CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Rabu, 28 Maret 2012


Tindak Pidana di Bidang Pertanahan
Oleh
Sarjita, S.H., M. Hum.

Muhadar86 menggunakan istilah "kejahatan" untuk menyatakan tindak pidana di bidang pertanahan. Menurut beliau, kejahatan di bidang pertanahan sebenarnya bukanlah suatu istitah baru dalam hukum pidana tetapi mempakan istilah yang sama dengan kejahatan pada umumnya sebagaimana diatur dalam Buku Ke II KUHP. Hanya saja kejabatan di bidang pertanahan ini berhubungan dengan tanah atau pertanahan sebagai objek atau salah satu unsur adanya kejahatan.
Pasal-pasal di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang terkait dengan kejahatan atau tindak pidana di bidang pertanahan adalah sebagai berikut:
1.       Kejahatan terhadap penyerobotan tanah diatur dalam Pasal 167 KUHP:
(1)  Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum, atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan secara diancam dengan pidana pedana paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
(2) Barang siapa masuk dengan merusak atau memanjat, dengan menggunakan anak kunci palsu perintah palsu atau pakaian jabatan palsu atau barang siapa tidak setahu yang berhak lebih dahulu serta bukan karena kehkilafan masuk dan kedapatan di situ pada waktu malam, dianggap memaksa masuk;
(3) Jika mengeluarkan ancaman atau menggunakan sarana yang dapat menakutkan orang pidana menjadi paling lama satu tahun empat bulan;
(4) Pidana tersebut dalam ayat I dan 3 dapat ditambah sepertiga jika yang melakukan kejahatan dua orang atau lebih dengan bersekutu.
2.      Kejahatan terhadap pernberian sumpah palsu dan keterangan palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 242 KUHP.
(1)  Barang siapa dalam hal dimana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah, atau mengadalian akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan dasar, atau tulisan, olehnya sendiri maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(2) Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(3) Disamakan dengan sumpah palsu adalah janji atau pengikatan, .yang diharuskan menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah;

1.                     Muhadar, Viktimisasi Di Bidang Pertanahan, Laksbang Presindo, Yogyakarta, 2006:
46
3.      Kejahatan terhadap pemalsuan surat-surat masing-masing diatur dalam Pasal 263, 264, 266, dan 274 KUHP: PasaI263 KUHP:
(1) Barang siapa membuat seeara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukan sebagai bukti dari pada sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu seolah-olah benar atau tidak palsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Pasal 264 KUHP:
(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:
a.      Akta-alda Otentik;
b.      Surat hutang dan sertipikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;
c.       Surat sero atau hutang atau sertipikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan yayasan, perseroan atau maskapai;
d.      Talon, tanda bukti dividen atau dengan dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengagnti surat-surat itu;
e.      Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukan untuk diedarkan.
(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja mekakai surat tersebut dalam alat pertama yang isinya tidak benar atau yang dipalsu seolah-olah benar dan tidak palsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Pasal266 KUHP:

(1) Barangsiapa menyuruh masukan keterangan palsu ke dalam suatu akta otekrik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.

Pasal274 KUHP:

(1) Barang siapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat keterangan seorang pejabat selaku penguasa yang syah, tentang hak milik atau hak lainnya atas sesuatu barang, dengan maksud untuk memudahkan penjualan atau pengadannya atau untuk menyesaikan pejabat kehakiman atau kepolisian tentang asalnya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun;
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan maksud tersebut. memakai surat keterangan itu seolah-olah benar dan tidak palsu.

4.      Kejahatan penggelapan terhadap hak atas barang tidak bergerak, seperti tanah, rumah sawah. Kejahatan ini biasa disebut dengan kejahatan stellionaat, yang diatur dalam pasal 385 KUHP.
Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun:
(l) barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan atau membebani dengan crediet verband sesuatu hak atas tanah Indonesia, sesuatu gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan, padahal diketahui bahwa yang mempunyai atau turut mempunyai hak atasnya adalah orang lain.
(2) Barang siapa dengan maksud yang sama menjual, menukarkan, atau membebani dengan crediet verband, sesuatu hak tanah lndonesia yang telah dibebam crediet verband, atau sesuatu gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan di atas tanah yang juga telah dibebani demikian, tanpa memberitahukan tentang adanya beban itu kepada pihak yang lain.
(3) Barang siapa dengan maksud yang sama mengadakan credieet verband mengenai sesuatu hak tanah lndonesia, dengan menyembunyikan kepada pihak lain bahwa tanah yang berhubungan dengan hak tadi sudah digadaikan;
(4) Birang siapa dengan maksud yang sama mengadaikan atau menyewakan tanah dengan hak Indonesia, padahal diketahui bahwa orang lain yang mempunyai atau turut mempunyai hak atas tanah itu;
(5) Barang siapa dengan maksud yang sama menjual atau menukarkan tanah  dengan hak Indonesia yang telah digadaikan, padahal tidak diberitahukan kepada pihak yang lain, bahwa tanah itu telah digadaikan:
(6) Barang siapa dengan maksud yang sama, menjual atau menukarkan tanah dengan hak Indonesia untuk suatu masa, padahal diketahui, bahwa tanah itu telah disewakan kepada orang lain untuk masa itu juga.

Dari Pasal-Pasal di Dalam KUHP tersebut di atas, jika disajikan dalam bentuk tabel akan nampak sebagai berikut:

Tabel 1 : Pasal-Pasal Tindak Pidana Di Bidang Pertanahan Yang Diatur dalam KUHP

No
Perihal
Pengaturan Pasal
Ancamana Pidana
Keterangan

Penyerobotan Tanah
167 KUHP
Paling lama 9 bulan dan/atau denda Rp. 300
Kejahatan

Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu
242 KUHP
Paling lama 7 tahun
Kejahatan

Pemalsuan Surat
263 KUHP
Paling lama 6 tahun
Kejahatan

Pemalsuan Surat
264 KUHP
Paling lama 8 tahun
Kejahatan

Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik
266 KUHP
Paling lama 7 tahun
Kejahatan

Pemalsuan Surat Keterangan
274 KUHP
Paling lama 2 tahun
Kejahatan

Penggelapan terhadap ha katas barang tidak bergerak
285 KUHP
Paling lama 4 tahun
Kejahatan
Sumber: Moeljatno, KUHP, Jakarta, Bina Aksara 1985

Di samping itu masih ada lagi tindak pidana di bidang pertanahan yang di luar Kitab undang-undung Hukum Pidana (KUHP). seperti yang tercantum dalam Peraturan perundan -undangan, seperti :
1.       Pasal 52 UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Ketentuan Pasal 52 UUPA menyatakan bahwa:
(1) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal 15dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau
(2) Peraturan pemerintah dan peraturan perundangan yang dimaksud dalam pasal 19, 22, 24 ayat (1), 46, 47, 48, 49 ayat (3) dan 50 ayat (2) dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi- tingginya Rp. 10.000,-
(3) Tddak pidana dalam ayat (1) dan (2) pasal ini adalah pelanggaran

Berdasarkan penjelasan Pasal 52 UUPA, sanksi pidana tersebut diperlukan untuk menjamin pelaksaman sebaik-baiknya dari ketentuan pasal- pasal tersebut. Sebagai contoh, ketentuan Pasal 15 UUPA bahwa tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan-hubungan dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah berwajiban memelihara tanah, termasuk menambah kesuburanya serta mencegah kerusakannya. Di sini jelas bahwa UUPA berusaha untuk menjaga keseimbangan pemenuhan kebutuhan/ kepentingan masyarakat dan kepentingan perorang, sehingga akan tercapai tujuan pokok yaitu kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat.
2.      Pasal 6 UU Nomor 51 /Prp/1960 tentang larangan Pemakaian Tanah Tanpa izin yangg Berhak Atau Kuasanya. Ketentuan pasal 6 UU Nomor 51/Prp/1960 menyatakan bahwa
(l) Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 3, 4 dan 5, maka dapat dipidina dengan hukuman selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah),
(2) Ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian yang diadakan oleh Menteri Agraria dan penguasa Daerah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 3, 4 dan 5 dapat memuat ancaman pidana dengan hukuman kurungan selama- lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000,- (lima ribu Rupiah) terhadap siapa yang melanggar atau tidak memenuhinya.
(3) Tindak pidana tersebut dalam pasal ini adalah pelanggaran.

Berdasarkan penjelasan angka 6 PP tersebut, maka mengingatakan sifat dan perbuatannya maka yang dapat pidana itu tidak saja terbatas pada pemakaian-pemakaian tanah yang dimulai sesudah berlakunya Perpu ini, tetapi juga pemakaian tanah yang terjadi (dimulai) sebelumnya dan kini masih tetap berlangsung.
Cara penyelesaian yang harus ditempuh terhadap pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya ini, terlebih dahulu diharuskan diusahakan tercapainya penyelesaian dengan jalan musyawarah dengan pihak- pihak yang bersangkutan. Jika dengan jalan rnusyarvarah tidak membawa hasil, maka yang akan menetapkan penyelesaiannya adalah Menteri Agrari (Kepala BPN) dengan memperhatikan kepentingan rakyat pemakai tanah yang bersangkutan. kepentingan penduduk lainnya di daerah tempat letaknya perusahaan kebun dan luas tanah yang diperlukan perusahaan itu untuk menyelenggarakan usahanya.
Yang lebih menarik lagi, bahwa terhadap pemakaian tanah tanpa seijin yang berhak untuk kuasanya ini, Menteri Agraria (Kepala BPN) atau Penguasa daerah dapat ditempuh pengosong air tanpa tidak diperlukan perantaiaan pengadilan, bahkan disamping perintah pengosongan dapat pula dilakukan tuntutan Pidana.
Dalam Pasal 1 PP tersebut, disebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan tanah yaitu meliputi tanah yang langsung dikuasai oleh Negara maupun tanah yang tidak termasuk tanah yang dkuasai langsung oleh Negara, yung dipunyai dengan sesuatu hak oleh perseorangan atau badan-badan hukum. Sedangkan yang dimaksud memakai tanah, yaitu rnenduduki , mengerjakan dan/atau menguasai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau bangunan di atasnya, dengan tidak mempersoalkan apakah bangunan itu dipergunakan sendiri atau tidak.

3.      Pasal 10 uU Nomor 56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah pertanian;
Pasal l0 IIU Nomor 56/Prp/1960 menyebutkan bahwa:
(1) Dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,- :
a.         Barang siapa melanggar larangan yang tercantum dalam pasal4;
b.        Barang siapa tidak melaksanakan kewajiban tersebut pada pasal 3, 6 dan 7 ayat (1);
c.         Barang siapa melanggar larangan yang tercantum dalam pasal 9 ayat (1) atau tidak melaksanakan kewajiban tersebut pada pasal itu ayat (2).
(2) Tindak pidana tersebut pada ayat (1) pasal ini adalah pelanggaran.
(3) Jika terjadi tindak pidana sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini. maka pemindahan hak itu batal karena hukum, sedang tanah yang bersangkutan jatuh pada negara, tanna hak untuk menuntut ganti kerugian berupa apapun.
(4) Jika terjadi tindak pidana sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b pasal ini, maka kecuali di dalam hak termaksud dalam pasal 7 ayat (1) tanah yang selebihnya dari luas maksimum jatuh pada Negara yaitu jika tanah tersebut semuanya milik terhukum dan/ atau anggota-anggota keluargannya, dengan ketentuan bahwa ia diberi kesempatan untuk mengemukakan keinginannya mengenai bagian tanah yang mana yang akan dikenakan ketentuan ayat ini. Mengenai tanah yang jatuh pada Negara itu ia tidak berhak atas ganti kerugian berupa apapun.

Berdasarkan pada ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah tersebut dapat dijelaskan beberapa hal sebagai berikut:
a.        yang termasuk dalam pengertian pelanggaran terhadap ketentuan tersebut adalah:
(1) jika orang atau orang-orang sekeluarga yang memiliki tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas maksimum memindahkan hak miliknya atas seluruh atau sebagian tanahnya tersebut, tanpa izin Kepala Daerah Kabupaten/ Kota yang bersangkutan. Ijin pemindahan hak hanya diperbolehkan atau diberikan apabila hak yang dipindahkan itu tidak melebihi batas maksimun. Karena pada prinsipnya pemindahan hak atas tanah pertanian dilarang apabila pemindahan hak itu rnengakibatkan timbulnya atau berlangsungnya pemilikan tanah yang luasnya kurang dari dua hektar. Larangan tersebut, dikecualikan karena: Pertama, pembagian warisan. Kedua, kalau si penjual hanya memiliki bidang tanah yang luasnya kurang dari dua hektar dan tanah itu dijual sekaligus.
(2) Orang-orang dan kepala-kepala keluarga yang anggorta-anggotanya keluargannya menguasai tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas maksimum dan tidak melaporkan hal tersebut kepada Kepala Agraria Daerah Kabupaten Kota (sekarang Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota) yang bersangkutan di dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak mulai berlakunya peraturan ini (l Januari 1961).
(3) Barang siapa sejak berlalunya peraturan ini (l Januari 1961) memperoleh (pembelian, pewarisan. hibah perkawinan dan sebagainya) tanah pertanian, hingga tanah pertanian yang dikuasai olehnya dan anggota-anggota keluarganya berjumlah lebih dari luas maksimum, tidak berusaha, supaya paling lambat I (satu) tahun sejak diperolehnya tanah tersebut jumlah tenah pertanian yang dikuasai itu lausnya tidak melebihi batas maksimum.
(4) Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya Peraturan ini (1 Januari 1961) sudah berlangsung 7 tahun atau lebih tidak mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan.

4.      Pasal 15 UU Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.
Ketentuan Pasal l5 UU Nomor 2 Tahun 1960 menyebutkan bahwa:
(1) Dapat dipidana dengan hukuman denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-
a.    Pemilik yang tidak memenuhi ketentuan dalam pasal 3 atau pasal 11;
b.   Penggarap yang melanggar larangan tersebut pada pasal 2;
c.    Barang siapa melanggar larangan tersebut pada pasal 8 ayat (3).
(2) Perbuatan pidana tersebut pada ayat 91) di atas adalah pelanggaran;

Dari ketentuan tersebut di atas jika dilihat secara seksama dari ketentuan Pasal 3, 11, 3 dan pasal 8, maka yang dapat terkena ketentuan pidana dalam pasal 25 UU ini adalah:
a.      Pemilik, yaitu orang atau badan hukum yang berdasarkan suatu hak menguasai tanah yang membuat suatu perjanjian bagi hasil dengan penggarap dilakukan: 1) tidak tertulis; 2) tidak dilakukan di hadapan Kepala Desa atau daerah yang setingkat dimana tanah yang menjadi objek perjanjian tersebut terletak; serta 3) tidak dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari pemilik dan penggarap; d) tidak mendapat pengesahan dari Camat/Kepala Kecamatan yang bersangkutan atau pejabat lain yang setingkat. E) Perjanjian bagi hasil yang dibuat sebelum berlakunya UU ini (7 Januari 1961), setelah panen berikutnya tidak segera menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam UU ini.
b.      Penggarap, yaitu Orang-orang tani yang dengan mengadakan perjanjian bagi hasil tanah garapan akan melebih 3 (tiga) hetar, dan badan-badan hukum yang menggarap tanah akan tetapi tidak memiliki izin dari Menteri Muda Agraria (sekarang Kepala BPN) atau pejabat yang ditunjuk olehnya
c.       Mereka yang melakukan perjanjian bagi hasil dengan menerapkan unsur- unsur sistem ijon,

5.      Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Pasal 67 UU Nomor 41 Tahun 2004 menyebutkan bahwa;
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah di-wakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4l dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan /atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00- (lima ratus juta rupiah);
(2) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 44, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 400.000.000,00- (empat ratus juta ruprah);
(3) Setiap orang yang dengan sengaja rnenggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jurniah yang ditentukan sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,00- (tiga ratus juta rupiah).

Perlu diketahui bahwa dalam pengelolaan harta benda wakaf, berdasarkan ketentuan Pasal 12 UU tersebut, Nazhir (perseorangan, organisasi maupun badan hukum) dapat menerima imbalan dari hasil atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi l0 %.
Selanjutnya harta benda wakaf yang sudah diwakafkan berdasarkan ketentuan Pasal 40 UU tersebut dilarang untuk dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar; atau dialihkan dalam bentuk pengalihan haknya. Harta benda wakaf yang telah diwakafkan berdasarkan ketentuan Pasal 4l ayat (1), (2), (3) UU tersebut dimungkinkan untuk dapat ditukarkan dengan harta benda wakaf yang lain dengan persyaratan: 1) telah memperoleh izin tertulis dari Menteri Agaria-RI dengan persetujuan Badan Wakaf Indonesia 2) Hafia Benda pengganti manfaatnya dan nilai tukarnya sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula yang ditetapkan oleh Bupati /Wali kota berdasarkan rekomendasi tim penilai yang anggota- anggotanya terdiri dari unsur Pemda Kab,4) harta, Kantor Pertanahan Kab/Kota, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kab/Kota; dan Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan.; 3) dikarenakan digunakan untuk kepentingan umum sesuai rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah. 4) harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai ikrar wakaf; atau 5) pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak. 6) hafia benda penukar/pengganti memiliki sertipikat atau bukti kepemilikan sah sesuai dengan Peraturan perundang-undangan:
Harta benda wakaf juga dilarang untuk dilakukan perubahan dari sisi peruntukannya, kecuali telah diperoleh izin tertulis dari Badan Wakaf Indonesia. izin tersebut dapat diberikan apabila harta benda wakaf ternyata tidak dapat diprergunakan dengan peruntukannya yang dinyatakan dalam ikrar wakaf,
6.      Pasal 77 PP Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun.
Ketentuan Pasal 77 PP tersebut menyebutkan bahwa :
(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 30, Pasal 31. Pasal 34. Pasal 34 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 38 ayat (7), Pasal 39 ayat (1), Pasal 61 ayat (2) dan ayat(3), Pasal 67, diancam pidana kurungan selama-lamanya I (satu) tahun dan/atau denda setingi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah);
(2) Perbuatan pidana sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran.
Tindak pidana yang diancam berdasarkan ketentuan Pasal 77 PP Nomor 4 Tahun 1988 tersebut, antara lain:
a.      Pelaksanaan pembangunan Rumah Susun dan Lingkungannya yang tidak berdasarkan izin yang diberikan oleh Pemerintah Daerah.
b.      Penyelenggaraan pembangunan rumah susun tidak meminta pengesahan dari Pemerintah Daerah atas pertelaan yang menunjukan batas yang jelas dari masing-masing satuan rumah Susun, bagian bersama, benda bersama. Dari tanah bersema beserta uraian nilai perbandingan pioporsional.
c.       Perubahan rencana peruntukan dan pemanfaatan rumah Susun yang tidak didasari pada Perizinan dari Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksu pada huruf a dan b.
d.      Pada waktu pelaksanaan pembangunan rumah susun terjadi perubahan struktur bangunan dan instalasi suda rencana pembentukan dan pemanfaatan rumah susun, akan tetapi tidak meminta izin dan pengesahan mengenai perubahan tersebut kepada Instansi yang berwenang.
e.      Penyelenggara pembangunan rumah susun tidak memliki izin layak huni setelah menyelesaikan pembangunan, dan tidak menyerahkan dokumen perizinan beserta gambar-gambar dan ketentuan-ketentuan teknis kepada Perhimpunan Penghuni;
f.        Penyelenggara bangunan rumah susun tidak menyelesaikan status hak guna bangunan di atas tanah hak pengelolaan baik secara keseluruhannya
g.      Penyelenggara pembangunan rumah susun tidak memisahkan rumah satuan-satuan rumah susun ke dalam bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.
h.     Penghuni yang tidak mematuhi kewajiban yang berupa: l) melaksanakan peraturan tata tertib dalam rumah susun dan lingkungannya sesuai dengan ADRT; 2) membayar iuran pengelolaan dan premi asuransi kebakaran; 3) memelihara rumah susun dan lingkunganya termasuk bagian bersama benda bersama dan tanah bersama;
i.        Penghuni yang melanggar larangan berupa: 1) melakukan perbuatan yang membahayakan keamanan ketertiban dan keselamatan terhadap penghuni yaitu bangunan dan lingkungannya; 2) mengubah bentuk dan/atau menambah bangunan diluar satuan rumah susun yang dimiliki tanpa mendapat persetujuan perhimpunan penghuni.
j.        Penyelenggara pembangunan rumah susun tidak mengelola rumah susun yang bersangkutan dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun sejak terbentuknya perhimpunan penghuni atas biaya penyelengara pembangunan.

7.      Pasal 19 PP Nomor 24 Tahun 1661 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.
Pasal 19 PP Nomor 224Tahun 1991 menyatakan bahwa:
(1) Pemilik tanah yang menolak atau dengan sengaja menghalang-halangi pengambilan tanah oleh Pemerintah dan pembagiannya, sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat(2), dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,- sedang tanahnya diambil oleh pemerintah tanpa pemberian ganti kerugian.
(2) Barang siapa dengan sengaja menghalang-halangi terlaksananya Perarturan Pemerintah ini dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-
(3) Tindak pidana yang dimaksudkan dalam ayat (1) dan (2) pasal ini adalah pelanggaran.

Peraturan ini dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan Landreform, dimana terhadap pemilik tanah yang melebihi batas maksimum termasuk dalam UU Nomor 50/Prp/1950 diberi kesempatan untuk mengajukan usul kepada Menteri Agraria (Sekarang Kepala BPN) mengenal bagian tanah atau bagian-bagian mana dari tanahnya yang ia inginkan tetap menjadi miliknya. Apabila ternyata pemilik tanah tersebut rnenghalang-halangi Pemerintah dalam menetapkan bagian tanah mana yang tetap menjadi hak pemilik dan tanah mana langsung dikuasai oleh Pemerintah, untuk selanjutnya dibagi- bagikan dengan hak milik kepada para petani oleh Panitia Landreform Daerah Tingkat II (Pemerintah Kabupaten/Kota), dengan skala prioritas: a) penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan; b) buruh tani tetap pada bekas pemilik, yang mengerjakan tanah yang bersangkutan; c) pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan; d) penggarap yang belum sampai 3 tahun mengerjakan tanah yang bersangkutan; e) penggarap yang mengerjakan tanah hak milik; f) penggarap tanah-tanah yang oleh Pemerintah diberi peruntukan lain berdasarkan Pasal 4 ayat (2) dan (3); g) penggarap yang tanah garapannya kurang dari 0,5 hektar; h) pemilik yang luas tanahnyam kurang dari 0,5 hektar: i) Petani atau buruh tani lainya.
Di dalam peraturan ini juga diberikan penjelasan mengenai batasan- batasan tentang petani, yaitu orang, baik yang mempunyai maupun yang tidak mempunyai tanah sendiri, yang mata pencahariannya adalah mengusahakan tanah untuk pertanian. Penggarap, yaitu petani. yang secara sah mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif tanah yang bukan miliknya, dengan memikul seluruh atau sebagian dari resiko produksi nya.
Buruh Tani Tetap, adalah petani yang mengerjakan atau mengusahakan secara terus-menerus tanah orang lain dengan mendapat upah. Pekerja tetap, adalah orang yang bekerja pada bekas pemilik tanah secara terus menerus.


Teori-teori Konflik Sosial Yang Relevan Untuk Analisis Terhadap Sengketa Tanah
Oleh
Sarjita, S.H., M. Hum.  


1.       Kaidah Dialektika63: G.W. Hegel (ilmuwan yang dilahirkan di Stuttgart Jerman: 1770-1831.) Akal adalah proses dinamik yang bergerak secara dialektik yang menimbulkan kontradiksi, oposisi, negasi. Kaidah Dialektik terdiri dari tiga tahap: l) Tesis (konsep abstratk): 2) Antitesis (Kontradiksi- kontradiksi dalam konsep): 3) Sinresis (penyatuan-penyatuan konsep-konsep kontradiksi, suatu kesamaan dari pertentangan-pertentangan) Analisis Dialektik64 : Karl Marx (Trier, Jermam: 1818-1883) Menurut teori ini sebagai perkembangan dari Teori Kaidah Dialektika G.W. Hegel, menjeiaskan bahwa

1.                     Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik ilmu Pengetahuan Manusia (Kajian Ilmu), Yogyakarta, LSFI, 200 : 99-118
2.                   Ibid hlm 01-181


 Pandangan mengenai pertentangan antara tesis dengan antitesis serta titik temu keduanya yang akan membentuk sintesis baru" kemudian menjadi tesis baru. Dalam pertentangan dengan tesis baru itu, muncul antitesis baru, dan akhirnya kedua tesis yang saling bertentangan ini tergabung dalam satu sisntesis baru yang lebih tinggi tingkatannya. Dimulai dari penolakan atas ide-ide yang ada dan penggantiannya dengan ide-ide baru yang bertentangan. Bagaimanapun ide baru itu bukan merupakan yang terakhir, ide-ide itu akhirnya akan ditolak juga. Dalam hal ini teori Karl Marx tetap menggunakan bentuk analistik dialekyika (yang meliputi kepekaan terhadap kontradiksi- kontradiksi internal dan perjuangan antara ide-ide lama dan ide-ide baru serta bentuk-bentuk sosial) tetapi dia menolak idealisme filosofis dan menggantikannya dengan pendekatan materialistik. Menurut Marx, suatu pemahaman ilmiah yang dapat diterima tentang gejala sosial menurut ilmuwan itu yang dapat dijadikan metode untuk mengambil sikap yang benar terhadap hakikat permasalahan itu.
2.      The Image of Limited Good65 (Amerika George Foster, 1967) Setiap komunitas selalu mempersepsikan bahwa segala sesuatu yang ada dalam lingkungan kehidupannya selalu berada dalam keadaan terbatas jumlahnya baik yang berkaitan dengan SDA, kekuasaan, kesempatan maupun sesuatu yang hadir dalam bentuk seperti status sosial. Setiap komunitas dan kesatuan sosial, terutama yang masih diwarnai dengan kehidupan agraris selalu memiliki sebuah sistem gagasan keterbatasan sumber daya (resources limited). Pihak yang telah berhasil memperoleh/ mendapatkan sumber daya yang terbatas secara berlebihan secara tidak langsung telah mengambil hak orang lain secara berlebihan pula. Karena itu "mereka" wajib segera mengembalikan/mendistribusikan kelebihan itu kepada masyarakat, karena itu memang hak bersama yang harus dikembalikan.
3.      Teori Prisoners Dilemma66 (Hubungan Sumber daya dengan Kekerasan: Homer- Dixon) Resaurces Searcity dengan Kekerasan (Violence): Tidak selamanya bahwa kalau SDA terbatas kekerasan terjadi, sebaliknya walaupun SDA melimpah kekerasan tetap terjadi. Permainan non-zero-sum, dua pemain dalam permainan, apakah mereka akan memilih bekerjasama atau berkhianat.
1)    Kedua pemain akan beruntung jika mau bekerjasama; 2) Jika salah satu pemain mau bekerjasama akan tetapi pemain lainya berkhianat, maka permain yang berkhianat akan lebih beruntung; 3) Jika kedua-duanya berkhianat, maka kedua-duanya tidak akan rnendapat apa-apa. Karena keuntungan dari bekerja sama selalu lebih kecil dari apabila yang satu berkhianat, maka selalu ada godaan untuk berkhianat.
4.      Teori The Tragedy of the Commons67 (Garrer W. Harding) Sumber daya yang di "share" oleh kelompok masyarakat/orang: udara, air, tanah, ikan di laut, kayu di hutan, serta perumahan seringkekali dipersepsikan/diperlakukan sebagai "commons" atau milik umum. Logika "the Commons", maka setiap anggota masyarakat berhak mengambil SDA tersebut, dan membuang limbah/sampah ke dalam "Commons ". deh karena itu biayanya dapat distribusikan kepada setiap orang semua individu atau rumah tangga dengan siapa mereka men "share the cammons". Celakanya mereka yang egois, bisa mendapatkan lebih dari bagiannya, dan membayar lebih sedikit dari yang seharusnya dan pada prakteknya semua individu,RT berusaha melakukan hal ini. Sebagai akibatnya sejalan dengan pertumbuhan. populasi dan keserakahan, maka "the commans" menjadi hancur terjadilah apa yang disebut "the tregedy of the

3.                   Sjafri Sairin, Peruhahan Sosial Masyarakat Indonesia Perspektif Antrophologi, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2002: 70.

4.                   Peter Beilharz, Teori Teori Sosial Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2002: 29l -303.

5.                    Ibid hlm 291-303

Commons" . Perebutan SDA dapat diuraikan ke dalam tiga faktor, yaitu: l) pola dan regim akumulasi yang bernuansa distribusi tidak seimbang secara spesial; 2) bentuk-bentuk akses dan kontrol terhadap sumber daya alam yang juga tidak merata (termasuk dalam kepemilikan dan penguasaan); 3) para aktor yang muncul dari hubungan sosial produksi yang tidak seimbang itu; Ada tiga macam Searcity: l) Supply indunced (ketika sumber daya menyusut);
2)   demand-indunced (ketika sumber daya yang statis terbagi merjadi potongan-potongan yang kecil sekali untuk setiap individu; 3) structural scarcity (ketika beberapa-satu atau dua kelompok tertentu mendapat bagian yang sangat besar atau banyak, sementara yang lainnya sangat kecil atau sedikit). Akhimya muncul konflik.
5.      Teori Fungsionalisme Struktural68 (Talcott Parson, 1903-1979) Masyarakat pada dasarnya terintegrasi atas dasar kata sepakat (general agreements) dari para anggota-anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota masyarakat. Masyarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium. Dalam suatu masyarakat di matta frekuensi interaksi sosial di antara warganya cukup tinggt, sikap toleransi yang institusinalize (terbuka struktur sosialnya), akan dapat membatasi/menekan timbulnya akibat negatif konflik. Sebaliknya masyarakat di mana frekuensi interaksi sosialnya tidak terlalu tinggi, biasanya pertentangan tidak membawa tidak membawa akibat yang negatif. Konflik dianggap sebagai cara mengurangi ketegangan, dan sebagai alat untuk menyesuaikan norma-norma baru, yang sesuci dengan perkembangan yang ada. Konflik dianggap sebagai cara mengurangi ketegangan, dan sebagai alat untuk menyesuaikan norma-norma baru, yang sesuai dengan perkembangan yang ada.
6.      Teori Pendekatan Konflik69 Asumsi-asumsi yang dibangun: 1) Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir, atau perubahan sosial merupakan gejala yang melekat pada diri setiap masyarahat; 2) Dalam setiap masyarakat rnengandung konflik-konflik di dalam dirinya atau konflik merupakan gejala yang melekat dalam setiap diri masyarakat; Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberi sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial: 4) Setiap masyarakat terintegrasi di atas pengusaan atau dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang-orang yang lain. Perubahan sosial terutama timbul/bersumber pada kenyataan akan adanya unsur-unsur yang saling bertentangan di dalam setiap masyarakat. Kontradiksi intem bersumber di dalam kenyataan bahwa setiap masyarakat mengenal pembagian kewenangan atau otoritas (outhority) secara tidak sama/merata. Hal ini menimbulkan 2 kategori sosial, yakni: 1) mereka yang memiliki otoritas; 2) Mereka yang tidak memiliki otoritas. Pembagian otoritas yang bersifat dikhotomis itu memimbulkan kepentingan-kepetingan yang berlawanan satu sama lain. Mereka yang memiliki otoritas ada kecenderungan untuk mempertahankan memelihara status quo, dan yang tidak memiliki otoritas ada kecenderungan untuk merombak status quo. Oleh karena itu. antara mereka yang memiliki otoritas dan mereka yang tidak memiliki otoritas akan senantiasa berada dalam situasi konflik. Dengan bertambahnya otoritas pada satu pihak, dengan serta merata berarti pula berkurangnya otoritas pada pihak yang lain. Solusi yang mereka tawarkan: l) Konsiliasi; 2) Mediasi; 3) Perwasitan.
7.      Teori Konflik Ibn Kaldunia. Dalam Teori ini oleh lbn Kaldun dijelaskan adanya Tiga Pilar Utama. yaitu: Watak psikologis yg merupakan dasar

6.                   Nasikun, Sistem Sosial lndonesia,Jakarta, PT. Raja GrafindoPersada, 2003:I0-I6

7.                    Ibid..
8.                   Hakimul lkhwan Affanfi. On, Cit.: 118-119 .

sentimen dan ide yang membangun hubungan sosial di antara berbagai kelompok manusia keluarga, suku dll.); Penomena politik, berhubungan dengan perjuangan memperebutkan kekuasaan dan kedaulatan yang melahirkan imperium, dinasti dan negara; Penomena ekonomi, yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi baik pada tingkat individu keluarga, masyarakat maupun negara; Manusia memiliki tiga potensi, yaitu intelgibilia, sensibilia, dan spiritualia. Jika tiga potensi itu dapat dikembangkan dengan baik, maka manusia akan dapat melaksanakan amahnya sebagai khalifah di muka bumi; Namun manusia juga memiliki potensi lain yang dapat mendorong bertindak agresif. Hal tersebut karena manusia dipengaruhi oleh animal power (ada sifat kebinatangnya) atau rational animal atau animal rational atau hayawaanun natiqun. Potensi lain yaitu cinta terhadap (identitas) kelompoknya/ashobiyah, dan agreasif sebagai muncul pertumpahan darah/permusuhan.yang mengakibatkan konflik. Tentang akar berdirinya negara. Karena negara merupakan perkembangan paling maju dari kehidupan kelompok manusia yang dipandang sebagai arena pertarungan antar kelompok dalam masyarakat untuk memperoleh kekuasaan dan puncak kekuasaan tsb adalah kekuasaan negara; Masyarakat berkembang dalam dua bentuk, yaitu (nomaden society) dan (sedentary society) Kekuasaan raja atau Kepala Negara. Peran yang diharapkan dari seorang pemimpin adalah menjadi penengah dan pemisah di antara kelompok yang berbeda. (Prans Magnis Suseno71) Tentang Fungsi Negara. yaitu Menjadi Wasit yang tidak memihak) Proses pemilihahannya dilakukan oleh Ahl al Holli Wa-Aqdi, yaitu terdiri dari orang- orang yang meapunyai kompetensi. Seorang dapat menjadi pemimpin apabila: 1) pengetahuan (ilmu); 2.) keadilan; 31 kesanggupan; 4) tidak mengalami cacat anggota badan yg dapat mempengaruhi pendapat dan tindakannya; 5) berasal dari keturunan Quraisy (Kelompok suku yang paling besar dan kuat yang berhak atas keduduknn sebagai raja atau kepala negara. Syarat ke lima masih terjadi perbedaan pendapat). Kekuasaan dijalankan dengan lemah lembut dan penuh keadilan; Setiap orang dapat mengemukakan pendapat secara bebas, tanpa rasa takut dan tekanan; Kekuasaan dijalankan dengan donasi, kekerasan, dan teror.Tidak ada kebebasan dalam menyampaikan pendapat sehingga tidak mau peduli dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Kekuasaan dijalankan dengan menjatuhkan sanksi-sanksi atau hukuman-hukuman. Karl Marx yang memandang konflik disebabkan oleh perebutan sumber-sumber ekonomi, yaitu distribusi ekonomi atau perebutan sumber-sumber ekonomi. Di sini Ibn Kaldun memandang, bahwa tidak melihat faktor ekonomi lebih dominan dibandingkan faktor lain sebagai penyebab konflik. Yang lebih dominan adalah faktor sosial-politik. Semakin penguasa negara menjalankan perekonomian di bahwah kekuasaan politik yang korup akan mengakibatkan hancurnya ashobiyah yang mengantarkan seorang penguasa pada puncak kemewahan dan kenikmatan hidup. Sehingga terjadi ketimpangan sosial, kemiskinan dan ketidakadilan). Secara etimologi, yaitu sebagai kedekatan hubungan seseorang dengan golongan atau kelompoknya dan berusaha sekuat tenaga untuk memegang prinsip-pinsip dan nilai-nilai yang dianut kelompok tersebut; Nasionalisme (Osman Raliby). Solidaritas (Muhsin Mahdi), Solidaitas Sosial (Muhi Ali) Kekelabatan dan kerukunan: Persekutuan, terjadi karena keluarnya seseorang dari garis keturunannya yang semula ke garis keturunan yang lain; Kesetiaan (persahabatan karena pergaulan). Penggabungan, Perbudakan. Kesimpulan dari teori ini Konflik memang sesuatu yang selamanya ada dalam masyarakat. karena memiliki akar dalam diri manusia dan kondisi eksternal. baik politik maupun ekonomi. Namun, demikian konflik tidak selalu bersifat

9.                   frans Magnis Suseno, Etika politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern

destruktif. Manusia tidak akan menjalankan fungsi sebagai khalifah jika selalu diwarnai oleh tindakan anarkis dan destruktif.

Efektivitas Bekerjannya Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa/Konflik Di Masyarakat

Dalam kaitannya dengan berlakunya hukum, Soerjono Soekanto, Poernadi Poerbacaraka dan Soerjono Soekanto,72 Sudikno Mertokusumo73 mengenai kekuatan berlakunya undang-undang, menjelaskan bahwa di dalam teori-teori hukum, biasanya dibedakan antara tiga macam hal berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal berlakunya hukum tersebut biasanya disebut "gelding" (bahasa Belanda) atau "geltung" (bahasa Jerman). Sehingga terdapat anggapan-anggapan sebagai berikut:
1.    Hukum berlaku secara yuridis (juristische Geltung), apabila penentuan didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya (H. Kelsen), atau bila terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan (W. Zevenbergen), atau apabila menunjukan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya (J. H.A. Lagemann) ;
2.   Hukum berlaku secara sosiologis (soziologische Geltung), apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa, walaupun diterima atau tidak diterima oleh masyarakat (teori keuasaan/machtteori: Gustav Radbruch), atau kaidah tadi berlaku karena diterima atau diakui oleh masyarakat (teori pengakuan/ Anerkennungstheorie : Gustav Radbruch) ;
3.   Hukum tersebut berlaku secara filosofis (filosofische Geltung). Artinya sesuai dengan cita-cita hukum (Rechtidee) sebagai nilai positif yang tertinggi.
Lebih lanjut menurut Selo Soemardjan dalam Satjipto Rahardjo74 dinyatakan bahwa efektivikasi hukum berkaitan erat dengan faktor-faktor sebagai berikut:
1.       Usaha-usaha menanamkan hukum di dalam masyarakat yaitu penggunaan tenaga manusia, alat-alat organisasi dan metode agar warga –warga masyarakat mengetahui, menghargai, mengakui dan mentaati hukum;
2.      Reaksi masyarakat yang didasarkan pada sistem nilai-nilai yang berlaku. Artinya, masyarakat mungkin menolak atau menentang atau mungkin mematuhi hukum karena compliance, identification, internalization atau kepentingan-kepentingan mereka terjamin pemenuhiannya;
3.      Jangka waktu penanaman hukum, yaitu panjang atau pendeknya jangka waktu dimana usaha-usaha menanamkan itu dilakukan dan diharapkan memberikan hasil.

Oleh karena itu, untuk melihat bagaimana berfungsi atau berlakunya serta bekerjanya hukum, Soerjono Soekanto75 senantiasa dapat dikembalikan pada paling sedikit 4 (empat) faktor, yaitu:
1.       Hukum atau peraturan itu sendiri;
2.      Pefugas yang menegakkannya;
3.      Fasilitas yang diharapkan mendukung pelaksanaan hukum; dan
4.      Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.
Pada sisi lain Soerjono Soekanto76 dalam kaitannya dengan penegakkan hukum, artinya bagaimana menyelesaikan hubungan nilai -nilai

10.               Purbacaraka, Purnadi dan Soekanto. Soerjono, Perihal Kaidah Hukum, PT. Citra Adina Bakti, Bandung. 1993.: 87-94.
11.                 Sudikno Merkusumo, Op. Cit.., hlm.75-76.
12.               Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Alumi, 199: 55.

yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangakian penjabaran nilai tehap akhir, untuk menciptakan, memelihara, mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Terdapat lima faktor yang saling berkaitan erat, oleh karena merupakan esensi penegakan hukum, yang juga merupakan tolok ukur dari pada efektivitas penegakan hukum. Kelima faktor tersebut adalah:
1.         Faktor hukumnya sendiri, antara lain dikarenakan tidak diikutinya azas- azas berlakunya undang-undang, belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk penerapan undang-undaag, ketidak jelasan kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya;
2.        Faktor penegak hukum, baik yang membentuk maupun yang menerapkan. Misalnya keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi, tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi, kegaitan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi, belum adanya kemampuan untuk menunda kepuasan dalam pemenuhan suatu kebutuhan tertentu, dan kurangnya daya inovatif yang sebelumnya merupakan pasangan konservatisme ;
3.        Faktor fasilitas (sarana dan prosarana penunjang) yang mendukung penegakan hukum:
4.        Faktor masyarakat yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku dan diterapkan; dan
5.        Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta- dan rasa yang berdasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Analisis bekerjanya hukum menurut Robert B. Seidman dalam Satjipto Rahardjo77 menyatakan dalil-dalil sebagai berikut:
1.       Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemegang peranan (role occupant) ifrt diharapkan bertindak;
2.      Bagaimana seorang pemegang pelanan itu akan bertindak sebagai suatu respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya- aktivitas dari lembaga- lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainya mengenai dirinya;
3.      Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan brrtindak sebagai respon terhadap peraturan merupakarr fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya akrivitas dari lembaga- lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainya mengenai diri mereka, serta umpan-umpan balik yang datang dari pemegang peranan;
4.      Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang rnengalur tingkah laku mereka- sanksi- sansinya, aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainya mengenai dirinny, serta umpan balik yang datang dari pemegang peranan serta birokrasi.

Jika dilukiskan, bagaimana bekerjanya hukum menurut Robert B. Seidman tersebut nampak sebagai berikut:

13.               Soerjono Soekanto, Op. Cit. hlm. 8-9, 17-18.
14.               Op. Cit, hlm, 56-28

Gambar 1: Bekerjanya Hukum Menurut R B. Sidman.
Faktor-faktor Sosial dan Personal lainya





Umpan
blik







Bekerjanya hukum di dalam suatu masyarakat dimulai dengan tahapan-tahapan, yaitu:

1.         Pembentukan atau pembuatan hukum. Menurut dalam Satjipto Rahardjo78 dibedakan menjadi 2 Dua model masyarakat tersebut adalah:
Pertama, masyarakat yang berbasis akan nilai-nilai (value concensus). Masyarakat yang demikian itu akan sedikit mengenal konflik-konflik atau tegangan di dalamnya sebagai akibat adanya kesepakatan mengenai nilai- nilai yang menjadi landasan kehidupannya. Tidak terdapat perbedaan di antara para anggota-anggotanya mengenal apa yang seharusnya diterima sebagai nilai-niali yang seharusnya dipertahankan di dalam masyarakat. Masalah yang dihadapi dalam pembuatan atau pembentukan hukum hanyalah menetapkan nilai-nilai apakah yang berlaku di dalam masyarakat itu. Kedua, model masyarakat konflik. Di sini bukalah kemantapan dan kelestarian yang menjadi tanda ciri masyarakat, melainkan perubahan /dinamika serta konflik-konflik sosial. Berdirinya masyarakat tertumpu pada suatu perhubungan di mana sebagian warga masyarakatnya mengalami tekanan-tekanan oleh sementara warga lainnya. Dengan demikian pembuatan atau pembentukan hukum berada dalam siatuasi konflik satu sama lainnya. Oleh karenanya menurut Chamblis dan Seidman, di dalam model masyarakat yang kedua ini pembentukan hukum akan dilihat sebagai suatu proses adu kekuatan, di mana negativ merupakan senjata di tangan lapisan yang berkuasa. Sekalipun terdapat pertentangan nilai-nilai di dalam masyarakat, negara tetap berdiri sebagai badan yang tidak memihak (value -neutral).
Model Masyarakat yang terbentuk dalam nuansa konflik atau pertentangan nilai-nilai tersebut menurut Schuyt dalam Satjipto Raharjo79 ada 2 (dua) kemungkinan yang akan timbul. Yaitu sebagai sarana untuk mencairkan pertentangan (conflictop lossing, dan sebagai tindakan yang memperkuat terjadinya pertentangan lebih lanjut (conflictversterking).
2.        Bekerjanya Hukum di Bidang Pengadilan
Kedua model masyarakat sebagaimana menjadi landasan pembentukan atau perbuatan hukum tersebut di atas, tenyata juga akan menjadi landasan bagi bekerjan bagi bekerjaannya pranata (hukum) pengadilan di masyarakat. Pada model masyarakat yang dilandasi atau berbasis akan nilai-nilai (volue concensus), maka pranata pengadilannya tentunya tidak serumit yang terdapat pada masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai yang berbeda atau konflik.
15.                Op. Cit. hlm. 49.
16.               Op. Cit. hlm. 50.
Namun demikian, bekerjanya hukum di bidang pengadilan menurut Chamblis dalam Satjipto Rahardjo80 akan dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor utama, yaitu: tujuan yang hendak dicapai dengan penyelesaian sengketa itu dan tingkat pelapisan sosial yang terdapat di dalam masyarakat. Pada masyarakat yang kurang terlapis dan kurang kompleks akan cendenrung untuk memakai pola penyelesaian berupa perukunan, sebaliknya pada masyarakat yang mempunyai tingkat pelapisan sosial yang tinggi dan lebih kompleks. Kecenderungannya ada pada penerapan peraturan-peraturan. Pola bekerjanya hukum di Bidang pengadilan tersebut apabila disajikan dalam bentuk bagan akan nampak sebagai berikut:
Gambar 2: Pola Bekerjanya Hukum Di Bidang Pengadilan
 









3.        Pelaksanaan Hukum
Menurut P. Scholten, dalam Satjipto Rahardjo (1986:69) disebutkan bahwa “Hukum diciptakan untuk dijalankan, hukum yang tidak pernah  dijalankan pada hakikatnya telah berhenti menjadi hukurn".
Bahkan menurut Satjipto Rahardjo (1986:70) hukum tidak dapat bekerja atas dasar kekuataanya sendiri. Oleh karena itu bekerjanya hokum diperlukan campur tangan manusia. Manusialah yang menciptakern hukum, tetapi juga untuk pelaksanaan dari pada hukum yang telah dibuat itu masih diperlukan campur tangan manusia pula.
Persoalan muncul berkaitan dengan bekerjanya hukum dalam masyarakat. yaitu apakah hukum yang dijalankan di dalam masyarakat benar-benar mencerminkan gambaran hukum yang terdapat di dalam peraturan hukum sebagaimana dimaksudkan oleh pembentuk hukum. Terhadap persoalan tersebut Roscoe Pound, dalam Satjipto Rahardjo (1986: 71) mengadakan pembedaan antara law in the books dan law in action.
Pembedaan ke dalam dua jenis tersebut, untuk menjawab persoalan yang mengemuka, antara lain:
Apakah hukum di dalam bentuk peraturan yang telah diundangkan itu mengungkapkan pola tingkah laku sosial yang ada pada waktu itu:
a.      Apakah yang dikatakan oleh pengadilan itu sama dengan yang dilakukan olehnya:
b.      Apakah tujuan yang secara tegas dikehendaki oleh suatu peraturan itu sama dengan efek peraturan itu dalam kenyataannya.
Terhadap bekerjanya hukum, khususnya yang berkaitan dengan penerapan hukum, menurut Chamblis Seidman dalam Satjipto Rahardjo8l melihat adanya kecenderungan pada setiap organisasi untuk menggantikan tujuan-tujuan resmi sebagaimana ditetapkan dalam peraturan-peraturan hukum dengan kebijakan dan kegiatan sehari-hari yang dirasakan akan miningkatkan secara maksimal keuntungan yang diperoleh dan menekan sampai minum hambatan-hambatan terhadap bekerjanya organisasi itu.
17.                Op. Cit. hlm. 50.
18.                

Sebagai contoh, terlihat atau tercermin dalam administrasi hukum pidana. Orang-orang yang mengalami penahanan sampai dengan penjatuhan keputusan oleh hakim adalah mereka yang dianggap paling tidak mampu untuk menyumbangkan sesuatu agar tidak mengalami penindakan oleh hukum. Contoh lain, yaitu mereka yang apabila terhadapnya dilaukan penindakan oleh hukum, tidak menyebabkan timbulnya gangguan pada organisasi-organisasi yang menjalankan penegakan hukum.
Manurut Satjipto Rahardjo82 kedua penulis yaitu Chamblis dan Seidman telah sepakat untuk memberi istilah terhadap praktik-praktik yang dilakukan atas dasar pertimbangan pragmatis dengan istilah sub-culture organisasi. Oleh karena itu institusi/lembaga-lembaga penegak hukum seperti pengadilan, kepolisian, legisiative dan sebagainya telah terlena menjalani kehidupannya sendiri serta mengejar tujuan-tujuan dari organisasinya pula. Dengan demikian, akhirnya terbentuk culture, yang selanjutnya akan memberikan pengarahan pada tingkah laku organisasi serta para pejabatnya dalam sehari-hari.
Masih sehubungan dengan masalah keberlakuan atau efektivitas hukum yang di dalamnya berisi kaidah-kaidah. Bruggink, dalam alih bahasa oleh B. Arief Sidharta83 menguraikan tentang keberlakuan kaidah hukum, yang dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu : a) Keberlakuan empiris atau empiris kaidah hukum yang sering disebut efektivitas hukum; b) Keberlakuan Normatif atau Formal Kaidah hukum; dan c) Keberlakuan Evaluatif Kaidah Hukum.
Kemudian berdasarkan pendekatan para teoritikus, terdapat dua perbedaan mengenai keberlakuan hukum,. Pertama Kelompok teori yang dibangun atas dasar bahan-bahan empirik. Menurut teori ini, maka keberlakuan faktual dan keberlakuan evaluatif empiris menempati posisi sentrai. Sedangkan kelompok Kedua yaitu menempatkan posisi sentral atau penting terhadap keberlakuan hukum bermatifa dan materiil, serta menolak cara kerja empiris.

4.        Hukum dan Nilai-nilai Di Masyarakat;
Menurut L. L. Fuller dalam Satjipto Rahardjo,84 Arief Sidharta B85 dalam melihat keterkaitan hukum dengan nilai-nilai masyarakat, dituangkan dalam bentuk delapan prinsip legalitas, yang mensyaratkan bahwa, hokum harus :
a.      dipresentasikan dalam aturan-aturan umum;
b.      aturan-aturan ini harus dirumuskan (dipublikasikan) kepada mereka yang menjadi objek pengaruraa aturan-aturan tersebut;
c.       aturan-aturan itu tidak boleh memiliki daya berlaku surut (harus non-retroaktit);
d.      aturan-aturan itu dirumuskan secara jelas;
e.      aturan-aturan itu tidak boleh mengandung pertentangan;
f.        aturan-aturan itu tidak boleh menuntut sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi;
g.      aturan-atuan itu harus kurang lebih konstan, artinya aturan itu tidak boleh terus menerus diubah; dan
h.     pemerintah harus sebanyak mungkin berpegang teguh pada (mematuhi) aturan-aturan ini.

Hal ini dapat, dibandingkan dengan beberapa aspek yang harus dipenuhi oleh hukum menurut Ibnu Khaldun, dalam Hakimul lkhwan Arlandi (2004:123). Yaitu:

19.               Loc. Cit. hlm. 75
20.             Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti, 1999: 147-l51
21.               Satiipto Rahardio,op. Cit., hlm. 78.
22.             Arief B. Sidharta. Op. Cit. 262

1)      Hukum yang ditetapkan oleh kekuasaan tidak boleh dipaksakan atau berupa intimidasi bagi rakyat yang dipimpin.
2)     Hukum tidak menjadi penghambat pertumbuhan dan perkembangan mental, psikologis seseorang. Apabila hukum diperlakukan sejak kecil, maka dapat menimbulkan efek di mana orang tersebut tumbuh dan berkembang dalam ketakutan dan secara psikologis akan merusak mental dan kejiwaannya.
3)     Hukum akan dapat berlaku secara efektif apabila muncul dari kesadaran jiwa, bukan doktrinal. Oleh karena itu menjadi keharusan menetapkan hukum yang bisa diterima dan diikuti rakyat.