuai
tema Seminar, yaitu “Benang Merah Di Balik Hukum Masalah Pertanahan Kontenporer
dan Kaitannya Dengan Keamanan Investasi Jangka Panjang (Long Term Profit),” dan topik “Manajemen Perolehan dan Pelepasan
Tanah Serta Persoalan Pengelolaanya”. Maka dalam makalah ini untuk membatasi
ruang lingkup kajian, kami fokuskan pada:
1. Bagaimanakah strategi agar perolehan hak
atas tanah memenuhi azas iktikad baik untuk mereduksi/mencegah terjadinya sengketa, konflik dan perkara
pertanahan?.
2. Bagaimanakah strategi dan langkah-langkah
penanganan dan penyelesaian masalah, sengketa, konflik dan perkara pertanahan
yang timbul?
Pembahasan
1.
Perolehan hak atas tanah
yang memenuhi asas iktikad baik
Iktikad
Baik dan Rechtsverwerking
Willem Martijn Hassenlink,[4] menyatakan bahwa iktikad
baik yang bersifat objektif mengacu pada konsep normatif. Iktikad baik
sesungguhnya seringkali dilihat sebagai sesuatu norma tertinggi dari hukum
kontrak, hukum perikatan atau hukum
perdata. Bahkan iktikad baik seringkali pula dikatakan sebagai berhubungan
dengan standar moral. Di satu sisi, dikatakan menjadi suatu standar moral itu
sendiri, yakni suatu prinsip legal
ethikal, sehingga iktikad baik bermakna honesty
(condour, loyality en cetera). Iktikad baik bermakna pula bahwa satu
pihak harus memperhatikan kepentingan
pihak lainnya di dalam kontrak. Di sisi lain iktikad baik dapat dikatakan sebagai
pintu masuk hukum melalui nilai moral (moral
values). Dengan demikian, maka iktikad baik sebagai norma terbuka (open norm), yakni suatu norma yang
isinya tidak dapat ditetapkan secara abstrak, tetapi ditetapkan melalui
kongkretisasi kasus demi kasus dengan memperhatikan kondisi yang ada.
Oleh
karena itu, diharapkan seorang hakim
yang mempunyai kompetensi untuk menguji iktikad baik dalam proses perolehan hak
atau kewenangan seseorang terkait dengan tanah, sebagaimana ketentuan Pasal 32
ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997, apabila hakim yang bersangkutan mampu dengan baik
menterjemahkan dari rasa keadilan yang
tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Hakim diwajibkan dapat mengikuti dan
menghayati terjadinya perubahan nilai dalam hubungan kemasyarakatan, dengan
jalan melakukan interpretasi yang baik, hukum akan tetap hidup dari masa ke
masa dan memberikan rasa keadilan bagi mereka yang mendambakan.
Selanjutnya,
istilah “iktikad baik” di dalam peraturan perundang-undangan (hukum
positip) dapat kita temukan pada rumusan
Pasal 32 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah. Dalam
penjelasan Ketentuan Pasal tersebut, tidak ditemukan jabaran lebih lanjut
bagaimana sebenarnya makna, pengertian atau definisi iktikad baik. Hanya ada
penegasan bahwa iktikad baik itu
merupakan prasyarat untuk dapat diberlakukannya lembaga rechtsverwerking[5]
yang bersumber pada hukum adat dan
merupakan upaya untuk mengatasi penerapan sistem publikasi negatif dalam
pendaftaran tanah. Dalam hukum adat ada ketentuan yang menyatakan “jika
seseorang serlama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian
tanah itu dikerjakan orang lain, yang memperolehnya dengan iktikad baik, maka
hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut.”
Ketentuan
dalam UUPA yang sejalan dengan penerapan azas tersebut, yaitu berkenaan dengan
hapusnya hak atas tanah karena diterlantarkan (Pasal 27, 34, 40 UUPA).
Ketentuan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya PP Nomor 36
Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran Negara RI Tahun 1998 Nomor 2,
Tambahan Lembaran Negara Tahun 1998
Nomor 51) Jo Keputusan Ka. BPN Nomor 24 Tahun 2002 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturanm Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Tanah Terlantar. Dalam perkembangan selanjutnya, PP itu
kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan dikeluarkannya PP Nomor 11
Tahun 2010 tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran
Negara RI Tahun 2010 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 5098),
jo. Peraturan Kepala BPN RI Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Penertiban
Tanah Terlantar.
Tanah
terlantar sebagai hasil pelaksanaan PP Nomor 11 Tahun 2010 tersebut, setelah ditetapkan statusnya menjadi tanah Negara,
akan dijadikan sebagai objek Reforma Agraria,[6] disamping tanah-tanah
Negara lainnya yang berasal dari Pelepasan Kawasan Hutan, tanah HGU atau HGB
(yang semula diterbitkan di atas tanah Negara)
dan telah berakhir jangka waktu
berlakunya dan tidak dilakukan perpanjangan oleh pemegang hak atas tanahnya.[7]
Dalam
rangka revitalisasi tanah pertanian,
maka tanah terlantar yang semula penggunaannya untuk non pertanian, berdasarkan
Pasal 29 ayat (3), (4), (6) (7) UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
((Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor
149, Tambahan Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 5068), dapat
dialihfungsikan menjadi lahan pertanian
pangan berkelanjutan. Sedangkan pengaturan mekanisme penetapan dan alih fungsi
lahan pertanian pangan berkelanjutan terdapat dalam PP Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan Dan Alih
Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran
Negara RI Tahun 2011 Nomor 2, Tambahan Lembaran NegaraTahun 2011 Nomor 51 85).
Dalam
kasus-kasus konkret jika di masyarakat timbul perkara terkait dengan substansi
pengujian ketentuan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 maka yang
mempunyai kompetensi untuk mempertimbangkan dan/atau menerapkan ketentuan
tersebut (rechtsverwerking) ada pada hakim yang memeriksa dan mengadili
serta memutus perkaranya. Demikian pula
hakim pengadilan yang akan menimbang-nimbang berat-ringannya bobot kepentingan
para pihak yang berperkara, termasuk kompetensi untuk menguji
terpenuhi-tidaknya persyaratan/eksistensi “iktikad baik” dalam memperoleh hak
atas tanah.
Dalam
pelaksanaan/penerapan azas rechtsverwerking
ini menurut Kepala BPN (Lutfi Nasution), masih terdapat beberapa kendala/hambatan.,
yaitu: 1) Para pelaksana di daerah
umumnya meragukan efektivitas (dipatuhinya oleh hakim yang memeriksa dan/atau
memutus perkara konkret yang diajukan kepadanya untuk memeriksa dan mengadili
serta memutus sehubungan ketentuan Pasal
32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997. Hal tersebut dibuktikan dengan masih terus diprosesnya usulan pembatalan
sertipikat, baik berdasarkan alasan praktis maupun akademis, mengingat bahwa
materi tentang hak keperdataan sesorang atau badan hukum seharusnya diwadahi
dalam bentuk UU; 2)Di kalangan ahli hukum ada keraguan, karena hakim tidak
diwajibkan untuk mengikuti putusan hakim sebelumnya (UU Nomor 14 Tahun 1970 Jo.
UU Nomor 35/1999 Jis UU Nomor 4 Tahun 2004 ttg Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, sebagaimana telah dicabut dan digantikan dengan UU Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara RI Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 5076),
dimana hakim harus mempertimbangkan
putusannya berdasarkan hukum tertulis dan keadilan; Sistem peradilan
Indonesia tidak menganut sistem precedent
sebagaimana peradilan di negara-0negara dengan sistem commoon law, maka hakim tidak berkewajiban mengikuti putusan
pengadilan sebelumnya; 3) tidak
tersediannya lembaga asuransi sebagaimana dikenal di Negara-negara yang menganut sistem Pendaftaran Tanah Positip, sehingga dapat
diberikan ganti kerugian terhadap pihak-pihak yang kemudian dirugikan oleh pelaksanaan pendaftaran tanah.
Sementara
di sisi lain Kepala BPN (Lutfi Nasution),[8] menyatakan bahwa lembaga rechtsverwerking merupakan
lemabaga recognitie (rekognisi) hak akibat pengaruh lampaunya waktu tidak
berdiri sendiri, melainkan menjadi satu kestuan konsep dengan lembaga “adverse possession” atau “verjaring” dan lembaga “title insurance”. Bahkan secara
subtansi lembaga “rechtsverwerking”
adalah sama dengan lembaga “adverse
possession” atau lembaga “perolehan hak karena daluwarsa” (Lampaunya waktu)” meskipun dalam
konotasi dengan iktikad baik (bad faith). Perbedaannya hanya terletak pada
penggunaan lembaga tersebut. Lembaga “rechtsverwerking”,
yaitu lampaunya waktu yang menyebabkan orang menjadi kehilangan hak atas tanah
yang semula miliknya, untuk mempertahankan kepemilikan tanah yang telah
terdaftar dalam daftar umum, sedangkan “adverse
possession” khususnya “in good faith”
atau “verjaring” adalah lampaunya waktu yang menyebabkan orang menjadi
mempunyai hak atas tanah yang semula dimiliki oleh orang lain, dengan tujuan
untuk memperoleh pendaftarannya dalam
daftar umum.
[1] Makalah
pernah disampaikan pada Seminar Nasional
Benang Merah Di Balik Hukum Masalah Pertanahan Kontenporer dan Kaitannya
Dengan Keamanan Investasi Jangka Panjang (Long
Term Profit), Inna Garuda Hotel, Yogyakarta: 30-31 Maret 2011 yang
diselenggarakan oleh Yayasan Yakarisma Jakarta.
[2] Pasal 15 ayat (2) huruf
f UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, menyatakan bahwa Notaris
berwenang pula: h. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau. Menyikapi ketentuan tersebut telah terjadi
pro dan kontra, seperti pendapat Abdul
Gani (Dirjen Per UU Kementerian Hukum dan HAM dengan Ir. Chairul Basri Ahmad
(BPN) Sementara Boedi Harsono, menyatakan Notaris tidak otomatis dapat membuat
Akta-Akta Yang berkaitan dengan Tanah, mengingat ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f di
dalam Penjelasan UU tersebut tidak ada tafsiran otentik, dan masih adanya
ketentuan Pasal 17 huruf g. Perlu dicermati juga ketentuan Pasal 17 huruf g UU Nomor 30 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa
Notaris dilarang merangkat Jabatan sebagai PPAT di luar wilayah Jabatan
Notaris. Boedi Harsono, Pertemuan Tahunan Memperingati 46 Tahun UUPA (Usaha
Penyempurnaan Yang Belum Selesai), Pusat Studi Hukum Agraria FH Trisakti,
2006.
[3] Kasus terjadi Di Wilayah Hukum Kabupaten Bogor, dimana seorang Notaris telah
membuat “Akta Pelepasan Hak Atas Tanah” Nomor
03 pada tanggal 3 Oktober 2007.
Hak atas tanah yang dilepaskan seluas 2.000 M2. Di Kampung Gombong Onan,
RT. 04 RW. 03 Desa Wates Jaya Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor yang semula
diperoleh dari Pelepasan Seorang
Direktur PT Perkebunan KI, dan belum bersertipikat, akan tetapi diperkuat
dengan Surat keterangan dari Kepala Desa setempat. Dalam Akta Pelepasan HAT
tersebut pihak yang menerima pelepasan diharuskan membayar gamti rugi sebesar
206.000.000 (Dua ratus enam juta rupiah) kepada pihak yang melepaskan tanah.
Hal-hal yang diperjanjikan dalam Akta tersebut antara lain: 1) Segala risiko
yang diderita/timbul sejak akta
pelepasan di buat/ditandatangani oleh para pihak menjadi risiko pihak kedua; 2) Pihak Kedua tidak akan mengadakan tuntutan
berupa apapun juga kepada pihak Pertama; 3) Segala biaya untuk pengurusan sehingga terbit sertipikat HAT menjadi beban
Pihak Kedua; 4) Pihak Kedua diberi Kuasa oleh Pihak Pertama dengan hak
Substitusi; 5) Apapun yang telah diterima Pihak Pertama dari Pihak Kedua tidak
akan dapat dituntut kembali oleh Pihak Kedua; 6) Kuasa yang diberikan oleh
Pihak Pertama kepada Pihak Kedua
merupakan kuasa tetap dan tidak dapat ditarik kembali dan tidak akan
berakhir karena sebab-sebab yang
dimaksud dalam Pasal 1813 KUH Perdata; 7) Perjnjian Pelepasan HAT ini juga
mengikat ahli waris dari kedua belah pihak, shingga jika salah satu pihak
meninggal dunia, maka ahli waris dari phak yang meninggal dunia atau pemngggantinya yang sah memenurut hukum
dari yang meninggal dunia, diwajibkan untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam
akta yang bersangkutan.
[4]Martijn Hesselink Willem, De
Redelijkheid en Billijkheid in het Eoropeasse Privaatrecht, Deventer:
Kluwer, 1999: 287.
[5]
Untuk Kajian rechtsverwerking, baca Bagir Manan, Sambutan pada Seminar
Nasional “Keefektifan Lembaga Rechsverwerking Mengatasai Kelemahan
Pendaftaran Tanah Dengan Sistem Publikasi Negatif” (Pusat Studi Hukum Agraria Uiniversitas
Trisakti, 2002, simak pula Makalah yang sama oleh Toton Suprapto dan H.
Muchsin, “Kepastian dan Perlindungan Hukum pada Landasan Keadilan Dan
Kebenaran”, 2002.
[6] Terkait dengan Kajian tentang “Reforma
Agraria dapat dicermati Makalah Penulis yang berjudul “tantangan Reforma
Agraria Di Kawasan Timur Indonesia” (Makalah disajaikan pada Seminar
Lingkar Belajar Agraria (Libra) Kerjasama STPN Yogyajarta-FE Universitas Satya
Wacana Salatiga: 4 Mei 2009).
[7] Terkait
pembahasan dan kajian secara
mendalam problematika tentang Tanah
Terlantar ini dapat dicermati dalam Buku Penulis yang berjudul “Penertiban
dan Pendayagunaan Tanah Terlantar PP 36 Tahun 1998 Jo. Keputusan Ka. BPN Nomor
24 Tahun 2002”, Penerbit CV. Clobal Visindo, 2002, dan Makalah Penulis
berjudul “Kajian Yuridis dan Sosiologis Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar” (Makalah disajikan pada
Workshop Peningkatan SDM Pemkab Sleman, 2010), DPPD Kab. Sleman. Makalah dapat
diakse melalui Website Kantor Dinas
Pengendalian Pertanahan Daerah (DPPD) Kabupaten Sleman.
[8] Kepala BPN (I Lutfi Nasution, Sambutan Ka. BPN pada Seminar
Tentang Efektivitas Lembaga “Rechtsverwerking”
Dalam Mengatasi Kelemahan Sistem Publikasi Pendafdtaran Tanah Negatip,
Pusat Studi Hukum Agraria Universitas Trisakti, 2002.
0 komentar:
Posting Komentar