Anatomi
dan Kajian Kritis RUU Pengadaan Tanah[1]
Oleh
Sarjita, S.H., M.Hum.[2]
A.
Politik Pertanahan di Persimpangan Jalan
Sejak memasuki abad ke-21, Negara-negara Barat
sebagai donatur bagi negara-negara berkembang telah memberikan persyaratan baru
sebagai pertimbangan utama bagi negara berkembang yang akan memperoleh bantuan
dana untuk pembangunan, yaitu menyangkut
demokrasi, pengakuan hak azasi
manusia, dan pelestarian lingkungan.[3]
Dengan demikian, persyaratan itu
mengindikasikan suatu harapan bahwa masalah hubungan
negara dan rakyatnya menempati posisi sentral dalam proses pembangunan di
negara yang sedang berkembang.
Dari uraian di atas, muncul pertanyaan mendasar yang
harus dijawab, dan tidak asal menjawab. Yaitu, persoalan adakah hubungan antara
demokrasi dengan keberhasilan pembangunan di suatu negara yang sedang
berkembang?. Atau dengan kata lain, mana
yang harus didahulukan/diprioritaskan sebaiknya pembangunan
dulu baru demokrasi atau demokrasi dulu baru pembangunan?.
Sebagai bahan kajian, ternyata ada dua negara yakni Korea Selatan yang pro Amerika berhadapan dengan Korea Utara yang
pro Russia dan Taiwan yang pro
Amerika berhadapan dengan Cina Daratan yang Marxizt-Leninist dan diperintah
secara otoriter mampu dan cepat menstransformasikan dirinya dari negara agraris
ke negara industrial. Kasus dua negara di atas, tidak begitu saja lalu dapat
digunakan sebagai ukuran
bahwa pemerintahan otoriter (tidak
demokratis) lebih baik dari pemerintahan
demokratis, atau sebaliknya. Demikian juga, untuk menjawab bahwa demokrasi
tidak selalu membawa keberhasilan dalam pembangunan atau dengan kata lain bahwa
demokrasi bukan merupakan prakondisi untuk keberhasilan pembangunan.
Menurut Francis
Fukuyama,[4]
pilihan demokrasi liberal bersumber pada keinginan manusia untuk dihargai
martabatnya sebagai manusia. Dalam Perkembangannya secara kuantitas negara yang menganut
demokrasi liberal mengalami peningkatan.
Pada tahun 1790 hanya ada 3 Negara,
1900 menjadi 13 negara, 1919
menjadi 27 negara, 1994 menjadi 64 negara. Namun tidak pula kemudian kita
mengkultuskan demokrasi tersebut.
Loekman Soetrisno,[5]
menegaskan memang demokrasi bukan jamu
gendong yang dapat mengobati segala penyakit yang saat ini dihadapai oleh
negara-negara yang sedang berkembang. Namun demikian, kita jangan pula menutup
mata, bahwa demokrasi liberal (DL) juga punya keterbatasan/kelemahan. Menurut
Kenneth Auchincloss,[6]
menyebutkan tiga keterbatasan/kelemahan demokrasi liberal yaitu: Pertama, DL tidak secara otomatis akan
membawa kemakmuran; Kedua, DL tidak
selalu membawa stabilitas, terlebih-lebih apabila DL itu ditanamkan pada suatu
negara yang tidak pernah mengenal budaya demokratis; Ketiga, ajaran DL “democrarcy
means majority rules” sebenarnya
mengandung kelemahan karena demokrasi harus juga mengakui kepentingan dan hak
dari kelompok minoritas. Contoh: Disintegrasi di Yugoslavia, disebabkan karena kelompok
etnis Serbia yang merupakan etnis mayoritas tidak melindungi hak dan
kepentingan kelompok etnis minoritas, yakni etnis Croatia dan Bosnia.
Lalu bagaimana dengan Negara kita Indonesia? Kita tidak mengambil/menganut keduanya. Akan tetapi mempunyai kharakteristik yang mampu menbedakan dari kedua model paradigma di atas, yaitu
Demokrasi Pancasila. Justru
sebenarnya musuh kita bukan liberalisme maupun demokrasi liberal, akan tetapi
mereka-mereka yang dengan sengaja menggunakan kekuasaannya melanggar hak azasi
manusia Indonesia, dengan cara memperkaya diri mereka sendiri atau orang lain, sehingga sulit
untuk mencapai pemerintahan yang “clean
government” dan “accountable government”.
Dalam era reformasi, gerakan yang diperjuangkan oleh
rakyat mempunyai motif empat tema, yaitu 1)
perbaikan ekonomi;
2) perbaikan tata pemerintahan atau good government; 3) supremasi hukum,
dan; 4) demokrasi.
Sejumlah studi mengindikasikan bahwa tingkat kemajuan ekonomi merupakan faktor
penentu paling penting bagi keberlanjutan demokrasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Barro dan Bremmer,[7]
bahwa pada tahap awal perjalanan masyarakat berpenghasilan rendah, tertutup dan
belum demokratis, seyogyanya memusatkan uapayanya pada pembangunan ekonomi
lebih dahulu. Karena masyarakat yang berpenghasilan rendah masih disibukan
dengan kegiatan yang paling mendasar, yaitu bagaimana memenuhi hidupnya dari
hari ke hari. Demokrasi akan bersemi manakala tingkat hidup yang lebih tinggi
dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi pula.
Oleh karena itu, maka dalam era reformasi hubungan negara dengan rakyat, harus diformulasikan dalam suatu
format baru yang mengarah pada
tercapainnya suatu hubungan yang seimbang antara peran negara (pihak yang memerintah) dan rakyat
(pihak yang diperintah). Patut
direnungkan untuk selanjutnya diamalkan apa yang dikemukakan oleh Arthur M.
Schlesinger Jr.[8] yang menyatakan bahwa misi utama dari “democratic statecraft” adalah “to find the means of ordered liberty in a
world condmmed to everlasting change” (Perubahan yang terjadi di dunia berjalan
dengan sangat cepat. Perubahan yang sangat cepat ini akan menimbulkan suatu
kesenjangan antara institusi dan nilai-nilai hidup yang diwarisi oleh suatu
bangsa dengan lingkungan mereka yang cepat mengalamai perubahan).
Lebih lanjut
Arthur M. Schlesinger Jr. menegaskan bahwa bangsa yang tidak mampu menyesuaikan budaya
mereka dengan kecepatan perubahan yang terjadi di dunia akan terus menerus
mengalami masalah-masalah yang muncul sebagai akibat ketertinggalan mereka dari
laju perubahan dunia. Agar suatu bangsa dapat menyesuaikan diri mereka
dengan cepatnya kemajuan jaman, bangsa
itu membutuhkan pemimpin-pemimpin yang memimpin bangsanya atas dasar ketentuan
konstitusi, mau peka pada kehendak raknyatnya dan memiliki toleransi terhadap
budaya kritis di kalangan rakyat yang dipimpinnya. Dalam pepatah Bahasa jawa:
dapat disejajarkan dengan makna dari “Ojo
rumongso biso, tapi yang biso rumongso.”
Dalam konteks, tersebut harus dimaknai
bahwa Negara secara konstitusional berhak menuntut setiap warganya untuk
melaksanakan kewajibannya mereka kepada negara, namun rakyatpun secara
konstitusional pula berhak untuk menuntut agar negara juga menghormati hak-hak
mereka yang dijamin oleh hukum.
Untuk mengawal implementasi kewajiban negara tersebut,
tentunya diperlukan suatu kelompok
pembaharu[9]
yang akan menjadi ujung tombak dan pengawal proses transformasi. Namun
tumbuhnya kelompok pembaharu diperlukan dua prasyarat, Pertama: pertumbuhan yang menyentuh dan dapat dinikmati oleh
sebagain besar rakyat (broad based); dan Kedua:
prosesnya lebih mengandalkan pada
kegiatan berdasarkan hasil kerja, inisiatif dan integritas SDM dan bukan semata dari hasil eksploitasi SDA.
Di Indonesia,
dapat meliputi unsur-unsur reformis dari kaum penguasaha, intelektual,
profesional birokrat, pemuda, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan
dll. Yang lebih penting diantara kelompok pembaharu tersebut,
mempunyai kesamaan platform, yaitu keterbukaaan, kebabasan berusaha, good governmence, rule of law dsbnya.[10]
Yang paling penting untuk diperhatikan menurut penulis adalah, jangan sampai
kita kehilangan “gairah/syahwat” dan stamina untuk melanjutkan pembangunan.
Bahkan lebih asyik dan terlena dengan eforia dan hingar-bingar “demokrasi”
sehingga melupakan tujuan utama reformasi yang sebenarnya. Demokrasi di sini
harus diartikan secara substantif dan mencakup tidak hanya mekanisme formal
demokrasi (prosedur belaka) seperti
pemilihan umum yang bebas dan terbuka, multi partai, pembagian kekuasaan antara
eksekutif, yudikatif dan legislatif, peran pers dan organisasi kemasyarakatan,
dsbnya.) akan tetapi lebih ditekankan pada nilai-nilai dasar keadilan yang
tumbuh dan berkembang di dalam
masyarakat yang akhirnya akan memberi sukma/roh demokrasi itu sendiri.
Selanjutnya untuk
lebih memahami, bagaimana hubungan negara
dengan rakyat terkait dengan
perancangan dan perumusan peraturan perundang-undangan, kiranya masih relevan
untuk mempertanyakan sejauh mana, serta tujuan yang hendak dicapai dari
kewenangan negara dengan “hak menguasai
negara atas tanah”, sehingga tanah yang mempunyai nilai ekonomis
(individual) sekaligus fungsi sosial dapat diperoleh dan dimanfaatkan oleh
setiap orang (rakyat) untuk mendukung kegiatan dalam rangka mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Pemahaman yang hakiki, bahwa konsep “hak menguasai
negara atas tanah” harus dimaknai dalam
kerangka hubungan penguasaan dan bukan pemilikan sebagaimana negara sosialis-komunis, misalnya RRC atau
yang dianut oleh Amerika Serikat.[11]
Menurut
Mahfud M.D.[12]
pembangunan hukum
agraria yang substansinya tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), mengingat proses pembuatan UUPA yang partisipasif dan isi yang aspiratif,
maka UUPA merupakan hukum yang berkarakter responsive. Selanjutnya jika UUPA
dilihat dari nilai sosial yang mendasarinya, maka UUPA merupakan hukum
prismatik[13]
yang ideal, karena mengkombinasikan (mengambil segi-segi baik) dua ekstrem pilihan nilai sosial yaitu nilai social
paguyuban (gemeinschap) dan nilai sosial patembayan (geselschap) dengan titik berat pada
nilai kepentingan yang populistik (kemakmuran bersama) tanpa menghilangkan hak
individu. Berdasarkan pada berbagai pertimbangan filosofis tersebut, Mahfud MD,
berkeyakinan bahwa UUPA secara prinsip
tidak perlu dirubah, sebab pada dasarnya sudah baik, tetapi yang menjadi
masalah adalah implementasinya. Dari sisi filosofi sudah baik, akan tetapi pilihan kepentingan dan nilai social oleh
Pemerintah telah menggeser pesan subtantif filosofis yang mendasarinya. Sebagai
contoh bergesernya penggunaan hak menguasai
yang berintikan “mengatur”
dalam kerangka populisme menjadi “memiliki”
secara mutlak dalam rangka pragmatisme untuk melaksanakan program pembangunan
ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan.
Menurut Iman Soetiknjo,[14]
Machfud M.D,[15] dan
Muchsin,[16] sesuai
dengan namanya UUPA (Undang Undang Pokok Agraria) atau biasa disebut Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, tentunya
masih memerlukan berbagai peraturan pelaksanaan untuk mengoperasionalkannya. Dalam
kenyataanya pembuatan peraturan pelaksanaannya sangat lambat, ibarat keluar setetes demi setetes. UUPA
merupakan hukum materiil, dengan kata lain ia (UUPA) masih merupakan het recht in rust atau hukum dalam
keadaan tidak bergerak. Sehingga
diperlukan peraturan pelaksanaannya (menjadi het recht in beweging).
Sementara itu Maria SW Sumardjono[17]
menegaskan bahwa UUPA tidak dapat
berdiri sendiri, melainkan membutuhkan berbagai peraturan pelaksanaan. Selain
masih banyak berbagai peraturan pelaksanaan yang belum tercipta, ternyata peraturan pelaksanaan yang sudah
ada pun kerapkali masih mengandung
permasalahan. Sedangkan peraturan pelaksanaan yang sudah ada/memenuhi, ada
kemungkinan pelaksanaannya tidak konsekuen dan konsisten.
Salah satu peraturan pelaksanaan UUPA yang mengandung
permasalahan tersebut, besar kemungkinan
adalah regulasi tentang pengadaan tanah. Pembahasan RUU Pengadaan Tanah yang
masih dalam tahap sinkronisasi. Pada Rapat Kerja Nasional BPN di jakarta 7 Maret 2011, Kepala BPN
mengisyaratkan bahwa akan segera
dibahas RUU Pengadaan Tanah. RUU Pengadaan Tanah tersebut mempunyai implikasi
luas sekali, yakni dilakukan penataan
ulang terkait proses pengadaan tanah, dan proses pembiayaan pengadaan tanah,
serta kelembagaannya.[18]
Dari segi proses pengadaan tanah yang sebelumnya langsung
dilakukan, interaksi masyarakat pada saat menjelang pembebasan tanah, di RUU
Pengadaan Tanah tersebut tidak begitu.
Pemerintah yang berproses dengan masyarakat, jika kemudian disetujui oleh
masyarakat (concern) dan
diputuskan untuk lokasi pembangunan
kepentingan umum, maka kewenangan BPN mulai masuk. Masyarakat terlibat sejak
perencanaan–penetapan lokasi. Sementara kelembagaan pengadaan tanah juga menjadi tunggal di BPN RI.[19]
Agak melegakan, jika informasi
teraktual tersebut benar, dimana disebutkan
bahwa RUU Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, menurut Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional (Armida Alisjahbana) akan disyahkan pada tanggal 15 Desember 2011.[20]
B. Pengertian dan Definisi Pengadaan Tanah
Pengadaan tanah adalah setiap
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti ke-rugi-an kepada yang melepaskan
atau menyerahkan tanah, bangunan,
tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan
tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah. Definisi pengadaan
tanah tersebut tercantum dalam ketentuan Pasal 1 butir 3 Peraturan Presiden
(Perpres) Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.
Berdasarkan pada definisi tentang
pengadaan tanah di atas, maka pengadaan
tanah dapat dilakukan dengan menerapkan atau menggunakan dua lembaga atau cara,
yaitu: Pertama: pihak yang memiliki/menguasai tanah melakukan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
secara sukarela; atau dengan Kedua: cara pencabutan hak oleh Pemerintah dengan pemberian ganti kerugian
apabila pemilik, pemegang atau yang
menguasai tanah tidak bersedia secara sukarela menyerahkan atau melepaskan hak
atas tanahnya dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang
Pencabutan Hak-hak Atas Tanah Dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya (Lembaran Negara-RI Tahun 1960 No. 288,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2324).
Dalam perkembangan selanjutnya,
pengaturan pengadaan tanah sebagaimana diatur dengan Perpres Nomor 36 Tahun
2005 pada tanggal 5 Juni 2006 dilakukan
perubahan dengan di-keluarkan-nya Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Perpres Nomor
65 Tahun 2006 tersebut, definisi pengadaan tanah disebutkan ”Pengadaan tanah
adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti
rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda yang berkaitan dengan
tanah”. Dengan demikian, definisi pengadaan tanah tidak
lagi mencakup cara pencabutan hak, atau dengan kata lain hanya
dibatasi penggunaan cara atau prosedur penyerahan atau pelepasan hak atas tanah.
Adapun pertimbangan dilakukannya perubahan Perpres Nomor 36 Tahun 2005, yaitu
untuk lebih meningkatkan penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang sah dan
kepastian hukum dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum (Konsiderans, Menimbang
Perpres Nomor 65 Tahun 2006).
Pengadaan tanah dalam Pasal 1 butir
3 Perpres Nomor 36 Tahun 2005 maupun dalam Pasal 1 Perpres Nomor 65 Tahun 2006
tersebut, telah memenuhi syarat-syarat
sebagai definisi, yaitu sebuah pengertian dengan sifat-sifat khusus, dengan
tujuan untuk menentukan batas-batas sebuah pengertian selengkap mungkin
sehingga jelas bagi tiap orang dalam setiap keadaan, apa yang diartikan oleh
pembicara atau penulis (pembentuk peraturan perundang-undangan)
dengan sebuah perkataan atau istilah tertentu[21]
Definisi pengadaan tanah juga dapat
dilihat dalam Pasal 1 butir 1 Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pasal 1 Keppres tersebut menyatakan bahwa
”Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan ganti kerugian kepada yang
berhak atas tanah tersebut”. Dalam definisi ini tidak terlihat secara
jelas, apakah caranya melalui lembaga pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
Cara atau penggunaan lembaga pelepasan atau penyerahan hak atas tanah,
dicantumkan dalam Pasal 1 butir 2 Keppres No. 55 Tahun 1993.
Terlepas dari pembahasan mengenai
definisi pengadaan tanah sebagaimana penulis telah sebutkan di atas, Oloan Sitorus[22]
telah menggaris bawahi bahwa istilah pengadaan tanah pada prinsipnya hanya
dikenal dalam perolehan tanah yang sudah dikuasai seseorang (persoon) atau badan hukum (rechts persoon) dengan sesuatu hak.
Pengaturan pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
sebagaimana diatur dengan Prepres Nomor 36 Tahun 2005 Jo. Perpres Nomor
65 Tahun 2006 ini tentunya menyajikan hal-hal baru yang semula belum
ter-akomodasi dalam Peraturan perundang-undangan sebelumnya (Kepres Nomor 55
Tahun 1993 Jo. PMNA/Ka. BPN Nomor 1 Tahun 1994, PMDN Nomor 15 Tahun 1975 dan
PMDN Nomor 2 Tahun 1985).
Untuk menindaklanjuti Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 Jo. Perpres Nomor 65 Tahun 2006
tersebut, Pemerintah (dalam hal ini) Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI
Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perpres Nomor 36 Tahun 2005
Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Di samping pembahasan
mengenai prinsip-prinsip, prosedur atau tata cara pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, secara
kelembagaan/institusi beserta wewenang dari instansi atau pejabat yang berwenang dalam pelaksanaan
pengadaan tanah termasuk di dalamnya masalah yang berkaitan dengan kepanitiaan
pengadaan tanah, tentunya secara normatif telah mengalami perubahan
(pemantapan) menuju kesiapan institusi
dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota pada tanggal 9 Juli 2007.
Dalam
RUU Pengadaan Tanah, pada Pasal 1 butir 2, disebutkan bahwa pengadaan tanah
adalah kegiatan untuk memperoleh tanah bagi
kepentingan pembangunan dengan
cara membayar ganti kerugioan yang layak kepada pihak yang berhak. Pasal 1
butir 3, pihak yang berhak adalah pihak yang menguasai/memiliki obyek pengadaan
tanah.
Oleh
karena itu, “kepentingan pembangunan”
di sini harus dimaknai meliputi pengadaan
tanah yang ditujukan untuk kepentingan
swasta dan/atau kepetingan umum (Cq.pemerintah). Pasal 14 RUU Pengadaan Tanah:
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
dilaksanakan oleh Pemerintah, dan selanjutnya dimiliki Pemerintah atau
Pemerintah Daerah. Pasal 15 RUU tersebut pelaksanaannya “dapat” dilaksanakan oleh Pemerintah bekerjasama dengan BUMN, BUMD
atau BU Swasta.
C. Pro
Kontra Dikeluarkann Perpres Nomor 36
Tahun 2005 Jo. 65 Tahun
2006
Pada awal diterbitkannya Peraturan
Presiden RI Nomor 36 Tahun 2005,
bermunculan pro dan kontra terhadap subtansi Perpres tersebut. Dewan
Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Gunawan
Wiradi[23] mencermati bahwa
substansi Perpres itu bersifat parsial, karena persoalan mendasar adalah
kondisi negara yang sengaja dibuat tidak mampu membayar utang luar negeri, sehingga dapat disetir
negara donor. Kendali negara donor (pemberi utang) adalah prinsip pengadaan
insfrastruktur yang menguntungkan pihak
pemberi donor, dan akhirnya negara penerima utang terikat dan harus mengadakan
pembebasan tanah demi kepentingan donor.
Sementara menurut hasil
penelitian John Peskins[24] yang dituangkan dalam buku ”Confessions of on Economic Hit Man” (2004)
bahwa bantuan negara donor itu sangat memberatkan negara berkembang.
Dari setiap jumlah utang 100 dollar AS yang diberikan negara donor, realisasi
fisik di negara berkembang Kompas, 25 Juni 2005 hanya sebesar 3
(tiga) dollar AS. Sekitar 75 dollar AS langsung menjadi keuntungan negara maju, sisanya adalah biaya lain-lain, seperti
dana birokrasi.
D. Perkembangan
Pelaksanaan Kewenangan Pengadaan Tanah
Jika diperhatikan secara seksama, sejarah
perkembangan pelaksanaan pengadaan tanah sebagai bagian dari proses pelayanan
publik, telah mengalami pasang surut, seiring dengan perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan
yang sedang berjalan. Pada Era Orde Lama
(17 Agustus 1945-5 Juli 1959) dan Orde
Baru (5 Juli 1959-23 Mei 1997) yang kemudian dilanjutkan dengan masa/era Orde Reformasi (23 Mei 1997–sekarang)
telah terjadi perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan dari sistem
penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat sentralistis menuju sistem penyelenggaraan desentralisasi.
Namun demikian, proses pergerakan dari
kedua sistem penyelenggaraan pemerintahan tersebut, tidak dapat berjalan
sebagaimana yang dibayangkan. Bahkan pada awal pelaksanaan sistem
penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi berkembang
wacana yang berakibat pada kemacetan atau stagnasi pelayanan kepada masyarakat. Dengan kata
lain, telah terjadi tarik-ulur kewenangan
antara penyelenggara pemerintahan, yang dalam hal ini antara Pemerintah Pusat
dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. Kondisi tersebut dikemukakan oleh Abdul
Gaffar Karim, Dkk dalam Sarjita[25]
yang menyebutkan tentang ”Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia”,
bahwa:
”...Dengan
berlakunya undang-undang tersebut [Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999] Negara yang semula berjalan di atas lini sentralisme dan
uniform-isme dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba harus mengurangi kecepatannya
secara sangat mendadak. Desentralisasi politik membalik arah seluruh logika
kekuasaan secara sangat cepat dan mengurangi kekuasaan pusat secara signifikan.
Konsekuensi dari kondisi ini adalah lahirnya kompleksitas persoalan yang luar biasa dalam spektrum
yang sangat luas dalam kerangka hubungan pusat-daerah di Indonesia...”.
Dengan berjalannya waktu, pelaksanaan desentralisasi
kemudian dilakukan evaluasi, sehingga UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dilakukan revisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sedangkan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat Dan Daerah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.
Untuk memotret hasil perubahan tata pemerintahan di
Kabupaten/kota di Indonesia setelah pelaksanaan otonomi daerah, Agus Dwiyanto, Dkk[26]
membuat ringkasan eksekutif hasil survei Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan
Universitas Gadjah Mada (PSKK-UGM) bekerja-sama dengan Kemitraan Bagi Pembaruan
Tata Pemerintahan Untuk Indonesia dan didukung oleh PEG-UNSAID dan World Bank
melakukan survei tata pemerintahan dan desentralisasi atau Governance and Decentralization Survey (GDS) pada tahun 2002 di 20
provinsi di Indonesia dan 150 kabupaten/kota yang diambil secara acak, menunjukkan hasil/temuan bahwa:
1) Stakesholders
memahami otonomi daerah secara benar,
persentase stakeholders dan
agen pelaksana yang memahami kebijakan otonomi daerah secara salah cukup besar.
Pemahaman yang salah mengenai otonomi daerah adalah penafsiran Otonomi Daerah
sebagai kewenangan untuk menggali sumber dana sebesar-besarnya melalui pajak
dan retribusi, kewenangan untuk memperjuangkan penduduk asli dalam pemerintahan
dan pembangunan, dan kewenangan untuk menggunakan sumber daya alam yang ada
hanya untuk daerah sendiri;
2) Tidak atau
belum adanya pembagian kewenangan yang
jelas, terbatas-nya keuangan daerah, lemahnya sumber daya aparatur, dan
struktur ke-lembaga-an daerah;
3) DPRD yang
menjadi institusi yang sangat berkuasa dan memiliki peran strategis dalam
proses kebijakan, ternyata memiliki kemampuan legal drafting yang rendah. Kelemahan DPRD terletak pada
ketidakmampuannya melakukan inter prestasi otentik terhadap berbagai persoalan
yang terjadi di daerah, kelemahan dalam mempertimbangkan aspek historis dan
sosiologis dan berbagai isu dan masalah yang dihadapi oleh masyarakat, dan
menempatkan perda dalam konteks peraturan perundangan secara keseluruhan. Oleh
karenanya banyak Peraturan Daerah (Perda)
yang cenderung lebih memperjuangkan
kepentingan pemerintah daripada kepentingan publik. Selain itu kebanyakan Perda
tidak memiliki kaitan dengan proses penegakan hukum, di daerah, tetapi lebih
terkait dengan kepentingan pemerintah dan para pejabatnya;
4) Kaitan
antara Otda dengan konflik yang terjadi, konflik antar warga menempati
peringkat yang tertinggi, disusul
konflik perburuhan, konflik pemda dengan masyarakat, kemudian konflik antara
bupati dengan DPRD dan konflik antar isntansi. Sedangkan jenis konflik dilihat
dari substansi, maka konflik atau
sengketa tanah antar-warga menempati peringkat paling tinggi/dominan.
5) Pelaksanaan Otonomi Daerah, baru mampu mengalihkan kekuasaan dari tangan
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dan belum berpengaruh
terhadap peningkatan kualitas/perbaikan nasib warga dan masyarakat luas.;
6)
Kinerja pelayanan publik dan efisiensi dan efektivitas, responsivitas, kesamaan
perlakukan dalam pelayanan dan besar-kecilnya rente birokrasi. Hasil menunjukkan bahwa kualitas pelayanan
publik sebelum dan setelah otda
khususnya di bidang perijinan dan investasi masih jauh dari yang
diharapkan. Dari
sisi waktu, biaya dan cara yang dipergunakan, praktik penyelenggaraan pelayanan
publik masih penuh dengan ketidakpastian.
Hasil survei pelaksanaan Otonomi Daerah
(Otda) oleh PSKK-UGM tersebut di atas, menunjukkan kepada kita, bahwa dalam
melaksanakan Otonomi Daerah masih perlu dilakukan pembenahan secara menyeluruh.
Dalam Jajak
Pendapat yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang).
Harian Kompas, tanggal 14-15 Desember 2005, dan ditulis oleh Toto Suryaning
Tyas[27]
diperoleh hasil bahwa ”Kualitas hasil kerja yang dirasakan publik saat ini
memang cenderung menunjukkan tingkat optimisme dan kepuasan yang meningkat. Dalam
berbagai segi pelayanan kepentingan umum, publik melihat memang telah terjadi
peningkatan kualitas maupun kuantitas dalam pelayanan kepentingan
mereka.”
Kondisi kualitas dan kuantitas
pelayanan publik tersebut di atas, kembali menurun pada tahun 2007 sebagaimana
diungkapkan oleh Robert Endi Jaweng,[28]
yang menyatakan bahwa Tanggungan risiko, juga dialami oleh para pelaku usaha. Pengalaman di lapangan menunjukkan berbagai kesulitan
baru seiring otonomi daerah benar-benar serius dan nyata. Muncul hambatan berupa perizinan, pajak, retribusi,
sumbangan wajib dan pungli, bandit jalanan dan bos-isme lokal, dan banyak lagi.
.... Perizinan belum dilihat sebagai pelayanan publik, tetapi kesempatan
memungut dan memeras. Sdr. Robert Endi Jaweng
membagi fase Orde Reformasi menjadi empat, yaitu: 1) fase transisi (199-2000); 2) fase instalasi
regulasi (2000-2001); 3) fase eksperimentasi (2001-2004); 4) fase konsolidasi
(2005- sekarang).
Selanjutnya dalam Sri
Hartati Samhadi,[29] dengan Artikel yang berjudul ”Akibat Salah urus Pertanian”, Pemerintah juga tidak berdaya membendung
alih fungsi lahan sawah subur beririgasi teknis yang pencetakannya
menghabiskan investasi besar di masa lalu untuk kepentingan pertanian.
Dari uraian gambaran kondisi pelaksanaan
otonomi daerah sebagaimana telah penulis uraikan di atas, tentunya kita tidak
boleh pesimis atau bahkan patah semangat. Dengan upaya atau keinginan untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik yang dilakukan melalui
berbagai cara seperti pendidikan dan pelatihan, seminar, workshop, kajian dan
lain-lain secara tidak langsung akan menumbuhkan kepercayaan diri (optimisme)
pada perubahan yang lebih baik di masa mendatang. Kondisi yang penulis
gambarkan tentunya akan berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan pembangunan
insfrastruktur secara eksternal. Disamping faktor eskternal lainnya seperti sosial
ekonomi, budaya dan lain sebagainya.[30]
E. Pengaturan
Kewenangan Pengadaan Tanah
Hukum merupakan
produk politik, demikian asumsi dasar yang dibangun dalam disertasi Doktor Sdr.
Moh. Mahfud, M. D.[31]
Beliau menegaskan bahwa Hukum tidak hanya
dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau
keharusan-keharusan yang bersifat (das sollen), melainkan harus dipandang
sebagai sub sistem yang dalam kenyataannya (dan
sein) bukan tidak mungkin sangat
ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun
dalam implementasi dan penegakannya.
Lebih lanjut Beliau menyimpulkan bahwa
konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan produk hukum
yang responsif, sebaliknya
konfigurasi politik yang otoriter
akan melahirkan produk hukum yang konservatif.
Menurut Moh. Mahfud, MD. kesimpulan tersebut mengandung kebenaran/terbukti
untuk jenis hukum tertentu, yaitu hukum-hukum
publik yang mengatur gezagvereuding (hubungan kekuasaan) atau hukum-hukum tentang politik.
Peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum beserta kewenangan dalam
pelaksanaannya, merupakan bagian/bidang
ranah hukum publik (hukum agraria), khususnya masuk dalam Hukum Tanah Nasional
yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau sering disebut dengan UUPA. Dalam Pasal 18 UUPA disebutkan bahwa Untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan
bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah
dapat dicabut, dengan memberi ganti
kerugian yang layak dan menurut cara
yang diatur dengan undang-undang. Menurut penjelasan Pasal 18 UUPA, pencantuman
pasal tersebut merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas
tanah. Pencabutan dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat,
misalnya harus disertai pemberian ganti kerugian yang layak.
Konstruksi hukum pengadaan tanah dibangun dari ketentuan Pasal 2 ayat
(2) UUPA, yaitu kewenangan Negara yang tertuang dalam format Hak Menguasai Dari Negara, dengan
mengingat ketentuan Pasal 6 UUPA bahwa Semua
hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Kemudian dirumuskan substansi kewenangan Negara untuk melakukan
pencabutan hak atas tanah di dalam Pasal 18 UUPA. Dari pasal 18 UUPA kemudian
di disusunlah undang-undang organik
yaitu UU Nomor 20 Tahun 1961
tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah
dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya UU
ini dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh
Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan Hak-hak Atas Tanah Dan
Benda-benda Yang Ada Di Atasnya, dan secara lebih teknis pelaksanaan pencabutan
hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya dilakukan pengaturan substansinya dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973.
Sebagaimana kita ketahui bahwa cara pengadaan tanah dapat dilakukan
melalui dua lembaga, yaitu melalui lembaga penyerahan atau pelepasan hak atas
tanah secara sukarela dan kedua menerapkan lembaga pencabutan hak atas tanah,
apabila cara pertama tidak berhasil dengan catatan bahwa lokasi pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum tidak dapat dipindahkan ke lokasi lain atau
usul pencabutan hak atas tanah baru dilakukan jika acara pelepasan hak
benar-benar gagal, sementara lokasi pembangunan yang akan dilaksanakan tidak
dapat dipindahkan. Dengan kata lain,
pengadaan tanah dalam keadaan biasa tidak dapat dilakukan secara paksa.
Oleh karena itu, menurut Oloan Sitorus[32]
pencabutan hak atas tanah digunakan sebagai cara paksa dilakukan hanya dalam
keadaan memaksa.
Dengan demikian, pada
prinsipnya dalam pengadaan tanah sebelum
dilakukan pencabutan hak atas tanah terlebih dahulu ditempuh pengadaan tanah
secara sukarela. Mekanisme tersebut secara jelas diakomodasi/diberikan akses
secara tertulis dalam ketentuan PMDN Nomor 15 Tahun 1975, PMDN Nomor 2 Tahun
1985, Pasal 21 Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Jo. Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994, Pasal 18
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah dilakukan perubahan
dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Jo. Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional RI Nomor 3 Tahun 2007.
Di sinilah terlihat bahwa fungsi Peraturan Presiden 36 Tahun 2005 Jo.
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 merupakan ”jembatan” bagi pelaksanaan UU Nomor 20 Tahun 1961.
Selanjutnya jika dicermati dari
sisi lain yaitu menyangkut substansi kewenangan pengadaan tanah, dengan
memperhatikan ketentuan Penjelasan Pasal
2 UUPA, disebutkan ”.... Soal agrraia
menurut sifatnya dan pada azasnya merupakan tugas Pemerintah Pusat (Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar)”. Namun, dengan bergulirnya wacana
Otonomi Daerah pada Era Reformasi, dengan diundangkannya UU Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian dilakukan revisi dengan Undang Undang
Nomor 32 Tahun 2004, termasuk pelayanan pertanahan merupakan salah satu
kewenangan yang didesentralisasikan kepada Pemerintah daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Untuk mencermati substansi pergulatan
tarik-ulur kewenangan di bidang pertanahan ini dapat diikuti secara seksama analisis penulis dalam Buku ”Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan Dalam
Era Otonomi Daerah” yang diterbitkan
oleh Tugu Jogja Pustaka, 2005.
Secara
garis besar dapat penulis gambarkan inti sarinya, bahwa dengan diterbitkannya
UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 11 ayat (2)
ditegaskan ”Bidang pemerintahan yang
wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten atau Daerah Kota
meliputi pekerjaan umum ... pertanahan,
koperasi, dan tenaga kerja”. Ketentuan
Pasal tersebut, kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah Dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (LNRI Tahun 2000 Nomor 54, TLN-RI Nomor
3952). Mengingat selama ini dalam pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam telah
menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan serta menimbulkan konflik karena
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolan SDA saling
tumpang-tindih dan bertentangan, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI)
menerbitkan Ketetapan MPR-RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Sebagai jalan
tengah untuk menfasilitasi tarik-ulur kewenangan di bidang pertanahan antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, maka Presiden menerbitkan
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang
Pertanahan. Dalam Pasal 2 angka 1
dinyatakan bahwa ”Sebagian kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan [baca: bukan didesentralisasikan/diserahkan atau dilimpahkan kepada]
oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota”. Dalam
Pasal 2 angka 2 kewenangan Pemerintah yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah
kabupaten/Kota tersebut meliputi 9 (sembilan) jenis kewenangan, yaitu: 1)
pemberian ijin lokasi; 2) penyelenggaraan
pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; 3) penyelesaian sengketa
tanah garapan; 4) penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk
pembangunan; 5) penetapan subjek dan objek redistribusi tanah serta ganti
kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; 6) penetapan dan
penyelesaian masalah tanah ulayat; 7) pemanfaatan dan penyelesaian masalah
tanah kosong; 8) pemberian izin membuka tanah; 9) perencanaan penggunaan tanah
wilayah Kabupaten/Kota.
Sebagai konsekuensi lebih lanjut
dari ketentuan Pasal 3 Keppres Nomor 34 Tahun 2003, Kepala BPN mengeluarkan
Keputusan Ka. BPN Nomor 2 Tahun 2003 tentang
Norma dan Standar Mekanisme
Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah Di Bidang Pertanahan Yang Dilaksanakan
oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Semula
dilakukan regulasi dengan Perkaban Nomor 1
Tahun 2005, Jo. Nomor 6 Tahun 2008,tentang SPOPP di Lingkungan BPN, kemudian
dinyatakan tidak berlaku dan dikeluarkan Perkaban Nomor 1 Tahun 2010
tertanggal 25 Januari 2010 tentang
Standar Pelayanan Dan Pengaturan Pertanahan. Khusus Pengadaan tanah Lihat Lampiran I Angka Romawi
IV terkait dengan Pelayanan Pengukuran dalam rangka Kegiatan
Inventarisasi/Pengadaan Tanah
Pegukuran dalam
rangka Kegiatan Inventarisasi/Pengadaan Tanah
Dasar Hukum
|
Persyaratan
|
Biaya
|
Waktu
|
Keterangan
|
1.
UU Nomor 5 Tahun 1960
2.
PP Nomor 24 Tahun 1997
3.
PMNA/Ka. BPN Nomor 3/1997
|
1.
Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani
pemohon atau kuasaanya di atas materai cukup;
2.
Surat Kuasa apabila dikuasakan;
3.
Foto Kopy identitas diri (KTP,, KK) dari pemohona atau
kuasanya apabila dikuasakan, yang telah dicocokan dengan aslinya oleh petugas
loket;
4.
Foto kopy akta pendirian dan pengesahan Badan Hukum
yang telah dicocokan dengan aslinya oleh petugas loket bagi Badan Hukum
|
Sesuai dengan ketentuan PP tentang Jenis dan Tarif atas
jenis PNBP yang berlaku pada BPN RI (PP
Nomor 13 Tahun 2010)
|
18 (delapan belas) hari.
|
Formulir permohonan memuat:
1.
Identitas Diri;
2.
Luas, Letak dan penggunaan
tanah yang dimohon;
3.
Pernyataan telah memasang
tanda batas.
|
Sumber: Lampiran II
Angka Romawi IV Perkaban Nomor 1 Tahun 2010.
Setelah UU Nomor 22 Tahun 1999
direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, di mana pada Pasal 13 huruf k, dan 14
huruf k, dinyatakan bahwa pelayanan
pertanahan merupakan salah satu
urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, dimulailah kembali ”babak kedua” tarik-ulur
kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, urusan
pemerintahan di bidang pertanahan. Muncul wacana penafsiran makna ”pelayanan
pertanahan” yang menjadi urusan kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam
kerangka otonomi daerah. Sehingga
melahirkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota yang merupakan jalan kompromi terbaik antara Pemerintah
Pusat dengan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Peraturan Pemerintah tersebut secara
tegas dalam Pasal 7 ayat (2) huruf r mencantumkan pertanahan
sebagai urusan wajib yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah
provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota berkaitan dengan pelayanan dasar.
Kemudian dalam Pasal 22 dinyatakan bahwa PP Nomor 25 Tahun 2000
dinyatakan tidak berlaku.
Untuk lebih memberikan kemantapan
dalam pelaksanaan/ penanganan
tugas-tugas tersebut, secara kelembagaan/institusi, maka berdasarkan Pasal 22 ayat (4) PP Nomor 41
Tahun 2007 disebutkan bahwa “Perumpunan
urusan yang diwadahi dalam bentuk dinas terdiri dari: i.. bidang pelayanan pertanahan.”.
Selanjutnya dalam Lampiran I PP
Nomor 38 Tahun 2007 dicantumkan kewenangan apa saja yang menjadi kewenangan
Pemerintah Kabupaten/Kota di bidang pelayanan pertanahan, sebagai berikut:
Tabel 1: Urusan wajib
Pemerintahan Kabupaten/Kota Di Bidang Pertanahan
Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
No.
|
Kewenangan/
Urusan
Pemerin tahan
|
Sistem
Penyeleng garaan Urusan Pe merintahan
|
Jenis
Kegiatan Urusan Pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/
Kota
|
1.
|
Izin Lokasi
|
Desentralisasi
|
1.
penerimaan permohonan dan
pemeriksaan kelengkapan berkas
persyaratan;
2.
kompilasi bahan koordinasi;
3.
pelaksanaan rapat koordinasi;
4.
pelaksanaan peninjuan lokasi;
5.
penyiapan berita acara koordinasi
berdasarkan pertimbangan teknis pertanahan dari kantor pertanahan
kabupaten/kota dan pertimbangan teknis lainnya dari instansi teknis terkait;
6.
pembuatan peta lokasi sebagai
lampiran SK izin lokasi yang diterbitkan;
7.
penerbitan SK Izin Lokasi;
8.
pertimbangan dan usulanpencabutan
izin dan pembatalan SK Izin Lokasi dengan pertimbangan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota.
9.
monitoring dan pembinaan perolehan
tanah.
|
2.
|
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum
|
Desentralisasi
|
1.
penetapan lokasi;
2.
pembentukan panitia pengadaan
tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
3.
pelaksanaan penyuluhan;
4.
pelaksanaan inventarisasi;
5.
pembentukan Tim Penilai Tanah;
6.
Penerimaan hasil penaksiran nilai
tanah dari Lembaga/Tim Penilai tanah;
7.
pelaksanaan musyawarah;
8.
penetapan bentuk dan besarnya
ganti kerugian;
9.
pelaksanaan pemberian ganti
kerugian;
10.penyelesaian bentuk dan besarnya
ganti kerugian;
11.pelaksanaan pelepasan hak dan
penyerahan tanah di hadapan Kepala kantor Pertanahan kabupaten/Kota
|
3.
|
Penyelesaian
Sengketa tanah Garapan
|
Desentralisasi
|
1. penerimaan dan pengkajian laporan
pengaduan sengketa tanah garapan;
2. penelitian terhadap subjek dan
objek sengketa;
3. pencegahan meluasnya dampak
sengketa tanah garapan;
4. koordinasi dengan kantor
pertanahan untuk menetapkan langkah-langkah penanganannya;
5. fasilitasi musyawarah antar pihak
yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para pihak;
|
4.
|
Penyelesaian
Masalah ganti Kerugian dan Santunan Tanah Untuk pembangunan
|
Desentralisasi
|
1. pembentukan Tim Pengawasan Pengendalian;
2. penyelesaian masalah ganti
kerugian dan dan santunan tanah untuk pembangunan;
|
5.
|
penetapan
subjek dan objek redistribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan
maksimum dan tanah absentee
|
Desentralisasi
|
1. Pembentukan Panitia Pertimbangan
Landreform dan Sekretariat Panitia;
2. Pelaksanaan sidang yang
membahas hasil inventarisasi untuk
penetapan subjek dan objek redistribusi tanah serta ganti kerugian tanah
kelebihan maksimum dan tanah absentee;
3. Pembuatan hasil sidang dalam
Berita Acara;
4. Penetapan tanah kebihan maksimum
dan tanah absentee sebagai objek Landreform berdasarkan sidang hasil panitia;
5. Penetapan para penerima kelebihan
tanah maksimum dan tanah absentee berdasarkan hasil sidang panitia;
6. Penerbitan SK Subjek dan
Objek redistribusi tanah serta ganti
kerugian;
|
6.
|
Penetapan
Tanah Ulayat
|
Desentralisasi
|
1. Pembentukan Panitia Peneliti;
2. Penelitian dan kompilasi hasil
penelitian;
3. pelaksanaan dengan pendapat umum
dalam rangka penetapan tanah ulayat;
4. Pengusulan Rancangan Peraturan
daerah tentang Penetapan tanah ulayat;
5. Pengusulan pemetaan dan pencatatan
tanah ulayat dalam daftar tanah kepada kantor pertanahan Kabupaten/Kota;
6. Penanganan masalah tanah ulayat
melalui musyawarah dan mufakat.
|
7.
|
Penyelesaian
Masalah Tanah Kosong
|
Desentralsiasi
|
1. Inventarisasii dan identifikasi
tanah kosong untuk pemanfaatan tanaman pangan semusim;
2. Penetapan bidang-bidang tanah sebagai tanah kosong yang dapat digunakan untuk tanaman pangan semusim
bersama pihak lain berdasarkan perjanjian;
3. Penetapan pihak-pihak yang
memerlukan tanah untuk tanaman pangan semusim dengan mengutamakan masyarakat
setempat;
4. Fasilitasi perjanjian kerjasama
antara pemegang hak atas tanah dengan pihak yang akan memanfaatkan tanah di
hadapan/diketahui oleh Kepala Desa/Lurah dan Camat setempat dengan
perjanjian untuk dua kali musim tanam;
5. Penaganan masalah yang timbul
dalam pemanfaatan tanah kosong jika
salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban dalam perjan jian
|
8.
|
Izin Membuka Tanah
|
Tugas perbantuan (Mede bewin)
|
1. penerimaan dan pemeriksaan
permohonan;
2. Pemeriksaan lapang dengan
memperhatikan kemampuan tanah, status tanah dan Rencana Umum Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota;
3. Penerbitan Izin Membuka tanah
dengan memperhatikan pertimbangan teknis dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota;
4. Pengawasan dan pengendalian
penggunaan izin membuka tanah.
|
9.
|
Perencanaan
Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota
|
Desentralisasi
|
a. Peta Pola Penatagunaan Tanah atau
Peta Wilayah Tanah Usaha atau peta Persediaan Tanah dari kantor Pertanahan
kabupaten/Kota;
b. Rencana Tata Ruang Wilayah;
c. Rencana pembangunan yang akan
menggunakan tanah baik rencana
Pemerintah, Pemerintah Kabupaten/ Kota, maupun instansi swasta.
|
Sumber: Pembagian Urusan
Pemerintah Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi
Dan
Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota, Yogyakarta, Fokus Media,
2007, hal: 215-226.
F. Kepentingan
Umum
Pengertian kepentingan umum, dapat diketemukan dalam
Pasal 1 Butir 5 Perpres Nomor 36 tahun 2005, yaitu kepentingan sebagian besar lapisan
masyarakat. John Salindeho (1988:40) memberikan pengertian kepentingan umum adalah
kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan
memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis, dan hamkamnas atas dasar
azas-azas pembangunan Nasional dengan mengindahkan Ketahanan Nasional serta
Wawasan Nusantara.
Sementara itu Maria S.W. Sumardjono[33]
menyatakan bahwa UUPA, UU Nomor 20 Tahun 1961 dan Inpres Nomor 9 Tahun 1973
belum menegaskan esensi kriteria kepentingan umum secara konseptual. Pengertian
kepentingan umum di dalam UUPA, UU Nomor 20 Tahun 1961, kepentingan umum
dinyatakan dalam arti ”peruntukannya’, yaitu kepentingan bangsa dan negara,
kepentingan bersama dari rakyat, dan kepentingan pembangunan. Sedangkan Inpres
Nomor 9 Tahun 1973 kepentingan umum diartikan sebagai kegiatan yang menyangkut
4 (empat) macam kepentingan, yaitu 1) kepentingan bangsa dan negara; 2)
masyarakat luas; 3) kepentingan bersama; 4) kepentingan pembangunan.
Rumusan Kepentingan Umum juga dapat dilihat dalam
Pasal 1 butir 3 Keppres Nomor 55 Tahun 1993, yang menyatakan bahwa kepentingan
umum adalah kepentingan seluruh lapisan
masyarakat. Rumusan tersebut lebih dipertegas dalam Pasal 5 Keppres
Nomor 55 Tahun 1993 yang menyatakan bahwa pembangunan untuk kepentingan umum
dibatasi untuk ”...kegiatan pembangunan
yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki Pemerintah serta tidak digunakan untuk
mencari keuntungan...” Dari rumusan
Pasal 1 butir 3 dan pasal 5 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 dapat disimpulkan
bahwa rumusan tersebut tidak sekedar memperhatikan ”kemanfaatan”
dari kepentingan umum, akan tetapi juga membatasi ”siapa” yang menjadi
pelaksana pembangunan kepentingan umum dengan kata ”dilakukan dan selanjutnya
dimiliki Pemerintah dan ”sifat” pembangunan
untuk kepentingan umum, yaitu tidak digunakan untuk mencari keuntungan.
Apabila dibandingkan pengertian kepentingan umum
yang tercantum dalam Keputusan Presiden
Nomor 55 Tahun 1993 di satu sisi dengan kepentingan umum dalam Instruksi
Presiden Nomor 9 Tahun 1973 dan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, dapat
dikatakan “lebih maju” karena memuat pembatasan pengertian kepentingan umum.
Bahkan dalam Perartueran Presiden Nomo 36 Tahun 2005 kategori kepentingan umum
memasukkan beberapa insfrastruktur yang dapat dijalankan oleh swasta dan
bersifat profit, seperti jalan tol, stasiun penyiaran radio dan televisi, serta
pembangkit tenaga listrik.
Pemahaman mengenai apa itu ”kepentingan umum”
sangatlah penting. Hal tersebut diperlukan karena dalam praktik di lapangan
sering timbul pertanyaan tentang apa kriteria ”kepentingan umum” itu, karena dalam berbagai peraturan
perundang-undangan tidak didapati
kriteria yang tegas mengenai kepentingan umum. Maria S. W. Sumardjono dalam Moh.
Mahfud, M.D.[34]
mencontohkan, sering terjadi ada proyelk kepentingan umum tetapi harus
mengorbankan kepentingan umum lainnya, seperti penggusuran atas permukiman warga
masyarakat. Jadi sering muncul kontroversi antara kepentingan umum ”versi Proyek pembangunan”
di satu pihak dan ”versi masyarakat” di pihak lain. Tegasnya, apa yang oleh
satu pihak diklaim sebagai kepentingan umum dapat ditafsirkan lain oleh masyarakat.
Satu hal yang ditekankan oleh Maria S.W. Sumardjono[35]
untuk diperhatikan dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, Maria S.W. Sumardjono adalah bahwa di dalam
negara Pancasila ini perhatian terhadap kepentingan umum harus seimbang dan
tidak dapat mengabaikan kepentingan-kepentingan individual. Oleh sebab itu,
setiap upaya pelaksanaan satu kegiatan yang akan dikaitkan dengan kepentingan
umum hendaknya didahului dengan kajian yang dalam untuk memastikan bahwa
kegiatan tersebut benar-benar merupakan socially profitable untuk
selanjutnya hasil persiapan yang
diteliti itu dimaksudkan dalam Rencana Pembangunan Daerah dan disahkan oleh
DPRD.
Secara lebih jelas, dalam kaitannya dengan
kepentingan umum, Maria S.W. Sumardjono[36] mengemukakan dua doktrin kepentingan umum,
yaitu:
- Pedoman
umum, yang secara umum menyebutkan bahwa pengadaan tanah harus berdasarkan
alasan kepentingan umum. Istilah yang digunakan untuk menyebutkan pengertian ”umum” tersebut, misalnya: public atau social, general, common atau collective. Sedangkan istilah
“kepentingan” atau purpose
sering diganti dengan need,
necessity, interest, function, utility atau use. Sesuai sifatnya sebagai pedoman, maka hal ini memberikan
kebebasan bagi eksekutif untuk menyatakan apakah suatu proyek memenuhi
syarat kepentingan umum dengan menafsirkan pedoman tersebut.
- Penyebutan
kepentingan umum dalam suatu daftar kegiatan yang secara jelas
mengidentifikasikan tujuannya: sekolah, jalan, bangunan-bangunan
pemerintah, dan sebagainya, yang oleh peraturan perundang-undangan
dipandang bermanfaat untuk umum. Segala kegiatan di luar yang tercantum
dalam daftar tersebut tidak dapat dijadikan alas an untuk pengadaan tanah.
Dalam kenyataannya kedua cara tersebut digabungkan
dalam satu kesatuan tentang pengadaan tanah secara serta merta atau segera (quick-taking), yang memberi kemungkinan
untuk menguasai tanah sebelum ganti kerugian ditentukan atau dibayar. Beliau
memberi contoh di Guatemala, tanah hak
dapat diambil untuk collective good,
benefit atau public interest. Di
lain pihak untuk pengadaan tanah secara serta merta hanya dibolehkan dalam hal
terjadi peperangan, bencana alam, gangguan
nyata terhadap perdamaian, dan apabila tanah-tanah diperlukan untuk
membangun jalan. Penyebutan jenis-jenis
kegiatan pembangunan kepentingan umum yang bersifat eksklusif,
dimaksudkan untuk membatasi kebebasan eksekutif
untuk mengambil tanah di luar kegiatan yang tercantum dalam daftar itu.
Di samping daftar yang bersifat eksklusif, terdapat daftar yang bersifat
inklusif yang dimaksudkan untuk lebih membatasi kebebasan badan peradilan.
Dengan demikian doktrin kepentingan umum
hanya berlaku apabila tujuannya termasuk dalam daftar kegiatan atau sesuai
dengan pedoman umum. Untuk melihat secara utuh perbandingan daftar kegiatan
kepentingan umum dari ketiga peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 5 angka 1
Keppres Nomor 55 Tahun 1993, Pasal 5 Perpres Nomor 36 Tahun 2005, dan Perpres
Nomor 65 Tahun 2006, dapat penulis sajikan pada Tabel 2 sebagai berikut:
Tabel 2: Perbandingan
Daftar Kepentingan Umum pada Keppres No. 55 Tahun 1993,
Perpres Nomor 36 Tahun 2005, dan Perpres Nomor 65 Tahun 2006
Pasal 5 angka 1 Keppres No. 55
Tahun 1993
|
Pasal 5 Perpres Nomor. 36 Tahun
2005
|
Pasal 5 Perpres No. 65 Tahun 2006.
|
|
Pengertian:
Kepentingan umum ada lah kepentingan seluruh lapisan
masyarakat
|
Pengertian;
Kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan
masyarakat.
|
Tidak ada, berpedoman pada Perpres No. 36 Tahun 2005
|
|
Kriteria:
Kegiatan
pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki Pemerintah serta tidak
digunakan untuk mencari keuntungan.
|
Kriteria:
Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan
Pemerintah atau Pemerintah daerah
|
Kriteria:
Pembangunan
untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki
oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
|
|
Jenis
Kegiatan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum:
(14
Jenis Kegiatan)
|
(21
jenis kegiatan)
|
(7
jenis kegiatan)
|
|
a.
jalan
umum, saluran pembuangan air;
b.
Waduk,
bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi;
c.
Rumah
Sakit Umum, dan Pusat-Pusat Kesehatan Masyarakat;
d.
Pelabuhan,
bandar udara atau terminal;
e.
Peribadatan;
f.
Pendidikan
atau Sekolahan;
g.
Pasar
Umum atau Pasar Inpres;
h.
Fasilitas
Pemakaman Umum;
i.
Fasilitas
Keselamatan Umum, seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir,
lahar lain-lain bencana;
j.
Pos
dan Telekomunikasi;
k.
Sarana
Olah Raga;
l.
Stasiun
Pneyiaran Radio, Televisi beserta sarana pendukungnya.
m. Kantor Pemerintah;
n.
Fasilitas
Angkatan Bersenjata RI;
Catatan: Kegiatan Pembangunan untuk
kepentingan umum selain yang dimaksud dalam angka 1, ditetapkan dengan keputusan Presiden.
|
a.
jalan
umum jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang bawah tanah, dan di
ruang atas tanah), saluran air minum, air bersih, saluran pembuangan air dan
sanitasi;
b.
Waduk,
bendungan bendung, irigasi dan bangunan
pengairan lainnya;
c.
Rumah
sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat;
d.
Pelabuhan,
bandar udara, stasiun kereta api dan terminal;
e.
Peribadatan;
f.
Pendidikan
atau Sekolahan;
g.
Pasar
Umum;
h.
Fasilitas
Pemakaman Umum;
i.
Fasilitas
Keselamatan Umum,;
j.
Pos
dan Telekomu nikasi;
k.
Sarana
Olah Raga;
l.
Stasiun
Pneyiaran Radio, Televisi beserta sarana pendukungnya.
m. Kantor Pemerintah, Pemerintah
Daerah, Perwakilan Negara Asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan atau
Lembaga-lembaga Internasional di bawah naungan PBB;
n.
Fasilitas
tentara Nasional Indonesia dan kepolisian Negara RI sesuai dengan tugas pokok
dan fungsinya;
o.
Lembaga
pemasyarakatan dan rumah tahanan;
p.
Rumah
susun sederhana;
q.
Tempat
pembuangan sampah;
r.
Cagar
alam dan cagar budaya;
s.
Pertamanan;
t.
Panti
sosial;
u.
Pembangkigt,
transmisi, distribusi tenaga listrik.
|
a. Jalan umum dan Jalan Tol, Rel
Kereta Api (di atas tanah, di ruang atas Tanah, dan di ruang bawah tanah)
saluran air minum, air bersih, saluran
pembuangan air dan sanitasi;
b. Waduk, bendungan, bendungan
irigasi dan banguna pengairan lainnya;
c.
Pelbauhan,
bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
d. Fasilitas keselamatan umum,
seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
e.
Tempat
pembuangan sampah;
f.
Cagar alam dan cagar budaya;
g.
pembangkit, transmisi, distribusi tenaga
listrik.
|
|
Sumber:
Maria S. W. Sumardjono, Tanah Dalam Perpestif
Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, 2008,
Penerbit Kompas:
287-288.
Kepentingan Umum dalam RUU Pengadaan Tanah mengikuti
Doktrin ke 2 sebagaimana dikemukakan oleh Maria SW Sumardjono, yakni Penyebutan
kepentingan umum dalam suatu daftar
kegiatan yang secara jelas mengidentifikasikan tujuannya untuk pembangunan:
1.
Jalan umum, Jalan
tol, Terowongan,
Jalur rel kereta api (di atas tanah, di ruang bawah tanah, dan di ruang atas tanah), stasiun Kereta Api, dan fasilitas
operasi kereta api;
2.
Waduk,
bendungan, bending, irigasi, saluran air minum, Saluran pembuangan air dan sanitasi, dan pengairan lainnya;
- Pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
- Insfrastruktur minyak, gas, dan
panas bumi, meliputi transmisi dan/atau distribusi minyak, gas, dan panas
bumi;
- Pembangkit, transmisi, gardu jaringan dan distribusi tenaga listrik
- Jaringan telekomunikasi dan informatika;
- Tempat pembuangan dan pengolahan sampah
- Rumah sakit Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
- Tempat pemakaman umum
Pemerintah/Pemerintah Daerah;
- Fasilitas Keselamatan Umum;
- Cagar alam dan cagar budaya;
- Pertanahan dan keamanan Nasional;
- Kantor Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Desa;
- Penataan pemukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi
tanah;
- Prasarana pendidikan atau sekolah
pemerintah/pemerintah daerah;
- Prasarana olah raga
pemerintah/pemerintah daerah;
- Pembangunan kepentingan umum
lainnya yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
G. Azas-Azas
Pengadaan Tanah
Dalam pelaksanaan pengadaan tanah,
pada prinsipnya terkait dua kepentingan yang berbeda, yaitu kepentingan
masyarakat, pemilik atau pemegang hak atas tanah yang tanahnya diperlukan
untuk kegiatan pembangunan dan kepentingan
instansi pemerintah yang memerlukan tanah. Maria S.W. Sumardjono[37]
menyatakan bahwa, mengingat tanah
merupakan kebutuhan dasar manusia, dan merupakan perwujudan hak ekonomi, sosial
dan budaya, maka dalam pengadaan tanah harus
dilakukan melalui suatu proses yang menjamin, tidak adanya pemaksaan
kehendak satu pihak terhadap pihak lain. Dengan adanya pelaksanaan pengadaan
tanah, maka pihak yang tanahnya diperlukan untuk kegiatan pembangunan, setelah
diberikan ganti kerugian harus dijamin tingkat kesejahteraan sosial ekonomi dan
budaya tidak menjadi lebih buruk dari keadaan semula, paling tidak sama atau
setara dengan keadaan sebelum tanahnya digunakan untuk kepentingan umum.
Mengingat pengadaan tanah untuk mencapai
kesejahteraan tidak saja bagi Instansi pemerintah yang memerlukan tanah, akan
tetapi juga pihak yang tanahnya dipergunakan untuk kegiatan kepentingan umum,
maka dalam pelaksanaan pengadaan tanah harus memperhatikan azas-azas pengadaan
tanah. Oloan Sitorus[38]
yang mengutip dari Boedi Harsono, mengemukakan 6 (enam) azas pengadaan tanah,
yaitu:
- Asas Kepastian hukum.
Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun
harus ada landasan haknya. Secara garis besar menurut Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 atau UUPA, setiap orang) (persoon) maupun badan hukum (rechts persoon) yang menguasai hak atas tanah: Hak Milik termasuk HM Sarusun, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan serta hak-hak sekunder
lainnya yang diperoleh dengan iktikad baik, akan mendapat perlindungan/jaminan
hukum dari gangguan pihak lain. Upaya untuk memberikan perlindungan hukum
terhadap setiap orang atau badan hukum yang menguasai sesuatu hak atas tanah dengan
iktikad baik, dapat ditempuh melalui cara-cara: 1) Gugatan perdata di Peradilan Umum mengenai status kepemilikan
hak atas tanah; 2) Meminta bantuan pemerintah (Bupati/Walikota) bagi
mereka yang menguasai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya (UU Nomor
51 Prp. Tahun 1950); 3)Mengadukan permasalahannya secara pidana kepada
pihak yang berwajib (Aparat Kepolisian Negara RI); Kemudian apabila
terjadi, di mana penguasaan pihak lain tersebut dalam menguasai tanah
mengakibatkan kerugian bagi seseorang, maka orang yang dirugikan akibat
diterbitkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dapat
mengajukan tuntutan pembatalan atau menyatakan tidak sah bukti
kepemilikannya ke Peradilan Umum
dengan mendalikan pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, dan ke Peradilan
Tata Usaha Negara dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 53 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang Undang
Nomor 9 Tahun 2004.
- Semua hak atas tanah secara
langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak Bangsa. Dengan
mengingat ketentuan Pasal 6 UUPA, bahwa semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial, maka apabila terjadi konflik of interest (konflik kepentingan)
antara kepentingan pribadi yang empunya tanah dengan kepentingan bersama,
maka kepentingan bersama lah yang harus didahulukan.
- Asas Kesepakatan.
Cara memperoleh tanah yang sudah dihaki seseorang harus dilakukan melalui
kata sepakat antara para pihak yang bersangkutan. Asas ini menekankan
bahwa pada prinsipnya dalam pengadaan tanah tidak diperbolehkan adanya
paksaan secara sepihak agar empunya menyerahkan tanah miliknya.
- Dalam Pengadaan tanah pada
prinsipnya diterapkan adanya saling menghargai/menghormati hak-hak yang
disandangnya. Sehingga harus ditempuh melalui
musyawarah, antara kedua belah pihak, yaitu antara empunya tanah dengan
instansi yang memerlukan tanah melalui perantara Panitia Pengadaan Tanah.
Dalam keadaan memaksa, jika jalan musyawarah tidak tercapai, untuk
kepentingan umum, Pemerintah diberikan kewenangan oleh Undang-undang
(hukum) untuk mengambil tanah yang diperlukan secara ”paksa’, tanpa
persetujuan empunya tanah melalui lembaga pencabutan hak atas tanah
sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 20 tahun 1961.
- Asas Kemanfaatan dan Keadilan.
Pemberian imbalan yang layak, atau ganti kerugian, baik berupa uang,
fasilitas, dan/atau tanah pengganti terhadap empunya /pemegang/pemilik
tanah baik cara pengadaan tanah
melalui lembaga penyerahan/pelepasan hak maupun pencabutan hak, wajib
diberikan ganti kerugian, sehingga sedemikian rupa keadaan sosial ekonomi,
budaya bekas pemegang/pemilik hak atas tanah tidak mengalami kemunduran
atau minimal sama atau setara dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya
sebelum terkena pengadaan tanah;
- Rakyat yang diminta menyerahkan
tanahnya untuk kepentingan umum berhak untuk memperoleh pengayoman dari
para pejabat Pamong Pradja/Pamong Desa.
Maria S.W. Sumardjono[39]
mengemukakan 8 (delapan) asas dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum, yaitu:
- Asas
Kesepakatan;
- Asas
Kemanfaatan;
- Asas
Keadilan;
- Asas
Kepastian;
- Asas
Keterbukaan;
- Asas Keikutsertaan/Partisipasi/peran serta seluruh
pemangku kepentingan (stakesholders);
- Asas
Kesetaraan;
- Minimalisasi
dampak dan kelangsungan kesejahteraan sosial, ekonomi dan budaya.
Dalam RUU Pengadaan Tanah dimasukan asas-asas pengadaan tanah yang baru yaitu: Asas keterbukaan ( dilaksanakan
denganmemberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan
dengan pengadaan tanah), kesejahteraan
(memberikan nilai tambah bagi kelangsungan kehidupan pihak yang berhak dan
masyarakat secara luas), keberlanjutan
(kegiatan pembangunan dapat berlangsung secara terus menerus, berkesinambungan
untuk mencapai tujuan yang diharapkan), dan keselarasan
(pembangunan dapat seimbang dan sejalan dengan kepentingan masyarakat dan
negara).
H. Sistem
Pengadaan Tanah
Secara Garis besar pengadaan tanah menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku di negara kita, yaitu: 1) Cara pelepasan atau
penyerahan hak; 2) cara Jual beli, Tukar-menukar atau cara lain yang disepakati
secara sukarela; 3) Cara pencabutan hak atas tanah.
Jika
diperhatikan secara seksama, maka Perpres Nomor 65 Tahun 2006 memilih atau menggunakan cara pelepasan atau
penyerahan hak dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum (Pasal 2 ayat (1). Kemudian lebih ditegaskan lagi dalam Pasal
2 ayat (2), yang menyatakan bahwa pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar
menukar atau cara lain yang disepakati
secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Bahkan kemudian di Pasal 3 Perpres tersebut, dalam
pelaksanaannya agar berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.
Kehendak pembentuk Perpres Nomor 65 Tahun 2006 untuk menggunakan cara
penyerahan atau pelepasan hak atas tanah tersebut, nampak dalam upaya melakukan
perubahan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b Perpres Nomor 36 Tahun 2005 yang
kemudian tidak memasukan lagi kata ”b.
Pencabutan hak atas tanah” dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1961. Dengan demikian, Perpres Nomor 65 Tahun 2006 menggunakan prinsip
atau kategori pengadaan tanah secara sukarela (voluntary land acquisition).
Pengadaan
tanah selain bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum yang dilakukan dengan cara jual beli, tukar-menukar
atau cara lain yang disepakati oleh kedua belah pihak secara sukarela, ini
merupakan suatu perbuatan hukum pemindahan hak.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1961 menerapkan compulsory acquisition of land yaitu
cara wajib dengan menggunakan lembaga pencabutan hak atas tanah. Dalam hal ini tentunya, pihak empunya tanah
tidak mau melepaskan atau menyerahkan secara sukarela hak atas tanahnya, atau
dengan kata lain tanpa ada kesepakatan/persetujuan pemegang/pemilik hak atas
tanah.
Menurut
Oloan Sitorus,[40] sesungguhnya hukum tanah di negara Republik
Indonesia sudah mengatur berbagai cara pengadaan tanah, baik untuk kepentingan
umum maupun untuk kepentingan pribadi atau swasta. Cara mana yang akan
diterapkan sangat tergantung pada: 1) status (hukum) tanah yang diperlukan,
apakah status tanahnya Tanah Negara,
Tanah Hak Ulayat Masyarakat hukum Adat ataukah Tanah Hak; 2) status hukum
pihak yang memerlukan tanah, apakah Instansi
Pemerintah, ataukah Badan Hukum Swasta; 3) peruntukan tanah yang
diperlukan, apakah untuk kepentingan umum
atau kepentingan pribadi (swasta); dan 4) ada atau tidaknya kesediaan
pemilik/pemegang hak atas tanah untuk menyerahkan tanah yang bersangkutan atau
tidak.
Cara-cara
pengadaan tanah, dilihat dari status hukum tanah, mau tidaknya pemegang/pemilik
tanah untuk menyerahkan atau melepaskan
hak atas tanahnya, serta status hukum pihak yang memerlukan tanah, akan
berpengaruh pada proses penerbitan tanda bukti hak atas tanahnya.
RUU
Pengadaan Tanah menentukan
kepada pihak yang berhak (yang menguasai/memiliki tanah objek pengadaan
tanah) wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah
untuk kepentingan umum (Pasal 6 RUU Pengadaan Tanah). Dikaitkan dengan
ketentuan Pasal 30 RUU Pengadaan tanah, bahwa
Penetapan lokasi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum tidak menghalangi
pihak yang berhak untuk melakukan peralihan dan pendaftaran tanahnya. (Pasal 30
ayat 1). Namun ada perlakukan yang istimewa
bagi Pemerintah yaitu mendapat sekala
prioritas, yaitu memperoleh kesempatan
pertama atas peralihan tersebut sebelum dialihkan kepada pihak lain (Pasal
30 ayat 2) terhadap tanah yang telah
ditetapkan sebagai lokasi pembangunan untuk kepentingan umum. Sementara pada
Pasal 30 ayat (3) menentukan Pihak lain yang telah memperoleh tanah karena perbuatan hukum peralihan hak
atas tanah, wajib melepaskan atau
menyerahkan penguasaan/pemilikannya kepada pemerintah melalui Lembaga
Pertanahan pada saat pengadaan tanah dilakukan.
I. Dasar
Hukum Pengadaan Tanah
- Pasal
33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;
- Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
- Undang-Undang
Nomor 51 Prp. Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang
Berhak Atau Kuasanya;
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan
Hak-hak Atas tanah Dan benda-benda Yang Ada Di Atasnya;
- Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
- Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara;
- Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
- Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
- Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan;
- Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal;
- Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
- Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara;
- Peraturan
Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973
tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh pengadilan Tinggi Sehubungan
Dengan Pencabutan Hak-Hak Atas tanah dan benda-Benda Yang Ada Di Atasnya.
- Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah;
- Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
- Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah;
- Peraturan
Pemerintah Nomor 34 Tahun 2004 tentang
Jalan.
- Peraturan
Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol;
- Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Kewenangan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota;
- Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah;
- Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah.
- PP Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis Dan Tarif Atas jenis Penerimaan
Negara Buka Pajak (PNBP) Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional;
- Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU Nomor 36
Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum;
- Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perpres Nomor 36
Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum Sebagaimana Telah Diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun
2006 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.
- Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.02/2008 tentang Biaya Panitia Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
- Peraturan
Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-31/PB/2008 tentang Mekanisme
Pembayaran Biaya Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum Yang Dananya Bersumber Dari APBN.
- Perkaban Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan
Pertanahan;
- Perkaban Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Pertimbangan Teknis
Pertanahan Dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi Dan Izin Perubahan Penggunaan Tanah.
[1] Makalah disampaikan pada Workshop Nasional Pertanahan “Efisensi Pengadaan
Tanah Di Tengah Ancaman Penyerobotan Dan Amputasi (Penetapan Sebagai Tanah Terindikasi Tanah
Terlantar) Serta Bedah Bisnis RUU Pengadaan Tanah dan RUU
Pertanahan Pasca Regulasi UU Nomor 12 Tahun 2011”, Hotel Sentral Jakarta: 14-15 Desember 201.1
[2] Staf Pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
(STPN) Yogyakarta dan Dosen Luar Biasa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Trainner pada PT. Indotrain
E.M.Q,, Penulis Buku dan Konsultan
Pertanahan.
[3] Cermati substansi prinsip-prinsip dalam pembaruan
agraria dan pengelolaan sumberdaya alam pada Pasal 4 huruf b (menjunjung tinggi
HAM), huruf c. (supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam
unifikasi hukum), huruf e (mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum,
transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat), huruf f ( memelihara keberlanjutan yang
memberi manfaat yang optimal, baik untukgenerasi sekarang maupun generasi
mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan),
huruf h (melaksanakan fungsi sosial, kelestarian dan fungsi ekologis,
sesuai dengan kondisi sosial budaya
setempat) dari Ketetapan MPR-RI Nomor
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan sumberdaya alam tertanggal
9 November 2001. Bandingkan dengan
Gunawan Wiradi:Sekitar Pro dan Kontra Perpres Nomor 65 Tahun 2006, Kompas, 25 Juni 2005
[4] Francis Fukuyama, The End
of History, “Capitalism and Democray: The Missing Link” dalam Dialogue,
2, 1993.
[5] Loekman Soetrisno, Hubungan Negara dan Rakyat Di Indonesia
Pada abad ke-21 (Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Ilmu Sastra
pada Fakultas Sastra UGM, 1994.: 11-12
[6] Kenneth Auchincloss, The
Limits of Democracy, dalam Newsweek, Januari 27, 1992: 8-12
[7] Barro dan Bremmer dalam Boediono, Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan
Indonesia (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Ekonomi UGM):
24 Pebruari 2007. :4-5
[8] Arthur M.
Schlesinger Jr., Leadership and
Democrayc, Dialoque I, 1988.
[9] Kelompok Pembaharu
di Inggris
dilakukan oleh penguasaha-kaum bourgeosie
– atau kaun beojuis yang menguasai alat-alat produksi yang kemudian bisa meruntuhkan struktur
feodal yang ada dan selanjutnya menjadi
ujung tombak dan pengawal proses modernisasi dan demokratisasi. Sedangkan di Jerman kelompok pembaharu di rintis oleh
kaum birokrat (para ex aristokrat). Sementara di Jepang cikal bakal proses
modernisasi muncul akibat tekanan dari
negara penakluknya, khususnya Amerika
Serikat.
[10] Boediono, Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan
Indonesia (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ekonomi UGM),
Yogyakarta, 24 Pebruari 2007: 9
[11] Maria S.W. Sumardjono, Kewenangan
Negara Untuk Mengatur Dalam Konsep Penguasaan Tanah Oleh Negara (Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, 14-2-1998): 4
[12] Mahfud MD, (2006), Amandemen UUPA No. 5 Tahun 1960 Dalam
Perspektif Politik Hukum (Makalah disampaikan pada Semiloka Nasional
Penyempurnaan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA) FH UII- DPD RI, Yogyakarta,
24 Maret 2006: 4.
[13] UUPA telah menjadikan nilai sosial tradisional dan modern secara bersamaan
sebagai dasar menetapkan prinsip-prinsipnya. Disamping itu UUPA juga telah
mengakomodasikan kemajemukan masyarakat Indonesia dengan menempatkan
nilai-nilai sosial yang dihayati oleh masing-masing kelompok masyarakat yang
berbeda-beda kepentingannya. (Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia Suatu Pendekatan
Ekonomi-Politik (Disertasi), Program Pasca
Sarjana UGM, 2006: 30.)
[16] Muchsin, Mengenang
51 Tahun UUP: Eksistensi, Regulasi Dan Konflik Agraria, Varia peradilan
Tahun XXVII No. 312 November 2011, Jakarta, IKAHI: 5.
[17] Maria S.w. Sumardjono, Relevansi UUPA Setelah 32 Tahun, Harian Jawa Pos, 24
September 1992.
[18] Joyo Winoto,
Terus Berbenah, Berkarya Dan
Berketetapan Mewujudkan Tanah Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan Rakyat
(Sambutan Kepala BPN RI pada Pembukaan Rakernas BPN RI, 7 Pebruari 2011), Pusat
Informasi Hukum BPN-RI, 11.
[21] J.J.
H. Brugink, dalam B. Arief Sidharta, Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Bandung,
PT. Citra Aditya Bakti, 1999: 72
[22] Oloan Sitorus, dan Dayat Limbong, Pengadaan
Tanah Untuk Kepentingan Umum, Yogyakarta, Mitra Kebijakan Tanah
Indonesia, 2004: 5.
[25] Sarjita, Masalah
Pelaksanaan Urusan Pertanahan Dalam Era Otonomi Daerah (Keppres Nomor 34 2003),
Yogyakarta, Tugu Jogja Pustaka, 2005:
27-28.
[26] Agus
Dwiyanto Dkk, Reformasi Tata Pemerintahan
Dan Otonomi Daerah, Yogyakarta, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM,
2002.
[30] Imam
Koeswahyono, Melacak Dasar Konstitusi
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan Bagi Umum (Jurnal Ilmu
Hukum Fakultas Hukum), Malang, Fakultas
Hukum Universitas Brawidjaya, 2008.
[32] Oloan Sitorus, dan Dayat Limbong, Pengadaan
Tanah Untuk Kepentingan Umum, Yogyakarta, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia,
2004: 6.
[33] Maria
S.W. Sumardjono, Tinjauan Kasus Beberapa Masalah Tanah, Yogyakarta,
Jurusan Hukum Agraria FH UGM, 1982:12
[35] Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan
Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta, Kompas, 2001
:129
[37] Maria S.W. Sumardjono, Ibid: 282.
[38] Oloan Sitorus, Opcit: 11-14.
[40] Oloan Sitorus, Opcit: 15.
0 komentar:
Posting Komentar