Pendaftaran
Hak Atas Tanah Sebelum Dan Sesudah
Bencana
Di Indonesia[1]
Oleh
Sarjita[2]
Pendahuluan
Ada
keyakinan pada diri penulis yang tetap menjadi renungan sampai saat ini, dan
bahkan setelah hampir memasuki 20 tahun
bergelut dengan persoalan-persoalan
substansi pertanahan pada khususnya dan keagrariaan pada umumnya, yaitu
terkait dengan memaknai “pembangunan”.
Keyakinan
itu adalah, bahwa tanah tidak akan langsung memberikan/mendatangkan kemakmuran
(kesejahteraan) bagi umat manusia, akan tetapi kegiatan pembangunan di atas
tanah oleh manusia itulah yang dapat langsung menghadirkan kemakmuran itu sendiri. Keberadaan atau eksistensi
manusia untuk melaksanakan dan membawa
misi pembangunan di atas permukaan bumi
tersebut, sering kali bias (menyimpang) dari tujuan untuk mencapai kemakmuran.
Oleh karena itu, sayogyanya pada diri manusia sebagai kalifatullah di muka bumi
harus dilengkapi/dibekali pula dengan
legitimasi[3]
(keabsahan) kekuasaan, otoritas[4]
(outhority) atau wewenang (dalam ranah hukum publik dan
kecakapan/kemampuan bertindak dalam ranah hukum privat/perdata), moral
(hatinurani)[5]
dan aklaq al- karimah atau budi
penguasa.
Problematika UU Nomor 5 Tahun 1960
Dikaji
dari sudut pandang nilai, maka nilai-nilai yang tertuang/terkandung dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria atau sering disebut dengan istilah UUPA khususnya
pasal 1 s/d 15, meskipun wacana untuk melakukan pembaruan terhadap
substansinya setelah mengalami beberapa
kali pengkajian ternyata UUPA masih relevan dengan dinamika pembangunan
kekinian. Dengan kata lain wacana untuk melakukan perubahan/penggantian UUPA,
tidak diperlukan lagi. Yang lebih
dipentingkan adalah bagaimana konsep-konsep/nilai-nilai luhur yang terkandung
dalam UUPA itu bisa di implementasikan dalam pengelolaan Agraria (tata ruang,[6]
kehutanan,[7]
perkebunan,[8]
tata air,[9]
perikanan[10]
dan pertambangan,[11]
serta pertanahan,[12] wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil[13]) yang menghadirkan keadilan dan kesejahteraan
sesuai amanat konstitusi.
Menurut
Sudjito,[14]
UUPA masih relevan sesuai dengan asumsi-asumsi dasar konsep hukum progresif,
sepanjang dibaca dan diterjemahkan atau dimaknai hukum agraria harus dibenahi
dan disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan kekinian secara utuh dengan
mengedepankan jalinan hubungan antara Tuhan-manusia
dan tanah.
Menurut
Mahfud M.D.[15]
pembangunan hukum agraria yang substansinya tertuang dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 (UUPA), mengingat proses
pembuatan UUPA yang partisipasif dan isi
yang aspiratif, maka UUPA merupakan hukum yang berkarakter responsive.
Selanjutnya jika UUPA dilihat dari nilai sosial yang mendasarinya, maka UUPA
merupakan hukum prismatik[16]
yang ideal, karena mengkombinasikan (mengambil segi-segi baik) dua ekstrem pilihan nilai sosial yaitu nilai social
paguyuban (gemeinschap) dan nilai
sosial patembayan (geselschap) dengan
titik berat pada nilai kepentingan yang populistik (kemakmuran bersama) tanpa
menghilangkan hak individu. Berdasarkan pada berbagai pertimbangan filosofis
tersebut, Mahfud MD, berkeyakinan bahwa
UUPA secara prinsip tidak perlu
dirubah, sebab pada dasarnya sudah baik, tetapi yang menjadi masalah adalah implementasinya. Dari
sisi filosofi sudah baik, akan tetapi
pilihan kepentingan dan nilai social oleh Pemerintah telah menggeser
pesan subtantif filosofis yang mendasarinya. Sebagai contoh bergesernya
penggunaan hak menguasai yang berintikan
“mengatur” dalam kerangka populisme
menjadi “memiliki” secara mutlak
dalam rangka pragmatisme untuk melaksanakan program pembangunan ekonomi yang
berorientasi pada pertumbuhan.
Problem
utama yang dihadapi dalam pelaksanaan UUPA, sebagaimana sering dilontarkan oleh
para pemerhati di bidang ke-agrariaan, salah satunya Maria SW Sumardjono[17]
menegaskan bahwa UUPA tidak dapat
berdiri sendiri, melainkan membutuhkan berbagai peraturan pelaksanaan. Selain masih banyak berbagai peraturan
pelaksanaan yang belum tercipta, ternyata peraturan pelaksanaan yang sudah ada
pun kerapkali masih mengandung
permasalahan. Sedangkan peraturan pelaksanaan yang sudah ada/memenuhi, ada
kemungkinan pelaksanaannya tidak konsekuen dan konsisten.
Penguasaan Hak Atas Tanah
[1] Makalah disampaikan pada Colloquium “Sistem Pendaftaran dan
Administrasi Pertanahan Pra dan Pasca Bencana Alam di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Institut Tanah Ukur
Negara (INSTUN) Kerajaan Malaysia, Ahmad Ibrahim Kulliyyah of Laws, IIU
Malaysia dan IPOLS FH UMY, Hotel All Season: 23 Desember 2011.
[2]
S.H., M. Hum. Lektor (IV/a) pada Jurusan Manajemen Pertanahan Sekolah
Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta dan Dosen Luar Biasa Hukum Tata
Negara (HTN) pada Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
[3] Kekuasaan yang dilembagakan. Kekuasaan
dianggap sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain
sedemikian rupa, sehingga tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan
keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan
(Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan, dalam Miriam Budihardjo) Konsep
Kekuasaan Tinjauan Kepustakaan, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa),
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991: 10..
[4]
Kekuasaan yang dilembagakan, kekuasaan yang tidak hanya de facto menguasai,
melainkan juga berhak untuk menguasai.Wewenang adalah kekuasaan yang berhak
untuk menuntut ketaatan, jadi berhak untuk memberikan perintah. (Frans Magnis
Suseno, Etika Politik Modern Prinsip-prinsip Moral dasar Kenegaraan Modern,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001:53.
[5]
Sudjito, menyebut moral religius, yang mengandung karakteristik: teistik,
manusiawi, realistik (Sudjito, Reintegrasi Moral Ke Dalam Ilmu Hukum Suatu
Langkah Menuju Paragdima Holistik Pendidikan Hukum di Indonesia disampaikan
pada Lustrum XII Faklutas Hukum UGM: 3-4.
[6]
UU Nomor 26 Tahun 2007.
[7]
UU Nomor 41 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 19 Tahun 2004.
[8]
UU Nomor 18 Tahun 2004
[9]
UU Nomor 7 Tahun 2004
[10] UU Nomor 31 Tahun 2004.
[11]
UU Nomor 22 Tahun 2001 Jo UU Nomor 4 Tahun 2009.
[12]
Dalam proses perumusan RUU Pertanahan di BPN-RI
[13]
UU Nomor 27 Tahun 2007
[14]
Sudjto, Perkembangan Ilmu Hukum: Dari
Positivistik Menuju Holistik Dan Implikasinya Terhadap Hukumj Agraria Nasional
(Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
pada Fakultas Hukum UGM),
Yogyakarta: 28 Maret 2007.
[15]
Mahfud MD, (2006), Amandemen UUPA No. 5 Tahun 1960 Dalam Perspektif Politik
Hukum (Makalah disampaikan pada Semiloka Nasional Penyempurnaan UU Nomor 5
Tahun 1960 tentang UUPA) FH UII- DPD RI, Yogyakarta, 24 Maret 2006: 4.
[16]
UUPA telah menjadikan nilai sosial tradisional dan modern secara bersamaan
sebagai dasar menetapkan prinsip-prinsipnya. Disamping itu UUPA juga telah
mengakomodasikan kemajemukan masyarakat Indonesia dengan menempatkan
nilai-nilai sosial yang dihayati oleh masing-masing kelompok masyarakat yang
berbeda-beda kepentingannya. (Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia Suatu Pendekatan
Ekonomi-Politik (Disertasi), Program
Pasca Sarjana UGM, 2006: 30.)
[17]
Maria S.w. Sumardjono, Relevansi UUPA
Setelah 32 Tahun, Harian Jawa Pos, 24 September 1992.
0 komentar:
Posting Komentar