Hak-Hak Masyarakat Adat dalam Integrasi
Hukum Tanah Nasional
(Suatu Kajian dari Aspek Yuridis dan Sosiologis)[1]
Oleh
Pengantar
Pembaruan
pengelolaan sumber daya agraria termasuk tanah yang mengunakan pendekatan
ekosistem dalam rangka mewujudkan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
melalui instrumen dan tujuan dari Hukum Lingkungan Modern dengan lebih
mengedepankan “environmental oriented
law” adalah suatu keharusan,
apabila kita tidak ingin menyaksikan pengelolaan SDA terkuras secara sia-sia, dan akan
menyisakan konflik di kemudian hari.
Kajian
yang bersifat evaluative dalam pengelolaan SDA, khususnya terkait dengan tanah
telah menyulut konflik. Pertama,
orientasi pengelolaan SDA yang telah bergeser dari keadilan sosial menjadi
sekedar nilai ekonomi; Kedua, lembaga
dan norma hukum belum beekrja secara efektif untuk menangani dan menyelesaikan
sengketa dan konflik; Ketiga, hampir
pada setiap kegiatan pengelolaan SDA
posisi tawar masyarakat termasuk masyarakat hukum adat sangat
lemah;
Kenyataan
riil di atas mendasari lahirnya Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketetapan MPR RI Nomor
IX/MPR/2001 tersebut, telah memberikan mandat agar Negara/Pemerintah melakukan
pengkajian ulang terhadap peraturan perundang-undangan yang ada dan
mensinkronkan dengan kebijakan antar sektor/kepentingan, sehingga mampu menghadirkan sistem pengelolaan SDA
yang dapat menjamin keadilan agraria. Konsekuensi yuridis yang
harus di kawal oleh semua pemangku kepentingan terkait dalam pengelolaan SDA,
harus mencerminkan prinsip-prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan SDA
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001.
Mandat
Politik tersebut, oleh Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hendak diwujudkan
dan kebijakannya dituangkan dalam Perpres Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJM
Nasional Tahun 2010-20014, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas
Pembangunan Nasional Tahun 2010 dan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010
tentang Program Pembangunan Yang Berkeadilan.
Dalam
rangka melaksanakan amanat Peraturan Presiden dan Instruksi Presiden tersebut
di atas, Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia (BPN-RI) selaku Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND)
yang mempunyai mandat politik sesuai Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, UU Nomor 5
Tahun 1960 dan Perpres Nomor 10 Tahun 2006 di sektor/bidang pengelolaan
pertanahan, harus dilakukan secara efisien,
efektif, penegakan hukum hak atas tanah dengan mengembangkan dan menerapkan
prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi.
Selanjutnya untuk mendukung skala prioritas di bidang
Ketahanan Pangan, BPN RI melalui program Reforma Agraria (RA) dan Penataan
Pertanahan Nasional pada tahun 2010 diharapkan dapat menghasilkan keluaran
salah satunya RUU Pertanahan yang
mencakup: 1) sinkronisasi dan harmonisasi
peraturan perundang-undangan terkait tanah, seperti UU Peraturan Dasar Pokok
Pokok Agraria (UUPA), UU Perlindungan
Lahan Pertanian Berkelanjutan, UU Budidaya, UU Pertambangan, Mineral dan
Batubara, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Perkebunan, UU
Penataan Ruang; 2) Pengaturan penataan tanah masyarakat hokum adat dalam sistem
ekagarariaan nasional.
Bertitik
tolak dari Uraian tersebut, maka Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang)
BPN-RI melakukan penyusunan Paper Kebijakan (Policy
Paper) terkait dengan subtansi tanah adat yang merupakan bagian dari Substansi
RUU Pertanahan. Paper kebijakan ini telah beberapa kali dibahas dalam Forum
Diskusi Kelompok di Litbang BPN RI dengan mengikutsertakan berbagai
komponen/unsur baik dalam maupun luasr BPN-RI.
Tidak
lupa, kami haturkan ucapan terima kasih kepada teman Tim ICHS dalam FGD yang
telah memberikan respon positip dan atas masukannya. Lebih khusus kepada Prof.
Dr. Endriatmo Soetarto, MA., selaku Kepala Litbang BPN-RI yang telah memberikan
kepercayaan kepada kami bertiga untuk menyusun Paper Kebijakan ini.
Semoga kehadiran paper kebijakan substansi tanah adat yang dilakukan melalui
pendekatan dari sisi yuridis dan sosiologis ini dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk
mewujudkan pengelolaan SDA yang berkeadilan.
Yogyakarta, Oktober 2010
Tim
Penyusun
Masyarakat Adat
Dalam
beberapa literature, “masyarakat adat”[4] merupakan terjemahan dari indigeneous[5]
peoples (masyarakat tradisional), tribal peoples (masyarakat suku/pribumi), dan native people
(masyarakat asli), serta forest peoples (masyarakat hutan) atau dalam bahasa Belanda, inheems.[6]
Secara
terminologis, peristilahan atau sebutan masyarakat adat, juga digunakan oleh
Departemen Sosial dengan istilah suku-suku bangsa terasing. Sedangkan
Koentjaraningrat menggunakan istilah masyarakat yang diupayakan berkembang.
Kemudian Kusumaatmadja menggunakan istilah kelompok penduduk rentan primitife,
peladang berpindah, orang minoritas (minorities),
orang gunung (highlanders). Terminologi
penggunaan sebutan “masyarakat adat” juga telah mendapatkan kesepakatan secara aklamasi dalam Konggres
Masyarakat Adat Nusantara yang diselenggarakan di Jakarta, 15-22 Maret 1999.
Pada
umunya mereka (masyarakat adat) tersebut menduduki dan mendiami wilayah yang sangat kaya mineral dan sumber daya alam
lainnya. Sebagai Contoh, Daerah Reservasi (bagi orang Indian) di Amerika
Serikat[7] yang
dianggap sebagai daerah yang kurang berharga pada abad ke-19, tetapi kini
daerah tersebut terbukti menyimpan sejumlah besar cadangan mineral, kayu,
margasatwa, dan sumber air. Diperkirakan
65% cadangan uranium Amerika Utara terdapat di daerah reservasi Indian
Amerika. Wilayah Reservasi ini
merupakan tempat bagi 80%
penambangan uranium yang dilakukan di AS dan pemrosesan uranium seluruhnya (100%)
dilakukan di daerah resevasi ini. Sedangkan
Contoh di Indonesia,[8] adalah ditemukannya cadangan tembaga dan emas di
oleh James Robert “Jim Bob” Moffett sebagai Chief
Executif Officer (CEO), bahwa di Grasberg (Tenogoma-Enagasin). Daerah ini
mengandung cadangan tembaga nomor tiga terbesar dan cadangan emas nomor satu
terbesar di dunia.
Mereka disebut indigenous karena akar turum temurun kehidupan mereka menjadi satu
kesatuan tak terpisahkan dengan tanah dan wilayah di mana mereka huni, atau
akan huni (dalam arti kembali di wilayah tersebut setelah mengalami peminggiran
atau pengusiran paksa). Mereka juga disebut peoples
karena merupakan komunitas yang unik dan eksistensi serta identitas mereka
yang berkelanjutan secara turun temurun, yang menghubungkan mereka dengan
komunitas, suku atau bangsa dari sejarah masa lampaunya.
Secara politik mereka tidak memiliki
posisi tawar menawar yang kuat. Secara ekonomi mereka tidak terjamin
kerberlanjutan hidupnya. Kohesitas dan perasaan anggotanya sebagai satu
masyarakat yang berasal dari akar yang sama telah terkikis oleh pelbagai
tawaran yang bersifat memecah belah. Sedangkan integritas dan indentitas mereka
sebagai manusia dan sebagai warga komunitas tengah terancam oleh modernisasi,
mereka tidak siap untuk menjadi masyarakat lain yang menamakan dirinya sebagai
modern, sementara di sisi lain nilai-nilai dan sisten hidup tradisional mereka
terancam sirna.
J.
Sembiring,[9]
menyatakan bahwa dengan memimjam pendapat Alvin
Toffler dalam bukunya “The Third
Wave” terdapat tiga gelombang dalam
sejarah kehidupan manusia, yaitu Pertama,
Pola Hidup Agraris (8000 SM-1700). Kedua,
Pola Hidup Sosial Industri (1700-1970) dan Ketiga,
Pola Hidup Sosial Era Informasi [1970-
sekarang]. Mengingat bahwa sebagian
daerah di Indonesia (Sumatera, Kalimantan, dan Irian/Papua) masih
terdapat kelompok masyarakat hidup
secara nomaden dengan pola pertanian (shifting
cultivation). Dengan demikian sebagian masyarakat Indonesia berada dalam keadaan shock sebab transisi itu mendadak dan dalam rentang waktu yang
relatif singkat. Kondisi tersebut akan menimbulkan perbedaan persepsi dalam
memandang fungsi tanah dalam pembangunan. Di sisi lain hadirnya otonomi daerah dan upaya penguatan masyarakat
lokal masih belum membuahkan hasil dan masih harus berhadapan dengan
kepentingan ekonomi global, sehingga politik pertanahan dihadapkan dengan
dimensi baru yang semakin konpleks.
Menurut Wignyosoebroto, (dalam)
Rachmad Syafa’at, paradigma dan
kebijakan dasar pembangunan yang dominan saat rezim Orde Baru berorientasi pada
industrialisasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Paradigma tersebut bersumber
pada idiologi kapitalisme yang bersandar pada paradigma Ilmu Pengetahuan Modern
yang menggagap bahwa tradisi adalah suatu
masalah dan menghmbat pembangunan. Untuk itu diciptakan pula banyak sekali
perangkat peraturan perundang-undangan dan politik yang sangat sentralistik
bercorak teknokratis dan represif. Hukum Nasional diseragamkan dengan
mengabaikan disparitas regional dan lokal, yang pada gilirannya mematikan
otonomi, hukum dan kelembagaan masyarakat adat. Proses peminggiran
(marginalisasi) masyarakat adat dalam pembangunan dan pengelolaan SDA ini pada
gilirannya membangkitkan Cultural Counter
Movement, gerakan perlawanan budaya masyarakat adat terhadap persitensi dan
penyingkiran kelembagaan dan hukum lokal yang selama ini dihargai dan dikukuhi
dalam pengelolaan SDA.[10]
Keberadaan atau eksistensi mereka yang
rentan dan terimbas oleh pengaruh kepentingan ekonomi global tersebut, masih
dihadapkan pula pada beragam masalah yang secara garis besar dapat dikelompokan
menjadi tiga, yaitu:
a. Masalah hubungan masyarakat adat dengan tanah
dan wilayah di mana mereka hidup dan dari mana mereka mendapatkan
penghidupannya, termasuk sumber daya alamnya.
b. Masalah self-determination yang sering berbias
politik dan hingga sekarang masih menjadi perdebatan sengit;
c.
Masalah identification,
yaitu soal siapakah yang dimaksud masyarakat
adat itu, apa saja kriterianya, apa bedanya dengan masyarakat adat yang
bukan adat/asli/pribumi (non-indigenous
peoples).
Dari
ketiga permasalahan tersebut di atas, maka masalah yang paling krusial yang
relevan dan terkait dengan bidang tugas pokok kita adalah masalah pada huruf a
terkait hubungan mereka dengan tanah dan wilayah di mana mereka hidup dan dari
mana mereka mendapatkan penghidupannya, termasuk sumber daya alamnya. Namun demikian bukan berarti merendahkan permasalahan
yang lainnya, persoalan pada huruf c juga layak untuk dilakukan pengkajian
secara lebih mendalam untuk menemu-kenali eksistensi mereka.
[1] Paper Kebijakan disampaikan pada Forum Grup Diskusi (FGD) Lembaga
Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Badan Pertanahan Nasional-RI, 13 Juli
2010.
[2] S.H., M. Hum. Lektor
(Pembina IV/a) pada STPN Yogyakarta.
[3] S.H., MPA, Lektor Kepala
(Pembina IV/a) pada STPN Yogyakarta.
[4] Adalah Komunitas, masyarakat
dan bangsa-bangsa asli atau adat adalah mereka yang sembari memiliki kelanjutan
sejarah dengan masyarakat pra-invansi dan pra kolonial yang berkembang di
wilayah mereka, menganggap iri mereka berbeda dari sektor-sektor atau
bagian-bagian lain dari masyarakat yang sekarang mendominasi wilayah tersebut
atau sebagian dari wilayah tersebut. Di masa kini mereka merupakan
sector-sektor atau bagian-bagian yang non-dominan dari masyarakat yang lebih
besar, dan mereka ketetapan untuk melestarikan, mengembangkan dan mewariskan
kepada generasi yang akan dating sebagai basis leluhur mereka, dan identitas
etnik mereka, sebagai basis kelanjutan eksistensi mereka sebagai masyarakat,
sesuai dengan pola budaya, institusi social dan system hokum mereka sendiri.
Jose Martinez Cobo, Study of the
Problem of Discrimination Against Indigenous Population, Volume 5, Conclusions
Proposal and Recommendation, U.N. Doc. E/CN.4/Sub.2/1986/7 dan
Adds.1-4.
[5] Indigenous berasal dari
bahasa Latin “indigenae” yang digunakan untuk membedakan antara orang-orang
yang dilahirkan di sebuah tempat tertentu
dan mereka yang dating dari tempat lain (advenae). Rafael Edy Bosko,
(2006), Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konstek Pengelolaan Sumber Daya Alam
(terjemahan) The Right of Indigenous
Peoples in the Context of Natural Resources Development, Thenis Dalam
Bidang Hukum Internasional di Raoul Wallemberg Institute of Human Right an Humanitarian
Law, Faculty of Law University of Lund, 1999), Jakarta, ELSAM-LSAM: 52.
[6] Bernad Steny, Pluralisme Hukum Antara perda Pengakuan Masyarakat
Adat dan otonomi Hukum Lokal. Jurnal Pembaruan Desa Dan Agraria, Yogyakarta, 84.
[7] Rafael Edy Bosco, Ibid. Opcit.: 84-85.
[8] August Kafiar, (1999), Peranan PT. Freeport Indonesia Dalam
Pembangunan Masyarakat Dan Daerah Irian Jaya (Makalah disampaikan pada Seminar
Nasional Pertanahan Irian Jaya, IMTB-IRJA STPN dengan IPMIRJA, Yogyakarta,
26-27 Nopember 1999.: 3-4.
[9] J. Sembiring, Pergeseran Politik Pertanahan Di Indonesia
(Makalah disampaikan pada Forum Diskusi dan Kajian Pertanahan STPN, 30
Maret 2001: 1-2.
[10] Rachmad Syafa’at, (2008), Metode Advokasi Dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Malang, Instrans
Publishing Malang: 213.
0 komentar:
Posting Komentar