Ketegangan dan
Kemungkinan Titik Temu
Antara
Negara dan Adat dalam Pengaturan Tanah di Papua
(Studi kasus pada sistem nilai-adat ondoafi, orang Sentani)
Oleh
Sarjita, S.H., M.
Hum. Dkk.
A.
Latar Belakang
Papua, salah satu daerah dengan potensi sumber daya
agraria terbesar di Indonesia, dengan kompleksitas budaya tradisional yang
kental dan ketat, menjadi salah satu arena pertarungan berbagai kepentingan
agraria paling rumit dan sengit di negara ini. Keberadaan tanah-tanah yang
dinaungi oleh berbagai lapis logika budaya beserta perangkat-perangkat hukum
dan norma sosial setempat, rentan bertabrakan dengan berbagai perangkat lain
yang datang dari luar, berupa negara dengan segenap otoritas dan logika kekuasaannya,
serta berbagai hasrat-hasrat investasi berskala besar.
Sejarah mencatat, setelah kemerdekaan Indonesia, Belanda begitu ngotot mempertahankan Papua tetap berada
dalam kekuasaannya. Bagi pihak Indonesia sendiri, bersebab dari persamaan “tuan” kolonial
demikian, sama dijajah Belanda, muncullah
perasaan senasib hingga menjadi pendasaran umum bagi kebanyakan orang
Indonesia untuk menganggap Papua sebagai bagian dari Indonesia. Anggapan
demikian memaksa Soekarno untuk merebut kembali Papua yang hingga era 1960-an
masih (kembali) dikuasai Belanda. Melewati berbagai cara, dari diplomasi di
jalur PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) dan bilateral, hingga penyerangan Yos
Sudarso, dan melewati PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat), maka keutuhan Papua
sebagai bagian NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) tercapai pada tahun
1969. Namun, seluruh proses ini
berjalan tidak bersih, juga memakan korban tidak berdosa, khususnya orang-orang
Papua yang dipaksa bergabung dengan NKRI. Dalam PEPERA, diperkirakan terdapat
seribu orang lebih yang diancam agar memilih NKRI, dan sekitar 30 orang lebih
yang ditembak mati akibat ketidakpatuhan. Tidak bersihnya pelaksanaan PEPERA,
menjadi bibit di kemudian hari memunculkan OPM (Organisasi Papua Merdeka).[1]
Luas wilayah Papua 421.981 KM2 (3,5 kali
lebih besar dari pada pulau Jawa) dengan topografi meliputi daerah pegunungan
dan sebagian besar tanah yang berawa-rawa di daerah pesisir. Papua berbatasan
dengan; laut Halmahera dan samudra Pasifik di utara, laut Arafura dan Australia
di selatan, negara Papua New Guinea di sebelah timur, dan laut Arafura, laut
banda dan Maluku di sebelah barat. Berdasarkan sensus pada tahun 2000, populasi
terpadat ada di dataran tinggi di wilayah Jayawijaya sebanyak 417.326 jiwa.
Total penduduk asli, yang kaya akan kebudayaan, diperkirakan sekitar 66% dari
keseluruhan jumlah penduduk.[2]
Berdasarkan hasil survey penduduk antar sensus (SUPAS)
1995, jumlah penduduk Papua sebanyak 1.942.627 jiwa dengan rata-rata
pertumbuhan 3,03 % pertahun, sedangkan pada tahun 1999 sesuai proyeksi penduduk, jumlah tersebut
telah berkembang menjadi 2.165.300 jiwa. Apabila dikaitkan dengan luas
wilayahnya maka kepadatan penduduk Papua hanya 5 jiwa/km. Sementara, hampir di setiap bagian wilayah, terdapat
sumber-sumber mineral dan kekayaan flora-fauna luar biasa, menggiurkan hasrat
eksploitasi.[3]
Namun, luasan wilayah
yang cukup besar dengan kontur yang sulit dan alam yang tak mudah dihadapi,
soal pembangunan menjadi terkendala. Sungguhpun eksploitasi berskala besar
sudah bermula sejak Papua bergabung dengan NKRI, namun agak ironis kiranya,
bahwa dalam masa selama itu (30 tahun lebih integrasi Papua), jalan-jalan
lintas darat antar kota dan kabupaten pun belum terwujud, kecuali jalan-jalan
lintas dalam kerangka eksploitasi-produksi. Kendala alam selalu menjadi alasan
berulangkali oleh pemerintah.
Pemekaran dianggap
sebagai alternatif untuk lebih memudahkan pembangunan. Ide ini muncul sudah
sejak hampir
20 tahun yang lalu, ketika gubernur Isaac Hindom mengusulkan pemekaran Papua.
Namun ide pemekaran tidak pernah terealisasi hingga berakhirnya orde baru,
dengan alasan yang selalu sama dari waktu ke waktu, “minimnya anggaran pemerintah pusat”. Baru setelah
reformasi, pemekaran Papua digelar kembali, melalui Undang-Undang No 21/1999.
Usaha ini tidak sepenuhnya lancar, masih terdapat berbagai perbedaan persepsi
antara negara dan masyarakat adat. Akhirnya dalam pasal 76 UU-Otsus Papua
menyebutkan, "Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan
atas persetujuan MRP (Majelis Rakyat Papua) dan DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat
Papua) setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya,
kesiapan sumberdaya manusia, kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa
datang”.[4]
Saat ini, Papua yang sebelumnya bernama Irian Jaya, terbagi dalam dua provinsi,
Papua dan Papua Barat.
Dari segi bentukan sejarah dan tradisi yang telah berumur
ribuan tahun, masyarakat Papua memiliki asas-asas fundamental dalam menyusun
tata pandang hidup bersama. Berbagai asas tersebut tersusun inheren di dalam
berbagai bentuk kisah-kisah naratif assosiatif-personifikatif tentang nenek
moyang dan asal-usul dunia.
Semua
asas tersebut, menjadi suatu naungan
pembayangan
prosedur dalam mengalami
dan memaknai dunia sehari-hari.
Sebagaimana banyak berlaku
dalam berbagai budaya tua, narasi asosiatif-personifikatif muncul dalam usaha memahami
situasi alam yang sangat menantang secara geografis. Dalam kata lain, abstraksi
yang ada selalu mengacu pada situasi yang kontekstual, dalam satuan sosial kecil. Sehingga tidak ada satu abstraksi besar yang
lengkap bagi semua pihak
(satuan social besar). Akibatnya tafsiran dan tindakan atas alam
menimbulkan keberagaman
kebiasaan
yang luar biasa. Dalam perkembangan
panjangnya, memunculkan keberagaman identitas suku yang sangat sangat besar. Saat ini, setidaknya terdapat sekitar 250 suku asli,
dengan berbagai keunikan tradisi-kebiasaan, perbedaan bahasa, dan
praktek-praktek ritual-religi yang kuno. Dalam berbagai penelitian antropologi,
keberagaman budaya demikian dikategorikan ke dalam tujuh zona kebudayaan di
seluruh tanah Papua, antara lain; Saireri (Biak dan sekitarnya), Doberai (Sorong-Fak Fak,
Manokwari, dan sekitarnya), Bomberai (Timika dan sekitarnya), Ha-Anim
(Jayawijaya dan sekitarnya), Tabi (daerah pinggiran Laut Pasifik), Lani-Paqo
(Sentani dan sekitarnya), dan Me-Paqo (Merauke dan sekitarnya).
Setiap suku memiliki
peluang untuk membelah, membentuk satuan identitas baru dalam satuan sosial
terkecil (klan). Akibatnya, terdapat berbagai perbedaan sistem adat dalam
satuan sosial yang kecil-kecil. Kemajemukan dan perbedaan persepsi identitas yang
begitu tinggi, beresiko menghambat komunikasi sosial yang
luas. Pergesekan menjadi rentan terjadi dalam situasi
demikian, hingga dapat memunculkan
ketegangan yang berketerusan. Pada akhirnya, perang menjadi media
penyelesaian praktis atas berbagai ketegangan yang kompleks.
Pengertian “perang” dalam cara demikian,
perlu ditelusuri lagi. Terdapat beberapa “konsep” yang tidak mengandaikan acuan
yang sama dalam dunia modern. Pada orang Moni misalnya, terdapat suatu “konsep” untuk
“menghargai” para musuhnya ketika berperang. Bayangkan, jikalau musuh kehabisan
anak panah dalam perang, orang Moni menghentikan perang dan memberikan sebagian
anak panahnya kepada musuh. Setelah itu, perang dilanjutkan. Dibutuhkan
lebih banyak lagi metode dan strategi ilmiah untuk memahami berbagai dinamika
budaya demikian. Penyederhanaan, penyamaan, dan atau pemerangkapan dalam
kategori-kategori tertentu dari luar sistem bersangkutan, bisajadi tidak
mewakili apa yang seharusnya, ataupun apa yang ada (das sein, das sollen).
Dalam situasi sosial yang ketat demikian,
posisi seorang pemimpin menjadi sangat aktual dan taktis. Pemimpin haruslah
orang yang mampu menghadapi berbagai perubahan dan dinamika, serta mampu
mengakali kerentanan ruang sosial. Setidaknya terdapat empat sistem besar kepemimipinan dalam
budaya asli Papua: disebut sistem bigman,
ondoafi, campuran, dan kerajaan.
Berikut dibahas ciri utama saja di setiap sistem.
Pertama, sistem politik bigman, kepemimpinan dipegang oleh
seorang yang paling berwibawa di antara masyarakat. Kewibawaan menjadi syarat
utama bagi seorang pemimpin, dan biasanya ditentukan oleh dua hal: kemampuan enterpreneur dan kemampuan perang.
Ukuran ini sesuai dengan semangat zaman yang ada. Enterpreneur disini adalah suatu kemampuan untuk mencari
keuntungan dari suatu kegiatan ekonomi tradisional (barter). Sementara
kemampuan perang meliputi keberanian dan keterampilan orasi. Siapa saja dalam
masyarakat boleh menjadi pemimpin, selama memenuhi dua syarat
tersebut. Awal mula kemunculan sistem ini tidak terlacak. Kedua, sistem ondoafi, menerapkan kepemimpinan melalui pewarisan,
berdasarkan pada senioritas. Pemimpin memiliki para pembantu, yang khususnya
mengurusi soal-soal konseptual dan
menangani
hal-hal teknis kemasyarakatan. Kekuasaan selain ada pada pemimpin, juga dimiliki oleh dewan adat, yang lebih banyak menyusun berbagai dasar-dasar
kemasyarakatan. Ketiga, sistem
campuran. Dalam sistem kepemimpinan campuran, terdapat ciri-ciri dari sistem bigman dan ondoafi. Sistem ini lahir
dari perubahan-perubahan situasi yang menuntut
fleksibilitas sistem. Biasanya, dalam keadaan aman dan bisa bekerja, sistem ini
menerapkan kepemimpinan berdasarkan keturunan, atau dekat dengan ciri ondoafi. Namun
dalam keadaan terdesak, misalnya peperangan, maka kepemimpinan akan ditentukan
oleh kemampuan, atau dekat dengan sistem bigman.
Terakhir, sistem kerajaan, menerapkan
kepemimpinan berdasarkan keturunan, yaitunya anak sulung dari sang pemimpin.
Ketiadaan anak sulung, biasanya digantikan oleh anak laki-lakinya yang lain,
atau oleh saudara laki-laki sang pemimpin sendiri. Ciri yang paling khas sistem
ini dibanding lainnya, luasan wilayah kekuasaan yang cukup besar dengan
perkampungan-perkampungan yang banyak pula.[5]
Dalam setiap sistem kepemimpinan di atas, otoritas para
pemimpin adat sangat kuat menyangkut di semua bidang sosial, hingga pengaturan tanah.
Tanah
dan alam, termasuk soal-soal genealogis dalam banyak kebudayaan. Bagi orang
Papua, aosiasi-personifikasi
berlaku kental dalam menyana aspek-aspek genealogis. Misalnya, melalui suatu proses asosiasi, orang Wafom
percaya asal-usul nenek moyang mereka adalah dari pohon Pandanus. Di sisi lain,
suatu kawasan hutan tertentu bisa dipersonifikasi sebagai “saudara” dari klan
mereka.[6]
Genealogi asosiatif
menjadi pangkal dari proses penalaran selanjutnya. Sedang personifikasi alam, membentuk
rasa kedekatan, harmonisasi manusia dan
alam. Asosiasi dan personifikasi demikian
dekat dengan suatu kesadaran yang kini disebut “kesadaran
ekologi”. Terdapat berbagai ungkapan khas di setiap wilayah yang mengandaikan
kedekatan pada ekologi, misalnya, te aro
neweak lak-o (alam adalah aku,
pada orang Amungme), dan petskha vai (tanah adalah rahim ibu, pada orang Walsa). Contoh-contoh ungkapan demikian
terdapat hampir di setiap satuan sosial terkecil di Papua. Sebagaimana dalam
ekologi, “tanah” menjadi dasar bangunan pemahaman mengenai diri dan lingkungan.
Atau, tanah menjadi aspek terpenting dalam
susunan nilai serta cara pandang, dan sikap hidup orang Papua.
Adalah tanah bagi orang Papua sebagai “ibu” yang memberi
hidup sejak dulu, hingga sekarang dan terus saja sampai masa depan. Tanah tidak diperuntukkan
hanya bagi orang hidup saja, tetapi sudah menjadi hak pula bagi anak yang
masih dalam kandungan. Tanah adalah jaminan masa depan, milik bersama dari yang
hidup hingga anak-cucu di masa mendatang. Itulah sebabnya tanah tidak bisa dijual.
Dan adakah kesanggupan rasionalitas manusia untuk memahami menjual “ibu”? Tanah berarti bukan semata simbolisasi, tetapi adalah keagungan itu sendiri, yang mengandung dasar-dasar
teologis.[7]
Sebagai “ibu”, tanah menjadi visi terkuat orang Papua,
menjadi asas idea dan moral yang paling dekat dengan diri. Kedekatan manusia
dengan tanah menjadi bersifat psikologis, romantik, dan subjektif. Kategori
demikian tercermin dalam realitas hidup sehari-hari. Realitas tanah sebagai
bentang permukaan (topografi), langsung dibaca sebagai realitas anatomi “ibu”,
melalui personifikasi. Sebuah gundukan bukit misalnya, dipersonifikasi sebagai
payudara “ibu” yang mengalirkan “air susu” (sungai) ke lembah-lembah,
perkampungan tempat tinggal anak-anaknya. Personifikasi demikian berlaku dalam
banyak cara orang Papua memahami dan memperlakukan alam. Dalam hal ini juga, ketegangan antar
suku, klan atau kampung yang banyak berkisar pada soal pengaturan tanah,
diasumsikan karena
lebih dalam melibatkan romantisme-subjektif atas tanah. Perang menjadi berlarut atau berulangkali, karena
stimulus romantika dan
subjetifitas komunal (primordialisme).[8]
Dalam cara pandang demikian, tanah tidak artifisial atau
tidak bisa diposisikan sebagai aset ekonomi belaka. Dalam berbagai sistem adat
di seluruh Papua, samasekali
tidak terdapat sistem jual beli tanah. Tanah bukanlah komoditas. Batas-batas tanah misalnya, tidak ditentukan melalui
ketegasan garis tertentu, namun melalui peruntukan dan fungsi alamiahnya, atau
bersifat territorial (konteks ekologis). Ada satu
teritori yang cocok untuk berburu, ada yang bagus untuk pertanian, ada teritori untuk pemukiman, dan
tanah-tanah keramat bagi ritual.
Tanah adalah “ibu”, yang memberi kehormatan. Melakukan
penggalian tanah secara besar-besaran (penistaan ekologis), berarti “melubangi
ibu”, yang dapat menyakiti “ibu”, melukai, menghina, atau menistai martabat
“ibu”.[9]
Tanah adalah perekat sosial terkuat, tanpa tanah sebagai “ibu” sosial, maka
tiada lagi kepemimpinan sosial, identitas suku, hancurnya tertib adat, rusaknya
tata nilai, kacaunya berbagai batasan dan tradisi.
Kejadian “melubangi ibu”
seperti demikian, mulai terjadi sejak awal
bergabungnya Papua dalam NKRI. Tidak lama setelah Soeharto mulai berkuasa, Papua segera
menjadi wilayah utama eksploitasi alam. Soeharto giat membuat regulasi untuk memuluskan modal
asing masuk ke Indonesia, giat pula menemui atase modal negara-negara kaya.
Pemain tambang yang hampir bangkrut dari Amerika, Freeport McMoran, menjadi
perusahaan paling beruntung di dunia ketika itu dengan kesepakatan eksplorasi
tambang tembaga selama 30 tahun ke depan di wilayah dengan kandungan emas
terbesar di dunia,
Timika, Papua. Kontrak karya Freeport ditandatangani pada tahun 1967, ketika Papua belum
sepenuhnya utuh dalam NKRI. Lembar kontrak karya pertama ini dalam sejarah
Indonesia, dijadikan dasar penyusunan Undang-undang Pertambangan Nomor 11 tahun
1967, yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan bulan berselang setelah
penandatanganan kontrak karya Freeport.[10]
Masuknya investasi Freeport[11],
menjadi awal dari arogansi dan sikap sepihak negara, yang memaksakan cara
pandang tanah sebagai komoditas dan dapat diperjualbelikan. Freeport, pada
akhirnya menjadi ikon dari berbagai konflik dan kekerasan yang terjadi di
Papua. Ikon tersebut tentu menjelaskan acuan yang sama: masuknya modal masing dengan sangat leluasa di
pedalaman Papua tanpa “izin” masyarakat lokal, pengerukan besar-besaran tembaga
dan emas tanpa kesejahteraan masyarakat, penggunaan kekerasan dan oknum militer
untuk menghadapi protes masyarakat, tidak terendusnya berbagai kekerasan yang
terjadi karena berada di pedalaman, dan “cueknya” negara hingga diasumsikan
berkat kongkalingkong perusahaan (suap).
Saat ini, terdapat kasus dan sengketa tanah antara
masyarakat adat dan negara (baca: negara yang menggandeng modal) secara merata
di segenap daratan Papua.
Negara menjadi pendongkrak pintu masuk investasi untuk
pengerukan “payudara ibu”[12]
tanpa konsolidasi adat. Negara yang
menjadi
“alat” modal, menutup dialog dan akomodasi atas rakyatnya sendiri, sebaliknya
menuntut kepatuhan buta dari rakyatnya. Khususnya di masa orde baru, susunan
sejarah Papua dalam konteks sebagai bagian dari NKRI adalah sejarah kekerasan
negara atas masyarakat dalam berbagai bentuknya, mulai dari pemaksaan cara pandang,
kekerasan budaya (Jawa sebagai acuan), pengabaian nilai, relasi hubungan yang
eksploitatif, tanpa adanya pembangunan (pembodohan, pengkolotan), hingga
kekerasan militer.
Dari laporan beberapa LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat),
kualitas SDM (sumber daya manusia) orang Papua di akhir orde baru berada dalam
indeks SDM terendah. Dalam laporan lain, sekitar 100 ribu orang Papua mati di
tangan TNI selama orde baru. Susunan realitas seperti itu, memproduksi begitu
banyak kekecewaan, persepsi negatif, stereotip dan rasa tidak percaya. Sedang orde baru terus melakukan
penggiringan opini publik melalui pengetatan media massa dan berita yang berbunyi, bahwa semua baik-baik saja. Berbagai kekerasan TNI (Tentara Nasional
Indonesia) yang terjadi di
pedalaman-pedalaman Papua, sengaja diluputkan
dari pemberitaan. Saat ini, cukup banyak LSM yang mulai menyuarakan
pembongkaran kasus-kasus kekerasan demikian.[13]
Muncul dan semakin maraknya gerakan OPM, menjadi argumen empuk bagi negara (khususnya
orde baru) untuk menurunkan operasi militer. Walau tidak bisa dibuktikan secara
pasti berapa jumlah OPM bersenjata dan potensi bahayanya bagi negara, operasi
militer tetap dijalankan antara tahun 1970-1985. Pada tahun 1977, TNI bahkan
melancarkan serangan udara, pemboman di titik yang dianggap kantong-kantong OPM
di wilayah Jayawijaya, menghancurkan 17 desa. Kekerasan militer terus berlanjut
di era 1990-an, bahkan TNI mulai menembaki warga yang dianggap mendukung OPM.[14]
Ketika kekerasan terus berlangsung, wacana “pembangunan”
terus juga menjadi payung negara dalam setiap kebijakannya di Papua. Investasi
atas nama pembangunan, namun tanpa pembangunan itu sendiri bagi orang Papua.
Ironi berjejalan dimana-mana, kisah-kisah “semut mati di kantong gula” kerap
terjadi. Kekayaan alam dikeruk tanpa kemakmuran bagi masyarakat asli. Dalam ironi demikian,
“pembangunan” berarti “perampasan”.
Atas nama pembangunan juga, orde baru melakukan
penyeragaman demi efektifitas dan efisiensi. Sistem politik lokal yang khas
berdasarkan suatu sistem adat ditiadakan. Undang-undang
no. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa diterbitkan sebagai pijakan hukum
otoriterisme negara menyeragamkan persepsi politik lokal.[15]
Desa menjadi satu-satunya satuan politik terkecil yang dianggap sah. Lembaga
dan sistem adat yang asli sesuai tradisi, dikebiri dengan dijadikan sebagai
bagian dari organisasi state corporatisme. Kondisi demikian berlaku di
seluruh wilayah luar Jawa yang memiliki sistem politik lokal bukan desa. Sedang Jawa sendiri
memang asal acuan tentang “desa”.[16]
Di luar Jawa mulai di tingkat propinsi, kabupaten sampai kecamatan, terbentuk
apa yang disebut sebagai Lembaga
Masyarakat Adat, suatu organisasi buatan pemerintah yang visi, misi, dan
struktur organisasinya tidak selaras dengan konsepsi tradisi dan kebiasaan setempat.
Undang-undang no. 5 tahun 1979 menjadi momentum penting dari kekerasan budaya
(Jawanisasi) dan pemaksaan cara pandang oleh negara
atas keberagaman adat.[17]
Ciri rezim orde baru dekat dengan ciri kepribadian Soeharto. Sementara, hampir di setiap
kesempatan protokoler
dan pidato
kenegaraan, Soeharto mengutip ajaran dari falsafah-falsafah Jawa sebagai asas
pandangnya. Dengan demikian, stereotip orde baru dekat
dengan stereotip Soeharto yang
“Jawa”.[18] Otoriterisme orde
baru kemudian berarti juga
otoriterisme
Soeharto/Jawa. Proses yang
disebut “Jawanisasi”, diidentifikasi dalam proses-proses
kenegaraan; gaya berkuasa, bahasa dan retorika kekuasaan, protokoler kekuasaan,
feodalisme
birokrasi, simbolisme kekuasaan, wacana kekuasaan, hingga susunan basa-basi kekuasaan
(Soeharto yang murah senyum namun penuh kekerasan).[19]
Proses kekuasaan dengan label-label budaya tertentu, atau
Jawa, dengan laku kuasa yang otoriter, membuat munculnya stigma negatif atas
Jawa, sebagaimana negatifnya orde baru. Seakan-akan orde baru adalah sejarah
kekuasaan Jawa atas suku lain dalam Indonesa modern (NKRI). Dalam konteks
Papua, stigma tersebut memunculkan rasa “benci” terhadap semua
orang yang “dari” Jawa. Seakan-akan pula, selama orde baru Papua dijajah oleh
Jawa (Jakarta). Di Jawa sendiri, entahlah, apakah ada pihak yang menikmati atau
diuntungkan dari situasi tersebut, nyatanya sebagian lain mengalami pula kekerasan orde baru (misalnya kasus
Kedung Ombo yang cukup fenomenal). Namun kekerasan di Jawa lebih bersifat
kasuistik, ketimbang di luar Jawa yang jauh lebih sistematik sebagai kekerasan budaya.
Kekerasan sistematik terhadap nilai budaya demikian
membunuh keberadaan politik lokal dan sistem adat di hampir seluruh wilayah
luar Jawa. Regulasi yang muncul samasekali tidak mengakomodasi keberadaan
sistem adat. Begitu juga turunannya dalam soal-soal pengaturan tanah.
Dalam UUPA 1960 (Undang-undang Pokok Agraria), tanah adat
diakui sebagai salah satu entitas hukum yang sah. Namun undang-undang ini tidak
dilengkapi dengan turunan aturan yang mengakomodasi kepastian hak pengaturan
tersebut kepada masyarakat adat. Bahkan berbagai regulasi yang muncul, terkesan
tidak konsisten dan malah bisa melemahkan posisi masyarakat dan tanah adat.
Inkonsistensi terjadi sampai pada penggunaan bahasa yang tidak tertib. Sebagai
bahasa hukum, hal ini jelas mencerminkan ketidakseriusan.
Dalam Undang-undang Kehutanan no. 41 Tahun 1999, dipakai
istilah “Tanah Adat” untuk menyebut tanah komunal-budaya masyarakat lokal.
Sementara dalam beberapa regulasi lainnya, dipakai istilah “Tanah Ulayat” untuk
menunjuk objek yang sama dengan undang-undang kehutanan di atas. Lebih jauh, beberapa hal menjadi sangat
problematik menyangkut tertib bahasa hukum demikian. Misalnya, dalam Undang-undang
Perkebunan no. 18 tahun 2004, pasal 9, ayat 2, berbunyi:
“Dalam hak tanah
yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut
kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat
pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak tanah yang bersangkutan, untuk
memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya”.
Kalimat hukum di atas mengandung denotasi bahwa setiap
pemohon HGU (Hak Guna Usaha) perkebunan di tanah-tanah ulayat, harus meminta
izin terlebih dahulu kepada komunitas ulayat bersangkutan, untuk mendapatkan
kesepakatan dan menentukan imbalan (kompensasi). Seakan-akan tidak ada masalah
dalam denotasinya.
Namun kalimat
ini mengasumsikan konotasi yang seakan-akan apriori. Yaitu, dalam kalimat
terakhirnya, ”... untuk memperoleh
kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya”. Kalimat tersebut mengandaikan konotasi bahwa tanah
ulayat sudah apriori sebagai objek HGU, dan pemohon HGU bermusyawarah hanya
untuk “memperoleh kesepakatan”, seakan-akan
masyarakat adat tidak ada hak untuk menolak pemohon HGU. Seterusnya, kalimat
“.. penyerahan tanah dan imbalannya”,
justru menggiring konotasi
yang
melemahkan wibawa tanah ulayat. Aspek moral dan kesakralan tanah ulayat menjadi
diskredit dengan bubuhan akhir yang stereotip “imbalan”. Disini bisa dibaca
pelemahan suatu objek hukum tertentu sudah terjadi melalui susunan bahasa
hukumnya sendiri.[20]
Saat ini perundang-undangan nasional Indonesia yang
mengatur hak masyarakat adat atas tanah, antara lain, dalam bentuk ‘hak ulayat
dan hak milik adat’ (UU No.5
th. 1960),
‘hutan adat’ (UU No.41/1999), dan ‘hak ulayat’ (Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional No.5/1999). Semua undang-undang ini harus dicermati kembali
secara mendalam.
Era reformasi kemudian menjadi harapan baru perbaikan hubungan negara dan
adat. Dalam konteks Papua, otonomi khusus dengan prioritas akomodasi budaya dan adat, menjadi
jawaban. Undang-undang no. 5 tahun 1979
tentang pemerintahan desa yang telah membunuh keberadaan sistem politik dan
adat lokal beserta worldview yang
menghidupi digugat habis-habisan dan tak berlaku
lagi.
Wacana kekerasan negara atas adat muncul ke permukaan
dengan telanjang pada tahun 1999, dimana moral negara terlihat lebih hitam
daripada arang sekalipun. Otonomi
daerah menjadi kemestian. Dalam konteks Papua, Undang-undang Otonomi Khusus no. 21
tahun 2001 (UU Otsus) berhasil diterbitkan. Undang-undang ini mengusahakan
akomodasi budaya tersebut, sehingga menjadi
harapan banyak pihak untuk perbaikan dan penghentian kekerasan di Papua.[21]
Nyatanya sampai hari ini, reformasi politik dan birokrasi
nasional beserta lahirnya
UU-Otsus,
belum membawa banyak perubahan
di Papua. Sengketa
antara negara dan adat masih lazim. Perbedaaan cara pandang dan orientasi
sepertinya masih menjadi persoalan utama. Di sisi lain, ketika pembangunan tak
juga bergerak maju, kepercayaan pada reformasi dan otonomi menjadi menurun.
Dalam masyarakat Papua
sendiri, berkemabang asumsi bahwa UU Otsus tidak
serius dan bias pada
upaya memecah belah orang Papua. Tidak serius karena tidak ada bukti kerja nyata
pemerintah, dan menjadi bias
ketika dana yang digelontorkan dalam rangka Otsus sangat besar namun tanpa
bukti kerja nyata.
Asumsinya, ketika tidak ada pengusutan atau audit dana yang jelas, maka uang
tersebut memang dimaksudkan untuk “membayar” para pejabat lokal.[22]
Pengusutan berbagai kasus pelanggaran HAM (Hak Asasi
Manusia) selama
orde baru di Papua juga semakin tidak jelas. Hal ini makin menguatkan asumsi atas ketiadaan niat baik
negara bagi orang Papua.
Negara telah berkontribusi besar menghancurkan adat,
sistem politik lokal beserta nilai yang melingkupinya. Jika kini ada niatan
negara untuk mencoba mengakomodasi adat sebagai suatu bagian sistem kecil dan
otonom dalam sistem besar tata negara ini, maka aspek sejarah arogansi negara
atas adat harus dibongkar, dan dijadikan bahan atau sarana pembanding untuk
kritik diri (self critic/otokritik)
oleh negara sendiri. Karena asumsi atas ketidakseriusan negara mengakomodasi
adat, sesungguhnya masih merupakan asumsi yang cukup kuat hingga hari ini
dengan berbagai indikasi yang masih
bertebaran dimana-mana.
B.
Asumsi Penelitian
Papua adalah wilayah dengan struktur perubahan yang tidak
bertahap, dari budaya yang masih mengandung banyak unsur-unsur primitif
langsung ke modern. Dilaporkan oleh banyak peneliti, bahwa sampai akhir tahun
1960-an, masih berlaku berbagai adat dan tradisi primitif di Papua.[23]
Berbagai tradisi tersebut sudah berumur ribuan tahun, berlaku dan dihidupi.
Keberagaman dan perbedaan identitas suku bangsa yang ada, menggambarkan kemandirian dalam cara pandang, nilai,
norma, bahkan humor yang ada antar setiap suku. Dalam cara itu, struktur objektifitas
juga beragam antar klan. Asumsinya, objektifasi kehidupan tidak berlaku menurut
standar tertentu yang umum (pengetahuan sistematis), namun khas di setiap
satuan sosial terkecil. Biasanya, proses membaca dan memaknai kehidupan dalam
kondisi demikian, melewati pola intersubjektif.
Kemudian, perubahan peradaban Papua yang tiba-tiba dan begitu
saja, mengasumsikan adanya suatu renik tertentu pada aspek pengalaman dan
persepsi identitas. Misalnya, munculnya struktur ketegangan baru dalam
pendasaran nilai dan cara pandang,
antara
tradisi dan
modernitas. Sebagai hal pengalaman dan identitas, sifatnya menjadi subjektif,
primordial, romantik. Dalam kata lain, bukan soal-soal semata
pragmatik-rasional yang mengemuka, namun hal-hal menyangkut sublimasi,
internalisasi, peng-aku-an, struktur baru kedekatan atas alam, hingga struktur
teologi-kosmos.[24] Sudahkan orang Papua merasa
modern? Merasa sebagai orang Indonesia? Bisa diasumsikan, bahwa nilai-nilai dan struktur makna
tradisional masih mengakar kuat.
Berbagai perspektif
di atas: pengalaman, subjektifitas dan identitas, menjadi pengandaian asumsi-asumsi
penting dalam melihat dan membangun fokus penelitian ini. Selanjutnya,
dibutuhkan suatu pendekatan
dan metode analisis yang sesuai,
yang dapat mengakomodasi berbagai asumsi fenomena tersebut.
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini
bertujuan untuk memberikan penjelasan (deskripsi) demi suatu pemahaman yang
utuh (verstehen), untuk
menjadi masukan dalam membangun relasi negara dan adat. Adapun poin-poin penjelasannya, sebagai berikut:
1.
Untuk memahami kendala dan hambatan pelaksanaan kebijakan pengaturan tanah-tanah
adat, oleh negara dan masyarakat.
2.
Untuk memahami dan memberikan penjelasan mengenai dinamika kemasyarakatan
dan komunitas, hukum, norma, sistem, nilai, dan seterusnya, menyangkut
tanah-tanah adat .
3.
Untuk membangun pemetaan persoalan dan sengketa yang menimpa tanah-tanah
adat, aktor-aktor yang terlibat, modus keterlibatan, motif, serta model-model
resolusi konflik yang telah berjalan.
4.
Untuk memberikan masukan bagi kebijakan yang menjembatani atau bahkan mampu
mengintegrasikan sistem, tata nilai dan budaya yang melekat pada pengaturan
tanah adat oleh masyarakat adat Papua dengan sistem pertanahan nasional
D.
Rumusan Masalah
Masalah utama yang disoroti dalam
peneltitian ini mengenai relasi negara-adat, ketegangan dan kemungkinan titik
temu, dalam pengaturan tanah. Rumusannya sebagai berikut:
1. Bagaimana ketegangan dan
kemungkinan titik temu antara negara-adat dalam sisi norma (formal): sistem
hukum-sistem adat?
2. Bagaimana fakta/peristiwa yang
ada di lapangan?
3. Apa dan bagaimana dasar dan
struktur, cara pandang dan pemaknaan keduabelah pihak?
E.
Pendekatan dan
Perspektif
Penelitian ini menggunakan perspektif fenomenologi Dalam penelitian ini, terdapat dua fokus utama:
masyarakat adat dan negara. Dalam pendekatan pada konteks negara (regulasi dan
kebijakan), dimungkinkan menyandingkan pendekatan fenomenologis dengan berbagai
pendekatan tematik yang berhubungan langsung dengan regulasi dan kebijakan,
yang biasanya bertipe deskriptif-evaluatif. Persisnya pendekatan yang akan
dipakai dalam melihat regulasi dan kebijakan, belum ditentukan
saat ini, dan disesuaikan dengan temuan-temuan lapangan terlebih dahulu agar
pendekatan bisa menyentuh sisi-sisi riil. Sedang pilihan pendekatan terhadap
masyarakat adat, sudah dijelaskan di awal, sesuai kategori persoalan yang
muncul dalam paparan sebelumnya. Yaitu, pendekatan
fenomenologi.
Sebagaimana asumsi sebelumnya, pokok-pokok persoalan yang
ada kiranya tidak
hanya soal-soal
permukaan belaka,
juga, latar siklus sejarah yang unik. Perspektif dan persoalan-persoalan fenomenologis sebagai dinamika: nilai, pengalaman,
subjektifitas, makna, tindakan bertujuan, dan esensi, dinilai inheren
berlaku pada bangun sejarah (identitas) Papua dalam NKRI. Fenomenologi
berpretensi menguak isi (pengalaman dan makna) realitas, dengan pijakan tempat berangkat dari
fenomena dunia sehari-hari.
Fenomenologi bermula dari filsafat, pelopor utamanya
adalah Edmund Husserl (fenomenologi transendental). Fenomenologi Husserl
berawal Dari konsep tentang Lebenswelt
(dunia kehidupan), yaitu suatu wilayah dasar makna, dimana manusia terlibat di
dalamnya sebagai hidup yang sehari-hari, dunia yang belum dikerangkai
kategorisasi formal. Dunia seperti demikian pada dasarnya belum tersebutkan
sebagai “dunia sosial”, “dunia budaya”, “dunia ekonomi”, “dunia politik”, dan
berbagai term defenitif lainnya.
Husserl sangat tertarik dengan penemuan makna dan hakikat
dari pengalaman. Fenomenologi mengasumsikan bahwa terdapat perbedaan antara
fakta dan esensi dalam fakta, atau dengan kata lain perbedaan antara yang riil
dan yang tidak. Fenomena tidak berkonvergensi dalam satu bentuk saja, sebagai ‘Kebenaran’, tetapi
berdiverensi dalam berbagai bentuk, sebagai “keberagaman kebenaran”. Keberagaman kebenaran muncul dari
keberaman konteks beserta pola. Pola konteks
inilah
yang perlu ditelaaah untuk mendapatkan suatu verstehen.
Turunan fenomenologis dalam definisi sosial akhirnya bergerak pada kajian mikro. Dalam penelitian sosial ini perlu dikutip rintisan fenomenologi Alfred
Scutzh, yaitu “fenomenologi
sosial”.
Dalam fenomenologi sosial, pola terbentuk dari interaksi pengalaman
antar subjek, atau proses makna individual secara intersubjektif. Andaiannya, manusia saling terikat
satu sama lain ketika membuat interpretasi kehidupan. Tugas peneliti sosial-lah
untuk menjelaskan secara ilmiah proses demikian. Makna intersubjektif ini
berawal dari konsep “sosial” dan konsep “tindakan”. Konsep “sosial”
didefinisikan sebagai hubungan antara dua orang atau lebih. Sedang konsep “tindakan”
didefinisikan sebagai perilaku yang membentuk makna yang pada awalnya
subjektif.
Seterusnya, adanya konteks kehidupan
membuat subjektifitas butuh dimaknai
secara sama dan bersama antar
individu dalam kehidupan. Oleh karenanya,
sebuah makna subjektif dikatakan intersubjektif karena memiliki aspek kesamaan
dan kebersamaan (common and shared).
Schutz menguraikan, bahwa dunia sosial
terbentuk melalui proses resiprokal (timbalbalik), sedikitnya antara 2 orang
individu, yang keduanya bertindak berdasarkan motif-motif tertentu. Ada 2 motif
dalam hal ini, yaitu, motif “supaya” dan motif “karena”. Motif “supaya” adalah
proyeksi untuk bertindak. Dalam tindakannya, ia berharap motif “supaya” ini
berimplikasi pada motif “karena” pada orang lain, dalam kata lain, orang lain
membalas tindakannya.
Ada beberapa tipe hubungan resiprokal seperti
di atas. Tipe di atas adalah tipe hubungan langsung, atau tatap muka (face to face relationship) yang
membentuk relasi kekitaan (we-relationship).
“Kita” sama-sama hidup dalam ruang-waktu yang sama, memiliki kesempatan bertemu
yang sama secara intensif, hingga membentuk dialektika motif dari hari ke hari.
Tipe hubungan lainnya adalah hubungan tidak
langsung (they-relationship). Para
subjek, walaupun berada dalam ruang dan waktu yang sama, namun tidak memiliki
kesempatan bertemu secara langsung, atau tidak mengalami dinamika motif subjek
lain secara langsung. Situasi menjadi anonim. Maka subjek berusaha saling
mengenal melalui pengecapan atau tipifikasi (pen-tipe-an) yang diwariskan
secara sosial. Tipifikasi adalah sekumpulan pengetahuan yang “memotret” suatu
peran dan tindakan sosial, untuk menjadi skema acuan bagi subjek bersangkutan.
Dalam hubungan langsung tipifikasi pada
dasarnya tetap berlaku. Namun subjek
secara cepat dan langsung dapat merevisi, mengurangi, atau menambah muatan
hubungan, sehingga peran tipifikasi tidak dominan. Tipifikasi lebih bersifat
cair dalam hubungan langsung ini. Dalam hubungan tidak langsung, tipifikasi
semakin vital sebagai satu-satunya acuan tindakan subjek, karena kesempatan
untuk berjumpa atau merevisi secara langsung tidak begitu banyak.
Kategori sebagai “supaya”,
“karena”, “subjek”, “hubungan antar subjek” dan “tipifikasi” menjadi
pra-andaian dasar dalam melihat fenomena sosial.
Fenomenologi akar dari perpsektif kualitatif-interpretif, yang terus
berkembang ke dalam berbagai perspektif
penelitian
kualitatif: eksistentialism, hermeneutika, teori
kritis, etnografi, etnometodologi, interaksi simbolik, semiotika, grounded theory, pengamatan
partisipatif, post-strukturalis, dan dekonstruksi. Keberagaman
perspektif kualitatif demikian diturunkan menjadi metode penelitian “naturalistik-kualitatif”.
Metode ini telah mengandaikan perspektif kualitatif-interpretif di dalamnya. Dijelaskan
berikut.
F.
Batasan Konsep dan
Istilah
Batasan konsep dan istilah tidak terlalu ditegaskan dari
awal, dibiarkan dinamis sesuai jalannya
penelitian.
Terdapat dua konsep
asas,
“masyarakat adat” dan “negara” dengan fokus pada “pengaturan tanah”. Dari dua dasar ini, yang fokus pada
“pengaturan tanah”, mengandaikan
berbagai
konsep kategoris turunan, seperti: “hukum agraria”, “instansi agraria”, “hukum
adat”, “tanah adat”, dan sebagainya.
Dalam arti
yang umum, “Masyarakat adat” adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara
turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai,
ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri.[25] Sedang “Negara” adalah suatu organisasi sosial besar
dengan suatu wilayah territori tertentu dan warga masyarakat tertentu, yang
dijalankan melalui pemerintahan birokrasi berdasarkan hukum.
G.
Metode Penelitian
Penelitian ini menerapkan metode naturalistik-kualitatif.
Naturalistik berarti, unit penelitian didekati secara natural, alamiah atau
biasa. Tidak ada kemestian atau protokoler tertentu, hal demikian agar unit
penelitian terjaga dalam kealamiahan sehari-hari. Sedang kualitatif berarti
jenis penelitian yang tidak menempuh prosedur statistik atau penalaran
matematis lainnya. Unit penelitian kualitatif adalah hal-hal berkait pemaknaan dalam
subjek tineliti, yang fluktuasi motif dan modusnya tidak mungkin dikuantifikasi
ke dalam angka-angka.[26]
Antara peneliti dan “responden”
(selanjutnya disebut “subjek tineliti”), berada dalam kedudukan sejajar, tidak ada yang lebih.
Peneliti perlu juga mewaspadai pra-andaian, pra-konsepsi, atau praduga, yang
ada dalam dirinya. Tidak ada seorangpun yang tidak membawa praduga. Praduga bisajadi
mengantisipasi temuan, yang beresiko memiskinkan atau mendistorsi fenomena.
Berbagai praduga tersebut adakalanya diperlukan, namun harus diwaspadai.
Dalam penelitian kualitatif, tidak ada ketetapan atas suatu metode dan perspektif tertentu saja. Metodologi
penelitian yang dipakai bisa multi-metodologi. Naturalistik-kualitatif menjadi
contoh utama multi-perspektif. Untuk satu fokus yang sama,
dapat diurai menggunakan beberapa perspektif sekaligus: semiotika, etnometodologi, fenomenologi,
hermeneutika, feminisme, dekonstruksionisme, etnografi, psikoanalisis, dan
studi budaya. Tidak ada pendekatan
dan metode
atau praktik tertentu yang dianggap unggul, dan tidak ada pula yang serta-merta
dapat disingkirkan. Berikut
detail metode:
1.
Instrumen Penelitian
Dalam metode ini, peneliti berperan sebagai instrumen
utama penelitian. Hanya peneliti sebagai manusia yang dapat menangkap makna
dalam interaksi dan tindakan manusia: mimik wajah, intonasi suara, menyelami
perasaan, memahami situasi/konteks. Pemakaian instrumen lain dimungkinkan hanya
dalam prinsip membantu, bukan instrumen utama.[27]
2.
Setting Penelitian
Lokasi penelitian berada di perkampungan
masyarakat
adat Ondoafi, Sentani[28],
Kabupaten Jayapura, Papua. Sebagaimana umumnya sejarah lokal di Papua, tidak
didapat keterangan yang kuat mengenai asal-usul masyarakat Sentani. Orang
Sentani menyebut danau Sentani dengan istilah khas Phuyakha, yang jika diindonesiakan menjadi kalimat air yang terletak di tempat terang.
Sistem kepemimpinan orang Sentani adalah
ondoafi. Satu ondoafi membawahi beberapa kampung, dan
kampung membawahi beberapa klan, dalam klan terdapat beberapa keluarga. Dalam
setiap institusi tersebut, terdapat seorang pemimpin. Saat ini terdapat 4
ondoafi di seluruh wilayah Sentani.
Dalam sistem ini kewenangan puncak dalam
pengaturan tanah adat berada pada kepala suku/ondoafi
setingkat konfederasi. Dewan adat, atau disebut bobot, ikut memberi berbagai dasar
pertimbangan dalam pembagian peruntukan tanah. Dalam prosedurnya, pembagian
tanah dilakukan secara berjenjang. Ondoafi membagi peruntukan tanah untuk
kampung, pemimpin kampung membagi peruntukan tanah untuk klan, dan pemimpin
klan membagi peruntukan tanah untuk keluarga dan individu. Walau individu
menjadi perhatian, biasanya sangat jarang peruntukannya. Pemimpin ondoafi, menjadi pihak yang paling menentukan,
ia bisa saja langsung turun tangan membagi peruntukan tanah di tingkat
keluarga. Selain itu, laki-laki adalah pertimbangan utama sebagai subjek tanah.
Namun tata wibawa subjek tanah tersebut bukan dalam susunan dari ayah atas anak
laki-laki, namun dari paman kepada ponakan laki-laki.
3.
Unit Analisis
Unit analisis adalah fokus analisa, tematik analisis dan
subjek tineliti terkait. Sesuai rumusan masalah, terdapat tiga tematik beserta
subjeknya. Pertama, relasi adat-negara
dalam sistem/hukum, dengan subjek tineliti pemangku adat (PA), masyarakat adat
(MA), pemangku negara (PN). Kedua,
relasi adat-negara dalam peristiwa sehari-hari yang terkait, dengan subjek
tineliti yang sama di atas. Ketiga, relasi adat-negara, dalam cara pandang,
dengan subjek tineliti sama di atas. Semua unit analisis ini selalu dibarengi
dengan studi literatur (SL) terkait.
Jumlah subjek tineliti tidak terlalu banyak, karena yang
dicari bukan representasi keterwakilan, namun representasi kedalaman holistik.
Dalam studi fenomenologis, yang disasar adalah pengalaman dan makna subjektif-intersubjektif.
Seterusnya, kategori subjek tineliti bisa saja berkembang. Dalam berbagai penelitian
fenomenologis, jumlah subjek tineliti biasanya antara 3 sampai 10 orang. Dalam
penelitian yang berdurasi panjang, jumlah subjek tineliti bisa sampai 325 orang
(Dukes:1984).
4.
Penggalian Data
Dengan acuan penelitian seperti di atas, maka dapatlah
ditentukan jenis kebutuhan sumber dan target data. Adapun pengumpulan data
ditempuh dengan beberapa cara, yaitu, melalui studi literatur, observasi
lapangan, pengamatan partisipatif, dan wawancara mendalam.
Studi literatur dilakukan untuk mendapatkan data dari
berbagai diskursus
dan penelitian
lainnya, yang berbentuk publikasi buku ataupun laporan lembaga resmi yang belum
dipublikasikan. Termasuk ke dalam literatur adalah berbagai dokumen resmi
negara yang berkait dengan objek penelitian. Studi literatur dilakukan
terus-menerus selama penelitian ini berlangsung. Dengan bekal data awal dari
studi literatur, dilakukan observasi lapangan, yaitu, suatu pengamatan atas
objek-objek material terkait, misalnya, lokasi dan bentang tanah-tanah adat,
bentang alam, bentang sosial dan kondisi infrastruktur. Pengamatan partisipatif
kemudian menjadi prioritas, karena pengamatan ini lebih dapat menguak data.
Pengamatan partisipatif adalah pengamatan melalui keterlibatan, misalnya,
peneliti terlibat mencangkul di sawah bersama subjek tineliti, terlibat panen,
terlibat gotong-royong desa, dan sebagainya.[29]
Wawancara memungkinkan munculnya data verbal dan
non-verbal. Data verbal adalah apa yang diucapkan oleh subjek tineliti, dan
non-verbal adalah bahasa tubuh seketika berbicara. Adakalanya, bahasa tubuh
tidak mendukung ucapan yang dilontarkan. Dalam kondisi ini, peneliti bisa
berstrategi untuk mencari tahu lebih jauh mengapa demikian. Disini dibutuhkan
kepekaan atas konteks budaya setempat.
Pendekatan wawancara pada mulanya tidak berstruktur,
karena belum didapat acuan tertentu mengenai ruang pengalaman subjek tineliti.
Selanjutnya, wawancara dapat distrukturkan sesuai kategori ruang pengalaman
yang muncul.
5.
Acuan Pertanyaan
Penelitian
Dari rumusan masalah yang ditaksir untuk membangun
pemahaman, diturunkan beberapa acuan
pertanyaan
penelitian. Acuan
pertanyaan tersebut:
|
Rumusan
Masalan
|
Unit
Analisis
|
|
Acuan
Pertanyaan
|
1
|
Bagaimana ketegangan
dan kemungkinan titik temu antara negara-adat dalam sisi norma (formal):
system hukum-sistem adat?
|
Relasi
Hukum Negara & Adat (Teks &
Fakta)
|
1
|
Apa dan bagaimana,
aturan negara (regulasi) pengaturan tanah?
|
2
|
Apa dan bagaimana,
aturan adat ondoafi dalam pengaturan tanah?
|
|||
3
|
Bagaimana relasi,
koneksi/diskoneksi-nya?
|
|||
4
|
Bagaimana kemungkinan
ketegangan/titik temunya?
|
|||
5
|
Apa dan bagaimana,
fakta-fakta terkait relasi formal ini?
|
|||
2
|
Bagaimana
fakta/peristiwa yang ada?
|
Relasi Tindakan
|
6
|
Bagaimana fakta/peristiwa
relasi negara dan adat ondoafi dalam pengaturan tanah?
|
7
|
Kronologi? Sejarah?
Momentum?
|
|||
8
|
Bagaimana
persepsi/pengalaman dan pemaknaan
keduabelah pihak
terhadap peristiwa tersebut?
|
|||
9
|
Adakah suatu titik temu
yang bisa dibangun dari peristiwa/pengalaman?
|
|||
10
|
Apa implikasinya?
|
|||
3
|
Apa dan bagaimana dasar
dan struktur, cara pandang dan pemaknaan keduabelah pihak?
|
Relasi
Nilai
|
11
|
Apa dasar nilai
keduabelah pihak?
|
12
|
Bagaimana cara pandang
keduabelah pihak?
|
|||
13
|
Bagaimana terbentuknya
dasar dan struktur tersebut?
|
|||
14
|
Apakah ada suatu
kemungkinan titik temu dalam cara pandang?
|
6.
Interpretasi
Fenomenologis
Pada dasarnya, langkah-langkah
interpretasi tidak dapat ditentukan secara ketat. Setiap peneliti sebagai
instrumen, memiliki gaya dan penekanan masing-masing yang berbeda. Hanya saja
secara umum, langkah-langkah tersebut yang merupakan prosedur pikiran, bisa
dikerangkakan sebagai prosedur berikut:[30]
§
Peneliti memulai dengan gambaran menyeluruh tentang
fenomena.
§
Peneliti menemukan pernyataan tentang pengalaman individu
dan setiap pengalaman memiliki derajat yang sama, dan akan berkembang apabila
daftar pernyataan tidak tumpang tindih.
§
Pernyataan tersebut kemudian di kumpulkan ke dalam unit
makna lalu ditulis gambaran tentang bagaimana pengalaman tersebut terjadi.
§
Selanjutnya peneliti merefleksikan gambaran dengan
menggunakan variasi imajinasi atau gambaran struktural, semua kemungkinan makna
yang nampak dari
beragam perspektif. Muncul variasi referensi (diskursus) tentang fenomena,
konstruksi dan gambaran mengenai bagaimana fenomena pengalaman.
§
Peneliti kemudian membangun gambaran utuh, keseluruhan
makna dan esensi pengalaman.
§
Peneliti kemudian membuat laporan pengalaman setiap
partisipan.
§
Setelah itu, gabungan dari gambaran tersebut ditulis
(narasi gabungan).
§
Seni dan imajinasi menulis laporan.
Dalam beberapa kategori (teks) yang memiliki konteks
diskursus
(tekstual), akan diurai secara integratif, dinamika diskursus dan dinamika lapangan
(dan konteks penelitian). Adakalanya
interpretasi baru berhasil dikonstruksi dalam waktu yang lama, berkat
kekurangan imajinasi/perspektif pembanding.
7.
Tahapan Penelitian
|
Tahapan
|
April
|
Mei
|
Juni
|
Juli
|
Agust
|
Prosedur
|
|||||||||||||||||||
|
Studi Literatur
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Konsep, Kategori, Fokus, Perspektif
|
||||
|
Asumsi Pendekatan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Rumusan
Masalah, Acuan Pertanyaan, Unit Analisis
|
||||
|
Studi Lapang
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Fenomena: Data Peristiwa-Pengalaman
|
||||
|
Pencatatan Data
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Catatan
Lapang, Visual, Dokumen, Rekam:
|
||||
|
Member Check
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Verifikasi
Subjek Tineliti
|
||||
|
Koherensi
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Verifikasi:
Teks, Konteks, Subjek-Intersubjek
|
||||
|
Analisis
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Analisa
Hukum, Pola Peristiwa, Pengalaman
|
||||
|
Interpretasi
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Esensi
|
||||
|
Penulisan 1
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Deskripsi
per-Item
|
||||
|
Member Check
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
SL, PN, PA, MA, Kalangan Diskursus
|
||||
|
Penulisan 2
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Narasi Struktur Fenomena
|
||||
|
Member Check
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
SL, PN, PA, MA, Kalangan Diskursus
|
||||
|
Penulisan 3
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Esensi Fenomena
|
||||
|
Laporan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Publish
|
||||
8.
Member Check
Dalam perspektif fenomenologi, akurasi
dan kelayakan data beserta interpretasi harus melewati verifikasi tiap-tiap
subjek (member check). Untuk itu,
dilakukan verifikasi dan triangulasi kepada semua subjek, serta kalangan
diskursus atau para ahli, melalui diskusi dan perbandingan karya tulis.
Verifikasi bertujuan untuk menjamin bahwa inquiri data dan analisa sudah
sama-sama dipahami.
Reliabilitas penelitian terbentuk melalui
konstruksi interpretasi. Reliabilitas dalam fenomenologi tidak mesti
berkorespondensi langsung pada realitas, sehingga akan selalu sama bagi setiap
penguji. Yang diutamakan adalah konstruksi konseptual yang dalam dan lengkap,
atas realitas sehari-hari, melalui rangkaian defenitif, kategoris, hingga
proposisi yang saling menguatkan dan konsisten.
9.
Penulisan
Penulisan laporan disasar pada tiga hal, yaitu, uraian deskripsi-evaluasi sistem dan
hukum, deskripsi dan narasi struktur peristiwa, dan interpretasi fenomena esensial. Setidaknya, penelitian ini
dengan segala keterbatasan waktu, keterbatasan menggali data dan interpretasi,
setidaknya diproyeksikan sampai narasi struktur peristiwa (minimal).
H.
Kontribusi Penelitian
Harapan kontribusi penelitian
ini mengacu pada program strategis Badan Pertanahan Nasional, sebagaimana kolom
berikut:
I.
Waktu dan Lokasi Penelitian
Lapang
Jadwal penelitian lapang pada
7–30 Juni. Lokasi penelitian di kampung masyarakat adat ondoafi, Sentani,
Kabupaten Jayapura, Papua.
J.
Alokasi Kerja Penggalian Data
Demi efektifitas penggalian data, perlu
ada pembagian kerja. Tim penelitian ini berjumlah 4 orang. Alokasi pembagian
kerja: dua orang menyoroti segenap aspek data pada fokus negara, subjek
tineliti pemangku negara (PN). Dua orang lainnya, menyoroti segenap aspek
masyarakat adat, dengan subjek tineliti pemangku adat (PA) dan masyarakat adat
(MA).
Adapun kemungkinan sumber-sumber data
yang terus berkembang kemudian, dilakukan pembagian kerja secara fleksibel di
lapangan.
K.
Matrix Penelitian
Terlampir
M.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1.
Kondisi
Geografis Provinsi Papua
Berdasarkan
Papua Dalam Angka Tahun 2009,[31] Provinsi
Papua terletak antara 2º 25´ Lintang Utara - 9º Lintang Selatan dan 130º-141º
Bujur Timur. Di sebelah utra Provinsi Papua terbentang Samudra Pasifik,
sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan laut Arafuru, sementara di sebelah
barat berbatasan dengan Laut Seram, Laut Banda, Provinsi Maluku, dan sebelah
timur berbatasan dengan Papua New Guinea.
Provinsi
Papua ini merupakan pecahan dari Provinsi Irian Jaya yang dahulu luas Provinsi
Irian Jaya ± 410.600 Km² atau merupakan 21,99 % dari luas wilayah Republik
Indonesia. Bahkan dengan telah dipecahknya Provinsi tersebut, sampai sekarang
Provinsi Papua masih merupakan provinsi dengan wilayah terluas se-Indonesia,
yaitu 317.062 Km². Ibukota provinsi adalah Jayapura. Kabupaten Merauke
merupakan Kabupaten terluas wilayahnya di Provinsi Papua, yaitu 43.979 Km².
atau sekitar 13,87% dari total luas Provinsi Papua. Sedangkan Kabupaten Supiori
merupakan Kabupaten dengan luas terkecil, yaitu 775 Km² atau 0,24% dari luas
Provinsi Papua.
Provinsi
Papua dalam perkembangan pemerintahannya saat ini terdiri atas 19 Kabupaten,
yaitu Kabupaten Merauke, Jayawijaya, Jayapura, Paniai, Puncak Jaya, Nabire,
Mimika, Yapen Waropen, Biak Numfor, Boven Digul, Mappi, Asmat, Yahukimo, Pegunungnan
Bintang, Tolikara, Sarmi, Keerom, Waropen, Supiori, dan 1 Kota yaitu Kota Jayapura sebagai
ibukota Provinsi.
Ketinggian wilayah di
Provinsi Papua sangat bervariasi. Diukur dari permukaan laut, ketinggian
wilayah Papua berkisar antara 0-3000 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Kabupaten Puncak Jaya dengan ibukota Mulia merupakan daerah tertinggi dengan
ketinggian 2.980 mdpl, sedangkan Kota Jayapura merupakan daerah dengan
ketinggian terendah, yaitu 4 mdpl.
2.
Sejarah Provinsi Papua
Secara
historis, kata
“Papua” pertama sekali digunakan oleh Antonio d’Abreau–pimpinan Armada Laut
Portugis dari Malaka ke Maluku pada tahun 1511-1512 yang menyebut dengan os papuas atau juga ilha de papo la. Sebutan tersebut diambil dari bahasa Melayu Kuno “papuwah” yang berarti “orang hitam
berambut keriting”. Pada tahun 1522 Fransisco Serrao (Portugis) mengunjungi
Maluku dan menyebut nama yang sama yang disebut de’Abreau. Demikian juga don
Jorge de Meneses dari Portugis melewati rute yang sama dan menamakannya Papua.
Sesudah Portugis datang ke Maluku, beberapa tahun kemudian orang Spanyol
menjejakkan kakinya di Maluku. Nama Nueva
Guinea (Portugis), Niew Guinea
(Belanda) dan New Guinea (Inggris),
berasal dari bahasa Spanyol Nova Guinee
yang diberikan oleh pimpinan Armada Laut Spanyol, Ynigo Ortis de Retes, yang
mendapat perintah dari Gubernur Spanyol di Tidore untuk melakukan perjalanan ke
Meksiko di Panama antara tahun 1526-1527. Pada saat itu ia singgah sebentar di
Pantai Utara Irian dan memberi nama pulau itu Nova Guinee. Nama itu diberikan karena melihat penduduk asli Papua
mirip dengan penduduk yang ada di Guinea yang terletak di Pantai Barat Afrika.[32]
Nama
Papua kemudian berganti menjadi Irian. Nama itu diambil dari bahasa Biak Numfor
“iriyan” yaitu “rumput kecil yang tumbuh di batu
cadas”. Dalam rangka perjuangan mengintegrasikan daerah ini dengan Republik
Indonesia, maka nama Irian dipakai sebagai akronim politik yang berarti “Ikut
Republik Indonesia Anti Nederland.”[33]
Sejarah
Papua dimulai
sejak tibanya dua orang Penginjil dari
Negara Jerman, yaitu Sdr. Carel Williem Ottow dan Johan Gottlob Geisler memulai
menginjakan tanah bumi Papua (Nieuw
Guinea). Setelah mendapat ijin dari Sultan Tidore dan ditemani para pelaut
Muslim dari Ternate dan Tidore, dua
orang Penginjil tersebut mendarat di Teluk Doreri pada tanggal 5 Pebruari 1855.
Tepatnya pada hari Minggu pagi, jam enam, sauh segera diturunkan di terjalnya
hutan hutan tropis, keganasan nyamuk malaria, dan kerasingan pedalaman. Bersama
pedangang Muslim, para evengelis berhasil menjadikan bahasa melayu sebagai lingua franca, yang biasa menerobos kemacetan komunikasi antarsuku.
3. Perkembangan
Struktur Pemerintahan
Provinsi
Papua, yang dahulu merupakan bagian dari Provinsi Irian Jaya pada masa
Pemerintahan Hindia Belanda bernama Nederland
Nieuw Guinea. Pada tanggal 27 Desember 1949 oleh Ratu Belanda memberlakukan
Besluit Bewindsregeling Nieuw Guinea (BBNG).
BBNG tersebut substansinya mengatur tentang
Ketatanegaraan baru bagi wilayah dan hak-hak penduduk, dinas-dinas
pemerintrah umum, pengangkatan, pemberhentian dewan para kepala jawatan dan
bidang kerjanya, dewan penasehat untuk kepentingan pribumi, susunan, kekuasaan
dan sidang Dewan Perwakilan Nieuw Guinea, anggaran keuangan, pembagian wilayah,
pendidikan, kesehatan dan urusan social, kemakmuran rakyat, perniagaan dan
pelayaran. Sedangkan untuk melaksanakan Besluit
Bewindsregeling Nieuw Guinea (BBNG) tersebut, Gubernur menebitkan keputusan tertanggal 14 Juni 1950
Nomor 53 yang mencabut Keputusan Pemerintah Hindia Belanda tertanggal 14
Januari 1949 dan tanggal 13 Juli 1945 tentang Status wilayah Nieuw Guinea
sebagai wilayah neolandschap. Dengan
demikian, maka terhitung sejak tanggal 1 Juni 1950, Nieuw Guinea menjadi Zelbesturend Landschap (Gouvernementsblad
1950 No. 12).[34]
Berdasarkan Struktur Pemerintahan
pada Jaman Hindia Belanda, maka dapat dijelaskan dengan Gambar sebagai berikut:
Ratu Belanda / Koningin
Ratu Belanda
|
Onder Afdeeling: (23)
|
Afdeeling:
Hollandia, Geelvinkbaai, West Nieuw Guinea, Fak-Fak, Zuid Niauw Guinea,
Central Bergland
|
Kampoeng
|
District: (73)
|
Nieuw Guinea Raad: Anggota 21 Orang, tgl. 5-4-1961 menjadi 28
Orang.
|
Gouverneur
|
Gouverneur
Secretarie
|
Gambar
1: Struktur Pemerintahan Pada Masa Nederland Nieuw Guinea (NNG)
Selanjutnya
berdasarkan Perjanjian New York tanggal 15 Agustus 1962, yaitu persetujuan
antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda mengenai Irian Barat, maka
dibentuklah Badan Pelaksana Sementara PBB yang diberi nama United Nations
Temporary Authority (UNTEA)[35].
Badan ini berada di bawah kekuasaan Sekretaris Jenderal PBB, dan dipimpin oleh
seorang Administrator PBB yang diangkat oleh Sekretaris Jenderal PBB dengan
persetujuan dari Pemerintah Indonesia dan Belanda. Administrator ini
bertugas menjalankan pemerintahan di
Irian Barat untuk jangka waktu satu tahun sesuai petunjuk Sekretaris Jenderal
PBB. Administrator dibantu oleh sebuah Goverrnment
Secretariat dan memiliki 6 Division yang dikepalai oleh Divisional Commissioner (Resident).
Division dibagi ke dalam Sub-division dan District. Ke-6 Division tersebut
adalah: Hollandia (Jayapura), Biak, Manokwari, Fak-Fak, Merauke dan Central Highland (Pegunungan
Jayawijaya).
Setelah
Irian Barat masuk menjadi bagian dari Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah
menerbitkan Penetapan Presiden (Pen. Pres.) Nomor 1 Tahun 1963 yang
ditindaklanjuti dengan Instruksi Presiden RI Nomor 02/Instr/1963 (RHS) dengan
susunan:
a. Pimpinan
pemerintahan dipegang oleh Gubernur;
b. Wakil
Gubernur membantu Gubernur dalam semua tugas pemerintahan dan mewakilinya
apabila Gubernur berhalangan;
c. Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah[36]
d. Badan
Pemerintah Harian
e. Gubernur
mempunyai Sekretariat yang dikepalai oleh Sekretaris Propinsi;
f. Dalam
menjalankan tugasnya Gubernur dan Wakil Gubernur dibantu oleh Kepala-Kepala
Dinas.
g. Dewan
Pembantu dan Penasehat
h. Provinsi
Irian Barat dibagi ke dalam 6 Karesidenan, 23 Kepala Pemerintahan Setempat
(KPS) dan 79 Distrik.
Pada tahun 1969 Pemerintah menerbitkan UU Nomor 12
Tahun 1969 dibentuklah Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten
Otonom di Irian Barat. Dalam perkembangan berikutnya berdasarkan UU Nomor 5
Tahun1979 tentang Pemerintahan Desa dan PMDN Nomor 4 Tahun 1973 serta Keputusan Gubernur No. 22/GIJ/1974
tertanggal 2 Pebruari 1974 tentang Pembentukan Desa, maka pada tahun 1975
dibentuklah 428 Desa, dan pada tahun 1976 sebanyak 225 Desa yang merupakan
penggabungan dari beberapa Kampoeng.[37]
Kemudian dalam perkembangan berikutnya sebagai ekses
dari Era Reformasi dengan dikeluarkanya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintaham Daerah,
dan tumbuhnya semangat rekonsiliasi diterbitkan UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang
tawaran otonomi daerah termasuk
pengaturan pemekaran Irian Jaya ke dalam beberapa provinsi dan
kabupaten. Untuk melaksanaka UU Nomor 45 Tahun 1999, Pemerintah menerbitkan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU Nomor
45 Tahun 1999. UU Nomor 45 Tahun 1999 akhirnya digantikan dengan UU nomor 5
Tahun 2000 tentang perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua. Pada akhirnya
berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2001 Provinsi Papua diberikan Otonomi Khusus.
Untuk melaksanakan UU tersebut, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 54 Tahun 12004 tentang Majelis Rakyat Papua (MRP). MRP ini merupakan
representative kultural orang asli papua yang memiliki wewenang tertentu dalam
rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada
penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan
kerukunan hidup beragama.
Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 ini kemudian dilakukan perubahan dengan UU
Nomor 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57,
TLN No. 4842). Penerbitan UU Nomor 1 Tahun 2008 didasarkan pada
pertimbangan bahwa keberadaan Provinsi
Irian Jaya Barat yang telah berubah
menjadi Provinsi Papua Barat telah menjalankan urusan pemerintahan dan
pembangunan serta memberikan pelayanan kepada masyarakat sejak tahun 2003,
namun belum diberlakukan otonomi Khusus berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Berdasarkan
UU Nomor 21 Tahun 2001 yang kemudian dirubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2008, maka
Struktur Pemerintahan di Provinsi Papua dapat digambarkan sebagai berikut:
DPR Provinsi Papua
|
Gubernur
|
Sekretaris
Daerah (Setda)
|
Kampoeng/Kalurahan
|
Kabupaten/Kota
|
District
|
Dinas/Badan/Kantor Provinsi
|
MRP
|
Gambar
2: Struktur
Pemerintahan Provinsi Papua Berdasarkan UU Nomor 21
Tahun 2001 Jo. UU Nomor 1
Tahun 2008.
Kemudian
jika dicermati dari pola perkampungan di Papua dapat dikelompokkan menurut
daerahnya, yaitu:[38]
a.
Daerah pesisir: sebagian besar di atas laut
atau di tepi pantai. Rumah mereka dibangun di atas sejumlah tiang-tiang yang
dipancangkan ke dalam dasar laut. Tiang-tiang tersebut bertujuan untuk menahan
empasan gelombang ombak yang mengamuk sepanjang waktu. Bentuk rumah mereka
berjajar di tepi pantai atau di atas laut. Dengan demikian, pola perkampungan penduduk daerah pesisir
dapat dikatakan memanjang (mengelompok panjang). Untuk menghubungkan rumah
dengan fasilitas umum seperti balai desa, rumah kepala suku, tempat ibadah,
dibuatkan jembatan. Bentuk panggung adat yang dianggap keramat, hanya terdapat
di depan rumah para kepala suku.
b.
Daerah pedalaman (pegunungan): pola
perkampungan pedalaman mengelompok jarang dan melingkar (kalau tidak dapat
disebut memencar). Perumahan di daerah ini umumnya terbuat dari kayu dan
alang-alang. Sedang mengenai bentuknya di samping ada yang panjang, juga
terdapat yang bulat. Bentuk yang terakhir oleh masyarakat yang bersangkutan
disebut honai, sedang yang berbentuk
bujur sangkar atau empat persegi panjang disebut siliwo. Rumah ini dapat menampung 5.000 sampai 10.000 jiwa.
Selanjutnya,
apabila wilayah Provinsi Papua, dilihat dari sisi penggunaan tanahnya, dapat
disajikan dalam Tabel sebagai berikut:
Tabel 1 : Penggunaan Tanah di Wilayah Provinsi
Papua Berdasarkan
Kabupaten/Kota Kondisi Tahun
2009
Kab/Kota
|
Jenis Penggunaan
|
||||||||
P
|
S
|
T
|
Kbn
|
Kbn.C
|
H
|
S/AA
|
TR
|
Dll
|
|
Merauke
|
125.560
|
41.697
|
311.024
|
25.996
|
958.296
|
56.927
|
4.465
|
10.236
|
2.863.699
|
Jayawijaya
|
21.145
|
678
|
628.151
|
2.408
|
263.969
|
4.266
|
2.284
|
-
|
346.099
|
Kab.
Jayapura
|
36.907
|
2.603
|
5.833
|
68.996
|
47.907
|
34.230
|
1.950
|
-
|
1.332.494
|
Paniai
|
40.128
|
4.914
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
1.376.458
|
Puncak Jaya
|
21.851
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
1.063.349
|
Nabire
|
148.533
|
19.659
|
253.016
|
991
|
5.922
|
17.811
|
3.610
|
-
|
1.181.658
|
Mimika
|
4.578
|
1.331
|
85.779
|
3.663
|
8.025
|
9.651
|
5.561
|
-
|
1.885.412
|
Yapen Waropen
|
27.158
|
1.916
|
3.592
|
4.929
|
3.357
|
17.520
|
11.831
|
-
|
242.797
|
Biak Nuimfor
|
1.642
|
77
|
28.268
|
778
|
2.489
|
1.481
|
827
|
-
|
200.488
|
Boven Digul
|
23.517
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2.823.583
|
Mappi
|
19.300
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2.743.900
|
Asmat
|
6.025
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
1.891.575
|
Yahukimo
|
516
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
1.576.584
|
Peg. Bintang
|
2.813
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
1.687.987
|
Tolikara
|
4.406
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
877.194
|
Sarmi
|
6.178
|
2.282
|
-
|
103.800
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2477.940
|
Keerom
|
13.646
|
12.775
|
-
|
71.540
|
-
|
-
|
-
|
-
|
838.539
|
Waropen
|
114
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2.463.686
|
Supiori
|
568
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
76.932
|
Kota Jayapura
|
4.402
|
658
|
6.593
|
147
|
2.484
|
67.947
|
-
|
-
|
70.047
|
Sumber: Provinsi
Papua Dalam Angka, BPS Provinsi Papua, Tahun 2009: 13-14.
Ket.:
P=Pekarangan; S= Sawah, T=Tegalan. Kbn=Kebun, Kbn C=Kebun Campur; H=Hutan,
S/AA=Semak/Alang-Alang; dan TR=Tanah
Rusak, Dll= dan lain-lain.
Dengan
memperhatikan tabel di atas, maka dapat diuraikan bahwa penggunaan tanah di
wilayah Provinsi Papua, dari seluas ± 317.062 Km². sebagian besar berupa Tegalan seluas 1.322.256 Ha., disusul
penggunaan untuk Pekarangan seluas 508.987 Ha.,
Perkebunan seluas 283.158 Ha., dan Persawahan (Sawah) seluas 88.590 Ha.
Serta Hutan seluas 29.833 Ha.
Apabila
dilihat dari jenis kepemilikan tanah dan sertipikat sebagai tanda buktinya di
Provinsi Papua, dari 10 Kabupaten/Kota, dapat disajikan dalam tabel 2 dan 3 sebagai berikut:
Tabel
2: Jenis Kepemilikan Hak Atas Tanahdi Provinsi Papua Tahun 2007
Kabupaten/Kota
|
Hak Milik
|
Hak Guna Bangunan
|
Hak Pakai
|
Merauke
|
1.419
|
65
|
26
|
Jayawijaya
|
655
|
185
|
430
|
Kab.
Jayapura
|
1.221
|
23
|
9
|
Paniai
|
508
|
-
|
2
|
Puncak Jaya
|
400
|
-
|
30
|
Nabire
|
1.366
|
4
|
4
|
Mimika
|
357
|
83
|
1
|
Yapen Waropen
|
896
|
13
|
150
|
Biak Nuimfor
|
565
|
391
|
315
|
Kota Jayapura
|
252
|
10
|
21
|
Sumber: Provinsi Papua Dalam
Angka Tahun2009 BPN Provinsi Papua,
Jayapura: 16.
Tabel 3: Jumlah
Penerbitan Sertipikat Hak Atas Tanah Di Provinsi Papua
Dari Tahun 2005 s/d 2007.
Kabupaten/Kota
|
2005
|
2006
|
2007
|
Merauke
|
711
|
984
|
1.510
|
Jayawijaya
|
105
|
471
|
1.270
|
Kab.
Jayapura
|
535
|
436
|
1.253
|
Paniai
|
3.884
|
260
|
510
|
Puncak Jaya
|
-
|
-
|
430
|
Nabire
|
1.140
|
1.152
|
1.374
|
Mimika
|
102
|
317
|
441
|
Yapen Waropen
|
127
|
471
|
859
|
Biak Nuimfor
|
911
|
871
|
858
|
Kota Jayapura
|
1.552
|
1.073
|
183
|
Sumber: Provinsi Papua Dalam
Angka Tahun 2009, BPS Provinsi Papua,
Jayapura: 17.
Sementara
dilihat tingkat perkembangan penduduk Provinsi Papua dari tahun 2004 s/d
2008 selalu mengalami peningkatan, yaitu
pada tahun 2004 sebanyak 1.857.996, tahun 2005 menjadi 1.875,388, terus
mengalami peningkatan pada tahun 2006 menjadi 1.974.932 dan pada tahun 2007 menjadi
2.015.616, serta pada tahun 2008 menjadi 2.056.517. Dari jumlah penduduk pada tahun 2007
sebanyak 2.015.616 jiwa, sebanyak
793.40 jiwa atau sekitar 39,36 % merupakan penduduk Miskin.[39]
Provinsi
Papua dilihat dari perkembangan tingkat investasi di bidang perindustrian,
pertambangan dan energy dari tahun 2003 s/d 2007 ternyata mengalami penurunan.
Adapun perkembangan tingkat investasi di bidang tersebut dari tahun 2003 s/d
2007 sebagai berikut: Tahun 2003 sebanyak Rp. 1.862.596.450; pada tahun 2004 mengalami
peningkatan menjadi Rp. 1.863.381.706.
Demikian juga pada tahun 2005 investasi meningkat menjadi Rp.
1.864.832.034. Namun demikian mulai tahun 2006 perkembangan investasi mengalami
penurunan menjadi Rp. 1.246.032.950, dan pada tahun 2007 meningkat kembali
menjadi Rp. 1.266.750.340,-
4. Kabupaten
Jayapura
Menyusuri
perjalanan sejarah di tanah Papua, khususnya di Dataran Numbay tercatat bahwa
pada tanggal 13 Agustus 1768 seorang pelaut berkebangsaan Perancis bernama L.A.
Bogainvelle berlabuh di Teluk Numbay atau sekarang bernama Teluk Yos Sudarso
dan member nama Gunung Dobonsolo dengan nama Gunung Cyclop yang dalam bahasa
Yunani/Grika berarti Raksasa Bermata Satu. Pelaut berkewarganegaraan Perancis
ini juga member nama pada sebuah gunung di sebelah Timutr Jayapura yang
terletak di sekitar Skouw dengansebutan namanya, yaitu Gunung Bougenville.
Perjalanan
singkat sejarah tentang berdirinya Kabupaten Jayapura dimulai dari Pualu Debi
di Teluk Yotefa hingga ke Gunung Paniau daratan Dobonsolo Sentani sebagai
berikut:
1.
Tahun 1990-1910 dimulai dengan dibukannya Pos Pemerintahan di Pulau Debi yang
terletak di Teluk Yotefa antara Kampoeng Tobati dan Enggros yang berfungsi
sebagai Pusat Pengabaran Injil di Daratan Numbay/Papua.
2.
Tahun 1909 berdasarkan Surat keputusan Gubernur Hindia Belanda Nomor 4 tertanggal 28 Agustus 1909, maka berangkatlah
satu Detasemen Militer yang terdiri atas 4 Perwira dan 80 Prajurit di bawah
pimpinan Kapten Infanteri F.J.P. Sachese dengan menumpang Kapal Perang EDI dan
bertolak dari Manokwari menuju daratan Numbay dengan tugas untuk membantu
persiapan bagi Komisi Pengaturan Perbatasan Antara Belanda dengan Jerman untuk
memegang dan mengendalikan kekuasaan. Satu bulan kemudian pada tanggal 28
September 1909, berhasil mendarat di Teluk Numbay/Humbolt dan membuat markas di
Taman Imbi atau yang sekarang dikenal dengan Gedung Sarinah dan Percetakan
Labour Jayapura.
3.
Tanggal 7 Mei 1910 Pemimpin Perjalanan Sdr. Kapten Infanteri F.J.P. Sachese
memproklamasikan Daratan Numbay dengan sebutan baru Hollandia dan dikukuhkan
sebagai Ibukota Pemerintahan menggantikan Pos Pemerintahan di Pulau Debi.
4.
Setelah berjalannya waktu selama 32 tahun, tepatnya pada tahun 1942, Ibukota
Hollandia, Tentara Jepang berhasil mendarat dan menguasai Tanah Papua termasuk
Kota Hollandia. Dua tahun kemudian, yaitu tahun 1946, Belanda kembali menguasai
tanah Papua dan memindahkan Ibukota Hollandia yang terletak di DFaratan Numbay
Teluk Humbolt ke Daratan Makanwai.
5.
Tahun 1944-1946 Daratan Makanwai diganti
nama menjadi Kota Nica dan menjadi Ibukota Karesidenan New Guinea (Sekarang
dikenal dengan Kampung Harapan).
6. Pada Bulan Maret 1946 Kota Nica di Lembah
Makanwai dipindahkan ke Nibi-Abei (bekas Komplek RS Armada ke-VII dan menjadi
Kota Nica yang baru akan tetapi, 5 bulan kemudian dirubah kembali namanya
menjadi Kota Baru (Sekarang Abepura).
7. Tahun 1946-1951, karena kepindahan
Pemerintahan di Kota Baru menyebabkan Gedung Markas Besar yang menjadi kediaman
Jenderal Marc Athur yang terletak di Kamp Seven Fleet (Ifar Gunung Sentani)
juga turut dipindahkan. Markas Besar sekarang berada di Kota Baru yang
digunakan sebagai Ambdswoning Residen yang kemudian dipergunakan sebagai Istana
Gubernur (Sekarang Gedung Fisip Universitas Cendrawasih) yang terletak di Abepura.
Tahun 1951-1958 Kota Baru diganti namanya menjadi Hollandia Stad. Tahun
1955-1958, Kota Hollandia Stad yang menajdi Ibukota Kabupaten Jayapura diganti
kembali menjadi Hollandia Binnen.
8. Tahun
1958, Ibukota Hollandia Binnen dipindahkan ke Pantai Teluk Numbay/Humbolt
(Hollandia Binnen) dan dibangun pula Kantor Gubernur beserta perangkat
Kantor-Kantor Dinas di Dok II, yang untuk selanjutnya disebut Hollandia.
Tanggal 31 Desember 1962, nama Hollandia diganti menjadi Kota Baru. Berikutnya
tanggal 31 Desember 1963, Presiden RI Pertama (Ir. Soekarno) mengunjungi tanah Papua dan mengganti nama
Kota Baru menjadi Soekarnapura dan Teluk Humbolt menjadi Teluk Yos Sudarso.
9. Pada tahun 1965 atau tepatnya pada saat
Gerakan 30 September 1965 melakukan pembrontakan, maka nama Kota Seokarnapura
diganti menjadi Djajapura. Selanjutnya pada tahun 1969 ditetapkan pembentukan
Kabupaten Jayapura sebagai Daerah Otonomi dengan Ibukota Jayapura berdasarkan
UU Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan
Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat.
10.
Tahun 1979 kemudioan Kabupaten Jayapura
dimekarkan dan memiliki Kota Administratif Jayapura, yang dikukuhkan
berdasarkan PP Nomor 26 Tahun 1979 tertanggal 28 Agustus 1979 dengan wilayah
yang meliputi dua Kecamatan, yaitu Kecamatan Jayapura Utara dan Kecamatan
Jayapura Selatan di bawah pembinaan Kabupaten Jayapura.
11.
Selanjutnya pada tahun 1993, melalui beberapa tahapan dan penilaian status Kota
Administratif Jayapura dinaikan
statusnya menjadi Kotamadya Jayapura berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1993 tentang
Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Jayapura, dan diresmikan pada tanggal
21 September 1993 dengan cakupan 4 wilayah kecamatan, yaitu Jayapura Utara,
Jayapura Selatan, Abepura dan Kecamatamn Muara Tami.
12.
Berdasarkan PP Nomor 65 Tahun 1996, Pasal 36 Di Wilayah Kabupaten Jayapura
dibentuk Kecamatan Skamto yang meliputi 3 wilayah desa, yaitu Desa Jaipuri,
Skamto dan Desa Arsopura, dibentuk pula Kecamatan Kemtuk Gresi yang
meliputi wilayah Desa Sama, Manda Yawan, Mamda, Marmei, Nambon, Kwansu, Soaib,
Sabeap Kecil dan Sekori, Kecamatan
Nimbokrang (5 Desa), Kecamatan Sentani
Barat (10 desa) , Sentani Timur (6 Desa).
13.
Berdasarkan PP Nomor 15 Tahun 2000
tentang Pemindahan Ibukota Kabupaten Jayapura dari Kota Jayapura ke Wilayah
Sentani di Kabupaten Jayapura, tertanggal 10 Maret 2000 (LN Tahun 2000 No. 31, TLN No. 3942). Perpindahan Ibukota kabupaten
ini sebelumnya telah mendapat persetujuan dari DPRD Kabupaten Jayapura Nomor 12/KPTS/DPRD-JP/PIMP/1996 tertanggal 19
Juni 1996 tentang Persetujuan Pemindahan Ibukota Kabuoaten Daerah Tingkat II
Jayapura.
Adapun wilayah Kabupaten Jayapura ini
meliputi:
1. Sebagian
wilayah Sentani yang terdiri atas dari Kalurahan Sentani Kota, Dobonsolo,
Hinekombe, Desa Ifar Besar, Bobrongko, Sereh, Hobong, Atbar dan Yobeh.
2. Sebagian
wilayah Kecamatan Depapre yang terdiri atas: Dewa Waiya, Tablasupa, Yepase dan
Entiyebo;
3.
Kecamatan Sentani Timur yang terdiri
atas: Desa Nolokla, Itakiwa/Ayapo, Puay Asei Besar, Asei Kecil dan Desa Nendali.
4.
Kecamatan Sentani Barat, yang terdiri
dari Desa Dondai, Dosai, Doyo Lama, Doyo Baru, Kanda, Maribu, Sabron Dosai,
Sosiri, Waibron dan Yakonde;
5.
Kecamatan Kemtuk Gresi, yang terdiri
atas: Desa Sama, Mamda Yawan, Mamda,
Marmei/Mekari, Nanbom, Kwansu, Soaib, Sabeap Kecil, Sekori, Sekoaim.
Kabupaten Jayapura dengan Ibukota
Sentani mempunyai batas wilayah:
1. Sebelah
Utara dengan Kecamatan Depapre dan desa Ndale Kecamatan Sentani, Kabupaten
Jayapura;
2. Sebelah
Timur dengan Desa Waena dan Desa Yoka Kecamatan Abepura Kota Jayapura;
3. Sebelah
Selatan dengan Desa Puai Kecamatan Arso dan Kecamatan Kemtuk Gresi Kabupaten
Jayapura; serta
4.
Sebelah Barat dengan Kecamatan Nimboran
dan Kecamatan Demta Kabupaten Jayapura.
Kabupaten
Jayapura yang luasnya ± 17.516 Km²
dalam perjalanan waktu akhirnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2002 dimekarkan menjadi 3 (tiga) wilayah Kabupaten, yaitu Kabupaten Jayapura,
Kabupaten Keerom dan Kabupaten Sarmi.
Kondisi Geografis Kabupaten
Jayapura ditinjau dari sudut astronomi terletak pada 139´ 15” Bujur Barat -
140´ 45” (139º-140º) Bujur Timur dan 2023´10˝ atau (2º) Lintang Utara- 9015´
00˝ atau (3º) Lintang Selatan, dengan
batas-batas wilayah administrative sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Samudera Pasifik dan
Kabupaten Sarmi;
2. Sebelah
Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pegunungan Bintang dan Kabupaten Mamberamo
Raya, Mamberamo Tengah dan Kabupaten Yalimo;
3. Sebelah
Barat berbatasan dengan Kabupaten Sarmi; dan
4. Sebelah
Timur berbatasan dengan Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom.
Dari
sisi tata sumber daya air, Kabupaten Jayapura memiliki rawa-rawa dan beberapa
danau. Rawa terletak di Distrik Kaureh seluas ± 7.500 Hektar; dan Distrik
Nimboran ± 625 Hektar, disamping itu juga terdapat Danau Sentani yang luasnya ±
9.630 Hektar terdapat di 5 (lima) Distrik, yaitu Distrik Sentani Timur, Distrik
Sentani Barat, dan Distrik Sentani,
Distrik Waibu serta Distrik Ebungfauw.
Kabupaten
Jayapura terdiri atas 19 Distrik, dengan rincian Distrik terluas yaitu Distrik
Kaureh seluas 4.357,9 Km² atau 24,88 % dari luas Kabupaten Jayapura, dan terkecil yaitu Distrik Sentani Barat
seluas 129,2 Km² atau sekitar 0,74% dari luas Kabupaten Jayapura.
Dari
sisi kemiringan lahan, sebesar 0,63 % atau 88,99 Km² wilayah Kabupaten Jayapura
berupa dataran, 17,98 % atau sekitar
2.545.15 Km² memiliki kemiringan 2%, 4,56% atau sekitar 645.62 Km² memiliki kemiringan 2-8 %, dan 8-15% seluas
177.12 Km², 16-25% seluas 349,74 Km², kemiringan curam seluas
98,73 Km², serta Sangat Curam sekitar 41-65% seluas 3.354,13 Km².
Dari
sisi pemerintahan Kabupaten Jayapura memiliki 19 Distrik dengan 137
Desa/Kampoeng, dengan 5 Kalurahan.
Perkembangan
Kabupaten Jumlah penduduk di Kabupaten Jayapura dari tahun 2005 s/d 2008 dapat
disajikan dalam Tabel 3 sebagai berikut:
Tabel
3: Perkembangan Jumlah Penduduk Kab. Jayapura 2005-2008
Tahun
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
Jumlah
|
20055
|
59.158
|
51.628
|
110.786
|
2006
|
61.038
|
53.269
|
114.307
|
2007
|
62.979
|
54.963
|
117.942
|
2008
|
64.982
|
56.711
|
121.693
|
Sumber: Jayapura Dalam Angka
2009, BPN Kabupaten Jayapura, 2009.: 56.
Tingkat
Kepadatan Penduduk di masing-masing Distrik Kabupaten Jayapura rata-rata6, 95 jiwa/Km².
Wilayah yang mempunyai tingkat kepadatan paling tinggi/terpadat di Distrik Sentani, yaitu 175,37 Jiwa/Km² dengan luas
wilayah 225.90 Km² dengan jumlah penduduk sebanyak 39.615 Jiwa, sedangkan
tingkat kepedatan penduduk paling jarang di Distrik Airu yaitu 0,48 Jiwa/Km²
dengan luas wilayah 3.009.00 Km² dengan jumlah penduduk sekitar 1.433 Jiwa.
Tingkat kepadatan penduduk di masing-masing Distrik di Kabupaten Jayapura dapat
dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut:
Tabel 4: Tingkat Kepadatan
penduduk Per Distrik Di Kab. JayapuraTahun 2008
No.
|
Kecamatan/Distrik
|
Luas WilayahDistrik
(Km²)
|
Jumlah Penduduk
Jiwa
|
Tingkat Kepadatan
Jiwa/Km²
|
1.
|
Kaureh
|
4.357.50
|
10.665
|
2,45
|
2.
|
Airu
|
3.009.00
|
1.433
|
O,48
|
3.
|
Yapsi
|
1.219.30
|
3.970
|
3,26
|
4.
|
Kemtuk
|
258.30
|
3.680
|
14,25
|
5.
|
Kemtuk Gresi
|
182.40
|
3.954
|
21,68
|
6.
|
Gresi Selatan
|
143.90
|
1.371
|
9,53
|
7.
|
Nimboram
|
710.20
|
4.903
|
6,90
|
8.
|
Namblong
|
193.70
|
3/728
|
19,25
|
9.
|
Nimbokrang
|
193.70
|
8.467
|
10,93
|
10.
|
Unurum Guay
|
774.80
|
2.047
|
0,65
|
11.
|
Demta
|
3.131.30
|
5.555
|
11,17
|
12.
|
Yokari
|
497.50
|
1.863
|
3,59
|
13.
|
Depapre
|
519.50
|
4.741
|
41,86
|
14.
|
Reveni Rara
|
467.40
|
1.758
|
14,59
|
15.
|
Sentani Barat
|
129.20
|
5.409
|
175,37
|
16.
|
Waibu
|
258.30
|
3.769
|
11,80
|
17.
|
Sentani
|
225.90
|
39.615
|
21,04
|
18.
|
Ebungfau
|
387.40
|
4.573
|
6,95.
|
19.
|
Sentani
Timur
|
484.30
|
10.190
|
21,04
|
|
Jumlah/Total
|
17.516.60
|
121.693
|
6,95
|
Sumber: Kabupaten Jayapura Dalam Angka,
BPS Kab. Jayapura, Tahun 2009: 59.
Penduduk
Kabupaten Jayapura dalam kesehariannya lebih banyak berkecimpung di
bidang pertanian, dengan jumlah 22.639 atau 59,94 %, dan sebanyak
2,249 atau 5,95 di bidang industri, sedangkan sisanya sebanyak 12,879 atau
sekitar 34,10 % bekerja di bidang Jasa. Kemudian jika dilihat dari tingkat
pendidikan yang ditempuh, sebanyak 12.672 atau sekitar 33,55 % tidak tamat SD, 7,616 atau sekitar 20,17 %
berpendidikan SD, sedangkan penduduk yang berpendidikan SLTP sebanyak 6.472
atau 17,14%. Sisanya sebanyak 11.007 atau sekitar 29,14% berpendidikan di atas
SLTA.
Yang
menarik di Kabupaten Jayapura ditemukan sekitar 836 Lajut Usia Terlantar, 616
jiwa Tuna Susila, 100 jiwa bekas napi,
56 orang Penyandang NAPZA, 156 orang
Penyandang HIV/AIDS, serta terdapat Komunitas Adat Terpencil sebanyak 1.211 Keluarga.[40]
5. Pendapatan
Regional Bruto (PDRB) dan Struktur Perekonomian Kabupaten Jayapura
Pertumbuhan
Pendapatan Regional Bruto (PDRB) Kabupaten dicermati secara seksama dari nilai
nominalnya mengalami peningkatan, akan tetapi dari sisi pertumbuhannya
mengalami penurunan kembali pada tahun 2005, dengan perbandingan pertumbuhan
pada tahun 2004 sebesar 16,08 % pada 2006 naik menjadi 16,35%, tahun 2006
17,81, dan kemudian mengalami
penurunan pada tahun 2007 turun menjadi
16,01, serta pada tahun 2008 turun lagi menjadi 15,51. Kemudian dari struktur
Perekonomian Kabupaten Jayapura yang akan memberikan kontribusi terhadap
sector-sektor ekonomi terhadap total PDRB atas dasar harga berlaku. Mengingat
Kabupaten Jayapura sebagian besar atau sekitar 22.639 orang atau 59,94 %,
berkecimpung disektor pertanian, dengan demikian dari sektor pertanian
memberikan kontribusi sebesar rata-rata 39,69%/tahunya.
Kontribusi
masing-masing sektor terhadap pembentukan PDRB Kabupaten Jayapura Nampak
sebagai berikut:
Tabel 5: Peranan
Masing-masing Sektor Terhadap Pembentukan PDRB
Kab. Jayapura Atas Dasar Harga berlaku Tahun
2004-2008
Sektor
|
Distribusi
Persentase ADB Berlaku
|
|||||
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
||
1
|
Pertanian
|
44,22
|
42,23
|
40,16
|
37,92
|
35,46
|
2
|
Pertambangan
dan Penggalian
|
2,07
|
2,09
|
2,24
|
2,31
|
2,39
|
3
|
Industri
Pengolahan
|
9,79
|
29,82
|
9,68
|
9,22
|
9,13
|
4
|
Listrik/PDAM
|
0,32
|
0,31
|
0,29
|
0,27
|
0,25
|
5
|
Bangunan
|
5,99
|
6,51
|
7,14
|
7,21
|
7,75
|
6
|
Perdagangan/Hotel/Retsoran
|
9,38
|
9,37
|
9,47
|
9,45
|
9,70
|
7
|
Angkutan/Komunikasi
|
15,15
|
14,83
|
16,31
|
16,31
|
17,48
|
8
|
Keuangan/Persewaan
dan Jasa Perusahaan
|
1,80
|
1,80
|
4,36
|
4,36
|
4,90
|
9
|
Jasa-Jasa
|
13,28
|
13,03
|
12,81
|
12,95
|
12,60
|
|
PDRB
|
100
|
100
|
100
|
100
|
100
|
Sumber: PDRB Kab. Jayapura Tahun 2009,
BPS Kab. Jayapura: 45.
Dari tabel
tersebut di atas, Nampak bahwa sector pertanian mempunyai peranan sebagai penyumbang terbesar pertama,
yaitu sebesar 35,66 % dan sektor Angkutan /Komunikasi sebagai penyumbang
terbesar kedua yaitu sebesar 17,61 % di Kabupaten Jayapura.
Dari hasil Index
Pembangunan Mausia dan Analisis Situasi Pembangunan Mansuai Kabupaten Jayapura
Tahun 2009, diketahui bahwa Angka Melek Huruf pada tahun 2008, penduduk usia 15 tahun ke
atas yang mempu membaca dan menulis sudah mencapai 96%. Dengan kata lain kemungkinan
kecil atau sekitar 4% saja yang belum menikmati pendidikan dengan baik.
Sedangkan gambaran rata-rata pengeluaran riil penduduk Kabupaten Jayapura tahun
2008, yaitu sebesar sekitar Rp. 618.260;-/tahun. Dimana yang ideal sebesar Rp.
737.720,- Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan manusia di Kabupaten
Jayapura ke depanya perlu lebih mengfokuskan terutama pada peningkatan
pembangunan ekonomi baik dari sisi laju pertumbuhannya maupun pemerataannya.[41]
6. Kecamatan
Sentani Timur
Penduduk
Kabupaten Jayapura, khusunya di Kecamatan Sentani Timur tempat dilakukan
Penelitian diperoleh gambaran sebagai berikut:
Kecamatan ini beribukota di Nolokla, dengan luas kecamatan ± 484.3Km², jumlah penduduk sebanyak
10.190/jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 21,04 Jiwa/Km². Jumlah penduduk
laki-laki sebanyak 5.215 Orang,
Perempuan 4.975 Orang. Dengan demikian, Ratio jenis kelaminnya sekitar 104,81. Persentase Penduduk Papua sekitar
79.54 % orang dan non Papua sekitar 20,46 %.
Kecamatan ini memiliki sarana pendidikan Sekolah dasar sebanyak 8 buah,
Sekolah Lanjutan Tingkat pertama (SLTP) sebanyak 3 buah, SMU sebanyak 1 buah,
dan SMK sebanyak 1 buah. Di lhat dari
Agama yang dipeluk oleh Penduduk Kecamatan Sentani Timur, sebanyak 5.562
orang beragama Protestan, 1.042 orang beragama Islam, sedangkan yang beragama
Katolik sebanyak 154 orang, dan 1 orang beragama Hindu. Apabila dikaitkan
antara jumlah penduduk yang memeluk agama dengan sarana prasarana ibadah, maka
di Kecamatan Sentani Timur terdapat sebanyak
21 Gereja Protestan, 1 Masjid, dan 1 Gereja Katolik.
O.
Hasil Penelitian Dan Pembahasan
1. Persebaran
Suku dan Sub Suku di Kabupaten dan Kota Jayapura Provinsi Papua. Secara garis besar persebaran Suku dan
Sub Suku di Kabupaten/Kota Jayapura Provinsi Papua dapat disajikan dalam bentuk
tabel sebagai berikut:
No
|
Kabupaten/Kota, Kecamatan/District
|
Suku
|
Sub Suku
|
1.
|
Kota
Jayapura:
1)
Jayapura Selatan
2)
Jayapura Utara
3)
Abepura
|
Teluk Humbolt (Yos Sudaryo)
Teluk Imbi
Teluk Imbi
|
Enjros, Tobati, Injerau, Metu, Debi.
Meterau, Kayoe Injau, Kayoe Poleoe, Kayoe Batoe
Nafri, Skow (Jambie, Sai, Mabo)
|
2.
|
Kabupaten
Jayapura:
1) Ars
2) Depapre
3) Bonggo
4) Nimboran
5) Kemtuk
Gresi
6) Demta
7) Kaureh
8) Tar
Atas
9) Sarmi
10) Senggi
11) Sentani
|
Target/Keerom
Tanah Merah
Pantai Timur
Nimboran/Nambling
Kemtuk Gresi
Demta
Lereh
Tar
Sarmi
Senggi
Sentani
Faya
Uta
|
Abrab, Manem, Merep, Awi (Beibwo)
Ormoe, Tabla, Tepra, Munggei
Bonggo, Yarsum, Betaf, Bgu (Bgufinti,
Kaptiau, Tarfia), Pulau-pulau: Wakde, Masi-masi, Jenna, Padera, Anus, Jarsum)
Namblong, Kwanzu
Kemtuk, Gresi
Sifari (Tarfia, Sau, Ambara, Muris Kecil,
Muris Besar, Yauhapsa), Yokari: Bukisi, Meukisi, Kamtumilera, Saroyena,
Dernai.
Kaure, Sause, Kasu, Takana.
Foya, Mandes, Subar, Bonerif, Biyu, Daranta,
Segar, Bara-bara, Waf, Berik, Kwersupen.
Airaran, Samarokera, Kwerba, Sabari, Sabei.
Find, Warlef, Waina, Malaf.
Sentani (Timur, Barat, Tengah) Dosai dan
Maribu
Faya
Uta
|
Sumber: Anonim, Pengenalan Etnografi Papua, UPT
Museum Loka Budaya
Universitas
Cenderawasih, Jayapura, 2005: 12-13.
2. Wilayah
Adat dan Sistem Kepemimpinan Adat Di Papua.
Batas
tanah adat antar suku, kampung, marga dan keluarga inti hanya diketahui oleh
masing-masing suku, kampung, marga dan keluarga inti dan suku, kampung, marga
dan keluarga inti yang berbatasan. Batas-batas ini difahami dan disampaikan
secara lisan secara turun-temurun. Oleh karena itu, jika terjadi sengketa
kepemilikan tanah maka jika tidak dapat diselesaikan secara internal oleh pihak
yang bersengketa akan dimintakan pendapat (penyelesaian atau banding) kepada
suku, kampung, marga dan keluarga inti yang berbatasan.[42]
Aktivitas
kepala rakyat pada pokoknya meliputi tiga hal, yaitu:
a. Tindakan-tindakan
mengenai urusan tanah berhubung dengan adanya pertalian yang erat antara tanah
dan persekutuan yang menguasai tanah itu;
b. Penyelenggaraan
hukum sebagai usaha untuk mencegah adanya pelanggaran hukum, supaya hukum dapat
berjalan sebagaimana mestinya (pembinaan secara preventif);
c. Menyelenggarakan
hukum sebagai pembentukan hukum adat baru setelah hukum itu dilanggar
(pembinaan secara represif)[43]
Sebagai contoh, dapat dikemukakan terjadinya peradilan adat di Kampung Netar
Desa Nendali Kecamatan Sentani Timur Kabupaten Jayapura sebagaimana dituturkan
oleh Bapak Ondofollo. Pada tanggal 5
Maret 2010 di halaman adat (Onggohou
Youw) terjadi peristiwa dalam babak sejarah baru, di mana 3 (tiga) Kepala Suku (Koselo) dicopot dari jabatan adatnya oleh Ondofolo Kampung Netar,
dikarenakan secara nyata-nyata Kepala Suku (Koselo) tersebut telah terbukti
memnjual/ mengalihkan tanah adat milik bersama seluruh masyarakat Adat Kampoeng
Netar (Komunal). Pada awalnya Sdr.
Ondofolo menilai bahwa 3 orang Kepala Suku (Koselo) tersebut dapat dipercaya
sebagai orang-orang yang baik, dikarenakan setiap ada pertemuan selalu
berbicara dan bahkan yang mengatur jalannya komunikasi dalam pertemuan
tersebut, berusaha untuk merumuskan pernyataan-pernyataan yang keras bagi
masyarakat untuk tidak
menjual/mengalihkan tanah adat. Akan tetapi dalam kenyataannya para
Kepala Suku (Koselo) tersebut justeru bertindak sebaliknya, yaitu menjadi oknum
utama dalam menual/mengalihkan tanah-tanah adat kepada pihak ketiga (CV. Bintang
Mas). Ondofollo telah berjuang untuk melakukan perlawanan terhadap upaya
menjual/mengalihkan tanah tersebut, bahkan sampai harus berurusan dengan Pihak
Yang Berwajib/Aparat Kepolisian Daerah (Polda) Papua menjadi Tanahan, disamping
itu juga melakukan pembinaan dengan cara mengingatkan para Koselo, menegur serta menasehati agar menghentikan proses
pengalihan/penjualan tanah adat, akan tetapi tidak diguperhatikan (digubris).
Menurut Onfofollo, peristiwa pencopotan 3 Kepala Suku (Koselo) tersebut,
tidak/bahkan belum pernah terjadi dalam sejarah pergantian jabatan adat yang
selama ini dilakukan secara
turun-temurun. Jika seorang Koselo meninggal dunia (wafat), maka
jabatan/kedudukan akan digantikan/diisi
oleh anaknya yang tertua. Namun dengan terjadinya peristiwa tersebut,
membuktikan bahwa norma-norma hokum adat
harus ditegakan untuk mengammankan tanah-tanah adat. Jabatan yang diberikan
adalah jabatan adat atau jabatan milik Kampoeng, jika pejabat adat menjual tanah,
hal ini berarti yang bersangkutan telah “membunuh” masyarakatnya sendiri, maka
mau tidak mau jabatan adatnya harus dicopot. Mengingat jabatan adat adalah
milik rakyat dan milik Kampong. Pencopotan itu juga mengandung
konsekuensi, segala hak dan kewajiban
pejabat adat lama dengan sendirinya berhenti, dan kemudian berpindah kepada
pejabat yang baru (fungsi pengelolaan tanah dan masyarakat), sedangkan pejabat
adat yang lama kembali menjadi anggota masyarakat biasa.
3.
Struktur
Kepemimpinan Adat dan Sistem Pengaturan Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan
Tanah Adat.
Menurut Mansoben[44]
dari segi bahasa saja ada dua kelompok utamanya yaitu Austronesia (misalnya
Waropen, Wandamen, Biak, Tobati, Iha,Ambai,Maya dan lain lain) dan Non
Austronesia misalnya Dani, Sentani, Mee, Asmat, Muyu, Meybrat dan lain
sebagainya. Sesuai dengan hasil penelitian Summer
Institute Linguistic (SIL) di Papua terdapat sekitar 250 suku bahasa yang
berbeda satu sama lainnya. Sedangkan Papua New Guinea memiliki sekitar 670
bahasa suku.
Sistem kepemimpinan
tradisonal di Papua menurut Mansoben dibagi dalam beberapa tipe antara lain a..
Tipe kepemimpinan Raja atau sistem kepemimpinan atas dasar pewarisan, b.
Sistem kepemimpinan Big man atau pria berwibawa dan c. Kepemimpinan
campuran.
Kepemimpinan atas dasar
warisan atau atas dasar upaya pribadi untuk mencapai kedudukan tersebut.
Menurut Mansoben sistem kepemimpinan atas dasar pewarisan merupakan sistem
kerajaan (perdagangan di waktu lalu) di Raja Ampat, di Fak Fak, Kaimana atau sistem
Ondoafi atau Ondofolo di Sentani dan wilayah Kebudayaan Tabi termasuk
Genyem yakni Demou Tru
merupakan jabatan tertinggi dalam masyarakat Namblong yang hanya diduduki oleh
Wai Iram, kadangkala dianggap jabatan kekal.
Jadi kalau disimak yang
dimaksud dengan cirri-ciri bentuk pemerintahan adat sesuai hasill diskusi yang
pernah dilakukan oleh AFP3 Papua di Waena belum lama ini adalah tunggal dan
otonom, struktur dari orangnya/individu, memiliki karisma dalam kepemimpinan,
taat dan patuh karena sangsi adatnya tegas dan jelas, berakar dari adat, wilayah
serta batas batas yang jelas, memiliki harta pusaka, merasaka terikat pada satu
kesatuan territorial adat. Sedangkan lembaga adat dan pengertiannya adalah
seperangkat aturan, norma dan nilai budaya yang mengatur upaya pemenuhan
kebutuhan masyarakat termasuk mengorganisir ke arah peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan lembaga juga dapat diartikan sebagai wadah/organisasi
tradisional dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat melalui pelbagai
kegiatan. Secara detail terdapat tujuh wilayah adat di Papua daerah daerah
antara lain, wilayah adat 1 (Mamta) meliputi Port Numbay, Sentani, Genyem,
Depapre, Demta, Sarmi, Bonggo, Mamberamo. Wilayah adat 2 (Saireri) yakni Biak
Numfor, Supiori, Yapen, Waropen, Nabire bagian pantai. Wilayah adat 3
(Domberay) antara lain Manokwari, Bintuni, Babo, Wondama, Wasi, Sorong, Raja
Ampat, Teminabuan, Inawantan, Ayamaru, Aifat, Aitinyo.Wilayah adat 4 kawasan
Bomberay meliputi Fakfak, Kaimana,Kokonao dan Mimika. Wilayah adat 5
kawasan Ha Anim meliputi Merauke, Digoel, Muyu, Asmat dan Mandobo. Wilayah adat
6 kawasan Me Pago antara lain Pegunungan Bintang, Wamena, Tiom, Kurima,
Oksibil, Okbibab. Wilayah adat 7 kawasan La Pago antara lain, Puncak
Jaya,Tolikara, Paniai, Nabire pedalaman.
Hasil
Studi Identifikasi Institusi Masyarakat Adat Papua pada wilayah lima Kabupaten
Merauke, Biak Numfor, Mimika, Waropen dan Jayapura kerja sama BPMD
Provinsi Papua dengan Yayasan Konsultasi Independen Pemberdayaan Rakyat
(KIPRa-Papua) Desember 2007 telah menyimpulkan bahwa: a) Semua kabupaten
lokasi studi telah memiliki institusi adat pada tingkat kabupaten hingga
tingkat distrik dan kampung. Bahkan di Kabupaten Merauke lebih dari satu
lembaga adat misalnya Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Marind Anim Ha tetapi
juga ada Dewan Adat Suku Muyu. b) Dalam menyebut lembaga adat masih terdapat
beberapa versi tetapi pada hakekatnya memiliki subtansi yang sama. Ada yang
masih menggunakan nama atau istilah LMA (Lembaga Masyarakat Adat) seperti di
Merauke, DAS atau Dewan Adat Sentani di Kabupaten Jayapura, Dewan Persekutuan
Masyarakat Adat (DPMA) Defonsero Utara, Dewan Adat, Lemasko (Lembaga Masyarakat
Adat Kamoro) dan Lemasa (Lembaga Masyarakat Adat Amungme) di Kabupaten Mimika
mau pun Dewan Adat wilayah di Kabupaten Merauke. Namun yang jelas kelahiran
lembaga ini sesuai dengan kebutuhan dan dukungan dari masyarakat. c) Permasalahan
yang menonjol pada beberapa kabupaten adalah memandang masyarakat adat sebagai
sebuah organisasi yang orientasinya memperjuangkan masyarakat Papua untuk
merdeka, sehingga senantiasa dicurigai dan tidak ada dukungan bagi kegiatan
kegiatan yang akan dilakukan. Daerah yang paling dominan dan terlihat adanya
perselisihan dan resistensi terhadap lembaga adat yakin di Kabupaten Merauke
dan Biak Numfor. Kasus pemukulan Ketua LMA Malind Anim Ha dan proyek peluncuran
satelit di Biak merupakan indikasi kuat terjadinya pertentangan antara Pemda
dan masyarakat adat. d) Hampir sebagian besar institusi tidak memiliki
fasilitas kerja yang memadai,baik kantor,peralatan kerja dan juga biaya
operasional sehingga dalam pelayanan pada masyarakat adat tidak memadai.
Terkecuali di Kabupaten Mimika Lemasko dan Lemasa memiliki dana dan fasilitas
yang berkecukupan. e) Masih dialaminya banyak permasalahan oleh institusi
secara internal, karena eksistensinya terutama memperjuangkan hak hak dasar
masyarakat asli Papua, disamping itu belum tersosialisasinya program program
kerja lembaga adat. Namun di sisi lain tercatat telah terjadi degradasi nilai
nilai adat yang turut pula mempengaruhi perkembangan masyarakat adat. Ironinya
anak anak adat yang duduk sebagai pejabat beberapa di antaranya tidak
mempedulikan apa yang diperjuangkan institusi adat, bahkan digiring sebagai
gerakan untuk kemerdekaan.
Suku
dipimpin oleh Ondoafi[45],
pada tiap-tiap suku terdapat Kampung (disebut yoi pada orang Sentani dan yukmo
pada orang Balim) yang dipimpin oleh kepala kampung. Dalam satu kampung
terdapat beberapa marga (keret), dan
dalam satu marga terdapat beberapa keluarga inti (batih). Masing-masing
kampung, marga dan keluarga inti mempunyai wilayah adat sendiri-sendiri,
sehingga tidak dikenal adanya common
property dalam suatu suku, kecuali diperjanjikan antar kampung.
Sistem
pemerintahan dan pengaturan hak-hak komunal adat di wilayah budaya ini sangat
ketat dan rapi. Para penghulu dengan sebutan ondoafi, ondofolo, eram atau bahkan juga korano adalah tokoh dengan kepemimpinan religius. Kepemimpinan para
penghulu ini dengan perintah dan tutur katanya di atas segala-segalanya.[46]
Meskipun segala sesuatu selalu disalurkan melalui pembantu-pembantu terdekat
dan bukan secara langsung karenanya sering pula disalahgunakan. Sosok pemimpin
di sini bukan feodal atau panutan absolut karena hanya memiliki fungsi
pelindung bukan menguasai sehingga orang luar (terutama pada masa Pemerintahan
NKRI) tidak jarang terkecoh dengan mengatakan kalau pemimpin sudah dipegang
maka masa rakyatnya terkuasai. Ini keliru. Anggapan ini ternyata sama sekali
tidak demikian. Melalui cara pelimpahan yang terstruktur secara vertikal
perintah disalurkan dari sang penghulu kepada rakyatnya dan itu pulalah telah
terjadi saling menjatuhkan antara bawahan dan lalu mencari perlindungan di
bawah seorang ondoafi.[47]
Untuk
menjadi pemimpin harus memenuhi beberapa persyaratan seperti: kaya, bermurah
hati, jujur, pandai berdiplomasi dan berpidato. Syarat kaya dinyatakan dalam
bentuk memiliki banyak kebun, banyak kulit kerang (mege), banyak babi dan banyak isteri. Seorang pemimpin harus
memiliki kebun atau ladang seluas 10 ha, memiliki dua puluh sampai tiga puluh
ekor babi, mempunyai isteri lima sampai sepuluh orang, memiliki mege dalam jumlah banyak serta mempunyai
anak buah yang sekaligus sebagai tenaga kerja sebanyak sepuluh sampai lima
belas orang.[48] Syarat lain adalah
kemampuan berorganisasi dalam bentuk pandai mengatur pesta babi dalam arti
mengadakan transaksi dengan masyarakat baik anggota masyarakat sendiri maupun
yang berasal dari lingkungan-lingkungan lain. Harus pandai berdiplomasi dalam
arti bernegosiasi dengan orang lain dalam penyelesaian suatu perkara.[49]
Sesuai
dengan perkembangan zaman, terutama yang hidup di perkotaan, pemimpin memiliki
rumah permanen dengan perabot rumah tangga yang memadai seperti televisi,
radio, telepon, berpendidikan formal yang cukup tinggi (SLTP, SLTA, Sarjana),
pejabat pemerintah, wiraswasta, karyawan perusahaan, memiliki kendaraan roda
dua maupun empat, Selain itu mempunyai kelebihan di bidang keuangan. Ia harus
dermawan, baik hati, selalu berjuang, berkorban untuk kepentingan masyarakat,
tidak boleh berisiteri lebih dari satu sesuai ajaran Agama Kristen dll.[50]
Dalam sistem adat Papua,
tanah dipegang karena faktor-faktor:
a.
Genealogis, yaitu karena faktor keturunan atau
hubungan darah;
b.
Teritorial, yaitu mereka yang pada masa dahulu
pertama sekali menempati suatu wilayah tak bertuan;
c.
Perkawinan, yaitu karena adanya perkawinan
antara satu suku, kampung, marga, keluarga inti dengan suku, kampung, marga,
keluarga inti.
d.
Gabungan dari a, b, c dan d.
Dari ke
empat model penguasaan tanah tersebut maka model ke 4 (empat) merupakan model
yang paling sulit untuk ditelusuri, karena semua faktor saling kait
mengkait.
a. Seluruh
wilayah yang ada di Papua telah terbagi habis dalam penguasaan ke 4 (empat)
bentuk komunalistik tersebut. Oleh karena itu, konsep tanah negara sangatlah
sulit dipahami dalam alam fikiran masyarakat adat Papua.
b. Tanah
mempunyai fungsi sosial, oleh karena itu tidak dikenal penguasaan tanah secara
individual. Bagi suku, kampung, marga dan keluarga batih yang menguasai tanah,
mereka hanya mempunyai hak milik atas tanamannya, bukan tanahnya.
c. Dalam
kedudukannya yang berfungsi sosial, maka tanah menjamin keutuhan sistem
komunalistik. Ondoafi, sebagai
pemimpin, bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan keamanan masyarakatnya.
Ketika fungsi tanah bergeser ke fungsi ekonomi, maka hal tersebut mengakibatkan
hancurnya sistem komunalistik. Ondoafi kehilangan peran dan kewibawaannya
sebagai pemimpin masyarakat adat. Tanah sebagai simbol mama, bergeser ke tanah sebagai sumber uang. Dalam konteks Papua,
masyarakat tidak lagi menggantungkan harapan dan kehidupannya pada ondoafi, karena mereka telah disibukkan
dengan hidup dan kehidupannya masing-masing.
d. Dalam
sistem hukum adat, tidak dikenal lembaga jual beli. Proses peralihan hak atas
tanah dilakukan melalui lembaga hibah, yaitu sebidang tanah (wilayah) yang
diberikan oleh ondoafi (berdasarkan
persetujuan kampung, marga dan keluarga inti yang ada dalam suku tersebut)
kepada suku lain. Hibah diberikan dengan beberapa pertimbangan, yaitu adanya
jasa dari suku penerima hibah kepada suku pemberi hibah dalam peperangan,
adanya musibah atau bencana.
e. Ada
sebagian dari hasil berburu dan meramu yang diserahkan kepada ondoafi, yang oleh ondoafi diberikan (didistribusikan) kepada anggota masyarakat adat
yang tidak mampu, misalnya sakit atau telah tua.
4.
Masalah
Pertanahan Pasca Otonomi Khusus dan Peraturan Daerah Khusus
Ada tujuh
butir nilai dasar Otonomi Khusus Papua. Nilai-nilai dasar dimaksud adalah:[51]
a.
perlindungan terhadap hak-hak dasar penduduk
asli Papua;
b.
demokrasi dan kedewasaan berdemokrasi;
c.
penghargaan terhadap etika dan moral;
d.
penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia;
e.
supremasi hukum;
f.
penghargaan terhadap pluralisme; dan
g.
persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai
warga negara.
Selama
ini, peradilan adat kurang memperoleh tempat yang layak dalam upaya-upaya
penegakan hukum dan pemuasan rasa keadilan di tingkat rakyat Papua. Padahal,
sebagai salah satu kesatuan hukum yang mandiri-terutama sebelum masuknya
kelembagaan modern yang disebut dengan Negara-masing-masing suku di Tanah Papua
memiliki sistem hukum yang mampu menciptakan ketentraman di lingkungan mereka
masing-masing maupun dalam membina hubungan antar suku. Peradilan adat memiliki
kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara dan atau sengketa menurut
hukum adat dari pihak yang menjadi korban dan/atau dirugikan. Untuk menegakkan
kewibawaan peradilan adat maka perkara atau sengketa yang telah mendapatkan
putusan peradilan adat tidak dapat diajukan untuk diadili oleh badan Peradilan
Negara sepanjang tidak melanggar hak-hak asasi manusia.[52]
Keberadaan
Peradilan Adat tersebut mendapat pengaturan di dalam Pasal 50 ayat (2) UU Nomor
21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, yang menyatakan bahwa
“Di samping kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua, diakui adanya peradilan Adat di dalam masyarakat hukum
adat tertentu.” Dalam Pasal 50 ayat (3)
ditegaskan bahwa Peradilan Adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan
masyarakat hukum adat, yang mempunyai
wewenang memeriksa dan mengadili senketa perdata adat dan perkara pidana di
antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dikarenakan
Peradilan bukan merupakan peradilan Negara, maka susunannya di atur dalam ketentuan hukum adat
masyarakat hukum adat setempat dan fungsinya memeriksa dan mengadili sengketa
perdata adat dan perkara pidana adat berdasarkan hukum adat masyarakat hukum
adat yang bersangkutan. Dengan diakuinya Lembaga Peradilan Adat dalam UU
otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, diharapkan
akan banyak sengketa perdata dan perkara pidana di antara warga masyarakat
hukum adat di Provinsi Papua yang secara tuntas dapat diselesaikan sendiri oleh
warga yang bersangkutan tanpa melibatkan pengadilan di lingkungan Pengadilan
Negara.
Peradilan
adat tidak berlaku, dikecualikan: a) dari kewenangan untuk memeriksa dan
mengadili sengketa perkara perdata dan
perkara pidana adat, dimana salah satu
pihak yang bersengketa atau pelakunya pidanan bukan warga masyarakat hukum
adatnya. b) Di samping itu Pengadilan Adat juga tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan. Oleh
karena itu, sudah sesuai dan tepat, jika Susunan Pengadilan Adat diatur menurut
ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Terhadap
putusan peradilan adat merupakan putusan final dan berkekuatan hukum tetap dalam
hal para pihak yang bersengketa atau berperkara menerimannya. Bahkan Putusan
peradilan adat dapat membebaskan pelaku
dari tuntutan pidana menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku. Dengan
syarat diperlukan pernyataan persetujuan
untuk dilaksanakan dari Ketua PN yang mewilayahinya yang diperoleh melalui
Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan telah terjadinya peristiwa
pidana. Konsekuensi hukum terhadap persetujuan tersebut, maka Kejaksaan tidak
dapat melakukan penyidikan dan penuntutan. Jika permintaan pernyataan
persetujuan oleh Ketua PN ditolak, maka pihak Kepolisian dan Kejaksaan dapat
melakukan penyidikan dan penuntutan, dan akhirnya putusan Pengadilan Adat
tersebut menjadi bahan pertimbangan hukum bagi PN dalam memutus perkarannya. Dalam
penjelasan Pasal 50 UU tersebut, disebutkan bahwa Pelaksanaan kekuasaan
kehakiman di Provinsi Papua dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan, membutuhkan pelayanan hukumsecara khusus. (Sebagai
contoh dalam hal untuk mempercepat masyarakat memperoleh kepastian hukum
terhadap perkara kasasi, MA dapat mempertimbangkan kebijakan khusus bagi
penyelesaiannya).
Dalam
kaitannya dengan pelaksanaan peradilan adat ini, George Arnold Awi (selaku
Ketua LMA Port Numbay Kota Jayapura)[53]
dimungkinkan norma-norma hukum adat
bertentangan dengan normat-norma hukum Negara, karena kadang kala yang menurut
norma hukum adat dianggap boleh atau diperbolehkan di dalam hukum adat,
ternyata menurut hukum Negara tidak diperbolehkan. Sehubungan dengan hal
tersebut, perlu dicari titik temu yang dapat mempertemukan keduannya, sehingga
dapat menghasilkan suatu keseimbangan hukum.
Bahkan jika Lembaga Peradilan Adat dapat dibentuk, maka Peradilan Negara
bukanlah satu-satunya tempat mencari keadilan, sehingga bila ada masyarakat
adat yang merasa mendapatkan pejatuhan sanksi menurut peradilan Negara, dan
belum memnuhi nilai-nilai keseimbangan dalam lingkungan kehidupan masyarakat
adat, maka dapat mencari keadilan tersesbut pada lembaga peradilan adat.
Peradilan
adat di dalam lingkungan masyarakat hukum adat, sebetulnya telah ada dan tumbuh
sejak jaman Pemerintahan Hindia Belanda. Setelah adanya Pemerintahan Republik
Indonesia, dengan diberlakukannya UU Nomor 90 Tahun 1950 tentang MA dan UU
Darurat tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan (UU Nomor 1 Tahun 1951) dilakukan unifikasi tata peradilan yang efektif untuk seluruh Indonesia. Atas
kuasa UU Darurat tersebut, badan-badan pengadilan adat di Luar Jawa dan Madura
ditiadakan sehingga dengan demikian tidaklah akan ada peradilan resmi yang
diperbolehkan untuk diselenggarakan kecuali peradilan yang diselenggarakan oleh
Negara.[54]
Terkait
dengan pelaksanaan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, khususnya dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam termasuk tanah tentunya harus
memperhatikan ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2001, yang
menyatakan bahwa Perekonomian Provinsi
Papua yang merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global diarahkan dan
diupayakan dapat menciptakan sebesar-besar
kemakmuran dan kesejahteraan seluruh
rakyat Papua dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan
pemerataan. Pasal 38 ayat (2): Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang
memnafaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan
kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan
dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya di tetapkan dengan
Perdasus.
Sebagai
wujud kongkrit dari pelaksanaan ketentuan Pasal 38 tersebut, Pemerintah
Provinsi Papua telah menerbitkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 23
Tahun 2008 tentang Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas
Tanah.
Meskipun
Perdasus Nomor 23 Tahun 2008 tersebut tidak secara tegas, menyebutkan jika
terjadi sengketa Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dan Atau Hak Perorangan Warga
Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah diwajibkan terlebih dahulu diselesaikan
melalui Peradilan Adat, namun secara tersirat ada isyarat dalam Pasal 14 ayat
(1) penyelesaiannya dapat diselesaikan menurut “hukum adat setempat,” yang
berarti mengikuti pranata hukum adat yang berlaku di daerah yang bersangkutan.
Bahkan dalam Pasal 14 ayat (2): terhadap
penyelesaian sengketa hak ulayat masyarakat hukum adat, bagi pihak-pihak yang
tunduk pada hukum adat yang berlainan,
apabila menghendaki penyelesaian melalui atau memilih hukum adat sebagai
mekanisme penyelesaiannya, maka penyelesaian dapat dilakukan melalui forum
penyelesaian sengketa antar masyarakat hukum adat dengan melibatkan para ahli
mengenai hukum adat yang mengikat kedua belah pihak. Selanjutnya dalam Pasal 14
ayat (3): Penyelesesaian sengketa baik melalui pengadilan atau sebaliknya
diserahkan sepenuhnya secara sukarela kepada para pihak yang bersengketa.
Dengan demikian, dapat ditarik benang merangnya bahwa, penyelesaian sengketa
hak ulayat masyarakat hukum adat (tanah ulayat) tetap
meprioritaskan/mendahulukan atau mengutamakan dan menjunjung tinggi norma-norma
hukum adat masyarakat yang bersangkutan.
5.
Konflik
Pertanahan.
Bagi orang Balim, terdapat 3
(tiga) faktor yang dapat menulut terjadinya perang antar Clan, yaitu faktor tanah, wanita dan babi. Tanah bukanlah
sekedar tempat untuk hidup, tetapi juga lahan yang mengikat anggota-anggota
suatu kampung (yukmo) tertentu dalam
suatu persekutuan adat. Tanah merupakan hak milik komunal Clan tertentu di mana
kepala Clan berdasarkan musyawarah Clan membagikan lahan-lahan untuk diolah
oleh para anggotanya.Hak atas tanah tetap berada pada Clan masing-masing. Pertanyaan yang mengusik adalah bagaimana
setiap Clan mengetahui batas-batas lahannya? Rupanya para kepala Clan dan tetua adat
mengenali batas-batas alam seperti bukit, sungai dan tanaman yang menjadi
patokan untuk mengetahui batas lahan suatu Clan.[55]
Berkurangnya peranan
aliansi/konfederasi[56]
dan meningkatnya peranan antar suku mungkin berawal sejak dilarangnya perang
antar suku oleh pemerintah RI dan juga atas pengaruh gereja. Perang yang
menjadi salah satu fungsi pokok yang dijalankan oleh aliansi tidak dapat lagi
dilakukan. Hal ini mengakibatkan aliansi yang bersifat tidak tetap itu
kehilangan salah satu peranan pentingnya. Orang-orang Balim kini bertumpu pada
klen mereka masing-masing untuk pengelolaan tanah mereka. Hal ini bukanlah
berarti bahwa peranan aliansi hilang sama sekali. Hingga kini upacara-upacara
adat besar seperti pesta babi besar masih dipimpin oleh kepala aliansi. [57]
Gambaran perkara yang terkait
dengan tanah di wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat yang masuk di Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura secara garis besar tertinggi terjadi pada
tahun 2008 sebanyak 8 perkara pertanahan
atau 61,53% dari 13 perkara sengketa TUN dan tidak ada gugatan di PTUN pada
Tahun 2002 dan tahun 2004. Namun dilihat
dari jumlah perkara sengketa yang masuk di PTUN
lebih terfokus di wilayah Hukum Kantor Pertanahan Kota Jayapura,
sedangkan di Kabupaten Jayapura hanya terdapat 2 perkara atau 7,2 %, yaitu
perkara nomor 13/G.TUN/2008
dan perkara Nomor 02/G.TUN/2006 dari 27 sengketa TUN yang terdaftar Di PTUN
Jayapura dari Tahun 200-2009.
Jumlah Perkara sengketa tanah di PTUN Jayapura
dapat disajikan pada Tabel 6 sebagai berikut:
Tabel 6: Jumlah Perkara yang
masuk dan diselesaikan di PTUN Jayapura
Tahun 2000-2009
No
|
No Perkara
|
Para Pihak Yang Berperkara
|
Tgl Putusan PTUN JPR
|
Persentase Perkara Tanah dibandingkan dgn
Jenis Perkara Lainnya
|
1.
|
O6/G.TUN/2000
|
Ny. Juleha Mahuse dgn Kakantah Kab. Fakfak
|
6 -3-2001:
|
14, 28 %
|
2.
|
09/G.TUN/2001
12/G.TUN/2001
|
Peter Hans dgn Walikota Sorong/Bappeda Sorong
Yoshepina S. Kwano dgn Kabag Pengelolaan
Kekayaan Daerah Kota Jayapura
|
16-8-2001
26-11-2001
|
16,66 %
|
3.
|
2002 (Nihil)
|
|
|
|
4.
|
01/G.TUN/2003
02/G.TUN/2003
03/G.TUN/2003
04/G.TUN/2003
06/G.TUN/2003
12/G.TUN/2003
13/G.TUN/2003
|
Ny. Linda Modouw dgn Kakantah Kota Jayapura
Hj. Hasan Kasnang dgn Kakantah Kab. Sorong
Mulyo Warsito dgn Kakantah Kota Jayapura
Hendrik dawir dgn Kakantah Kota Jayapura
Yason Abekop dgn Kakantah Kab Biak Numfor
Ny. Erni dgn Kantah Kota Jayapura
Gandhi Gan dgn Kantah Kota Jayapura
|
9-7-2003
17-7-2003
23-9-2003
18-12-2003
29-01-2003
23-4-2004
17-11-2004
|
41,17 %
|
4.
|
2004 (Nihil)
|
|
|
|
5.
|
09/G.TUN/2005
10/G.TUN/2005
|
Wa Ode Indohae dgn Kakantah Kab Sorong
Wa Ode Indohae dgn Kakantah Kab. Sorong
|
15-09-2005
10-05-2006
|
18, 18 %
|
6.
|
02/G.TUN/2006
|
Laurent Mahue dgn Kanwil BPN Prov Papua dan
Kantah Kab. Jayapura
|
23-08-2006
|
16,16%
|
7.
|
01/G.TUN/2007
09/GTUN/2007
|
Mexi Hamadi dgn Kakantah Kota Japura
Dolfie Kondoy dgn Kakantah Kab Manokwari
|
14-04-2007
22-09-2007
|
20%
|
8.
|
02/G.TUN/2008
03/G.TUN/2008
04/G.TUN/2008
05/G.TUN/2008
06/G.TUN/2008
11/G.TUN/2008
12/G.TUN/2008
13/G.TUN/2008
|
Barend Hamadi dgn dgn Kakantah Kota Jayapura
Soni Hamadi dgn Kakantah Kota Jayapura
Rizal dgn Kakantah Kota Jayapura
Nehemia Olua dgn Kakantah kota Jayapura
Sumartini S.Hadi dgn Ketua Yayasan Harapan
Bangsa Jayapura
Yermias Yehowe dgn Kakantah Kota Jayapura
Rentor Uncen dgn Kakantah Kota Jayapura
Henny Jones dgn Kakantah Kab. Jayapura
|
10-6-2008
17-09-2008
22-09-2008
11-12-2008
04-12-2008
`4-05-1009
14-06-1009
19-05-2009
|
61,53 %
|
9.
|
02/G.Tun/2009
04/G.TUN/2009
07/G.TUN/2009
09/G.TUN/2009
19/G.TUN/2009
20/G.TUN/2009
|
Bernard Sia dgn Kakantah Kota Jayapura
Roby Esau Itar dgn Kakantah Kota Jayapura
F.X. Sucipto dgn Kakantah Kota Jayapura
Herman Hamadi dgn Kakantah Kota Jayapura
Gandhi Gan dgn Kakntah Kota Jayapura
SM. Poerbaraya dgn Ketua DPRD Kota Jayapura
|
03-06-2009
12-10-2009
10-12-2009
26-11-2009
-
15-03-2010
|
30 %
|
Sumber:
Olahan Data Sekunder PTUN Jayapura Tahun 2010.
6.
Kampung
Netar Desa Nendali Distrik Sentani Timur Kabupaten Jayapura
a. Oranf
Sentani tersebar pada 3 Kecamatan, yaitu Kecamatan Sentani Kota, Kecamaran
Sentani Barat dan Kecamatan Sentani Tumur. Permukiman mereka tersebar di Kawasan Pinggiran Danau Sentani dan di
beberapa Pulau-Pulau yang berada di Tengah Danau Sentani. Pulau-Pulau dimaksud
antara lain Pulau Asei, Pulau Ajau, Pulau Kwadeware. Dari asal-usulnya,
Masyarakat Kelompok Sentani Barat berasal dari suatu tempat bernama Ponong
Yokai Wayo (sebuah daerah di wilayah
Papua New Guinea/PNG). Sedangkan Masyarakat Kelompok Sentani Timur atau Heram Rasim
terbagi ke dalam 2 (dua) kelompok asli
yang berasal dari sebuah Bukit Yamokoyo Waliyauyo dan warga pendatang (Orang
yang diterima oleh Masyarakat secara adat) Kelompok masyarakat Sentani Kota
(Tengah) dimulai dari Clann Asabo dan Pow. Komunitas Kampong (yo) yang vterdiri
dari beberapa rumah (Imyea) di bawah kepemimpinan seorang Ondofollo (Ondoafi).
Sedangkan komunitas yang lebih besar
terdiri dari beberapa kampong yang sekan-akan membentuk sebuah
konfederasi di bawah pemimpin Ondoafi Besar (Hu Ondofolo/Iwaiwa Ondofolo).[58]
b. Danau
Sentani merupakan danau terbesar di Papua menerima 24 mata air aliran kali dan
sumur bawah tanah dari Gunung Cycloop dengan outlet sungai Tami. Di seputar danau Sentani tersebut hiduplah Suku
Bangsa Sentani, ras Papua-Melanesia, kelompok etnis Sentani-Tanamera (Demta), sub-etnis Sentani, wilayah
budaya Tabi, tersebar di Distrik Sentani Kabupaten Jayapura dan Distrik
Abepura, Kota Jayapura.[59]
c. Nama
istilah Sentani dalam bahasa daerah Sentani tidak mempunyai arti khusus.
Berdasarkan tradisi setempat mereka menjelaskan bahwa penduduk di sepanjang
pesisir danau Sentani menamakan dirinya dengan kata istilah heram. Istilah heram ini agaknya diberikan oleh penduduk yang kemudian baru
menetap di Sentani yang merubah kata itu menjadi Setam, yang akhirnya menjadi
nama Sentani pada masa kini.[60]
d. Penduduk
dari danau Sentani menamakan dirinya dan danau ini bu jakala, artinya air jernih. Agaknya ini merupakan suatu nama
kehormatan di dalam kata heram untuk
menyebut ondofolo dari keret Ohei, yaitu Heram Tasingkrebeuw. Sampai tahun 1955 sekeliling danau ini
terdapat 24 kampung dengan penduduk berkisar 6.000 jiwa, hampir pasti setiap
kampung memiliki paling tidak satu ondofolo. Seiring dengan waktu karena
berbagai persoalan, kampung-kampung baru terbentuk terpisah dari
kampung-kampung induk sehingga jumlahnya semakin bertambah banyak juga jumlah
penduduknya. Misalnya, kampng Asei Pulau terpisah dari Asei Besar yang
bertempat di pinggir danau sama halnya dengan Doyo Lama dan Doyo Baru.
Penduduk
di sini terkonsentrasi dalam tiga bagian. Setiap bagian terpusat pada satu
pulau induk yang disinilah sejarah lokal berlangsung dan yang dari sini pula
terjadi pemisahan-pemisahan. Di bagian timur terletak Pulau Asei dengan kampung
Asei, yang kemudian berkembang menjadi ayapo, Asei Kecil, Waena dan Yoka,
kecuali Pue sejak dahulu telah berdiri sendiri. Di bagian tengah terletak pula
Ajauw dengan kampung induk Ifar-Besar, Ifar Kecil, Siboiboi, Ifar Babrongko,
Abar, Simporo dan Netar dengan sejarahnya sendiri. Di barat terletak pulau
Yonoqom dengan kampung lama Qwadeware yag kelak berkembang menjadi kampung
Kwadeware, Doyo Lama, Doyo Baru, Sosirih, Yakonde dan Dondai juga cerita masa
lampaunya dendiri. Tiga konsentrasi itu jugalah yang mebentuk bahasa Sentani
terbagi dalam tiga dialek atau varian yaitu Sentani Timur, Sentani Tengah dan
Sentani Barat.[61] Hanyalah mereka yang
menduduki bagian tengah danau adalah merupakan penduduk anak negeri asli hingga
kini. Di sini para Ondofolo
menganggap diri sebagai garis keturunan langsung dari orang-orang besar (Big Man sistem) yang berkuasa dan
berwibawa.[62]
Tanah ulayat biasanya berupa
hutan, semak belukar, tanah kosong, danau dan sungai-sungai. Pada danau tidak
ada batasan tegas antara wilayah adat dari suatu masyarakat adat dengan
masyarakat adat yang berbatasan.
Ondoafi
selaku kepala negara mendapatkan tanah (jabatan) koselo-koselo, dan akan diberikan kepada penggantinya, namun secara
pribadi juga mendapatkan tanah garapan untuk penghidupannya.
Pelepasan
hak ulayat:
a. Pada
tanah penguasaan perorangan melalui proses pendaftaran tanah (PRONA), dengan
persetujuan kepala suku, ondoafi, kepala desa dan camat.
b. Pada
tanah ulayat, melalui pernyataan pelepasan yang dibuat oleh oleh kepala suku
(termasuk kepala suku yang berbatasan), ondoafi, kepala desa, dan Camat.
7.
Sengketa
Tanah PT. Skyline Kurnia dengan Masyarakat Adat
Tanah
diperoleh secara bertahap sejak tahun 1984 – 1998, total luas + 60 ha
melalui pelepasan hak yang dituangkan dalam Surat Pernyataan Pelepasan Tanah
Milik Adat yang ditandatangani oleh Kepala Suku (Pemilik dan yang berbatasan),
Ondoafi, Kepala Desa dan Kepala Distrik. Nilai ganti rugi tanah bervariasi
namun tergantung pada kesepakatan, harga kesepakatan ada yang sesuai dengan
NJOP, di bawah/di atas NJOP. Dari keseluruhan tanah tersebut, tersisa 10 ha
yang belum didaftarkan,dengan jumlah sertifikat sebanyak 11 sertifikat a.n.
Billy Gan. Sejak tahun 1996 oleh P.T. Skyline Kurnia dilakukan pengusahaan
Galian C[63] berupa batu untuk pondasi
bangunan, krikil untuk pengaspalan serta aspal. Luas areal Galian C sekitar 2
ha, dengan memperkerjakan penduduk setempat. Sebagian dari areal tersebut
dipinjamkan kepada P.T. Bumi Kemawa untuk melakukan pengusahaan yang sama.
Sekitar tahun ....ada klaim dari Suku Taime yang menyatakan bahwa tanah yang
diusahakan adalah tanah ulayat mereka, sehingga muncul klaim baru pada P.T.
Skyline Kurnia. Konflik ini mengakibatkan penduduk Desa Nendali terpecah karena
sebagian mendukung P.T. Skyline Kurnia. Ketika P.T. Skyline Kurnia
memperpanjang KP-nya, Pemerintah Kabupaten Jayapura memfasilitasi penyelesaian
konflik dimaksud, dan diperoleh kesepakatan bahwa P.T. Skyline Kurnia
diwajibkan menyisihkan 10 % dari produksi (berupa uang) dan diberikan kepada
masyarakat adat di Nendali dalam rekening Yayasan Dewan Adat Nendali. Sebelumnya,
penguasaan tanah adat oleh perusahaan dilakukan dengan sewa, namun masy. yang
bersangkutan meminta agar tanah tersebut di ‘beli’ saja. Ondoafi suku Wali
dituntut secara pidana oleh P.T. Skyline Kurnia karena memalang jalan dan juga
melakukan penganiayaan karyawan perusahaan tsb.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
Catatan Kondisi HAM di Papua. Elsam
Briefing Paper, Jakarta, 2007
Conoras,
Yusman (ed). MRP (Majelis Rakyat Papua),
Kitong Pu Honai. Foker LSM Papua, Jayapura, 2008
Deny.
Desa, Riwayatmu Kini. Jurnal Wacana,
No. 9 / Juli - Agustus 1997
Denzin,
Norman K. dan Yvonna S. Lincoln. (Eds). Handbook
of Qualitative Research. Penerj. Dariyatno, Badrus, Abi, Jhon. Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2009
Frans
Reumi, Pluralisme Hukum dan Sengketa
Tanah Hak Ulayat Masyarakat Adat Papua. Makalah Universitas Cendrawasih,
Jayapura, tanpa tahun
Harsono, Boedi. Hukum Agraria
Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya. Jilid 1, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2008
Karim,
Niniek L. dan Bagus Takwin. Di Balik
Senyum Sang Jenderal, Sebuah Analisis Psikologis terhadap Kepribadian Soeharto.
Lembar khusus Bentara Kompas, 5 Mei 2004
Raco, JR. Metodologi
Penelitian Kualitatif, Jenis, Karakterisktik, dan Keunggulan. Penerbit
Grasindo, Jakarta. 2010
Richardson,
Don. Anak Perdamaian . Yayasan Kalam
Hidup, Bandung, 1974
Safitri,
Myrna A. dan Tristam Moeliono (ed). Hukum
Agraria dan Masyarakat di Indonesia. Kerjasama Huma, Van Vollenhoven
Institute, dan KITLV-Jakarta, Jakarta, 2010
Samsul,
Inosentius. Analisis Yuridis Proteksi Terhadap Orang Asli Papua di Bidang Ekonomi
dan Sumber Daya Alam. Laporan Penelitian, peneliti madya bidang hukum P3DI,
Setjen DPR RI, 2007
Serpara,
J.S.. Garis-Garis Besar Hak-Hak Adat atas
Tanah di Papua. Makalah “Konsultasi Publik Kerangka Kebijakan Pertanahan
Nasional Fase 2 di Makasar, 21-22 Februari 2005”, Jayapura, 2005
Sugandi, Yulia. Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai
Papua. Friederich
Ebert Stiftung, Jakarta, 2008
Maria S.W Sumardjono, Tanah
Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Penerbit Buku Kompas,
Jakarta, 2008
Nasution,
MA. Metode Penelitian
Naturalistik-Kualitatif. Penerbit Tarsito, Bandung, 1988
Ngadisah.
Gerakan Sosial di Kabupaten Mimika, Studi
Kasus Tentang Konflik Pembangaunan Proyek Pertambangan Freeport. Disertasi
Doktoral, Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2002
Wibawa,
Samodra. Otonomi Daerah dalam Defenisi
Sejarah. Lembaga Press Universitas Gadjah Mada, 2001
Widjojo,
Muriodan S. (ed). Papua Road Map,
Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future.
Kerjasama LIPI, Yayasan Obor dan Yayasan Tifa, Jakarta, 2009
Yermias Degei, Tanah
dan Masa Depan Masyarakat Adat Papua. Makalah Lembaga Pendidikan Papua
Education of Papua Spirit (edPapas), tanpa tahun
---------------------------------------------------
Afriani,
AS. Iyan. Metode Penelitian Kualitatif.
On-line Library Universitas Negeri Malang, 17 Januari 2009. Sumber:
http://www.penalaran-unm.org/index.php/artikel-nalar/penelitian/116-metode-penelitian-kualitatif.
pdf. Diakses, 2 Mei 2010.
Anonim.
Catatan Pelanggaran HAM di Papua,
Briefing Paper. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Jakarta,
tanpa tahun. Hlm. 1-2. Sumber: http://www.elsam.or.id/pdf/CATATAN%20 PELANGGAR AN%20HAM%20DI%20PAPUA.pdf.
Diakses 2 Mei 2010.
Anonim.
Profil Papua dalam portal nasional Republik Indonesia,
http://www.indonesia.go.id/. Diakses 2 Mei
2010.
Julitasari S,
Rosmi. Rakyat Papua Kian Miskin di Tanah yang Kaya. Artikel Voice of
Human Right Media, 2007. Sumber; http://www.vhrmedia. com/vhr-corner/cakrawala,Rakyat-Papua-Kian-Miskin-di-Tanah-yang-Kaya-30.html. Diakses 12 April 2010.
Kholifan,
Mohammad. Alternatif Pemekaran Papua.
Dalam Suara Pembaharuan, 19 November 2004
Proton. Situasi Sosial Politik di Tanah Papua, Provinsi Papua
Barat. Makalah Prakarsa Rakyat, 2007. Sumber; http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/inisiatif/
artikel.php?aid=23452. Diakses 12 April 2010.
Nanang, Bramantyo dan Indra Kurniawan. Hukum
Adat dan HAM. Dalam Modul Pemberdayaan Masyarakat Adat. IRE-Jogja. Tanpa
tahun. Sumber: http://ireyogya.org/adat/modul_hukum_ adat_ham.htm. Diakses 2
Mei 2010.
Film :
[1]
Anonim. Catatan Pelanggaran HAM di Papua,
Briefing Paper. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Jakarta,
tanpa tahun. Hlm. 1-2. Sumber: http://www.elsam.or.id/pdf/CATATAN%20
PELANGGARAN%20HAM%20DI%20 PAPUA.pdf. Diakses 2 Mei 2010.
[2]
Profil Papua dalam portal nasional Republik Indonesia, http://www.indonesia.go.id/. Diakses 2 Mei 2010.
[3] Ibid.
[4]
Mohammad Kholifan. Alternatif Pemekaran
Papua. Dalam Suara Pembaharuan, 19 November 2004.
[5]
Joszhua Robert Mansoben. Sistem Politik
Tradisonal di Irian Jaya. Seri terbitan LIPI-RUL, Jakarta, 1995. Hlm.
81-307.
[6] Dari
Elmberg (1955:99), dikutip oleh, Joszhua Robert Mansoben (1995: 93, 128, 131,
148).
[7]
Mengutip pemikiran Karel Phil Erari. Tanah
Kita, Hidup Kita, Hubungan Manusia dan Tanah di Irian Jaya sebagai Persoalan
Teologis. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999.
[8]
Bukankah ekspresi yang selalu menuntut durasi panjang dalam pengungkapannya,
adalah ekspresi romantis. Perang-perang adat berkepanjangan menyangkut tanah,
masih kerap terjadi hingga era 1960-an. Saat ini, durasi perang demikian
semakin pendek oleh adanya usaha pemerintah yang melarang tradisi ini.
[9] Frans
Reumi. Tanah Adat Papua. Makalah,
disampaikan pada kegiatan Diskusi Publik tentang “Perlindungan Hukum Dalam
Kaitan Dengan Pemanfaatan Tanah Untuk Kegiatan Investasi Di Papua” Dilaksanakan
oleh CV. Kawan Karya Sentosa. Tgl 23 September 2008 di Hotel Yasmin Jayapura.
[10]
Ngadisah. Gerakan Sosial di Kabupaten
Mimika, Studi Kasus tentang Konflik Pembangunan Proyek Pertambangan Freeport.
Disertasi Doktor Sosiologi, Universitas Indonesia, 2002. Hlm 45.
[11] PT
Freeport McMoran adalah perusahaan pertama yang mengekspolitasi Papua.
Perusahaan ini membuka tambang di pegunungan Grasberg yang berada di ketinggian
4.268 mdpl. Saat ini, kedalaman wilayah penggalian sudah melebih ukuran
demikian, atau berada pada kedalaman di bawah permukaan laut. Jalan yang
ditempuh ke lokasi terdalam, melewati dinding bagian sisi dalam gunung
melingkar berpuluh kilometer.
[12]
Bukit-bukit dan gunung yang dilubangi.
[13] Yulia
Sugandi. Analisis Konflik dan Rekomendasi
Kebijakan Mengenai Papua. Laporan Penelitian pada Friederich Ebert
Stiftung, Jakarta, 2008. Hlm. 2.
[14] Ibid. Hlm. 3-10.
[15] Deny. Desa,
Riwayatmu Kini. Jurnal Wacana, No. 9 / Juli - Agustus 1997
[16] Desa
di Jawa sendiri dibentuk oleh Sir Stanford Raffles demi kemudahan adiministrasi
dan manajemen penyewaan tanah. Seterusnya untuk memudahkan manajemen penarikan
pajak dan tanam paksa. Sebelumnya, satuan politik terkecil di Jawa adalah
Karisidenan, atau afdeeling/kabupaten,
yang berada dalam kekuasaan dan pengaturasn kerajaan. Lihat, Samodra Wibawa, Otonomi Daerah dalam Defenisi Sejarah.
Lembaga Press Universitas Gadjah Mada, 2001.
[17] Bramantyo dan Nanang Indra Kurniawan. Hukum
Adat dan HAM. Dalam Modul Pemberdayaan Masyarakat Adat. IRE-Jogja. Tanpa
tahun. Sumber: http://ireyogya.org/adat/modul_hukum_ adat_ham.htm. Diakses 2
Mei 2010.
[18] Tentu
bukan Jawa sejatinya, tapi “Jawa” sebagaimana yang disebut/ditunjukkan
Soeharto.
[19]
Niniek L Karim dan Bagus Takwin. Di Balik
Senyum Sang Jenderal, Sebuah Analisis Psikologis terhadap Kepribadian Soeharto.
Lembar khusus Bentara Kompas, 5 Mei 2004.
[20]
Analisis yuridis, menggunakan perspektif analitika bahasa paling awam
(denotasi-konotasi). Lihat Ludwig Wittgenstein (Tractatus Logico Philosopicus), juga terdapat berbagai jenis
analitika lain dengan penekanan sedikit berbeda (Saussure, JL Austin, Peirce,
Barthes, Gadamer, dst).
[21]
Inosentius Samsul. Analisis Yuridis Proteksi Terhadap Orang Asli Papua di Bidang Ekonomi
dan Sumber Daya Alam. Laporan Penelitian, peneliti madya bidang hukum P3DI,
Setjen DPR RI, 2007. Hlm. 1-6.
[22] Para
pejabat lokal “dibayar” agar tidak ikut mengusahakan “Papua Merdeka”. Ibid.
[23] Pada
akhir tahun 1960 masih terdapat tradisi memakan manusia, mengayau kepala,
pengkhianatan, perkelahian untuk memperebutkan perempuan, dan persembahan anak
manusia untuk perdamaian di wilayah Haenam, pada orang Sawi. Diperkirakan pada
masa yang sama di semua wilayah di Papua masih menerapkan beberapa tradisi
primitif demikian. Lihat Don Richardson. Anak
Perdamaian . Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 1974.
[24]
Sebagai contoh yang bagus, film “God Must Be Crazy” memberi penggambaran yang
jenaka ketika modernitas dengan begitu saja dan tiba-tiba, mendatangi dan
mendampingi primitifitas. Film ini dirilis tahun 1980,
skenario dan sutradara oleh Jamie Uys.
Pengambilan film ini dilangsungkan di Botswana dan Afrika
Selatan, mengisahkan seorang bernama Xi, dari suku Sho di padang
Kalahari, suku yang tidak memiliki pengetahuan tentang dunia luar, dan tiba-tiba
harus menghadapi pergulatan teologis-kosmos gara-gara sebuah botol coca-cola
yang jatuh dari langit (pesawat terbang).
[25] Op-cit. Bramantyo dan Nanang Indra Kurniawan. Berdasarkan Keputusan KMAN
(Kongres Masyarakat Adat Nusantara) No. 01/KMAN/1999 dalam rumusan keanggotaan.
[26]
Nasution, MA. Metode Penelitian
Naturalistik-Kualitatif. Penerbit Tarsito, Bandung, 1988. Hlm. 1-20
[27] Ibid.
[28]
Pilihan lokasi penelitian bisa berubah sewaktu-waktu, sesuai perkembangan
informasi penelitian yang ada, maupun karena pertimbangan-pertimbangan teknis.
[29] Op-cit. Nasution, MA. Hlm. 60-62.
[30] Iyan
Afriani, AS. Metode Penelitian Kualitatif.
On-line Library Universitas Negeri Malang, 17 Januari 2009. Sumber:
http://www.penalaran-unm.org/index.php/artikel-nalar/penelitian/116-metode-penelitian-kualitatif.
pdf. Diakses, 2 Mei 2010.
[31] Papua Dalam Angka 2009, BPS Provinsi Papua, Jayapura: 3-7
[32] Frits Bernard Ramandey, Paskalis Worot Keagop dan Lucky Ireeuw,
2005, Profil Otonomi Khusus Papua, AJI
Papua,: 118-119.
[33] Ibid,: 119.
[34] John R.G. Djopari, (1993), Pembrontakan
Organisasi Papua Merdeka, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo),
Jakarta: 26.
[35] Tugas-tugas UNTEA, yaitu: 1) menerima penyerahan pemerintahan atas
wilayah Irian Barat dari Pihak Belanda; 2) menyelenggarakan pemerintahan yang
stabil di Irian Barat selama masa tertentu; 3) menyerahkan pemerintahan atas
Irian Barat kepada Pihak Republik Indonesia. Badan ini memiliki 8 departemen
dan masing-masing Departemen dipimpin oleh seorang Direktur. 8 Departemen
dimaksud adalah; Dep. Of Cultural Affair
(including Education); Dep. Of Economic Affair; Dep. Of Finance; Dep. Of
Internal Affair; Dep. Of Public Health; Dep. Of Public Works; Dep. Of Social
Affair and Justice; Dep. of Tranport and Power.
[36] Bandingkan dengan The Liang Gie-F. Suoegeng Istanto, Pertumbuhan Pemerintahan Propinsi Irian
Barat Dan Kemungkinan Perkembangan Otonominya Di Hari Kemudian (Djilid I),
Jogjakarta, Seksi Pemerintahan Fakultas Sospol dan Politik UGM: 82.
[37] Tentang Struktur Pemerintahan Provinsi Irian Barat, lihat The Liang Gie-F. Suoegeng Istanto, Pertumbuhan Pemerintahan Propinsi Irian
Barat Dan Kemungkinan Perkembangan Otonominya Di Hari Kemudian (Djilid I),
Jogjakarta, Seksi Pemerintahan Fakultas Sospol dan Politik UGM: 118.
[38] Anonim, 1988, Dampak
Modernisasi terhadap Hubungan Kekerabatan Daerah Irian Jaya, Proyek
Inventarisasi dan dokumentasi Kebudayaan Daerah Irian Jaya: 19-20
[40] Jayapura Dalam Angka Tahun 2009, BPS Kab. Jayapura, Jayapura: 125.
[41] Index Pembangunan Manusia dan
Analisis Situasi Pembangunan Manusia Kabupaten Jayapura Tahun 2009, BPS
Kab. Jayapura, Jayapura: 29-31.
[42] Berbeda dengan upaya hukum dalam sistem hukum nasional yang mana
proses upaya hukum dilakukan secara vertikal (banding, kasasi, peninjauan
kembali), maka proses penyelesaian (banding) dalam sistem hukum adat di Papua
dilakukan secara horizontal.
[43] Suroyo Wignyodipuro, 1989, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,
Jakarta, CV.Haji MasAgu ng, hal.105-106.
[45] Ondoafi, adalah sebutan untuk kepala suku pada Suku Tabla yang
kemudian diseragamkan oleh Belanda untuk seluruh suku di Papua (Wawancara
dengan Bpk. Frans Reumi, Dosen Fak. Hukum UNCEN pada tanggal 11 Juni 2010 di
Museum UNCEN). Isitilah lain dari ondoafi antara lain ondofolo, eram, sera (Waropen),
mambri (Biak Numfor) korano
(Biak, meminjam istilah dari Ternate dan Tidore yaitu Kolano), cram atau dekening (Nimboran) dsb.
[46] Josh Mansoben dalam Don A.L. Falsi, 2007, opcit, hal.5.
[47] Don A.L. Falsi, 2007, ibid, hal.5.
[48] Mansoben dalam Anonim, 2004, Identifikasi
Masyarakat Hukum Adat dan Pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua (Studi
pada Kabupaten Paniai dan Nabire), Laporan Penelitian, Tim Peneliti
Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih Jayapura bekerjasama dengan Dinas
Kebudayaan Provinsi Papua, hal.31.
[49] Ibid, hal.31.
[50] Ibid, hal.35-36.
[51] Anonim, 1988, op.cit, hal7-8.
[52] Ibid, hal.29.
[53] George Arnold Awi, Peradilan
Adat Berlaku Sistem Musyawarah Mufakat, Harian Bintang Papua: 12 Agustu
2009.
[54] Soetandyo Wignjosoebroto, Dari
Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan
Hukum di Indonesia, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta: 207-208.
[55] Ery Seda, ‘Beberapa Catatan Mengenai Konfederasi dan Aliansi pada
Masyarakat Balim di Lembah Balim Irian Jaya’, dalam Astrid S. Susanto-Sunario
(Penyunting), 1996, Pembangunan
Masyarakat Pedesaan. Suatu Telaah Analitis Masyarakat Wamena, Irian Jaya ,
Pustaka Sinar Harapan dan LIPI, hal.30.
[56] Disebut juga dengan klen besar yang berfungsi sebagai kesatuan
adat, terutama upacara-upacara adat, seperti pesta babi. Kepala klen besar
dibantu oleh kepala klen adat dan kepala klen perang. Tugas klen perang adalah
menjadi penasehat dan pengatur strategi perang. Namun yang menentukan perang
atau tidak adalah tetap kepala klen besar.. Sedang klen adat bertugas menangani
masalah-masalah adat serta kesuburan tanah. Lihat Ibid, hal.102.
[57] Ibid, hal.82-83.
[58] Suebu, dalam Andi
Syamsul Rijal, Seabad Perkembangan
Masyarakat Sentani 1900-2000, Direktorat Sejarah/Proyek Pemanfaatan
Kebudayaan,: 2-3.
[59] Don A.L. Falsi, 2007, Etno
Artistik Sentani, Motif Gaya Rias. Kompetitif, dualisme-harmoni, kontradiktif.
Sebuah Refleksi, Jakarta, Balai Pustaka, hal.1
[60] Jac Hoogerbrugge, 1999, Mite
dan Ornamen Danau Sentani (diterjemahkan oleh Pdt.L.Jenbise, M.Th.),
Murray, 1999, hal.1-2.
[61] Don A.L. Falsi, 2007, op.cit, hal.10.
[62] Jac Hoogerbrugge, 1999, op.cit. hal.3
[63] Proses pengusahaan oleh P.T. Skyline Kurnia dilakukan dengan melakukan
Akte Perjanjian dengan pemilik tanah (Billy Gan).