Regulasi dan Optimalisasi Pemanfaatan Tanah Kosong Dalam Rangka Pelaksanaan
Kewenangan Pertanahan pada DPPD Kabupaten Sleman[1]
Oleh
Sarjita, S.H., M. Hum.[2]
A.
Latar
Belakang
Dalam Kebijakan Pembangunan Nasional 2010-2014 yang
merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun
2010-2014 telah dirumuskan misi pembangunan yaitu melanjutkan pembangunan
menuju Indonesia yang Sejahtera. Pembangunan menuju Indonesia yang sejahtera
mengandung pengertian yang dalam dan
luas, mencakupi dan memiliki kemampuan bertahan dalam mengatasi gejolak yang
terjadi, baik dari luar maupun dari dalam. Ancaman krisis pangan pada periode
2005-2008 telah mengakibatkan banyak rakyat merasa terancam kesejahteraannya
meskipun pemerintah telah berupaya melindungi masyarakat melalui kebijakan
subsidi pangan yang sangat besar. Oleh karena itu membangun dan mempertahankan
ketahanan pangan (food security) secara berkelanjutan merupakan salah satu
elemen penting dalam misi mencapai kesejahteraan rakyat Indonesia.
Sementara itu
persoalan dan dimensi pembangunan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia selalu
berubah dan semakin kompleks. Secara kuantitatif maupun kualitatif permasalahan dan tuntutan
pembangunan semakin meningkat, sedangkan kemampuan dan sumber daya pembangunan
yang tersedia cenderung terbatas. Oleh
karena itu, Pemerintah maupun Pemerintah Daerah harus mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memenuhi tuntutan yang tidak
terbatas dengan membuat pilihan dalam bentuk 11 (sebelas) skala prioritas
nasional, dua di antaranya adalah
penanggulangan kemiskinan dengan harapan terjadi penurunan tingkat kemiskinan
absolut dari 14,1 % pada tahun 2009 menjadi 8-10% pada tahun 2014 dan ketahanan
pangan
Dalam bidang pangan, terciptanya kemandirian dalam bidang
pangan pada akhir 2014 ditandai dengan meningkatnya ketahanan pangan rakyat,
berupa perbaikan status gisi ibu dan anak pada golongan masyarakat yang rawan pangan, membaiknya
akses rumah tangga golongan miskin
terhadap pangan, terpelihara dan terus meningkatnya kemampuan swasembada beras
dan komoditas pangan utama lainnya.
Program aksi ketahanan pangan salah satunya yaitu
pengembangan kawasan dan tata ruang pertanian, penataan regulasi untuk menjamin
kepastian hukum atas lahan pertanian, pengembangan areal pertanian baru seluas
2 juta hektar, penertiban serta optimalsasi penggunaan [dan/atau pemanfaatan tanah
kosong] dan tanah terlantar.
B.
Pokok
Pokok Permasalahan
Adalah suatu kenyataan program investasi tidak selalu
berjalan mulus dan lancar. Setelah izin investasi keluar dan izin lokasi
disetujui oleh pihak yang berwenang, investor mulai melakukan proses pembebasan
tanah dari pemegang atau pemilik tanah. Kemudian setelah izin lokasi jatuh
tempo, berbagai persoalan dihadapi oleh investor, yang menyebabkan investasi
tidak jadi dilaksanakan, padahal tanah yang telah dibebaskan sudah cukup luas,
bahkan kemungkinan sudah sesuai yang direncanakan.
Tanah-tanah yang telah dibebaskan tersebut, jika dibiarkan
terlalu lama, maka akan menjadi tanah kosong yang tidak tergarap, sehingga
tanah tersebut tidak produktif. Apabila kondisi tersebut dibiarkan berlarut-larut,
akan merupakan hal yang tidak bermanfaat dan menimbulkan masalah. Tanah-tanah
tersebut tentunya tidak memiliki nilai sosial ekonomi dan pada akhirnya tidak
sesuai dengan semangat Konstitusi Negara khususnya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,
yang menyatakan bahwa ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.”
Kondisi tersebut di atas, yaitu menjadikan tanah
sedemikian rupa sehingga menjadi tanah kosong akan sangat bertolak belakang
dengan maksud ketentuan Pasal 6 (fungsi sosial hak atas tanah) dan Pasal 15
(kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan
hukum dengan tanah untuk memelihara tanah termasuk menambah kesuburannya serta
mencegah kerusakannya, dengan memperhatikan pihak yang ekonmis lemah) UU Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Keberadaan tanah kosong tersebut, sejak terjadinya krisis moneter tahun 1997 telah menimbulkan gejala
terjadinya pendudukan (okupasi) atau penguasaan ilegal oleh bukan
pemegang/pemiliknya atau ”masyarakat yang kurang beruntung” untuk ditanami
dengan tanaman pangan yang semakin merebak baik itu di atas tanah-tanah yang
dikuasai oleh Instansi Pemerintah maupun badan hukum, misalnya lapangan golf,
peternakan (Tapos), komplek Pengembangan Kota Mandiri (pengembang perumahan).
Kondisi tersebut di atas dapat dipahami, akan tetapi tidak dapat dibenarkan
menurut kacamata hukum.[3]
Oleh karena itu, di dalam PP Nomor 38 Tahun 2007, Pemanfaatan
dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong termasuk ke dalam salah satu Kewenangan
Wajib di bidang pertanahan yang harus
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam rangka desentralisasi.
Hal tersebut, tentunya didasarkan pada pertimbangan bahwa tanah-tanah kosong
keberadaanya ada dan masuk dalam wilayah hukum Pemerintah Kabupaten/Kota, dan
permasalahannya dirasakan secara langsung oleh warga masyarakat yang
bersangkutan.
Menurut PP Nomor 38 Tahun 2007 tersebut, kewenangan Pemda
Kabupaten/Kota di dalam Penyelenggaraan Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah
Tanah Kosong,[4] meliputi
tahapan:
1)
Inventarisasi dan
identifikasi tanah kosong untuk pemanfaatan tanaman pangan semusim
2)
Penetapan
bidang-bidang tanah sebagai tanah kosong yang dapat digunakan untuk tanaman
pangan semusim bersama dengan pihak lain berdasarkan perjanjian
3)
Penetapan
pihak-pihak yang memerlukan tanah untuk tanaman pangan semusim dengan
mengutamakan masyarakat setempat
4)
Fasilitas
perjanjian kerjasama antara pemegang hak atas tanah dengan pihak yang akan
memanfapan/diketahui oleh Kepala Desa/Lurah dan Camat setempat, dengan
perjanjian untuk dua kali musim tanam.
5)
Penanganan masalah
yang timbul dalam pemanfaatan tanah kosong, jika salah satu pihak tidak
memenuhi kewajiban dalam perjanjian.
Pengaturan secara rinci mengenai pemanfaatan tanah kosong
berpedoman pada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1998
tentang Pemanfaatan Tanah Kosong Untuk Tanaman Pangan. Pengertian tanah kosong
dalam PMNA/Ka. BPN tersebut adalah 1) Tanah yang dikuasai dengan HM,
HGU, HGB dan HP, serta Tanah Hak Pengelolaan (HPL), 2) Tanah yang sudah
diperoleh dasar penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas tanahnya sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang belaku, atau sebagaiannya, yang
belum dipergunakan sesuai sifat dan tujuan pemberian haknya atau RTRW yang
berlaku.
Kemudian
pihak-pihak atau subjek yang terkena ketentuan PMNA/Ka. BPN No. 3 Tahun 1998
yaitu: Pemegang HAT baik perorangan atau badan hukum (HM, HGU, HGB dan
HP); Pihak-pihak yang terkena ketentuan
PMNA/Ka. BPN tersebut terdiri dari: 1) Perorangan atau badan hukum yang telah
memperoleh dasar penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas tanahnya sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang belaku; 2) Instansi Pemerintah,
Pemda, atau badan lain yang diberi pelimpahan kewenanganan pelaksanaan sebagian hak menguasai dari
Negara atas tanah Negara dgn HPL (Pemegang HPL).
C.
Otonomi Daerah
Otonomi Daerah
sering dimaknai sebagai babak baru dalam konstelasi pembangunan yang bernaung
di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Era desentralisasi,
keterbukaan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan mengiringi kemunculan
dan perkembangan otonomi. Lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah yang kemudian digantikan
dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
semakin mengukuhkan peran Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan
dan pembangunan di daerah otonom.
Beberapa terminologi penting yang perlu dipahami bersama dalam konteks
otonomi daerah sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 antara lain
adalah:
1.
Pemerintahan daerah
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.
Otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
3.
Daerah otonom,
selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI.
4.
Desentralisasi
adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI.
5.
Dekonsentrasi
adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai
wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
6.
Tugas pembantuan (medebewind) adalah penugasan dari
Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa
untuk melaksanakan tugas tertentu.
Berdasarkan beberapa terminologi di atas tampak bahwa
kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah untuk
mengatur dan mengurus sendiri segala urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat (desentralisasi) semakin
luas. Kesempatan
inilah yang kemudian dimaknai sebagai peluang
yang harus ditangkap oleh pemerintah daerah otonom. Dalam konteks ini
salah satu substansi yang perlu mendapat perhatian adalah desentralisasi. Pada
dasarnya terdapat berbagai keuntungan dengan adanya desentralisasi. Keuntungan
tersebut tidak hanya bermanfaat dan memberikan peluang yang lebih luas kepada
daerah-daerah otonom, tetapi juga memberikan peluang bagi pemerintah pusat
untuk lebih fokus dalam mengatur pemerintahan dan kepentingan negara dan warga
negara ini secara menyeluruh, terintgrasi dan berkesinambungan di luar
urusan-urusan yang sudah didesentralisasikan.[5]
Alexander Abe dalam Sutaryono[6]
mencatat beberapa keuntungan yang diperoleh bagi pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam pelaksanaan desentralisasi, yang meliputi:
[1] Naskah Akademis Pemanfaatan Tanah Kosong Dalam
Rangka Penyusunan Peraturan Bupati (Perbub) Pelaksanaan Kewenangan Pertanahan
Daerah pada DPPD Kab. Sleman, 2009.
[2] Lektor (Pembina IV/a) Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta,
Trainer dan Penulis Buku Kebijakan Pertanahan.
0 komentar:
Posting Komentar