Penyelesaian Sengketa Pertanahan
Dalam Era Otonomi Daerah1
Oleh
Sarjita, S.H., M. Hum.2
Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang
bersifat agraris. berdasarkan konstitusi secara tegas meletakkan negara sebagai
pembela utama dan penerima amanat paling sah
dalam memastikan terpenuhinya kepentingan dan kesejahteraan, dan tentu
saja kedaulatan rakyat bagi petani dan warga pedesaan pada umumnya.3
Hal tersebut Nampak jelas tercermin dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang
menyatakan bahwa
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat". Untuk merealisasikan cita – cita sebut Negara
menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA).
Harus diakui bahwa uuPA merupakan "karya besar” yang
lahir pada tahun 1960 pada tahap awal penyelenggaraan negara, di tengah-tengah
konflik politik dan mendesaknya kebutuhan akan suatu undang-undang yang
diharapkan dapat memberi jaminan keadilan terhadap akses untuk memperoleh dan
memanfaatkan Sumber Daya Agraria (SDA)
UUPA yang terdiri dari 67 tersebut,
ternyata sebanyak 53 pasal mengatur tentang tanah.4 Pengaturan
substansi agraria selain tanah ditindaklanjuti dengan peraturan
perundang-undangan yang bersifat sektoral, seperti UUD No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, Jo. UU No. 19 Tahun 2004 tentang penetapan perpu Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan Menjadi Undang-Undang. UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok
Perbangan Jo. uu No. 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No.
30 Tahun 2004 tentang Perikanan, uu
No. 27 Tahun 27 tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, UU
No. 18 Tahun 2004 tentang perkbunan, Undang No. 07 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air (SDA), dsbnya.
Di samping itu diterbitkan pula
undang-undang yang terkait dengan pengelolahan SDA. seperti UUD No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPLH), UU No. 15 Tahun 1997 tentang Transmigrasi, UU No. 4
Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman No. 15 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, UU No. 2l tahun 1997 Jo. UU No. 20 Tahun 2000 tentang BPHTB. Undang
Undang Nomor 28 Tahun 2002 tantang Bangunan Gedung serta UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. berbagagi undang-undang sektoral tersebut tidak
lain diterbitkan dalam rangka memenuhi kebutuhan pragmatis guna mengakomodasi
kepentingan ekonomi moder.
Realitas yang terjadi, pembentukan
berbagai undang-undang yang bersifat sektoral tersebut tidak berlandaskan pada
prinsip-prinsip UUPA. Bahkan dalam perkembangannya kedudukan UUPA didegradasi
menjadi UU yang bersifat sektoral yang hanya mengatur masalah pertanahan. Maria
S.W. Sumardjono,5 menyatakan bahwa “…..meskipun berbagai
undang-undang sektoral tersebut mengacu pada pasal 33 ayat (3) UUPA, namun
substasinya pada umumnya memuliki karakteriktik yangtiah untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”
1.
Makalah disampaikan pada Warkshop Penguatan
SDM Pemrintahan Daerah Kab. Sleman di Kantor BAPPEDA Kab. Sleman, 11 November
2008
2.
Lector pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
(STPN) Yogyakarta
3.
Endriatmo Soetarto, “Pancasila dan Pembaruan
Agraria Falsafah, Reflesi dan Aksi Menuju Masyarakat Agraris Yang Berkeadilan
Sosial”, dalam Restorasi Pancasila Mendamaikan politik Identitas Dan
Modernitas. Bogor : Brighten Press : 288.
4.
Maria S.W. surnardjomo, “Penyempurnaan UUPA
dan Singkronisasi Kebijakan”, kompas : 24 September 2003, hlm 5
5.
Ibid, hlm 3
Akibat
keberadaan bebagai undang-undang yang bersifat sektoral yang inkonsistem dan
tumpang tindih itu-lah, kemudian ditunjang pula oleh koordinasi yang lemah
dalam mengelola SDA di tingkat pusat, daerah, antara pusat dengan daerah, serta
antar daerah, maka terjadi kerusakan dan kemunduran kualitas SDA, yang paling
besar menerima dampaknya salah satunya adalah terpinggirkannya hak-hak masyarakat
adat (indigenous peoples), masyarakat suku (tribal-peoples), native peoples,
atau bahkan terhadap masyarakat hutan (forest peoples)6. Secara
politik mereka tidak memiliki posisi tawar menawar yang kuat, sedangkan secara
ekonomi merekan tidak terjamin keberlanjutan hidupnya. Bahkan kohesivitas dan
perasaan anggota sebagai satu masyarakat yang berasal dari akar yang sama telah
(tercabut) terkikis oleh pelbagai tawaran yang bersifat memecah belah. Dengan
demikian integritas dan indentitas mereka sebagai manusia dan sebagai warga
komunitas tengah terancam.
Di sisi lain, Soediono M.P.
Thondronegoro7 menyatakan bahwa di Negara yang ekonominya
berlandaskan agraria jumlah penduduk masih terus bertambah, sedangkan luas
tanah pertanian cepat menyempit. Sementara sector jasa dan industri ternyata
belum cukup dapat menampung kelebihan
angkatan kerja pedesaan. Berkurangnya kesempatan kerja di daerah pedesaan mendorong buruh tani
dan petani kecil tanpa dibekali dengan ketrampilan yang memadai memberanikan
diri mencari pekerjaan atau melakukan perpindahan penduduk (migrasi) ke kota,
sehingga timbul “sector informal” yang cepat meluas.
Akhir dari semua kondisi dan
situasi sebagaimana telah diuraikan di atas, akan berujung munculnya konflik
berkenaan dengan SDA, di mana sengketa dan konflik tanah merupkan bagian
darinya.
Pengertian Masalah, Konflik, Sengketa, perkara pertanahan/Agraria
1)
Masalah
Kata “masalah”, jika ditelusuri ke
dalam Kamus Bahasa Inggris menurut Jhon M. Echols dan H. Sadily8
terdapat kata "matter" yang berarti persoalan, soal. Di samping itu
terdapat pula kata "problem", yang berirti soal, masalah, persoalan.
Kemudian jika ditelusuri dalam Kamus Umum Bahasa
6.
Indigenous karena akar turun temurun kehidupan
mereka menjadi satu kesatuan tak terpisahkan dengan tahah dan wilayah di mana
mereka huni. atau akan huni (dalam arti kembali ke wilaya tersebut setelah
mengalami peminggiran atau pengusiran paksa. Mereka juga disebut peoples dalam
arti mereka merupakan komunitas yang unik dengan eksistensi dan identitas
mereka yang berkelanjutan secara turunmurun, yang menghubungkan mereka dengan
komunitas, suku, atau bangsadan sejarah masa lampaunya. Anaya dalam Rafael Edv
Bosko : Hak-hak Masyarakat Adat Dalam Konstek Pengelolaan Sumber Daya Alam
Jakarta ELSAM : 5-6
7.
Soediono M.P. Tjondronegoro, Negara Agtaris
lngkari Agraria, pembanguna Desa dan Kemiskinan Indonesia,Bandung, Yayasan
AKATIGA:310.
8.
Jhon M. Echols dan H. Sadily, Karmts Inggris
lndonesia An English-Indonesia Dictionay, jakrta, PT. gramedia, 375
Belanda s.
wojowasito9, diketemukan kata "probleem"
yang berarti persoalan. Definisi masalah adalah "pertanyaan-pertanyaan
yang dicoba untuk ditemukan jawabannya". sedangkan menurut Soerjono soekanto,10 "suafu
masalah sebenarnya merupakan proses yang mengalami halangan di dalam mencapai tujuannya
Biasanya halangan tersebut hendak diakhiri...” Sedangkan Bambang Sutiyos11
menyatakan bahwa masalah terjadi karena adanya kesenjangan antara das sollen
dan das sein12, atau karena adanya perbedaan antara hal yang diinginkan
dengan hal yang terjadi. Semakin jauh perbedaan antara harapan dan kenyataan
yang terjadi, maka akan semakin besar permasalahan. Sebaliknya semakin dekat
jarak kesenjangan antara keinginan dan yang terjadi maka semakin kecil pula
masalah yang terjadi. Apabila das sollen dengan das sein sudah seimbang,
maka dengan sendirinya masalah akan hilang. Johnny Ibrahfun l3 menyatakan
bahwa ketidak paduan antara kajian teoritis keadaan yang diharapkan (das
sollen) dengan penerapan hukum kenyataan (das sein) akan menimbulkan
tanda tanya mengenai apa sebenarnya permasalahan hukum dari segi normatif. Beliau
memberi beberapa contoh: masalah batas-batas kompetensi absolut badan peradilan
agama yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 Jo. UU Nomor 3 Tahun 2006
dengan kompetensi absolut badan peradilan umum sebagaimana diatur dalam uu Nomor 2 Tahun 1986 Jo. UU Nomor I
Tahun 2004 yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa waris.
Ruang lingkup masalah pertanahan, dirumuskan
pula di dalam Lampiran 0l/Juknis/D.v
/2007 Angka Romawi II angka I Keputusan Ka. BPN-RI No. 34 Tahun 2007 tentang
Petunjuk Teknis Penanganan Dan Penyelesaian Masalah Pertanahan, yang
menyebutkan bahwa "Masalah Pertanahan meliputi permasalahan teknis 14,
sengketa konflik dan perkara pertanahan yang memerlukan pemecahan atau penyelesaian."
Namun demikian. sering pula pemakaian kata
"masalah" dipakai sebagai satu rangkaian dengan kata
"konflik", Tadem Eduardo, 'Confict over Land-based Natural R.esources
in the SEAN Countries dalam Lim Teck Ghee and Marrk J- Valencia, Conflict over
Natural Resources in South-East Asia and the Pasific. sebagai contoh pada
kalimat "Masalah konflik sumber daya alam sebenarnya bukan sesuatu yang
baru baik di Indonesia maupun di kawasan Asia Tenggara lainnya. Masalah ini
telah muncul sejak abad 18 yang lalu ketika bangsa Eropa melakukan eksparisi
dalam rangka mencari bahan baku untuk memenuhi kebutuhan pengembangan industri."
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi
daerah telah rnuncul serangkaian masalah di antaranya: tidak adanya pembagian
kewenangan yang jelas, terbatasnya keuangan daerah, terbatasnya sumber daya
aparatur, dan struktur kelembagaan daerah sebagaimana hasil penelitian yang
dilakukan oleh Pusat studi
Kependudukan dan Kebijakan/PsKP-ugM: Reformasi Tata Pemerintahan dan
otonomi Daerah.l5 Contoh yang juga merupakan masalah,
9.
S. Wojowasito, Kamus Umum Bahasa Belanda
Indonesia, Jakarta, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1999:516.
10.
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,
Jakarta, UI press, 1982: 109.
11.
Bambang Sutiyoso, Umum Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaidin Sengketa, Yogyakarta Garna Media, 2008 :2.
12.
Das sollen tercermin dalam bentuk kaedah hukum
berisi kenyataan normatif (apa yang seyogyanya dilakukan), sedangkan das sein
berisi kenyataan alamiah atau pristiwa konkrit. Soedikno Mertokusumo. Hukum
Acara Perdata lndonesia. Yogyakarta, Liberty, 1991: 12.
13.
Johnny Ibrahim,13 Teori dan Metodologi Penelitian
Hukum Normatif ,jogjakarta. Bayu Media publishing" 2007 : 279
14.
Permasalahan teknis adalah permasalahan yang
dihadapi oleh masyarakat dan/atau Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
di Pusat maupun di Daerah berkaitan dengan sistem perundang-undangan, administrasi
pertanahan, atau mekanisme penanganan yang belum sempurna. (Lampiran 0l/Juknis/D.V/2007
Angka Romawi II angka I Keputusan Ka. BPN-RI No. 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk
Teknis Penanganan Dan Penyelesaian Masalah Pertanahan).
15.
Agus Dwiyanto, Dkk. Reformesi Tata Pemerintahan
Dan Otonomi Daerah. Yogyakarta, PPSK-UGM, 2002 : 2.
yaitu berkaitan dengan "kewenangan
penetapan pengangkatan anak” dengan diundangkannya uu Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Apakah dengan
telah diundangkannya UU tersebut (UU Nomor 3 Tahun 2006), Peradilan Umum masih
berwenang untuk mengeluarkan keputusan penetapan anak angkat?. Contoh masalah
yang berkaitan dengan pendaftaran tanah, yaitu efekrivitas asas
"rechtsverwerking” sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam Pasal 32 ayat
(2) PP tersebut menentukan bahwa:
"Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah
diterbitkan secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah
tersebut dengan itikat baik dan secara sah menguasairrya, maka pihak lain yang
merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak
tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu
telah tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan
Kepala –Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke
Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut".
Menurut Boedi Harsono16 Ketentuan pasal 32
ayat (2) pp No. 24 Tahun 1997 tersebut mempunyai maksud, untuk memberikan
tambahan sarana pengamanan yang berbentuk tertulis, meskipun sudah ada lembaga
rechtsverweking dalam hukum adat yang tidak terfulis..
Sementara Hakim Agung MA, Toton suprapto dan
Muchsin17 berpendapat bahwa: Pertama, perlindungan dan kepastian hukum tidak
boleh menutup hak-hak pihak ketiga dalam mencari keadilan apalagi setelah
ditemukan adanya bukti-bukti baru (novum); Kedua, kedudukan pp No. 24 Tahun
1997 khususnya Pasal 32 ayat (2) bila dihadapkan dengan ketentuan-ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (lex superior derogat lex inferior).
Oleh karena itu, substansi Pasal 32 ayat (2) pp
No. 24 Tahun 1997 sebaiknya dinaikan derajat/hirakhinya menjadi undang-undang
supaya kedudukannya menjadi kuat, karena undang-undang baru mengesampingkan undang-undang
yang lama (lex posteriori derogat lex priori); Ketiga,. Ketentuan Pasal
tersebut akan menimbulkan masalah hukum khsusunya di bidang peradilan.
Sebaiknya substansi dikembalikan pada PP No. 10 Tahun 1961 atau dicabut atau
ditingkatkan substansi menjadi Undang-Undang;
Keempat, hukum adat mengenal rechtverwerking, ditinjau kasus demi kasus
(tergantung wakru, tempat dan masyarakat adat setempat). Masalah tanah terlantar
menurut hemat saya merupakan wewenang UU bukan PP atau berdasarkan putusan
pengadilan. Kelima, keadaan masyarakat maupun kualitas SDM dari aparat terkait
masih belum memungkinkan memberi waktu 5 tahun sebagaimana disebutkan dalam pasal
tersebut.. Masalahnya adalah sejauh mana kemungkinan ke-efektifan ketentuan Pasal
32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 tersebut mampu mengatasi kelemahan pendaftaran
tanah kita yang selama ini diselenggarakan dengan system publikasi negatif?.
Masalah ,pertanahan, dapat penulis contohkan
dari kutipan topik pada Harian Kompas.18 yang berjudul "Transparansi Kepemilikan
Lahan Jalan keluar, Masalah Pertanahan". Substansi pada topik tersebut
secara garis besar
16.
Boedi Harsono, Kelemahan Pendaftaran tanah
Dengan Sistem Publikasi Negutif (Makalah disampaikan pada Sentinar Nasional
"sejauh Mana Kemungkinan Ke-efektifan Fasal 32 pp Nomor 24 Tahun 1997
Dalam mengatasi Kelemahan Pendaftaran Tanah Dengan Sistem publikasi negative).
PSHA Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta, 20 Maret 2002), .jakarta;
5-6.
17.
Toton Suprapto dan Muchsin , Kepastian Dan
Perlindungan Hukum pada Landasan Kedalanm Dan Kebenaran (Makalah disampaikan
pada Seminar Nasional "Sejauh Mana Kemungkinan Ke-efektifan Pasal 32 PP
Nomor 24 Tahun 1997 Dalam Mengatasi Kelemahan. Pendaftaran Tanah Dengan Sisten
Publikasi Negatif'), PSHA Fakuttas Hukum Universitas Trisaki Jakarta 20 Maret
2002), Jakarta: l3- 1 5.
18.
Harian Kompas, 9 Oktober 2004: 35
mempermasalahkan kepemilikan ganda atas lahan
di Provinsi DKI dan sekitarnya yang diproyeksikan menjadi pembangunan Areal
Banjir Kanal Timur. Misal ada warga yang mempunyai sertipikat hak milik atas
tanah, tetapi di atas tanah itu juga ada yang mengaku mempunyai alat bukti
kepemilikan yang berupa girik. Dikatakan bahwa hadirnya BPN sebetulnya sudah
banyak membantu dalam mengurai benang kusut masalah pertanahan, namun tetap
saja kusutnya masalah pertanahan itu belum terurai habis. Proyek yang
dikerjakan oleh Pemerintah DKI menghadapi masalah yang mestinya bukan masalah
pemerintah. Penerbitan girik dan sertipikat siapa lagi kalau bukan oleh
instansi pemerintah atau pejabat yang ditunjuk?. Sebaik apapun proyek itu, akan
menjadi bermasalah kalau pembebasan lahannya saja belum tuntas. Hal tersebut
akan menjadikan tim pembebasan tanah dalam posisi yang serba sulit. Jika
pembayaran ganti kerugian tidak dilakukan secara cermat bahkan jika tim
pembebasan tanah melakukan pembayaran kepada pihak yang ternyata tidak berhak,
maka bersiaplah untuk diperiksa pihak penyidik Polri atau Kejaksaan dengan
sangkaan korupsi. Misal, Kasus Dugaun Korupsi Sport Center (Stadion Madya)
Magelang.19 Kasus Korupsi Pejabat Banten Divonis 4 Tahun Penjara.20
Tentu harus dicarikan pemecahan terhadap masalah tersebut. Yaitu, dengan jalan
arif dan legal, artinya tim pembebasan tanah harus dapat menghadirkan pihak
pemilik yang sah, lalu dengan musyawarah antar pemilik untuk menentukan bentuk
dan besarnya ganti kerugian Kalau ada pihak yang tidak menerima hasil
musyawarah dipersilahkan ke Pengadilan. Lembaga Peradilan yang kemudian akan
memegang peranan penting dalam menentukan siapa pemilik yang sah dengan mendasarkan
pada alat bukti yang diajukan oleh para pihak.
2)
Konflik
Istilah konflik dapat ditelusuri
dari pendapatnya Webster (1996), dalam Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin,
Alih bahasa Helly P. Sutjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto2l yang menyatakan
bahwa istilah "conflict" di dalam bahasa aslinva berarti suatu
"perkelahian, peperangan, atau perjuangan"., yaitu berupa konfrontasi
fisik antara beberapa pihak. Yang kemudian artinya berkembang menjadi
"ketidak sepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide,
dan lain-lain". Sedangkan menurut Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin,22 konflik
berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of
interest) atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik
tidak dapat dicapai secara simultan.
Rachmadi Usman dalam Sarjita3
menguraikan istilah konflik yang berasal dari kata "canflict" yang
disandingkan dengan kalz "dispute". Kedua kata tersebut mengandung
pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan antara kedua pihak atau lebih
tetapi keduanya dapat dibedakan. Kosa kata "conflict" sudah diserap
ke dalam bahasa Indonesia rnenjadi konflik sedangkan kosa kata "dispute"
dapat diterjemahkan dengan kosa kata sengketa. Suatu konflik tidak akan
berkembang menjadi sengketa, apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam
dalam perasaan tidak puas atau keprihatinannya. Sebaliknya sebuah konflik akan
berkembang menjadi sengketa, bilamana pihak yang merasa dirugikan telah
menyarakan rasa tidak puas atau keprihatinannya” baik secara langsung kepada
pihak-pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau pihak lain.
19.
Harian Jogia, 20 Oktober 2008, hlm. 21.
20.
Harian Jogja, 2l Oktober 2008, hlm. 27.
21.
Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik
Sosial, Yogyakarta, Pustaka pelajar, 2004:9-10.
22.
lbid., :9- l0.
23.
Sarkita, Teknik dan Strategi Penyelesaian
Senketa Pertanahan, Yogyakarta, Tugujogja Pustaka, 2005 : 8.
Mana banyak terjadi salah paham,
norma mulai tidak dipatuhi. anggota banyak menyimpang, sanksi lemah. Sedangkan
pada tahap disintegrasi yaitu timbul emosi, rasa bensi, suka marah, ingin
memusnahkan, ingin menyerang.
Dalam
kaitannya dengan penyebab terjadinya konflik Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z.
Rubin31 menyebut ada tiga faktor determinan penyebab konflik yaitu: tingkat
aspirasi suatu pihak, persepsi satu pihak atas aspirasi Pihak lain, dan tidak ditemukannya
alternatif yang bersifat integratif. Hal tersebut berbeda dengan pendapatnya Ury,
dalam Adi Sulitiyono32 yang menyatakan bahwa ada 3 (tiga) faktor
yang melekat pada para pihak-pihak yang bersengketan di mana ketiga faktor
tersebut akan berpengaruh pada pendekatan yang akan digunakan. Ketiga faktor
dimaksud adalah: kepentingan (interest), hak-hak (right) dan status kekuasaan
(power). Iebih lanjut ury
mengambarkan 2 (dua) macam hirarkhi mengenai faktor mana yang paling dominan.
Pertama" dinamakan Distressed System, yaifu suatu keadaan di mana faktor
status kekuasaan menjadi faktor yang dominan, di atas hak-hak dan kepentingan.
Kedua dinamakan Effective System, yaitu apabila faktor kepentingan yang dominan
dan faktor status kekuasaan yang lemah.
Untuk
menyelesaikan perbedaan kepentingan antara pihak-pihak yang sedang konflik
maupun sengketa menurut Maria Galanter, dalam Adi Sutistiyono3l masyarakat
bisa mendapatkan keadilan melalui forum resmi yang telah disediakan oleh negara
(pengadilan), maupun forum tidak resmi yang terdalam di masyarakat. Mekanisme
penyelesaian konflik atau sengketa melalui jalur atau forum resmi (lembaga
pengadilan) dinamakan "sentralisme hukum,' atau "paradigma sentalisme
hukum". Sebaliknya penyelesaian konflik atau sengketa melalui forum tidak
resmi yang terdapat di masyarakat dengan mendasarkan pada hukum rakyat atau
hukum pribumi dinamakan "desentralisrne hukum" atau "paradigma
desentralisme hukum".
Pengertian konflik
terdapat pula di dalam Lampiran Ol/Juknis/D.V/2007 Angka Romawi II angka 4
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk
Teknis Penanganan Dan Penyelesaian Masalah Pertanahan yang menyebutkan bahwa
konflik adalah ''perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan/atau persepsi
antara warga atau kelompok masyarakat atau warga atau kelompok masyarakat
mengenal status penguasaan dan/atau kepemilikan dan/atau status penggunaan atau
pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu atau status
keputusan tata usaha negara menyangkut penguasaan, pemilikan dan penggunaan
atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu serta mengandung aspe k politik
ekonomi dan sosial budaya ".
Untuk mengakhiri
pembahasan mengenai istilah konflik, dengan penulis berikan contoh sebagai
berikut: "Konflik vertikal antara rakyat dengan Negara atau rakyat dengan
pemilik modal yang didukung oleh Negara". Dalam hal ini Negara berperan
sebagai penyedia sarana dan prasarana yang diperlukan pemilik modal dalam
rnengembangkan usahanya terutama berupa tanah dan bertindak cepat untuk
menimalkan segala hambatan yang menghalang-halangi pemilik modal membuka
usahanya di Indonesia. Sumber utama konflik vertikal tersebut dipicu oleh
terjadinya perebutan sumber daya alam baik berupa hutan, tambang maupun tanah
pertanian, antara rakyat dengan pemilik modal dan negara. Perebutan ini dimenangkan
oleh pemillk modal dan Negara" sehingga menyebabkan teradinya penggusuran
massal. Rakyat yang berdasarkan pada hukurn adat (tradisional law) dipaksa
kalau perlu dengan cara kekerasan yang dibantu oleh militer untuk meninggalkan
tanahnya. Paksaan dengan kekerasan tersebut dapat menyebabkan terjadinya
bentrok fisik antara rakyat yang mempertahankan haknya dengan militer yang
seringkali menimbulkan korban jiwa di kalangan rakyat. Contoh terjadinya
kekerasan yang menimbulkan korban
24.
Dean G. Pruitt dan Jefftey Z. Rubin, Op. cit.,
hlm. 27
25.
Adi Sulistiyono. Op. Cn., hlm 21.
26.
Ibid., hlm. 19.
jiwa di pihak
rakyat, seperti kasuh tanah Jenggawah di Jember, Kasus Tanah Nipah di Madura
dan serta kasus tanah Alas Tlogo TNI-AU di Pasuruhan, dsbnya.
3)
Sengketa
Dalam pergaulan bermasyarakat,
tempat kita hidup di tengah-tengah orang yang berbeda tabiat dan kepentitgan,
kita pasti akan sering berhadapan dengan perselisihan percekcokan atau
pertentangan. Menurut Bambang sutiyoso34
perselisihan atau percekcokan tersebut terjadi bisa disebabkan oleh hal
yang sepele dan tidak mempunyai akibat hukum apa pun, seperti perbedaan
pendapat antara suami dengan isteri tentang penentuan waktu keberangkatan ke
luar kota, namun bisa pula merupakan persoalan yang serius dan mempunyai akibat
hukum, misalnya tentang penentuan batas tanah milik kita dengan tanah milik
tetangga.
Perselisihan atau persengketaan sebetulnya
merupakan suatu hal yang tidak dikehendaki oleh setiap orang yang sehat akalnya
dan pikirannya. Dewasa ini sengketa sering muncul di dalam kehidupan masyarakat
penyebabnya sangat beraneka ragam, bisa karena masalah ekonomi, politik, agama,
dan golongan, suku, bahkan harga diri dan lain sebagainya. Sengketa merupakan
aktualisasi dari suatu perbedaan dan/atau pertentangan antara dua pihak atau
lebih. Sebagaimana telah penulis jelaskan dalam pembahasan mengenai masalah, sengketa
muncul karena adanya masalah. Masalah sendiri terjadi karena adanya kesenjangan
antara dan sollen dangan das sei4 atau antara harapan dengan kenyataan.
Rusmadi Murad, dalam Sarjita35
memberikan definisi sengketa pertanahan adalah perselisihan yang terjadi antara
dua pihak atau lebih yang merasa atau dirugikan pihak-pihak tersebut untuk
penggunaan dan penguasaan hak atas tanahnya yang diselesaikan melalui
musyawarah atau melalui peradilan. :
Pengertian lain tentang sengketa pertanahan
dapat penulis kutipkan dari Pasal 1 Peraturan menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No.l Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa
Pertanahan yaitu perbedaan pendapat mengenai: 1) keabsahan suatu hak; 2)
pemberian hak atas tanah; dan 3) pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihan
dan penerbitan tanda bukti haknya antara pihak-pihak yang berkepentingan maupun
antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan instansi Badan Pertanahan Nasional.
Berdasarkan pengertian sengketa tersebut di
atas, maka dapat dilakukan klarifikasi berdasarkan pihak-pihak yang terlibat
dalam sengketa.. Berdasarkan klarifikasi para pihaknya dapat dibedakan menjadi:
1) Perseorangan dengan perseorangan;2) Perseorangan dengan badan hukum swasta;
3) Badan hokum swasta dengan Badan hukum swasta 4) Perseorangan dengan Badan
Hukum Publik (Instansi Pemerintah/BuMN/
BUMD/BHMN). 5) Badan hukum swasta dengan Badan Hrrkum Publik; 6) Badan hukum
publik dengan badan hokum publik; dan 7) Perseorangan dengan Badan Hukum Swasta
maupun Badan Hukum Publik.
Berdasarkan substansi atau pokok
permasahannya, maka dapat di bedakan menjadi: 1) peruntukan dan/atau penggunaan
serta pemanfaatan serta penguasaan/kepemilikan hak atas tanah; 2) keabsahan
tanda bukti suatu hak atas tanah (sertipikat. Girik, Leter c36, dan
lain sebagainnya); 3) prosedur pemberian
27.
Bambang Sutiyoso, Op. Cit.hlm.2
28.
Sarjita, Op. Cit. hlm.8.
29.
Dalam Perda Istimewa Yogtakarta Nomor I2 Tahun
1951 tentang Pemberian tanda yang sah bagi hak milik perseorangan turun temurun
atas tanah (erJelijk Individual bezitsrecht). Pada Pasal 4 ayat (2) Perda
tersebut, disebutkan bahwa Untuk mengerjakan tata usaha dimaksud ayat (l) pasal
ini [Pendaftaran Tanah] Kalurahan harus mempunyai : a. peta Kalurahan ; b) 3
(tiga) jeris daftar (register) yaitu: 1 Daftar (register) l.etter A; l) Daftar
(Register) Letter B; dan 3. Daftar (Register.l Letter C. Peta Kalurahan dan
Daftar Register letter A dibuat oleh Kantor Pendaftaran Tanah Daerah (Sekarang
Kantor Pertanahan Kab/Kota), Daftar Register B dan C harus dikerjakan oleh
Kalurahan yang berkepentingan menurut petunjuk Kepala Kantor Jawatan Agraria
Daerah Istimewa Yogyakarta. Di Dalam Penjelasan Perda tersebut, dapat diketahui
bahwa Daftar Regiter letter A berisi luas tiap-tiap persil atau bagian persil
serta jenis tanah (sawa, perkarangan atau tegalan) di masing-sing
Perbedaan pengertian konflik dan
sengketa nampak jelas sekali dari pengertian yang diberikan Nader dan Todd,
dalam Adi sulistiyono24 yang membedakan antara pra-konflik, yaitu suatu keadaan
yang mendasari karena diperlukannya tidak puas seseorang karena diperlakukan
tidak adil. Konflik yaitu keadaan di mana para pihak menyadari atau mengetahui
adanya perselisihan pendapat di antara mereka. Sedangkan sengketa adalah
keadaan di mana konflik tersebut dinyatakan di muka umum atau dengan melibatkan
pihak ketiga.
Menurut Ibu Khaldun, dalam Hakimul
Ikhwan Affandi25 dijelaskan bahwa konflik dipandang sebagai sesuatu yang secara
makro-sosial, disebabkan struktur dalam masyarakat yang gagal menangani
berbagai bidang kehidupan. Implikasinya konflik dipandang sebagai sesuatu yang
dapat diakhiri bila persoalan sosial, ekonomi, politik dan budaya dapat
terjawab.
Dalam membicarakan perspektif
konflik, Ibu Khaldun, dalam Hakimul Ikhwan Affanfi26 tersebut, juga menegaskan
perlunya memperhatikan tiga pilar utama factor penyebab yang perlu mendapatkan perhatian,
yaitu: Pertama, watak psikologis yang merupakan dasar sentimen dan ide yang
membangun hubungan sosial di antara berbagai kelompok manusia (keluarga, suku,
dan lainnya); Kedua, adalah fenomena politik yaitu berhubungan dengan perjuangan
memperebutkan kekuasaan dan kedaulatan yang melahirkan imperium, dinasti, dan
negara; Ketiga, fenomena ekonomi yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan
ekonomi baik pada tingkat individu, keluarga, masyarakat maupun negera.
Loekman Soetrisno,27 menyatakan di
mana pun di dunia ini, tidak ada manusia yang selalu hidup rukun dan damai.
Bahkan dalam unit terkecil dari suatu bangsa, yakni keluarga. konflik antara
suami isteri, atau anak dan orang tua juga sering teriadi. Hal yang sama
dikemukakan oleh Weber dalam Sabian Utsrnan'" yang menyatakan bahwa
konflik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial.
Dalam memaknai konflik"
Loelanan Soetrisno29 menyebutkan bahwa konflik tidak selalu bersifat
disfungsional. Justru terjadinya konflik dapat menjadi sesuatu yang fungsional.
Artinya dapat menjadi wahana untuk mendorong terjadinya suatu perubahan menuju
pada suatu kondisi yang lebih baik. Selanjutrya beliau membedakan konflik ke
dalam dua jenis, yaitu: Pertama. konflik yang bersifat destruktif" Hal ini
teradi apabila muncul konflik, akan tetapi tidak disertai adanya mekanisme
meredam konflik. Kedua jenis konflik yang bersifat fungsional, yakni konflik yang
menghasilkan perubahan atau konsensus baru yang bermuara pada perbaikan.
Berdasarkan sumber penyebab konflik
terjadi karena: (1) kompetisi, satu pihak berupaya meraih sesuatu dengan
mengorbankan pihak lain; (2) dominasi, satu pihak berupaya mengatur yang lain
sehingga merasa haknya dibatasi dan dilanggar; (3) kegagalan, menyalahkan pihak
tertentu bila terjadi kegagalan pencapain tujuan; (4) provokasi, suatu pihak
sering menyinggung perusaan pihak yang lain; 1.5) perbedaan nilai, terjadi
patokan yang berbeda dalam menetapkan standar salahnya suatu masalah.
Sementara itu, jika dilihat dari
prosesnya menurut Kusnadi, dalam Sabian utsman,30 konflik itu paling tidak ada
dua tahapan. yaitu tahap disarganisesi, di
30.
Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi
Di lndonesia, Surakarta UNS Press, 2006 : 2.
31.
Hakimul lkhwan Affanfi. Aknr Konflik Sepanjang
Zaman Eloborasi Pemikiran lbu Katdun, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 20O4:
ll8-119 .
32.
lbid, hlm. 80.
33.
Loekman Soetrisno, Konflik Sosial Studi Kasus
Di Indonesia, Yogyakarta. Tajidu Press. 2003:13-15
34.
Sabian Utsman Anatomi Konflik dan Solidaritas
Masyarakat Nelayan Sebuah Penelitian Sosiologis, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2007: l5
35.
Loekman Soetrisno, Loc. Cit.,hlm. l3-15.
36.
Sabian utsman, Op. cit. hlm. 17
hak atas tanah atau pelaksanaan
konversi (penegasan atau pengakuan hak atas tanah); 4) pendaftaran hak atas
tanah termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti haknya.
Rachmadi Usman dalam Sarjita37
bahwa suatu konflik tidak akan menjadi sengketa" apabila pihak-pihak yang
merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keprihatinannya. Sebuah
konflik akan berkembang menjadi sengketa, manakala pihak yang merasa dirugikan
telah menyatakan secara tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung
kepada pihak-pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau pihak lain.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sengketa merupakan kelanjutan dari
konflik. atau sebuah konflik akan
berubah menjadi sengketa apabila tidak dapat diselesaikan. Pada uraian
selanjutnya penulis memberikan beberapa contoh sengketa, seperti: "Sengketa
Tanah, wabah Lapar Tanah" Sengketa tanah semakin menggurita, kompleks,
menahan dan tak pernah jemih atau tuntas. Di Provinsi Lampung berdasarkan
temuan Sdr. Edwin Hanibal (Direktur LBH Bandar Iampung) dari 200 kasus yang
tercatat hingga saat ini (tahun 2001) terdapat sekitar 40 kasus berskala besar.
Berskala besar terkait dengan jumlah para pihak yaitu melibatkan warga satu
atau beberapa desa di satu pihak dengan perusahaan dan instansi pemerirrtah di
lain pihak, sedangkan dari luas tanah yang disengketakan antara puluhan ratusan
hingga ribuan hektar. Sengketa terjadi antara warga dengan pemerintah di
kawasan hutan Taman Nasional way Kambas (TNWK), lampung Timur. Warga menuntut
lahan seluas 7.000 hektar. Ditempat lain terdapat sengketa antara warga dengar PT.
Perkebunan Nusantara (PTPN) VII. Baik yang terletak di Bunga Mayang (Lampung
utara) maupun di Tanjung Bintang (Lampung selatan) Total lahan/tanah yang
diklaim oleh warga yang sekarang secara yuridis dikusai oleh PTPN VII seluas
kurang letrih 12.000 hektar
"Sengketa Tanah Angkatan Udara
di Sepanjang Jalan Melak-Barong dari Kilometer 09 hingga 11 milik TNI-AU
dikavling-kavling oleh masyarakat dengan mendasarkan pada bukti warisan adat."39
Contoh lain yaitu sengketa tanah yang di mana "Petani Sawit Menjual Kebun
Plasma" Sementara Sertipikat Masih Diagunkan Di Bank"
Sengketa tanah juga sering terjadi
berkaitan dengan penetapan batas tanah. Berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. ditentukan
bahwa penetapan
batas bidang tanah pada pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah
secara sporadic diupayakan penataan batas berdasarkan kesepakan pada pihak yang
berkepentingan. Selanjutnya dalam Pasal 18 PP tersebut, ditentukan bahwa Penetapan
batas bidang tanah yang sudah dipunyai dengan suatu hak yang belum terdaftar
atau yang sudah terdaftar tetapi belum ada surat ukur,/gambar situasinya atau
surat ukur/gambar situasi yang ada tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sebenarnva.
dilakukan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau
oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik. Berdasarkan
penunjukan batas oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan sedapat mungkin
disetujui oleh para pemegang hak atas tanah yang berbatasan.
Kalurahan. Daftar (Register) Letter
B, memuat nama-nama orang yang mempunyai hak di atas tanah terletak di tiap
-tiap persil (atau pun bagian persil) beserta luasnya tanah. Sedangkan Daftar
Register Letter C memuat kumpulan luas tanah yang menjadi hak milik tiap-tiap
orang (kutipan dari daftar letter B). Model D, yaini Tanda bukti hak milik
beserta petannya dan diberikan oleh Jawatan Agraria Daerah Yogyakarta atas nama
Dewan Pemerintahan DIY. yang sah bagi hak milik perseorangan
turun- temurun atas
tanah Mengingat bahwa dalam pelaksanaan dari pembuatan Peta, Daftar-Daftar
Register tersebut memakan waktu bertahun-tahun, maka untuk sekedar memenuhi keinginan
para pemilik tanah dan mempercepat waktu sebagai pengganti tanda hak milik
tersebut , rnereka diberi tanda sementara dulu (Model E). (Kristiyani,
Dkk,Himpunan Peraturan Peraturan Daerah DLL Perihal Tanah yang masih berlaku di
DIY, 1981).
37.
Sarjita, op.
Cit., hlm. 8.
38.
Harian Kompas, 25 Juni 2001 .
39.
Sumber Kaltim Post, 10 September 2002
Dalam beberapa kali pertemuan
sewaktu melaksanakan pembimbingan sekaligus penyuluhan kepada masyarakat dalam
rangka pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL) bagi Mahasiswa STPN, masih
terdapat penunjukan batas dilakukan oleh Oknum Aparat Pemerintah
Desa/Kalurahan, atau Anggota/Tokoh/Masyarakat/Dusun yang melaksanakan
pengukuran dan dikoordinir oleh Pemerintah desa" Sebelum dilakukan
pengukuran oleh Mahasiswa dalam PKL, terlebih dahulu bidang tanah dilakukan
pengukuran oleh Tim yang ditunjuk oleh Kepala Dusun atau Desa untuk mengetahui
luasnya. Dengan prosedur dan mekanisme sebagaimana penulis gambarkan tersebut,
dikemudian hari sering terjadi sengketa batas, karena batas bidang tanah ditunjukan
bukan oleh pemegang hak atas tanah tetapi dilakukan aleh "oknum aparat
Dusun atau Desa" yang melakukan pengukuran. Kondisi demikian seharusnya
tidak akan terjadi kalau anggota masyarakat maupun aparat Pemerintah Dusun/Desa
memahami dan mengetahui fungsi dan tugas masing-masing aparat serta mekanisme
pengukuran dan pendaftaran tanah.
Dalam konstek Nasional bahkan
lnternasional, sengketa batas ini juga terjadi antara Batas Wilayah Negara RI
dengan Negara Malaysia. "Patok-patok di Perbatasan Dicabut, Wilayah RI
Berkurang”40
"Sengketa Pulau Sipadan dan
Ligitan Merupakan Masalah Integritas Wilayah." Pengadilan Mahkamah
Internasional di Den Haaq Belanda memutuskan bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan
merupakan bagian dari wilayah Negara Malalasya.
Istilah "sengketa" dalam
Penjelasan Pasal 1 butir 4 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Penjelasan
tersebut dalam rangka memberikan rumusan atau penafsiran otentik dari makna
"sengketa tata usaha Negara”. Istilah "sengketa" tersebut
dimaksudkan untuk memberikan arti secara khusus sesuai dengan fungsi Peradilan
tata Usaha Negara, yaitu menilai perbedaan pendapat mengenai penerapan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam mengambil keputusan pada dasarnya
mengemban pada kepentingan umum dan masyarakat, tetapi dalam kasus tertentu
dapat saja keputusan itu dirasakan dapat rnengakibatkan kerugian ,bagi orang
atau badan hukum perdata tertentu, dalam azas Hukurn Tata Negara Kepada yang
bersangkutan harus diberikan kesempatan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan.
4)
Perkara
40.
Harian Kompas, 4 September 2003
Perkara merupakan istilah teknis
yang biasa digunakan untuk memberikan sebutan pertentangan atau perselisihan
yang penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga peradilan (litigasi). Adi
Sulistiyono41 menyebut pola pendekatan penyelesaian perkara melalui
litigasi/peradilan ini dengan istilah paradigm litigasi/Plg. Yaitu pendekatan
yang merupakan suatu pendekatan untuk mendapatkan keadilan melalui sistem perlawanan
(the adversary system) dan menggunakan paksaan (coercion) dalam mengelola
sengketa serta menghasilkan suatu keputusan win-lose solution bagi pihak-pihak
yang bersengketa. Penyelesaian sengketa yang dilakukan secara musyawarah, jika
tidak tercapai kata sepakat akan bermuara ke pengadilan, baik itu Peradilan
Umum (Perdata dan Pidana), Peradilan Tata Usaha Negara (Sengketa Tata Usaha
Negara), Peradilan Agama dan Militer.
]Pengertian perkara dalam Lampiran
0l/Juknis/D.V/2007 Angka Romawi II angka 5 Keputusan Ka. BPN Nomor 34 Tahun
2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan Dan Penyelesaian Masalah Pertanahan,
yang menyebutkan bahwa perkara adalah "sengketa dan atau konflik pertanahan
yang penyelesaiannya dilakukan melalui badan peradilan”.
Untuk memperjelas hal tersebut, ada
baiknya kita telusuri penggunaan istilah "perkara"
dalam berbagai uu yang
substansinya mengatur peradilan Dalam UU Nomor 5 Tahur 1986 tentang Peradilan
Tata Usasa Negara sebagaimana telah dilakukan perubahan dengan UU Nomor 9 Tahun
2004, ternyata dalam Pasal 47 yang merumuskan kekuasaan pengadilan tidak menggunakan
istilah "perkara", melainkan istilah yang dipakai adalah
"sengketa". Pasal 47 UU tersebut menyebutkan bahwa Pengadilan betugas
dan bewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
Penggunan istilah "perkara" nampak secara jelas dalam Pasal 16 ayat
(2) dan Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sehubungan dengan penyelesaian perkara melalui perdamaian atau arbitrase. Pasal
16 ayat (2) UU tersebut, menyebutkan bahwa Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.
Ketentuan Pasal 16 ayat (2) tersebut mempertegas suatu azas bahwa Pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
memeriksa dan mengadilinya.
Penjelasan Pasal 1 UU tersebut,
menentukan bahwa "Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian
dilakukan di luar peradilan negara melalui perdamaian atau arbitrase.
Penggunaan istilah "perkata" terdapat pula di dalam UU Nomor 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah dilakukan perubahan dengan UU
Nomor 8 Tahun 2004. Dalam Penjelasan Pasal 2 disebutkan bahwa "Di samping
peradilan yang berlaku bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya mengenai
perkara perdata dan pidana. Ada pelaksana Kekuasaan Kehakiman lain yang
merupakan peradilan khusus bagi golongan rakyat tertentu atau perkara tertentu,
yaitu Peradilan Agama. Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha
Negara....". Selanjutnya di dalarn Pasal 50 dalam kaitannya dengan
Kekuasaan Pengadilan, disebutkan bahwa "Pengadilan Negeri bertugas dan
berwenang memeriksa" memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara
perdata di tingkat pertama".
Pengunaan istilah
"perkara" dapat diketemukan pula dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama yang merupakan penyempurnakan atau pembahan dari UU Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam Pasal 2 UU tersebut ditentukan bahwa
"Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadailan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Undang Undang ini". Yang dimaksud perkara tertentu dapat di
lihat pada ketentuan Pasal 49 UU tersebut. yaitu bahwa "Pengadilan agama
bertugas dan berwenang memeriksa.
41.
Edi Sluistiyono, Op. cit. hlm. 4.
memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b.
Waris; c. Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f. Zakat; S. Infaq; h. Shadaqoh; dan i.
Ekonomi syariah.
Persamaan dan Perbedaan masalah, konflik,
sengketa dan perkara
Berdasarkan uraian sebagaimana
tersebut pada huruf a di atas, pada prinsipnya antara masalah. konflik, dan
sengketa serta perkara terdapat persamaan yaitu bahwa di dalamnya terkandung
adanya suatu pertentangan, perselisihan atau percekcokan. Atau dengan kata lain
mengandung suatu perbedaan kepentingan "conflict of interest".
Konflik kepentingan tersebut menurut Soedikno Mertokusumo42 merupakan
dasar/hakekat lahirnya hukum, diperlukanya hukum di dalam masyarakat atau
dengan istilah d'etren-nya hukum. Hal tersebut rnenurut penulis wajar, karena
di dunia ini selalu muncul pertentangan dua hal yang berbeda atau disebut
dengan antinomi, yaitu sesuatu yang berbeda namun keberadaanya selalu
diperlukan untuk terjadinya keseimbangan atau balance. Antinomi tersebut
menurut W. Friedman43 terdiri dari: a Individu -alam semesta; b.
Kesukarelaan dan Pengetahuan objektiv; c. Akal dan Institusi; d. Stabilitas dan
Perubahan; e. Positivisme dan Idealisme; f. Kolektivisme dan Individualisme; g.
Demokrasi dan Otokrasi; h. Internasinalisme dan Nasionalisme.
Sedangkan perbedaan dari masalah
dengan konflik, dan sengketa serta perkara dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Pada masalah lebih menitik beratkan atau menfokuskan pada pembahasan
mengenai substansinya atau objek yang terkandung di dalamnya. Hal tersebut
berbeda dengan konflik dan sengketa, di samping substansi sebagai pusat
kajiannya akan tetapi sudah melibatkan secara jelas pihak-pihak yang berkonflik
atau ,yang bersengketa. Sementara antara konflik dengan sengketa terdapat
perbedaan kalau konflik pertentangan atau percekcokan belum dinyatakan secara tegas
dan jelas oleh pihak-pihaknya, akan tetapi masih di pendam atau masih dalam pemikiran,
sedangkan pada sengketa pertentangan atau percekcokan sudah diayatakan secara
tegas dan jelas oleh pihak-pihaknya, antara siapa melawan siapa, di mana dan
mengenai soal apa.
Rachmadi Usman44
menyatakan bahwa sengketa tidak lain merupakan kelanjutan dari konflik. Sebuah
konflik akan berubah menjadi sengketa jika tidak dapat diselesaikan atau tidak
tercapai kesepakatan. Bambang Sutiyoso45 membedakan antara sengketa
dengan perkara, dilihat dari ruang lingkupnya. Beliau menyatakan bahwa sengketa
tidak selalu identik dengan perkara.Dalam proses penyelesaian perkara perdata
perlu dibedakan antara perkara dan sengketa perdata. Keduannya mempunyai
perbedaan cakupannya. Perkara lebih luas dari pada sengketa. Dengan kata lain
sengketa merupakan sebagian dari perkara sedangkan perkara belum tentu
sengketa. Dalam perkara tersimpul dua pengertian yaitu ada perselisihan (sengketa)
dan tidak ada perselisihan (nonsengketa). Perkara yang mengandung sengketa
(jurisditio contestiose), tugas hakim dalam hal ini adalah menyelesaikan sengketa
tersebut dengan adil atau tidak memihak. Hakim melaksanakan tugas mengadili
dalam arti yang sebenarnya untuk memberikan putusan yang adil dalam suatu
sengketa tanpa terpengaruh atau tekanan dari pihak manapun juga (independent
justice). Contoh perkara yang mengandung sengketa antara lain, perkara warisan,
perkara jual beli, perkara pemakaian merek,
perkara /sengketa batas bidang tanah perkara sengketa. Sebaliknya perkara yang
tidak mengandung perselisihan, artinya tidak ada substansi yang diselisihkan
atau disengketakan. Yang bersangkutan mengajukan permohonan ke Pengadilan atau
hakim tidak meminta peradilan atau keputusan dari hakim, melainkan minta
ketetapan dari hakim tentang status dan sesuatu hal, sehingga mendapatkan
kepastian hukum yang harus dihormati dan diakui oleh semua orang. Contohnya
permohonan untuk ditetapkan sebagai ahli waris yang
42.
Sudikno Mertokusumo, Op. cit. hlm. 29.
43.
W. Friedmann, Teori Dan Filsafat Hukum Telah
Kritis Atas Teori-Teori Hukum (diterjemahkan Muhamad Arifin), Jakarta Rajawali
Pers, 1990: 33-44
44.
Rachmadi Usaman, Op. Cit. hlm 1
45.
Bambang Sutiyoso, Op. Cit. hlm. 6.
sah, permohonan tentang pengankatan anak,
permohonan sebagai wali hakim, curator atau pengampu. Tugas hakim yang demikian
termasuk dalam jurisdictio voluntaria, yaitu suatu kewenangan memeriksa perkara
yang tidak bersifat mengadili melainkan bersifat admini stratif belaka.
Ruang Lingkup sengketa/Konflik Pertanahan dan/atau Agraria
Menurut Boedi Harsono46
bahwa hukum tanah bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya. Ia hanya mengatur
salah satu aspek yuridisnya yang disebut hak-hak penguasa atas tanah. Dengan
demikian hukum tanah adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan tanah sebagai satu kesatuan yang merupakan sistem. Lebih lanjut,
belia menyatakan bahwa dalam hukum tanah kita, sebutan "tanah"
dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan
resmi oleh UUPA. Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi (pasal 4
ayat I UUPA), sedang hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan
bumi, yang berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.
Lichfield, Nathaniel and
Darimp-Drabkin, Haim (1980: 13), dalam Boedi Harsono47”... tanah
merupakan sesuatu yang nyata, yaitu berupa permukaan fisik bumi serta apa yang
ada di atasnya buatan manusia" yang disebut "fixtures". Biarpun
demikian perhatiannya lebih tertarik pada pemilikan dan penguasaan tanah serta perkembangannya.
Objek perhatian hukumnya bukan tanahnya melainkan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan dikuasai dalam berbagai
tentuknya, meliputi kerangka hukumnya dan institusinya pemindahannya, serta
pengawasannya oleh masyarakat."
Pengertain hukum agraria dapat
dilihat dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit hukum agaria dapat
diartikan tanah dan dapat pula diartikan hanya tanah pertanian. Selanjutnya
pengertian agraria dalam arti luas dapat dilihat pada Undang- undang l Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (yang lebih dikenal dengan
sebutan Undang -Undang Pokok Agraria, disingkat UUPA). Menurut UU ini, agrarian
meliputi bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya. UUPA menentukan bahwa dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi
termasuk tubuh bumi, di bawahnya serta yang berada di bawah air (Pasal I butir
4). Pengertian air termasuk perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia (Pasal
1 butir 5). Sedangkan yang dimaksud ruang angkasa meliputi ruang di atas bumi
dan air (Pasal I butir 6).
Pengertian tanah telah membawa
implikasi yang luas di bidang pertanahan. Menurut Herman Soesangobeng dalam
Oloan Sitorus48 secara filosofis hukum adat melihat tanah sebagai
benda berjiwa yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan manusia. Tanah
dan manusia, meskipun berbeda wujud dan jatidiri, namun merupakan suatu
kesatuan yang saling mempengaruhi dalam jalinan susunan keabadian tata alam besar
(macro-cosmos) dan alam kecil (micro-cosmos). Dalam pada itu, tanah dipahami
secara luas, sehingga meliputi semua unsur bumi, air, udara, kekayaan alam, serta
manusia sebagai pusat, maupum roh-roh di alam supernatural yang terjalin secara
utuh menyeluruh.
Jaringan yang melihat tanah secara
utuh-menyeluruh (holistic) ini ketika akan dijabarkan kedalam azas dan pranata
hukum, tampaknya mengalami dinamika dan modifikasi. Sebagai contoh dalam
penguasaan dan pemilikan tanah dikenal azas pemisahan horizontal (horizontale
scheiding)49, yaitu suatu azas yang menyatakan bahwa pemilik tanah
tidak otomatis sebagai pemilik benda-benda yang ada di atas tanah. Sementara di
negara Anglosakson yeng mengartikan tanah sebagai (land)
46.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah
Pembentukan UUPA, Isi Dan Pelaksananya,) Jakarta, Djambatan. 1994 : 14
47.
Ibid., hlm. 15.
48.
Oloan Sitorus, Zaki Sierrad, Hukum Agraria Di
Indonesia Konsep Dasar dan Implemenrasinya, Yogyakarta, Mitra Kebijakan Tanah
lndoneisa (MKTI), 2006: 3.
49.
Hasni, Hukum Penatanaan Ruang dan Penatagunaan
Tanah Dalam Konstek UUPA-UUPR-UUPLH, Jakarta, Rajawali Pers : 328.
sebagai permukaan bumi, tubuh bumi, dan
kekayaan alam yang terkandung dalam tubuh bumi, maka azas penguasaan pemilikan
tanahnya pun mengenal azas perlekatan (azas natrekking atau azas accessie)50
sebagaimana tertuang dalam Pasal 500 KUH Perdata yaitu asas yang menyatakan
bahwa pemilik benda-benda di atas tanah pada prinsipnya juga melekat pada
pemilikan tanah.
Dalam konstek UUPA, yaitu Pasal 4 ayat
(1) mengartikan bahwa tanah yang hanya permukaan bumi (the surface of the
earht) membawa konsekuensi, hak atas tanah pun secara hukum adalah hak atas
permukaan bumi, tidak termasuk sekaligus merupakan hak atas benda-benda di atas
tanah dan kekayaan alam di tubuh bumi.
Selanjutnya menurut Boedi
Harsono51 menyatakan bahwa Hukum Agraria dalam UUPA bukan hanya satu
perangkat bidang hukum, melainkan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang
masing-masing mengatur hak penguasaan atas sumber- sumber daya alam tertentu yang
termasuk pengertian "agraria" sebagai yang diuraikan dalam UUPA.
Kelompok
bidang Hukum Agraria dimaksud, meliputi:
1)
Hukum Tanah; yang mengatur hak-hak penguasaan
atas tanah dalam arti permukaan bumi. Semua Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT)
berisi serangkaian wewenang dan kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang
baknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh,
wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang
menjadi kriterium atau tolok ukur/pembeda di antara hak-hak penguasaan
atas tanah dalam hukum tanah. Jenjang hak penguasaan atas tanah terdiri atas: Hak
Bangsa (Pasal 1 UUPA), Hak Menguasai dari Negara Gasal 2 ayat 2 UUPA), Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat (Pasal 3 UUPA), dan hak Perseorangan Atas Tanah
(Pasal 16 dan Pasal 53 UUPA, Wakaf Tanah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 41
Tahun 2004 Jo. PP Nomor 42 Tahun 2006, Hak Jaminan/Tanggungan Atas Tanah
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1996). 2) Hukum Air, yang mengatur
hak-hak penguasaan atas air (UU Nomor 8 Tahun 2004 tentang SDA, dan UU Nomor 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan
HP3-nya);
1.
Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak
penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh UU Nomor 11 Tahun 1967
tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Pertmbangen, dan UU Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi).
2.
Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak
penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air (UU Nomor 31 tahun
2004 tentang Perikanan).
3.
Hukum Penguasaan atas Tenaga dan Unsur-unsur
dalam Ruang Angkasa (bukan psce Law), yang mengatur hak-hak penguasaan atas
tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan dalam Pasal 48 UUPA).
4.
Hukum Kehutanan, yang rnengatur hak-hak
penguasaan atau pengusahaan atas kekayaan alam yang terdapat di kawasan hutan
(UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan).
Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan, bahwa hukum tanah merupakan salah satu bagian dari kelompok bidang
hukum agriria, karena ternyata masih ada bidang hukum lain, seperti hukum
pertambangan, hukum perairan, hukum perikanan, dan lain-lain.
Jika diuraikan lebih lanjut, maka
hak-hak atas tanah yang akan menjadi objek
penguasaan/pemilikan baik oleh perorangan
maupun kelompok orang, dan badan hukum terdiri dari: a) Hak Milik meliputi Hak
Milik yang sudah terdalam maupun Hak Milik Adat yang belum terdaftar
sebagaimana ditentukan dalam pasal 56 UUPA), b) Hak Guna Usaha; c) Hak Guna
Bangunan; d) Hak Pakai: e) Hak Sewa; f) Hak Membuka Tanah; g) Hak Memungut
Hasil Hutan; h) hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas
yang akan ditetapkan dengan Undang-undang (UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Hak
Milik Satuan Rumah Susun, UU
50.
ibid
51.
boedi Harsono, Op. cit., hlm. 8.
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-benda yang terkait dengan Tanah) serta hak-hak
yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.
Ruang lingkup antara
sengketa/konflik pertanahan dengan sengketa/konflik pertanahan tentunya berbeda,
hal ini merupakan konsekuensi pengertian pertanahan dengan agrarian yang berteda.
Pengertian pertanahan berasal dari kata dasar "tanah" dengan mendapat
tambahan yang berupa awalan per dan akhiran an mempunyai makna lebih sempit
apabila dibandingkan dengan agraria. Pasal 4 ayat (1) UUPA, dapat disimpulkan
bahwa tanah adalah permtukaan bumi. Jika fokus pembahasan mengenai sengketa
tentu akan bersinggungan dengan hak dan kewajiban, selanjutnya bahwa hak dan
kewajiban itu merupakan substansi dari hukum. Maka pendekatan hukum mengenai
pertanahan dan egraria inilah yang penulis pergunakan.
Dalam kaitan ini Boedi Harsono52
memberikan pengertian bahwa hukum tanah adalah bidang hukum yang mengatur
hak-hak penguasaan atas tanah: Hak bangsa Haj Menguasai Negara Hak Pengelolaan,
Hak Ulayat, Wakal dan Hak-hak atas tanah serta hak tanggungan.
Sebagai perbandingan pengertian
tanah menurut Simson (1976:5) dalam Sarjita53. Pada Hukum Inggris,
tanah tidak dipandang hanya terdiri atas permukaan bumi, akan tetapi juga
dianggap termasuk segala sesuatu yang melekat padanya dan juga udara yang
terdapat di atasnya sampai ke langit serta apa saja yang terletak di bawahnya
sampai pusat bumi, termasuk pula tanah yeng diliputi air dan karena itu bahkan
dasar laut pun adalah tanah.
Kata Agraria berasal dari bahasa
Latin "agrarius" yang merupakan pengembangan dari akar kata
"ager” yang berarti tanah pertanian (perladangan, persawahan), atau
"akker" Jadi agaria adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
lahan atau ladang pertanian. Dalam perkembangannya, pengertian agrarian
mempunyai makna yang lebih luas, serta ditujukan juga terhadap tanah-tanah
selain lahan pertanian. Jadi secara umum arti kata agraria tidak hanya untuk
tanah atau ladang pertanian saja, bahkan pada prakteknya tanah menjadi pusat
objek yang utama karena tanah itu mewadahi semuannya.
Boedi Harsono54,
memberikan pengertian hukum agraria meliputi: Hukum tanah, Hukum Air, Hukum
Pertambangan, Hukum Kehutanan dan Perkebunan, Hukum perikanan, Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur Dalam
Ruang Angkasa kecuali "Space Law". Oleh karena itu, ruang lingkup
agraria mencakup bumi, air, udara dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya. Dengan pengertian sebagaimana diuraikan di atas, maka konsekuensi
dari sengketal konflik agrarian meliputi pula sengketa atau konflik yang timbul
sebagai pengelolaan Sumber daya agraria (SDA);, termasuk di dalamnya
sengketa/konflik pertanahan.
Sebagai contoh dari sengketa tanah,
"Berebut Tanah Makam di Tanah Kusir"55. Ribuan kerabat
yang mempunyai keluarga yang dimakamkan di TPU Tanah Kusir Resah, karena tanah
tersebut telah diiklankan di media Masa untuk di jual. Sengketa tanah ini,
objeknya sebidang tanah seluas 35.601 hektar, di mana seluas 21 hektar saat ini
dipergunakan untuk Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir Pesanggrahan Selatan,
dan telah ditanami dengan ribuan jenazah, termasuk di dalamnya ratusan makam
pahlawan yang menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Sengketa ini terjadi
antara Hutagalung dan lrawati Sikumbang (ahli waris dari Raja Panusunan
Nasution) melawan sembilan warga yang mengklaim sebagai tanah miliknya.
Sementara TPU tersebut saat ini merupakan aset
52.
Boedi Hanono, Menuju Pensempurnaan Hukum Tanah
Nasional Dalam Hubunganya Dengan TAP MpR
Rl IX/MPR/2OOl (makalah disampaikan pada Seminar Nasional pertanahan 2002, Hotel
Ambarukmo Yogyakarta, 16 juli
2002, : l).
53.
Sarjita, Menejemen Konflik Pada Penyediaan
Tanah untuk Keperluan Di Bidang pertambangan (Makalah disampaiknn pada
Workshop Penyediaan Tanah Di lingkungan Pertabangan”. yogyakarta: Hotel Melia Purosani, 5-8 Agustus 2008). Tidak
dipublikasikan.
54.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (sejarah Pembentukan UUPA, Isi Dan
Pelakanaannya) Jakarta, Djambatan, 1994 : 6.
55.
Harian Kompas, 30 November 2004
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Cq. Kantor
Pelayanan pemakaman DKI. Perkara ini bermula dari gugatan yang diajukan oleh
sembilan orang warga kepada Sdr. Hutagalung di PN Jakarta Selatan. Ditingkat
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, perkara gugatan dimenangkan oleh
Penggugat selanjutnya Sdr. Hutagallung mengajukan banding. Pada tingkat banding
di Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta putusan menyatakan bahwa gugatan penggugat di
tolak selanjutnya warga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, dan oleh MA permohonan
kasasi ditolak. Terhadap tanah seluas 3,5 heltar tersebut, telah terjadi
kesepakatan dibagi dua antara
Hutagalung dengan Sdr. Irawati Sikumbang.
Pemerintah DKI memperoleh tanah tersebut secara tukar gulir
dengan tanah aset pem. Prov. DKI seluas 23.950 M2. Di Karet Tengsin, Jakata Pusat pada
tahun 1992-1993 dari PT. Duta Buana Permai Development. Sementara PT. Duta
Buana Permai Development dahulu telah membeli tanah tersebut dari sembilan warga
yang sekarang ini menggugat Sdr. Hutagalung.
Contoh lain yaitu sengketa tanah
"Warga Berebut Pakulaman Grond (PA)"56 Sengketa ini
bermula dari Puluhan Warga Dusun Bedoyo, Gupit dan Siliran yang mengadakan
pertemuan di Balai desa Karangsewu Kecamatan Galur Kabupaten Kulonprogo.
Sengketa menjadi berkelanjutan berkaitan dengan penggarapan tanah Paku Alaman
Grond antara Desa Karangsewu dengan Desa Banaran. Dengan dalih bahwa Warga Desa
Karangsewu telah menggarap lahan tersebut meskipun letaknya di Desa Banaran
selama 20 tahun lebih secara turun temurun, maka ia lebih berhak ketimbang
warga lainnya. Sementara dilihat dari status penguasaannya, baik warga Desa
Karangsewu maupun warga Banaran sama-sama tidak memiliki/mempunyai sertipikat
maupun Letter C. Di samping itu secara historis, pada waktu kunjungan Presiden
Rl I (Soekarno) telah menyatakan tanah itu untuk diserahkan kepada Desa Karangsewu
untuk digarap. Sedangkan warga Desa Banaran, berdalih ada Pemberitahuan tentang
Pemasangan stok tanah pada tanggal 12 Juli 2008, setelah Tim Pertanahan Kabupaten
Puro Pakualaman bersama-sama BPN melakukan pengukuran tanah PA Grond. Hasil
inventarisasi Tim menyatakan bahwa tanah tersebut masuk dalam wilayah kerja
konsensi Penambangan Pasir Besi PT. JMM.
Contoh lain. Sengketa tanah yang
beraspek Hukum Pidana. "Jual Tanah Bengkok Untuk Beli Colt"51.
Kasus ini dilakukan oleh Seorang Kepala Desa Srumbung yang masih aktif sebagai
Anggota Polri. Mereka dituduh secara tidak sah menjual tanah bengkok Desa
Srumbung sewaktu masih menjabat sebagai Kepala Desa. Tanah tersebut di jual
oleh Terdakwa seharga 49 juta kepada Pihak ketiga, hasil penjualan selanjutnya
digunakan untuk membeli sebuah Colt dan sebagaian lagi untuk modal pembeiian
Bibit Salak Pondoh. Problem menjadi bertambah ruwet, karena barang berupa Colt
sebagai alat bukti di Persidangan Mahkamah Militer, ternyata sudah menyeberang
ke Kalimantan Tengah untuk usaha di sana. Masalah tersebut mencuat/diketahui
oleh warga sewaktu pihak pembeli tanah tersebut akan mengurus sertipikat tanah
Di Kantor Pertanahan Kabupaten Magelang.
Yang lebih mengejutkan lagi, yaitu
Hasil Penelitian Douglas Kammen58 (Doktor lulusan Cornell University
Amerika). yang berjudul "Kekerasan dan Media Massa" menyimpulkan
bahwa Pembantaian Dukun Santet kurang lebih 100 orang di Kabupaten Banyuwangi
dan kemudian menyebar ke berbagai kabupaten di Daerah Jawa Timur (Jember.
Malang Bagian Selatan, Situbondo, Pasuruan) pada tahun 1998 ternyata dilatar
belakangi soal /masalah pertanahan (pengalihan fungsi tanah, system bagi hasil antara
pemilik dengan penggarap. Kepemilikan tanah dengan tuan-tuan tanahnya (landloord). Hal sejenis juga pernah ierjadi
di wilayah Provinsi Jawa barat, tempatnya di Kabupaten Ciamis.
Tasikmalaya" Garut dan Cianjur. Hasil kesimpulan menyatakan bahwa, dari 2/3
korban adalah para pemilik tanah. Sedangkan isisanya adalah orang – orang yang
mengambil kesempatan membalas dendam atau melampiaskan kebencian dengan memanfaatkan
momentum dukun santet.
56.
Harian Jogja. 6 Agustus 2008, hlm- 19.
57.
Harian Kedaulatan Rakyar, 18 Juli 2001 : 23.
58.
Harian Kedaulatan Rakyat, 4 Juli 2001, hlm 1
Contoh Sengketa Agraria dan
Lingkungan Hidup. "Penambangan Pasir Merapi, Merusak Lingkungan dan
Bangunan Air". Kegiatan tersebut secara tidak langsung pernah menimbulkan
tidak berfungsinya pintu pengambilan air irigasi dan turunnya pondasi Jembatan
Srandakan, Jumlah Penambang Pasir Meningkat, Dibiarkan, Jembatan Kretek
Terancam.59.
Problem berikutnya yaitu berkaitan
dengan "Rumah Masa Depan" Hal tersebut muncul sebagai akibat para
pengembang hanya berlomba –lomba membangun perumahan, dari tipe yang RSS sampai
Tipe Yang Mewah, tanpa memikirkan atau menyisakan sebidang tanah untuk
pemakaman bagi warga perumahan. Bahkan membangun berbagai fasilitas perumahan,
akan tetapi ketinggalan atau kelupaan memikirkan pembangunan / penyediaan rumah
masa depan. Memang agak aneh, jika masih segar bugar, dan selalu berdoa agar
sehat selalu serta belum punya rumah lalu mencari rumah masa depan. Persoalan
muncul, ketika ada salah seorang warga perumahan yang meninggal dunia"
sementara tidak memilik/mempunyai warga terdekat di kota tersebut. Masalah
krusial terjadi bahkan menyakitkan, ketika akan memakamkan jenazah ternyata
warga pedukuhan yang memiliki makam menolak karena tidak masuk sebagai orang
dalam alias "orang luar." Dengan proteksi, bahwa makam pedukuhan
hanya dikhususkan untuk
pemakaman warga pedukuhan yang bersangkutan.
Tipologi/Klasifikasi Masalah/Sengketa
Pertanahan
Secara garis besar tipologi atau
klasifikasi masalah atau sengketa pertanahan dapat dikelornpokan menjadi :
a.
Berdasarkan Lampiran 01/Juknis/D.V/2007
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk
Teknis Penanganan Dan Penyelesaian Masalah Pertanahan terdiri atas: 1)
Penguasaan dan Pemilikan Tanah; 2) Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah; 3)
Batas atau Letak Bidang Tanah; 4) Pengadaan Tanah; 5) Tanah Objek Landreform;
6)Tuntutan Ganti Rugi Tanah Partiketir; 7)Tanah Ulayat; 9) Pelaksanaan Putusan
Pengadilan.
b.
Berdasarkan Laporan Intern tentang Masalah
Pertanahan, yang dihasilkan oleh Panitia dari Direkbur Jenderal Agraria
Departemen Dalam Negeri dan dikutif oleh Sediono M.P. Tjondronegoro60:
1) Pemilikan, penguasaan dan penggarapan tanah pertanian; 2) sewa menyewa"
sakap menyakap tanah dan hubungan kerja di bidang pertanahan padi sawah di
Jawa: 3) Penggarapan tanah rakyat untuk tanaman tebu; 4) Budidaya tambak di
Indonesia; 5) pemilikan penguasaan dan penggarapan tanah dalam hubungannya dengan
pembangunan pengairan.
c.
Berdasarkan pendapat Maria Surnardjono6l,
terdiri atas; 1) Sengketa di atas tanah Perkebunan; 2) Sengketa di atas tanah
Kawasan Hutan; 3) Sengketa di atas tanah yang telah dibebaskan oleh Pengembang
Perumahan/Perkantoran Kawasan Industri, dll.; 4) Sengketa di atas tanah Objek
Landreform; 5) Sengketa di atas tanah bekas tanah Panikelir ex. UU No. 1 Tahun
1958; 6) Sengketa di atas tanah bekas Haki Barat; 7) Sengketa di atas tanah
yang dikuasai oleh TNI-ABRI; 8) Sengketa antra masyarakaat dengan PT.KAI, PT.
Pelindo, dll.; 9) Sengketa- sengketa lain yang terkait dengan pendartaran tanah
yang berasal dari tumpang tindih girik dan eigendom, konflik yang berasal dari
pelaksanaan putusan pengadilan.
d.
Berdasarkan Resources Center KPA (2001) dalam
Maria S. W. Sumardjono,62 terdiri atas: 1) Masalah/sengketa tanah}l
perkebunan; 2) Masalah penggarapan tanah kawasan hutan oleh masyarakat; 3)
Masalah yg berkaitan dengan putusan
59.
Harian Kedaulatan Rakyat, l8 Maret 2002.
60.
Sedjono M. P. Tjondronegoro, Ranah Kajian Sosiologi
Pedesaan. Bogor, Fak-ultas Ekologi IPB. 2008.:77.
61.
Maria S. W. Sumardjono, Tanah Dalam Puspektif
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, jakarta. Kompas, 2008: 109
62.
Ibid hlm 110-111
pengadilan
oleh pihak yang kalah; 4) Masalah pemohonan pendaftaran yang berkaitan dengan
tumpang tindih hak atau sengketa batas; 5) Masalah berkaitan dengan pendudukan
tanah dan/atau tuntutan ganti rugi masyarakat atas tanah- tanah yang telah
dibebaskan oleh pihak swasta untuk berbagai kegiatan; 6) Masalah yang berkaitan
dengan klaim sebagai tanah ulayat; 7) Masalah yang berkaitan dengan
tukar-menukar tanah bengkok desa yang telah menjadi keluarahan; 8)
Masalah-masalah lain, seperti sengketa dari pemanfaatan lahan tidur dan tanah
terlantar;
e.
Berdasarkan tipologi sengketa menurut
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam Maria S.W. Sumardjono: l) Sengketa
Agraria karena penetapan fungsi tanah dan kandungan hasil bumi serta beragam
tanaman dan hasil di atasnya sebagai sumber-sumber yang akan dieksploitasi
secara massa; 2) Sengketa Agraria akibat program swasembada beras yang pada
praktiknya mengakibatkan penguasaan tanah terkonsentrasi di satu tangan dan
membengkaknya jumlah petani tak bertanah serta konflik-konflik bersumber
pada keharusan petani untuk menggunakan bibit-bibit unggul maupun
masukan-masukan non organik seperti pestisida, pupuk urea dsb-nya. 3) Sengketa
Agraria di areal perkebunan baik karena pengalihan maupun penerbitan HGU,
pembangunan perkebunan Inti Rakyat (PIR), dan program sejenisnya, Tebu Rakyat
Intensifikasi (TRI); 4) Sengketa Agraria akibat penggusuran-penggusuran di atas
lahan yang tidak dimanfaatkan untuk industri pariwisata real estat, kawasan
industri, pergudangan pembangunan pabrik, dsb-nya. 5) Sengketa Agraria akibat
penggusuran- penggusuran dan pengambil-alihan tanah-tanah rakyat untuk pembangunan
sarana-sarana yang dinyatakan sebagai kepentingan umum maupun kepentingan keamanan;
6) Sengketa Agraria akibat pencabutan hak rakyat atas tanah karena pembangunan
taman nasional atau hutan lindung, dsb-nya dengan mengatasnamakan kelestarian lingkungan;
7) Sengketa Agraria akibat penutupan askes masyarakat untuk memanfaatkan
Sumber-sumber Agraria Non-tanah (Perairan, udara, air dan isi perut bumi) dan
rnenggantikannya dengan hak-hak pemanfaatan terbatas untuk sekelornpok kecil
orang atau perusahaan tertentu, meskipun SDA tersebut berada/bagian dari
tenurial lokal masyarakat adat setempat;
f.
Berdasarkan klasifikasi Penelitian dan
Pengembangan (Litbang) Harian Kompas: Pertama, Sengketa perkebunan
Bentuk sengketa atas tanah perkebunan paling sering terangkat ke permukaan.
Bisa demikian karena lahan lahan yang disengketakan rata-rata ratusan hektar
dan melibatkan masyarakat dengan institusi, baik swasta maupun pemerintah.
Sepanjang era reformasi ini terdapat 164 kasus. Provinsi Sumatera Utara menjadi
daerah yang paling banyak rnemiliki kasus tanah perkebunan ini, sebanyak 29
persen. Penyerobotan dan pendudukan lahan perkebunan da yang sudah dilekati
dengan sesuatu hak atas tanah dengan Hak Guna Usaha (HGU) menjadi model
penuntutan kembali hak atas tanah. Ganti rugi yang terlalu rendah dan pola
intimidasi biasanya menjadi model penuntutan untuk menguasai kembali tanah
garapannya. Selain persoalan ganti rugi, sengketa tanah ini disebabkan oleh
tanah perkebunan yang telah diusahakan turun temurun. Dengan alasan itu
masyarakat mengklaim tanah perkebunan itu sebagai tanah ulayat atau adat yang
menjadi bhak masyarakat adat untuk dijadikan tanah garapan. Kedua,
Sengketa Kawasan Hutan. Berkaitan dengan kasus demikian biasannya masyarakat
menunrut hak atas tanah yang dalam kenyataannya masih tercatat dalam kawasan
hutan (hutan registrasi), baik secara fisik masih atau sudah tidak berfungsi
lagi sebagai hutan. Dalam kasus seperti ini Badan Perlahanan Nasional (BPN)
mengambil sikap tidak memproses, kecuali ada surat pelepasan kawasan hutan dari
Menteri Kehutanan. Badan Pertanahan Nasional mencatat ada 9 sensketa tanah di
atas tanah kawasan hutan dan tidak satupun selesai diproses. ketiga,
Sengketa Kawasan Perumahan Dalam kasus ini terjadi pendudukan tanah yang telah
dibebaskan oleh pengembang untuk perumahan atau perkantoran. Kasus ini muncul
lantaran proses pengalihan hak dilakukan melalui perantaran. Masyarakat memberi
kuasanya kepada panitia atau wakil untuk
bertransaksi dengan pengembang perumahan. Kasus yang muncul merupakan klaim
masyarakat akibat ganti rugi yang diterima terlalu rendah atau bahkan belum
diterima. Untuk kasus seperti ini, Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak mengambil
sikap karena yang terjadi adalah masalah perdata antara masyarakat dan atau
wakilnya Panitia penjualan yang harus diselesaikan di pengadilan; Keempat,
objek landreform. Sengketa tanah di atas tanah objek landreform, bekas
tanah partkelir yang terkena UU Nomor I Tahun 1958 tentang Penghapusan
Tanah-tanah Partkelir, dan bekas hak barat. Dalam kasus di atas tanah objek
landreform terjadi sengketa antara penggarap bukan penerima redisribusi tanah
dan penerima redistribusi tanah atau badan hukum. Dalam sengketa ini tanah
bekas partikelir, mereka yang bersengketa adalah ahli waris bekas pemilik tanah
partikelir dan pengembang atau masyarakat dengan tuntutan pembatalan Hak Guna
Bangunan (HGB). Sementara untuk kasus tanah tekas hak barat, sengketa yang
terjadi antara masyarakat dan masyarakat dengan tuntutan pembatalan hak atas
tanah asal konversi hak barat. Baden Pertanahan Nasional mencatat ada 118 kasus
atau 9 persen kasus ini masuk dalam kategori ini. Kelima, Sengketa Hak
dan Batas. Kasus tanah yang terjadi akibat tumpang tindih hak atau sengketa
batas. Kasus ini banyak terjadi lantaran masih banyak tanah yang belum
bersertipikat. Badan Pertanahan Nasional menyebut angka 40 persen
tanah belum bersertipikat. BPN membedakan
tumpang tindih status tanah dan sertipikat. Tumpang tindih status tanah dapat
terjadi karena tanah belum terdaftar atau belum bersertipikat. Tidak kurang
dari 287 kasus tumpang tindih status tanah yang ditangani BPN. Tumpang tindih
ini terjadi pada tanah yang sudah bersertipikat, artinya sertipikat tanah
tersebut ganda (dobel). BPN mencatat l0 kasus seperti itu dan 0 di antaranya
sudah selesai diproses. Tumpang tindih sertipikat tanah menjadi sengketa besar,
yaitu 27. persen.
Kasus ini banyak terjadi di Pulau jawa dengan 197 kasus. DKI Jakarta 25
persen dan Jawa Barat sebanyak 20 persen merupakan Wilayah dengan kasus
terbanyak. Keenam, Sengketa putusan Pengadilan Sengketa demikian terjadi
berkaitan dengan pelaksanaan putusan pengadilan. Pihak yang kalah dalam
sengketa/perkara tanah di pengadilan tidak dapat menerima keputusan dan meminta
BPN memberikan
keputusan sesuai dengan
yang dikehendakinya. Dalam hal ini BPN akan tetap melaksanakan putusan
pengadilan. Kasus semacam ini berada pada peringkat kedua setelah tumpang
tindih status tanah. Kasus sengketa ini terjadi akibat dilakukannya putusan pengadilan
yang masuk ke BPN berjumlah 256 kasus. Dengan 80 persen kasusnya tersebar di
Pulau jawa. Dalam beberapa kasus juga terdapat putusan pengedailan yang tidak
dapat dilaksanakan. Tanah yang demikian disengketakan telah berubah status
maupun kepemilikannya. Dengan kata lain, objek terseksekusi tidak ada lagi.
Sebab lain adalah putusan pengadilan perdata dengan Pengadilan Tata Usaha
Negara.
2 komentar:
Melihat sengketa,konflik,perkara yang semakin berkembang bahkan sampai pelanggaran HAM dan ranah kemanusiaan.Perlukah dibentuk Peradilan Pertanahan?
SEKOPER (sengketa, konflik dan perkara) pertanahan yang terjadi di Indonesia amat sangat banyak, dalam menyelesaikan SEKOPER tentunya memiliki trik dan teknik tersendiri mengingat adanya keberagaman kultur dan budaya Indonesia serta keberagaman SEKOPER yang terjadi di tiap-tiap wilayah. Perlukah di bentuk tim kusus yang membidangi hal ini sehingga penanganan SEKOPER dapat fokus
Posting Komentar