Beberapa Pemikiran Membenahi Penanganan Sengketa, Konflik dan Perkara
Pertanahan serta Kelembagaan BPN RI Ke Depan
Oleh
Sarjita, SH., M. Hum.
Ada hal penting yang perlu menjadi renungan bersama
berkenaan
dengan substansi persoalan-persoalan
pertanahan pada khususnya dan keagrariaan pada umumnya, yaitu terkait
dengan pemaknaan
“pembangunan”. Hal ini penting mengingat bahwa tanah tidak akan
langsung memberikan/mendatangkan kemakmuran (kesejahteraan) bagi umat manusia,
akan tetapi kegiatan pembangunan di atas tanah oleh manusia itulah yang dapat
langsung menghadirkan kemakmuran itu
sendiri. Keberadaan
atau eksistensi manusia untuk
melaksanakan dan membawa misi pembangunan
di atas permukaan bumi tersebut, sering kali bias (menyimpang) dari
tujuan untuk mencapai kemakmuran. Oleh karena itu, sayogyanya pada diri manusia
sebagai kalifatullah di muka bumi harus dilengkapi/dibekali pula dengan legitimasi[1]
(keabsahan) kekuasaan, otoritas[2] (outhority) atau wewenang (dalam ranah hukum publik dan
kecakapan/kemampuan bertindak dalam ranah hukum privat/perdata), moral
(hatinurani)[3] dan aklaq al- karimah atau budi
penguasa.
A.
Problematika
UU Nomor 5 Tahun 1960
Dikaji dari sudut pandang nilai, maka nilai-nilai
yang tertuang/terkandung dalam UU Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau sering disebut
dengan istilah UUPA khususnya pasal 1 s/d 15, meskipun wacana untuk melakukan
pembaruan terhadap substansinya setelah
mengalami beberapa kali pengkajian ternyata UUPA masih relevan dengan dinamika
pembangunan kekinian. Dengan kata lain wacana untuk melakukan
perubahan/penggantian UUPA, tidak diperlukan lagi. Yang lebih dipentingkan adalah bagaimana
konsep-konsep/nilai-nilai luhur yang terkandung dalam UUPA itu bisa di
implementasikan dalam pengelolaan Agraria (tata ruang,[4]
kehutanan,[5]
perkebunan,[6]
tata air,[7] perikanan[8]
dan pertambangan,[9]
serta pertanahan,[10] wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil[11]) yang menghadirkan keadilan dan kesejahteraan
sesuai amanat konstitusi.
Menurut Sudjito,[12] UUPA
masih relevan sesuai dengan asumsi-asumsi dasar konsep hukum progresif,
sepanjang dibaca dan diterjemahkan atau dimaknai hukum agraria harus dibenahi
dan disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan kekinian secara utuh dengan
mengedepankan jalinan hubungan antara Tuhan-manusia
dan tanah.
Menurut Mahfud M.D.[13]
pembangunan hukum agraria yang substansinya tertuang dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 (UUPA), mengingat proses
pembuatan UUPA yang partisipasif dan isi
yang aspiratif, maka UUPA merupakan hukum yang berkarakter responsive.
Selanjutnya jika UUPA dilihat dari nilai sosial yang mendasarinya, maka UUPA
merupakan hukum prismatik[14]
yang ideal, karena mengkombinasikan (mengambil segi-segi baik) dua ekstrem pilihan nilai sosial yaitu nilai social
paguyuban (gemeinschap) dan nilai
sosial patembayan (geselschap) dengan
titik berat pada nilai kepentingan yang populistik (kemakmuran bersama) tanpa
menghilangkan hak individu. Berdasarkan pada berbagai pertimbangan filosofis
tersebut, Mahfud MD, berkeyakinan bahwa
UUPA secara prinsip tidak perlu
dirubah, sebab pada dasarnya sudah baik, tetapi yang menjadi masalah adalah implementasinya. Dari
sisi filosofi sudah baik, akan tetapi
pilihan kepentingan dan nilai social oleh Pemerintah telah menggeser
pesan subtantif filosofis yang mendasarinya. Sebagai contoh bergesernya
penggunaan hak menguasai yang berintikan
“mengatur” dalam kerangka populisme
menjadi “memiliki” secara mutlak
dalam rangka pragmatisme untuk melaksanakan program pembangunan ekonomi yang
berorientasi pada pertumbuhan.
Problem utama yang dihadapi dalam pelaksanaan UUPA,
sebagaimana sering dilontarkan oleh para pemerhati di bidang ke-agrariaan,
salah satunya Maria SW Sumardjono[15]
menegaskan bahwa UUPA tidak dapat
berdiri sendiri, melainkan membutuhkan berbagai peraturan pelaksanaan. Selain
masih banyak berbagai peraturan pelaksanaan yang belum tercipta, ternyata
peraturan pelaksanaan yang sudah ada pun
kerapkali masih mengandung permasalahan. Sedangkan peraturan pelaksanaan
yang sudah ada/memenuhi, ada kemungkinan pelaksanaannya tidak konsekuen dan konsisten.
1.
Pemberlakuan
UUPA Di Beberapa Daerah Di Indonesia
Sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) beserta peraturan
pelaksanaannya berlaku di Indonesia, yaitu pada tanggal 24 September 1960. Pemberlakukan
UU Nomor 5 Tahun 1960 ini ternyata tidak berlaku secara serentak di seluruh
Wilayah NKRI. Pemberlakuaan UUPA Di Indonesia, ternyata terdapat 2 (dua)
Provinsi yang mengalami keterlambatan
dalam memberlakukan UUPA, yaitu Provinsi Irian Barat (Irian Jaya) sekarang
Papua dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Untuk Provinsi DIY dan
Irian Barat (Papua) didasarkan pada 2 (dua) peraturan perundang-undangan yang
berbeda.
Untuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada
tanggal 1 April 1984 berdasarkan
Keputusan Presiden RI Nomor 33 Tahun
1984 tentang Pemberlakukan Sepenuhnya UU Nomor 5 Tahun 1960 Di Provinsi DIY.
Sedangkan untuk Provinsi Irian Barat
(Irian Jaya) sekarang Provinsi Papua dan Papua Barat, pemberlakuan UUPA beserta
Peraturan pelaksanaanya baru terhitung pada tanggal 26 September 1971
berdasarkan PMDN No. 8 Tahun 1971 tentang Pelaksanaan UUPA di Provinsi Irian
Barat. Pemberlakuan UUPA yang berbeda di kedua wilayah provinsi tersebut, tentunya membawa konsekuensi hukum pula,
yaitu sehubungan pelaksanaan ketentuan Konversi baik itu yang menyangkut
hak-hak barat maupun terhadap hak-hak adat Indonesia.
Pertama, keterlambatan dalam
pelaksanaan UUPA[16]
di Provinsi Irian Jaya (Papua) untuk konversi Hak-hak Barat berdasarkan SK Mendagri Nomor SK.59/DJA/1973
tertanggal 30 Mei 1973 ditentukan batas waktu pendaftaran konversi bekas hak
barat tanggal 26 September 1973, sedangkan batas akhir jangka waktu berlakunya tanah bekas konversi hak barat
maksimal tanggal 26 September 1991 (SK Mendagri Nomor SK. 21/DJA/1980 tanggal 15 April 1980).
Sementara untuk pelaksanaan Konversi bekas hak adat Indonesia yang didasarkan
pada Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria (PMPA) Nomor 2 Tahun 1962 baru
dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Irian Jaya Nomor 247
Tahun 1988.
Kedua, keterlambatan
pemberlakukan UUPA sepenuhnya di DIY berdasarkan Keppres Nomor 33 Tahun 1984
tertanggal 9 Mei 1984, dan Kepres itu berlaku surut terhitung sejak tanggal 1
April 1984 (Pasal 3 Kepres Nomor 33 Tahun 1984). Pasal 1 Kepres tersebut
menyatakan bahwa: UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria dan Peraturan pelaksanaannya, dinyatakan berlaku sepenuhnya untuk
seluruh wilayah Propinsi DIY. Selanjutnya pada Pasal 2 ditegaskan, bahwa Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diatur oleh Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 2 Keppres tersebut, diterbitkan
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 66
Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Pemberlakuan Sepenuhnya UU No. 5 Tahun 1960 Di
Provinsi DIY. Yang kemudian diikuti Pembentukan Kantor Agraria Kabupaten
Sleman, Kulonprogo, Gunung Kidul dan Kantor Agraria Kotamadya Yogyakarta
berdasarkan Kepmendagri Nomor 67 Tahun 1984.Yang untuk selanjutnya disusul
beberapa Keputusan Menteri Dalam Negeri, yaitu: 1) Kepmendagri Nomor 68 Tahun
1984 tentang Pemberlakukan PMDN Nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang
Pemberian Hak Atas Tanah Di Propinsi DIY; 2) Kepmendagri Nomor 69 Tahun 1984 tentang Penegasan Konversi dan
Pendaftaran Hak Atas Tanah Hak Milik Perorangan Berdasarkan Perda DIY Nomor 5
Tahun 1954 di Provinsi DIY; 3) Kepmendagri Nomor SK.590.34-746 tentang
Pengesahan Perda Provinsi DIY Nomor 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku
Sepenuhnya UU No. 5 Tahun 1960 Di Provinsi DIY; 4) Perda Provinsi DIY No. 3
Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UU No. 5 Tahun 1960 Di
Provinsi DIY.5) Surat Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor:
590/1885 tertanggal 29 Oktober 1984 kepada Bupati Kepala Daerah Se-DIY tentang
diperlakukannya UUPA Secara Penuh di Provinsi
DIY.
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat
digambarkan bahwa pemberlakuan hukum tanah di Wilayah Indonesia sebagai
berikut:
Waktu/Daerah/
Wilayah
|
D.I.Y
|
Irian Barat
(Irian Jaya)/
Papua
|
Daerah/Wilayah Indonesia selain DIY dan Irian
Barat/
|
Jaman Pemerintah Hindia Belanda (VOC/1602 s/d 14 Agustus 1942 Perjanjian Kalijati)
|
Hukum Adat, Agraische
Wet (S. 1870-55) Jo S. 1925-447), Rijskblaad Kasultanan Jogjakarta Tahun
1918 No. 16 Rijsblaad Kadipaten Paku Alaman
Tahun 1918 nomor 18., Stb. Tahun 1941 No. 47 (Persetujuan atau kontrak
Politik Antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Kasultanan Jogjakarta
tertanggal 18 Maret 1940). Psl.39-40, 41: Penguasaan atas Tanah
|
Hukum Adat, Agraische
Wet (S. 1870-55) Jo S. 1925-447), Domeinverklaring S.1870-118, Algemene, Buku
Ke II KUH Perdata
|
Hukum Adat, Agraische
Wet (S. 1870-55) Jo S. 1925-447), Domeinverklaring S.1870-118, Algemene
Domein verklaring S. 1875-119a, Domein Verklaring Sumatra S. 1874-94f, Domeinverklaring
Menado S. 1877-55, Domeinverklaring residentie Zuider en Oosterafdeling van
Borneo S. 1888-58, KB tgl. 16 April 1872 (S. 1872-117, Buku Ke II KUH Perdata
|
Jaman Pemerintah Bala Tentara Jepang (8 Maret
1942 s/d 14 Agustus 1945)
|
Hukum Adat, Agraische Wet (S. 1870-55) Jo S.
1925-447), Rijskblaad Kasultanan Jogjakarta Tahun 1918 No. 16 Rijsblaad
Kadipaten Paku Alaman Tahun 1918 nomor
18.,
|
-sda-
|
-sda-
|
Jaman Pemerintah RI17-8-1945 s/d 24 September
1960
|
-sda-
|
-sda-
|
-sda-
|
s/d 25 September 1971
|
Hukum Adat, Rijskblaad Kasultanan Jogjakarta
Tahun 1918 No. 16 Rijsblaad Kadipaten Paku Alaman Tahun 1918 nomor 18.,
|
-sda-
|
UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria beserta Peraturan pelaksanaannya.
|
26 September 1971 s/d sekarang
|
Hukum Adat, Rijskblaad Kasultanan Jogjakarta
Tahun 1918 No. 16 Rijsblaad Kadipaten Paku Alaman Tahun 1918 nomor 18.,
|
UU PA beserta Peraturan pelaksanaannya.
|
UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria beserta Peraturan pelaksanaannya.
|
Mulai 1 April 1984 – sekarang.
|
UUPA beserta Peraturan pelaksanaannya.
|
UUPA beserta Peraturan pelaksanaannya.
|
UUPA beserta Peraturan pelaksanaannya.
|
Secara garis besar, Hukum Tanah yang berlaku sebelum diberlakukannya UU Nomor 5 Tahun 1960, berlaku 2 (dua) perangkat hukum tanah, yaitu hukum
tanah barat yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
dan hukum tanah adat yang bersumber pada hukum adat.
Kedua perangkat hukum tersebut, mempunyai asas
yang berbeda dalam menyikapi hubungan
antara tanah dengan benda-benda yang ada di atasnya. Hukum tanah barat yang bersumber pada Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), berlaku ketentuan bahwa benda-benda
atau bangunan menjadi bagian dari tanahnya karena berlaku asas perlekatan (asas
natrekking atau asas accesie) sebagaimana diatur dalam Pasal
500 KUHPerdata). Atas dasar asas itu, maka pemilikan atas tanah menurut Hukum
Barat itu meliputi juga pemilikan dari bangunan yang ada di atasnya (Pasal 571
KUHPerdata). Bangunan yang didirikan di atas tanah kepunyaan pihak lain menjadi
milik yang empunya tanah (Pasal 601 KUH Perdata), kecuali diperjanjikan lain. Sedangkan menurut Hukum Adat (dikenal
dengan hak-hak atas tanah Adat Indonesia) tunduk pada asas Pemisahan Horizontal[17] (Horizontale Scheiding) antara tanah
dengan bangunan atau benda-benda yang ada atau berdiri di atasnya. Dengan kata
lain, pihak yamg membangun adalah pemilik dari bangunan tersebut.
2.
Hak Penguasaan
Atas Tanah Dalam UUPA
Hak-hak penguasaan atas tanah dapat berupa: (a) lembaga hukum, kalau
belum dihubungkan dengan subjek dan objek
tertentu; dan (b) hubungan
hukum, kalau sudah dihubungkan dengan subjek tertentu sebagai pemegang haknya
dan dengan tanah tertentu sebagai objeknya.
Dengan berpangkal pada adanya 2 wujud penampilan
hak penguasaan atas tanah itu,
peraturan-peraturan hukum pertanahan tersusun sebagai suatu sistem
dengan sistematika yang khas, yang membedakan dengan sistem bidang-bidang hukum
lainnya. Secara
garis besar struktur penguasaan hak atas tanah di dalam UUPA terdiri atas:
a. Hak Bangsa Indonesia, yang merupakan hak
yang tertinggi, yang bersifat abadi dan mengandung unsur keperdataan dan
publik, meliputi semua tanah bersama di seluruh wilayah Negara (Pasal 1);
b. Hak menguasai Dari Negara, yang merupakan
tugas kewenangan di bidang hukum publik semata, meliputi 3 (tiga) kewenangan
atas semua tanah bersama (Pasal 2 ayat (2) UUPA yang merupakan interpretasi
otentik mengenai pengertian di-“kuasai” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
c. Hak
Ulayat Masyarakat-Masyarakat Hukum Adat, yang merupakan hak bersama para warga
masyarakat hukum adat tertentu yang bersangkutan atas tanah ulayatnya yang
merupakan tanah bersama, sepanjang menurut kenyataannya hak itu masih ada
(Pasal 3 UUPA). Penafsiran ketentuan Pasal 3 UUPA yang menyatakan “Keberadaan
hak ulayat harus diperhatikan, sepanjang menurut kenyataannya memang masih ada
pada masyarakat hukum adat yang bersangkutan,” telah menimbulkan suatu permasalahan
tersendiri. Sepanjang dalam kenyataannya masih ada tersebut dihitung sejak
kapan?. Apakah sejak tanggal 24 September 1960 ataukah pada saat hendak memberlakukan ketentuan Pasal 3 UUPA tersebut
(pelaksanaan PMNA/Ka. BPN Nomor 5 Tahun 1999, yaitu dalam rangka meneliti untuk
menilai masih ada tidaknya eksistensi/keberadaan hak ulayat masyarakat hukum
adat yang bersangkutan?. Terkait dengan penerapan ketentuan Pasal 3 UUPA
tersebut, Prof. Mahadi[18]
menekankan perlunya perhatian secara khusus akan hal tersebut. Mengingat bahwa
penguasaan hak ulayat oleh masyarakat hukum adat telah ditingkatkan dan
menjelma menjadi Hak Bangsa, maka konsep dalam Hukum Pertanahan Nasional Hak
Ulayat sebagai lembaga hukum tidak ada lagi. Yang masih ada dan diakui
keberadaannnya dalam Pasal 3 UUPA adalah hak ulayat sebagai hubungan hukum. Hal
yang sama dikemukakan pula oleh Oloan Sitorus[19]
yang berasumsi bahwa ketentuan Pasal 3 UUPA hanya mengakui hak ulayat
sebagai hubungan hukum konkrit dan bukan
sebagai lembaga hukum, yang pada aliran realisme hukum (legal realism) yang
mengharapkan UUPA sebagai a tool of social engineering. Sepanjang
menurut kenyataannya masih ada pada suatu masyarakat hukum adat keberadaannya
diakui, tetapi pelaksanan hak subyektif tersebut harus disesuaikan dengan
kepentingan nasional dan Negara. Bahkan kalau dalam kenyataannya tidak ada lagi
tidak akan dihidupkan kembali, dermikian pula tidak akan diciptakan hak ulayat
baru.
d. Hak-hak perorangan, yang memberi
kewenangan untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan dan.atau mengambil
manfaat tertentu dari suatu bidang tanah tertentu yang merupakan bagian dari
tanah bersama tersebut berupa: Hak-hak atas tanah (HM, HGU, HGB, dan Hak Pakai)
(Pasal 4 dan Bab II Pasal 16), serta Hak Atas tanah Wakaf (Pasal 49); dan
e. Hak Tanggungan, sebagai hak
jaminan atas tanah (Pasal 51 UUPA).
Secara garis besar menurut Syahyuti,[20]
terdapat 4 (empat) karakteristik penguasaan tanah menurut Hukum Adat. Penguasaan tersebut dilandasi pada paradigma,
bahwa sesungguhnya tanah adalah sumberdaya yang khas (jumlahnya terbatas),
tidak sebagaimana sumberdaya ekonomi lain yang dapat dijadikan sebagai
komoditas pasar yang bebas. Keempat karakteristik itu adalah:
1) tidak
adanya kepemilikan mutlak.
2) penguasaan
yang bersifat inklusif;
3) larangan
untuk meperjual-belikan tanah (meskipun untuk tanah yang sudah dikuasai secara
pribadi);
4) lebih
dihargainnya manusia dan kerjannya dibanding tanah.
Sementara itu, jika dilakukan pengamatan/kajian
secara historis menurut Syahyuti[21]
pola penguasaan tanah dapat dikelompokan menjadi: 1) Sistem Feodalisme, dimana hak tanah penguasaan tanah ada pada
kerajaan, sehingga petani hanyalah sebagai penggarap, maka perolehan oleh
petani sangat terbatas. Penguasaan tanah oleh kerajaan ini, menjadikan tanah
sebagai alat politik pihak kerajaan, agar dapat mengontrol seluruh warga dan
terutama pembantu pembantunya di level desa; 2) Masa Pemerintahan Kolonial, dimana posisi kerajaan digantikan oleh
Pemerintah Belanda, dengan mengembangkan pola sewa atau pajak sebagai instrument
yang penting dalam memajukan pertanian, meskipun ini bersifat sepihak yaitu
untuk kepentingan dirinya. Kondisi ini berdampak pada Petani tetaplah seorang
penggarap dengan kewajiban menyerahkan sebagian hasilnya kepada pihak penguasa;
3) Masa Kemerdekaan (Era Orde Lama dan
Orde Baru). Masa ini ditandai dengan lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1960, yang
menunjukan bahwa Pemerintah telah secara serius memperhatikan pentingnya
permasalahan agraria. Meskipun dengan lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1960 telah
terjadi proses pemoderan, yaitu menggabungkan dualisme hukum antara hukum Belanda (Barat) dengan Hukum
Adat. Dikala awal berlakunya UU ini, program landreform digulirkan, namun
kemudian gagal karena ditunggangi oleh muatan politik PKI sebagai partai yang
menggunakan politik populis. Selanjutnya pada masa Orde Baru selama tiga
dasawarsa, dapat dikatakan program landreform tidak dilaksanakan sama sekali
(stigma masa lalu sebagai produk PKI). Namun demikian program atau usaha
privatisasi tanah tetap diusahakan oleh Pemerintah melalui program sertipikasi
tanah meskipun kurang memuaskan. Menggalakan program perkebunan-perkebunan
berskala besar dengan penguasaan tanah yang cukup luas oleh Insvestor, dan
mengakibatkan sejumlah petani menjadi tidak bertanah (tuna kisma), sementara
optimalisasi tanah perkebunan secara fisik (penggunaan dan/atau pemanfaatan)
nya tidak maksimal sehingga menimbulkan penelantaran tanah.
3.
Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Dalam beberapa literature, “masyarakat adat”[22] merupakan terjemahan dari indigeneous[23]
peoples (masyarakat tradisional), tribal peoples (masyarakat suku/pribumi), dan native people
(masyarakat asli), serta forest peoples (masyarakat hutan) atau dalam bahasa Belanda, inheems.[24]
Secara terminologis, peristilahan atau sebutan
masyarakat adat, juga digunakan oleh Departemen Sosial dengan istilah suku-suku
bangsa terasing. Sedangkan Koentjaraningrat menggunakan istilah masyarakat yang
diupayakan berkembang. Kemudian Kusumaatmadja menggunakan istilah kelompok
penduduk rentan primitife, peladang berpindah, orang minoritas (minorities), orang gunung (highlanders). Terminologi penggunaan
sebutan “masyarakat adat” juga telah mendapatkan kesepakatan secara aklamasi dalam Konggres
Masyarakat Adat Nusantara yang diselenggarakan di Jakarta, 15-22 Maret 1999.
Pada umunya mereka (masyarakat adat) tersebut menduduki dan mendiami wilayah yang sangat kaya mineral dan sumber daya alam
lainnya. Sebagai Contoh, Daerah Reservasi (bagi orang Indian) di Amerika
Serikat[25] yang
dianggap sebagai daerah yang kurang berharga pada abad ke-19, tetapi kini
daerah tersebut terbukti menyimpan sejumlah besar cadangan mineral, kayu,
margasatwa, dan sumber air. Diperkirakan
65% cadangan uranium Amerika Utara terdapat di daerah reservasi Indian
Amerika. Wilayah Reservasi ini
merupakan tempat bagi 80%
penambangan uranium yang dilakukan di AS dan pemrosesan uranium seluruhnya
(100%) dilakukan di daerah resevasi ini.
Sedangkan Contoh di Indonesia,[26]
adalah ditemukannya cadangan tembaga dan
emas di oleh James Robert “Jim Bob”
Moffett sebagai Chief Executif Officer (CEO), bahwa di Grasberg
(Tenogoma-Enagasin). Daerah ini mengandung cadangan tembaga nomor tiga terbesar
dan cadangan emas nomor satu terbesar di dunia.
Mereka
disebut indigenous karena akar turum
temurun kehidupan mereka menjadi satu kesatuan tak terpisahkan dengan tanah dan
wilayah di mana mereka huni, atau akan huni (dalam arti kembali di wilayah
tersebut setelah mengalami peminggiran atau pengusiran paksa). Mereka juga disebut
peoples karena merupakan komunitas
yang unik dan eksistensi serta identitas mereka yang berkelanjutan secara turun
temurun, yang menghubungkan mereka dengan komunitas, suku atau bangsa dari
sejarah masa lampaunya.
Secara
politik mereka tidak memiliki posisi tawar menawar yang kuat. Secara ekonomi
mereka tidak terjamin kerberlanjutan hidupnya. Kohesitas dan perasaan
anggotanya sebagai satu masyarakat yang berasal dari akar yang sama telah
terkikis oleh pelbagai tawaran yang bersifat memecah belah. Sedangkan
integritas dan indentitas mereka sebagai manusia dan sebagai warga komunitas
tengah terancam oleh modernisasi, mereka tidak siap untuk menjadi masyarakat
lain yang menamakan dirinya sebagai modern, sementara di sisi lain nilai-nilai
dan sisten hidup tradisional mereka terancam sirna.
J. Sembiring,[27]
menyatakan bahwa dengan memimjam pendapat Alvin
Toffler dalam bukunya “The Third
Wave” terdapat tiga gelombang dalam
sejarah kehidupan manusia, yaitu Pertama,
Pola Hidup Agraris (8000 SM-1700). Kedua,
Pola Hidup Sosial Industri (1700-1970) dan Ketiga,
Pola Hidup Sosial Era Informasi [1970-
sekarang]. Mengingat bahwa sebagian
daerah di Indonesia (Sumatera,
Kalimantan, dan Irian/Papua) masih terdapat kelompok masyarakat hidup secara nomaden dengan pola pertanian (shifting cultivation). Dengan demikian
sebagian masyarakat Indonesia berada
dalam keadaan shock sebab transisi
itu mendadak dan dalam rentang waktu yang relatif singkat. Kondisi tersebut
akan menimbulkan perbedaan persepsi dalam memandang fungsi tanah dalam
pembangunan. Di sisi lain hadirnya
otonomi daerah dan upaya penguatan masyarakat lokal masih belum
membuahkan hasil dan masih harus berhadapan dengan kepentingan ekonomi global,
sehingga politik pertanahan dihadapkan dengan dimensi baru yang semakin
konpleks.
Menurut
Wignyosoebroto, (dalam) Rachmad Syafa’at,
paradigma dan kebijakan dasar pembangunan yang dominan saat rezim Orde
Baru berorientasi pada industrialisasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Paradigma tersebut bersumber pada idiologi kapitalisme yang bersandar pada
paradigma Ilmu Pengetahuan Modern yang menggagap bahwa tradisi adalah suatu masalah dan menghmbat pembangunan. Untuk itu diciptakan pula banyak sekali
perangkat peraturan perundang-undangan dan politik yang sangat sentralistik
bercorak teknokratis dan represif. Hukum Nasional diseragamkan dengan
mengabaikan disparitas regional dan lokal, yang pada gilirannya mematikan
otonomi, hukum dan kelembagaan masyarakat adat. Proses peminggiran
(marginalisasi) masyarakat adat dalam pembangunan dan pengelolaan SDA ini pada
gilirannya membangkitkan Cultural Counter
Movement, gerakan perlawanan budaya masyarakat adat terhadap persitensi dan
penyingkiran kelembagaan dan hukum lokal yang selama ini dihargai dan dikukuhi
dalam pengelolaan SDA.[28]
Keberadaan atau eksistensi
mereka yang rentan dan terimbas oleh pengaruh kepentingan ekonomi global
tersebut, masih dihadapkan pula pada beragam masalah yang secara garis besar
dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu:
a.
Masalah hubungan masyarakat adat dengan tanah dan wilayah di mana mereka
hidup dan dari mana mereka mendapatkan penghidupannya, termasuk sumber daya
alamnya.
b.
Masalah self-determination yang sering berbias politik dan hingga sekarang
masih menjadi perdebatan sengit;
c.
Masalah identification, yaitu soal siapakah yang dimaksud masyarakat adat itu, apa saja
kriterianya, apa bedanya dengan masyarakat adat yang bukan adat/asli/pribumi (non-indigenous peoples).
Dari ketiga permasalahan tersebut di atas, maka
masalah yang paling krusial yang relevan dan terkait dengan bidang tugas pokok
kita adalah masalah pada huruf a terkait hubungan mereka dengan tanah dan
wilayah di mana mereka hidup dan dari mana mereka mendapatkan penghidupannya,
termasuk sumber daya alamnya. Namun
demikian bukan berarti merendahkan permasalahan yang lainnya, persoalan pada
huruf c juga layak untuk dilakukan pengkajian secara lebih mendalam untuk
menemu-kenali eksistensi mereka.
- Regulasi Hak-Hak Masyarakat Adat
1. Dimensi Global/Internasional
Secara hukum Internasional, menurut S. James Anaya
(dalam) Rafael Edy Bosko,[29] mereka (masyarakat adat) memiliki hak-hak
atas: hak untuk tidak diskriminasikan, hak-hak atas tanah dan sumber daya
(alam), hak-hak kebudayaan, hak-hak untuk berpartisipasi baik dalam politik
maupun dalam bidang kebudayaan secara umum, hak-hak atas lingkungan yang sehat,
dan hak-hak atas persetujuan.
Dalam perkembangannya masyarakat Internasional
telah menunjukan komitmenya yang lebih besar pada usaha-usaha untuk memecahkan
masalah berkenaan dengan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Sebagai contoh dikeluarkannya Deklarasi International Labor Organisation (ILO)
No. 169 Tahun 1989 berjudul Konvensi
tentang Masyarakat Adat dan Kesukuan Di Negara-Negara Merdeka (Convention concerning Indigenous and Tribal
Peoples in Independent Countries) telah menegaskan dengan cukup kuat
hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka dan sumber daya alamnya.
Demikian halnya juga pada Agenda 21 dari United Nation Conference on Enviromental and
Development yang secara tegas mengaitkan penghormatan terhadap hak atas
tanah adat dengan kebijakan global perlindungan lingkungan dan pembangunan
berkelanjutan.
Hal senada dilakukan pula oleh Bank Dunia yang
telah mengapdosi Petunjuk Pelaksanaan (Operational
Direktive) Bank Dunia 4.20, yang
mencerminkan prinsip-prinsip integritas kebudayaan dan pembangunan diri-sendiri
masyarakat adat (self-development)
dalam Konvensi ILO 1969 yang secara khusus terkait dengan pengakuan terhadap
sistem kepemilikan tanah adat dalam proyek-proyek yang didanainya. Dengan
Petunjuk Pelaksanaan tersebut, menjamin bahwa masyarakat adat, mendapat keuntungan dari proyek pembangunan,
dan mencegah dampak merugikan terhadap masyarakat adat yang disbebakan oleh
kegiatan-kegiatan proyek yang dibantu oleh Bank Dunia. Para Perencana Bank Dunia harus menjamin bahwa
masyarakat adat tidak mengalami dampak merugikan dan dapat menikmati keuntungan
social dan ekonomi yang selaras dengan
kebudayaan mereka, dengan penghormatan penuh terhadap martabat, hak azasi, dan
keunikan budaya mereka. Lebih jauh perencanaan proyek harus
melibatkan/mempertimbangkan penuh terhadap pilihan-pilihan yang disukai oleh
masyarakat adat dan meningkatkan atau mendorong pengalihan lebih awal manajemen
proyek kepada penduduk lokal demi partisipasi secara sadar dan sukarela (informed participation).[30]
Bahkan Kelompok Kerja mengenai Populasi Adat (Working Group on Indigenous
Population-WGIP), menyampaikan Draf Deklarasi PBB tentang Hak Hak
Masyarakat Adat. Secara lebih lengkap dimensi global penghormatan dan
perlindungan hak-hak masyarakat adat dalam berbagai konvesi internasional sebagaimana
dikemukakan oleh Maria S.W. Sumardjono,[31]
selain telah disebutkan di atas, tertuang dalam:
a. The United Nation Charter
(1945);
b. The Universal declaration of
Human Right (1948);
c.
The
United Nations Convention on the Trevention and Punishment of the Crime of
Genocide;
d. 4)The Internatiopnal Convention
on Economic, Social, and Cuktural Rights (1966);
e. Rio Declaration on Enviroment
and Development (1992);
f.
Technical Review of the
UN Draf Declaration on the Right of Indigenous Peoples, as agreed Upon
by the Members of the Working Group at ist Eleventh Sesseion, UN Doc.
E/CN.4Sub2/1994/Add.1 (20 April 1994).
2. Dimensi Nasional
Pada Era Kemerdekaan: Pertama,
adopsi pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dapat
diketemukan dalam Konstitusi Dasar Negara kita, yaitu Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 33 ayat (3) “ hak menguasai negara” yang menggantikan konsep “domein”
yang digunakan oleh Pemerintah Kolonial (Agrarishe
Wet 1870). Kedua, Penjelasan Pasal
18 Angka Romawi II, Negara mengakui bahwa di Indonesia terdapat lebih kurang
250 zelfbesturende landchappen dan
volksgetneenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, Negeri [Nagari] di Minangkabau, dusun dan
marga di Palembang dan sebagainya.
Selanjutnya pada Dimensi Nasional, penghormatan dan perlindungan hak-hak
masyarakat adat untuk pertama kalinya
tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor
104, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2043). Ari Sukanti,[32]
menyatakan bahwa pengaturan Hukum Adat, Dalam Peraturan Perundang-undangan
dapat diketemukan dalam: a) Konsiderant UUPA; b) Penjelasan Umum angka III ayat
(1) UUPA; c) Pasal 5 dan Penjelasan Pasal
UUPA; d) Penjelasan Pasal 16; e) Pasal 56; dan f) Pasal 58. Sedangkan
untuk Tanah Adat/Ulayat, dapat diketemukan dalam: a) Pasal 5 UUPA; b) Pasal 3 UUPA;
Pada Era Reformasi, adopsi pengakuan, penghormatan dan
perlindungan hak-hak masyarakat adat dapat diketemukan dalam Konstitusi Dasar
Negara kita, yaitu pada Perubahan Kedua Tahun 2000 yang tertuang dalam Pasal 18B ayat (2): Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya[33]
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang[34].
Jika diperhatikan secara seksama, maka pengaturan
Pasal 18B ayat (2) Dalam Konstitusi Negara yang mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya tersebut
dilihat dari pengaturannya masuk dalam Bab VI tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu, seharusnya regulasi atau
pengaturan substansi pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya masuk dalam Undang Undang
Pemerintahan Daerah, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004.
Namun jika dicermati lebih lanjut UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
hanya menyinggung pengaturan substansi masyarakat adat, hanya dalam 2
(dua) pasal dan 1 (satu) Penjelasan Pasal saja, yaitu Pasal 2 ayat
(9) tentang Pengakuan dan
Penghormatan, dan Pasal 203 ayat (3) tentang Pemilihan Kepala Desa, serta
Penjelasan Pasal 204 tentang Masa Jabatan
Kepala Desa.
Pasal 2 ayat (9):
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.”
Pasal 203 ayat (3):
“Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui
keberadaannya berlaku ketentuan hukum
adat setempat yang ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman pada Peraturan
Pemerintah.”
Penjelasan Pasal 204:
“Masa jabatan Kepala Desa dalam ketentuan ini
dapat dikecualikan bagi kesatuan
masyarakat hukum adat yang keberadaannya masih hidup dan diakui yang ditetapkan
dengan Perda.”
Pasal 28 I ayat (3): Identitas budaya
dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Berdasarkan regulasi/pengaturan yang terkait
dengan keberadaan desa, dapat dibedakan menjadi tiga jenis desa yang memiliki
karakteristik yang berbeda di antara ketiganya, yaitu: 1) Desa Adat (self governing community) berbentuk Desa Adat atau sekadar organisasi
komunitas yang mempunyai pemerintahan sendiri dan mempunyai otonomi asli.
Komunitas ini memiliki struktur yang
lepas dari atau di luar struktur birokrasi Negara, berazaskan rekognisi (pengakuan
dan penghormatan, sebagai contoh Desa Adat di Bali dengan otoritas kewenangan
yang dimiliki bersifat asal usul, mengelola urusan-urusan masyarakat yang
berskala lokal, sususnan asli, musyawarah. Kelebihan atau keuanggulan sesuai
konstek sejarah yang mempunyai asal usul jauh sebelum lahir NKRI, relevan
dengan konsep pengakuan dan penghormatan yang teruang dalam konstitusi (Pasal
18 B UUD 1945), mengakomodasikan keragaman desa-desa di Indonesia; 2) Desa Otonom (Local Self Government). Merupakan
unit pemerintahan lokal otonom yang berada dalam subsistem pemerintahan
NKRI, Desentralisasi (penyerahan), Contoh Desa Swapradja atau desapradja, status desa seperti Desa otonom, penyerahan
urusan menjadi kewenangan desa, institusi politik demokrasi modrn (electoral
dan perwakilan), keunggulan Desa otonom
ini adalah memperjelas pembagian urusan dari pemerintah kepada desa,
memungkinkan terjadinya modernism versi tradisionalisme atau antara desa
dinas/administrasi dan desa adat, menjadi lebih modern dan dinamis; 3) Desa
Administrasi (Local state government). Merupakan
unit birokrasi sebagai kepanjangan tangan dari Negara di tingkat lokal, sebagai
satuan kerja perangkat pemerintah daerah, delegasi atau tugas pembantuan,
contoh Kalurahan, desa memiliki dan berkewajiban menjalankan tugas-tugas
administrative dan pelayanan yang ditugaskan pemerintah, mempunyai institusi
demokrasi dan tidak ada otonomi.[35]
Demikian juga dalam Pasal 4 huruf j Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam. Dalam Pasal 4 Tap MPR tersebut, disebutkan bahwa Pembaruan agrarian dan pengelolaan sumberdaya
alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip: j. mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan
keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agrarian/sumberdaya alam.
Selanjutnya dalam dimensi nasional, sebagai
pengaruh tekanan/tuntutan reformasi, dikeluarkan Peraturan Menteri Negara
Agraria (PMNA)/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat hukum Adat. PMNA/Ka. BPN ini merupakan
pelaksanaan dari ketentuan Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1960 yang meletakan
penghormatan dan perlindungan hak ulayat masyarakat hukum adat. PMNA/Ka. BPN Nomor 5 Tahun 1999 ini kemudian
ditindaklanjuti dengan Instruksi Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun
2000 tentang Pelaksanaan PMNA/Ka. BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Sebagai tindak lanjut dari Instruksi Kepala BPN tersebut, Deputi Bidang Pengukuran dan Pendaftaran
tanah BPN menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 600-1999-D.IV tertanggal 3 Juli
2000, tentang Petunjuk Teknis Pilot Proyek Identifikasi Tanah Ulayat berupa
Kegiatan Pengukuran dan Pemetaaan di Negarai Tigo Jangko Sumatera Barat.[36]
Di samping itu pengakuan dan penghormatan serta
perlindungan juga tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang
bersifat sektoral, seperti UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah uraikan di atas, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor
41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, UU
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Migas, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air, UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan, UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, UU Nomor 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua Jo. UU Nomor 35 Tahun 2008, UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Naggroe Aceh Darussalam,
Jo UU UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; UU Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, dan UU Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dll.
3. Dimensi Lokal
Sementara dimensi pengaturan dan pengakuan serta
penghormatan, perlindungan hak-hak masyarakat adat yang bersifat regional,[37]
dapat diketemukan antara lain:
a. Perda
Provinsi Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari dan Perda Provinsi
Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat Dan Pemanfaatannya;
b. Perdasus
Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat
Hukum Adat Atas Tanah;
c. Perda
Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang
Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy;
d. Perda
Kabupaten Nunukan Nomor 03 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat;
e. Perda
Kabupaten Nunukan Nomor 04 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Lundayeh Kabupaten Nunukan.
f.
Perda Provinsi Daerah
Istimewa Aceh Nomor 7 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Kehidupan Adat.
Deskripsi
yuridis di atas menunjukan bahwa Negara tidak kekurangan peraturan
perundang-undangan yang memberikan pengakuan terhadap hukum adat dalam kerangka
hukum nasional. Namun demikian menurut Kurnia Warman,[38]
banyaknya peraturan yang tersedia ternyata belum memberikan jaminan secara
kontruktif terhadap keberadaan hukum adat, khususnya hak ulayat.
Sehubungan dengan pengaturan Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berdimensi lokal
dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda)/Perdasus Provinsi maupun Perda Kabupaten
tersebut, memunculkan pertanyaaan. Apakah
masuk dalam konsep pluralisme hukum ataukah merupakan perpanjangan
(kontrol) dari sentralisasi hukum?.[39] Pluralisme (perbedaan) hukum mengandung
beberapa ciri, yaitu: a) tidak ada satu sitem tunggal sebagai sumber hukum; b)
adanya semi outonomous social fields
yang memiliki kapasitas membuat aturan; c. terdapat beragam kaedah normatif
terhadap kenyataan yang bersumber pada tiap aktivitas pengaturan diri sendiri
dari berbagai wilayah sosial (semi-aoutonomous social fields) yang
beragam. d) berbagai aktivitas wilayah sosial tersebut saling pengaruh, tumpang
tindih, kompetisi maupun isolasi dengan aktivitas wilayah sosial yang ada di
sekelilingnya.
Dalam kaitan ini, Notonagoro[40]
menyatakan bahwa Dualisme dalam soal hukum tanah, masih simpang siur dengan
pluralisme (perbedaan) yang terdapat
dalam hukum adat sendiri, sehingga tidak terdapat persamaan antar daerah
yang satu dengan yang lain. Dalam garis besarnya dalam hukum adat terdapat hak
komunal yang mempunyai subjek masyarakat
hukum dan hak perserorangan.
Selanjutnya jika dikaji secara mendalam, hubungan
antara hukum masyarakat lokal dengan penjajah kolonial serta kelanjutan
relasinya. Ada dua kategori konseptual,[41]
yaitu Pertama pluralisme hukum lemah,
yaitu pengakuan hukum lokal berdasarkan ketentuan hukum negara dalam bentuk
apapun. Kedua, pluralisme hukum kuat,
yaitu masyarakat tidak lagi tunggal sebagai unit yang hanya taat pada sistem
hukum lokal sendiri, tetapi juga mempunyai pilihan bebas terhadap berbagai
hukum lain.
Hubungan
Fungsional Hukum Adat dan Hukum Tanah Nasional
Hukum Tanah Nasional disusun berdasarkan hukum adat tentang tanah. Demikian diamanatkan dalam Konsideran
UUPA. Pernyataan tersebut dapat kita
jumpai juga dalam: a. Pasal 5 UUPA, yang menyatakan bahwa Hukum Agraria yang
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat. b. Penjelasan Umum
angka III.(1) UUPA; c. Penjelasan Pasal 5 UUPA. d. Penjelasan Pasal 16 UUPA; e.
Pasal Peralihan, yaitu Pasal 56 UUPA dan secara tidak langsung juga dalam Pasal
58 UUPA.
Hukum Tanah Nasional (HTN) merupakan suatu
perangkat peraturan-peraturan hukum tertulis, yang berlaku secara nasional
sebagai hasil unifikasi hukum tanah, yang
bersumber utama pada hukum adat mengenai tanah (konsepsi, azas-azas dan
lembaga-lembaganya). Dilengkapi dengan
ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan masih berlaku mengenai hal-hal yang
belum mendapat pengaturan dalam hukum yang tertulis (perundang-undangan)
sebagai upaya untuk mencegah kevakuman (kekosongan) hukum atau (recht vacuum).
Boedi Harsono[42]
menegaskan bahwa kedudukan hukum adat setempat itu bukan berada di luar atau berhadapan dengan HTN,
melainkan merupakan bagian daripadanya yang tidak tertulis. Mengingat Hukum
Adat yang diterapkan dalam rangka
memenuhi kebutuhan yang masih bersifat sederhana, maka Hukum Tanah Nasional
dilengkapi dengan lembaga-lembaga hak-hak atas tanah, yang semula hanya dua
macam, yaitu Hak Milik dan Hak Pakai, menjadi empat macam, yaitu Hak Milik
(HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) dalam
rangka memenuhi kebutuhan masyarakat
modern. Di samping itu juga dilengkapi dengan lembaga Hak Tanggungan (HT)
sebagai lembaga hak jaminan atas tanah untuk keperluan perkreditan modern, yang
kemudian diikuti dengan lembaga Pendaftaran Tanah yang dirasakan keperluannya
untuk kapastian hukum dalam masyarakat modern.
Dalam upaya hendak mengangkat dan memperjuangkan
hukum rakyat, yaitu hukum adat menjadi hukum nasional yang modern, semenjak
jaman kolonial telah dirintis dan dilakukan oleh Soepomo (UI), Djodjodigoeno
(UGM), dan Koenoe (Unair). Berdasarkan kajian beberapa tokoh tersebut di atas,
ternyata hukum adat merupakan hukum yang memiliki keunggulan dalam hal
keluwesan dan gayutannya dengan perasaan keadilan masyarakat lokal yang
berbagai-bagai hal. Sementara Pemerintah Kolonial menunjukan diri dengan sikap nihilisme (negativisme) terhadap hukum
adat.
Para perintis hukum adat, juga menyatakan bahwa
hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh
bahan-bahan bagi Pembangunan Hukum Nasional[43]
menuju kepada unifikasi hukum. Soepomo menunjukan 4 (empat) azas, pranata dan konsep hukum adat yang
yang mempunyai nilai universal. Keempat azas tersebut adalah azas gotomg
royong, azas fungsi sosial manusia dan miliknya, azas persetujuan sebagai dasar
kekuasaan umum, dan azas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan. Sedangkan pranata yang dimaksud, Soerojo menyebutkan bahwa
pranata maro (dalam Hukum Internasional disebut production sharing contract), pranata panjer (dalam Hukum
Internasional disebut commitment fee
atau down payment), pranata kebiasaan
untuk mengijinkan tetangga tanpa perlu meminta izin secara eksplisit terlebih
dahulu (dalam hukum internasional disebut innocent
passage), pranata dol oyodan atas
tanah (yang berpadanan dalam Hukum Internasional dengan voyage charter atau time
charter), dan pranata jonggolan
(yang berpadanan dengan lien atau mortgage dalam Hukum Internasional).
Dalam hal konsep, Soerojo menyebut bahwa konsep tanah wewengkon atau tanah
ulayat yang dalam hukum internasional dikenali sebagai konsep teritorialitas
atau daerah yuridiksi. Konsep hak meminta perlindungan ke bawah kekuasaan
seseorang penguasa agar terhindar dari sanksi adat dalam hukum internasional
disebut hak asilum atau hak meminta suaka.
Berdasarkan beberapa realitas di atas, butir-butir penting pemikiran terkait
dengan regulasi hak-hak adat/hak ulayat atas tanah adalah
sebagai berikut:
Pertama, penggunaan istilah
atau sebutan “pengakuan” atau “kesepakatan”. Pada istilah pengakuan maka
mengandung konsekuensi tanpa pengakuan Hukum Negara, maka Hukum Lokal tidak
dapat diterapkan atau diaplikasikan. Konsekuensi lebih lanjut, yaitu pengakuan
memberi batasan terhadap bagian mana yang saja yang diakui dan bagian mana saja
yang dilarang. Sedangkan pada istilah “kesepakatan” lebih merupakan kontrol
terhadap Negara untuk menghargai wilayah sosial yang telah memiliki hukum
sendiri, sehingga tetap ada otonomi dalam wilayah sosial hukum. Disamping itu
relasi antara Negara-masyarakat selalu dalam relasi sejajar yang dibangun atas
berbagai kesepakatan yang dinamis dan terbuka. Sebagai contoh,[44]
kesepakatan yang dibangun antara Kepala Suku Taparu Sub Suku
Koperapoka/Nawaripi dan Sub Suku Tipuka dengan PT. Freeport Indonesia untuk
penyerahan tanah hak ulayat serta kesanggupan PT Freeport Indonesia untuk membiayai pembangunan fisik Program Rekognitie sebagai bentuk
pengakuan terhadap hak ulayat Suku Komoro. Kesepakatan tersebut difasilitasi
oleh Pemerintah yang dalam hal ini Bupati
Mimika yang dituangkan dalam SK Bupati Mimika Nomor 3 Tahun 1998 tertanggal 9
Pebruari 1998. Dengan melibatkan Yayasan Sejati, Yayasan Nawaripi dan Lembaga
Adat Masyarakat Tipuka.
Kedua, sebagai parameter
untuk pengakuan atau penghormatan terhadap pelaksanaan hak ulayat masyarakat
hukum adat, apakah bertentangan atau tidak dengan kepentingan nasional dan
Negara, maka dapat diterapkan 4 (empat) prinsip bahwa pelaksanannnya diwajibkan
berkontribusi secara nyata yaitu 1) Meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran
rakyat; 2) Meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitan dengan
penguasaan, pemilikan tanah, dan penggunaan serta pemanfaatan tanah; 3)
Menjamin keberlanjutan sistem
kemasyarakatan, kebangsaaan, dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses
seluas-luasnya pada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi
masyarakat-tanah; dan 4) Menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai
sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air dan menata sistem
pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.
Ketiga, dalam hal
eksistensi/keberadaan masyarakat hukum adat setelah dilakukan penelitian
kemudian ditetapkan dan memperoleh pengakuan serta penghormatan terhadap
hak-hak tradisionalnya, maka dalam
penyelenggaraan sistem pemerintahan
lebih diarahkan pada karakteristik sebagai Desa adat (self governing community) yang mempunyai
dan memiliki otoritas/kewenangan berdasarkan hak asal-usul.
Keempat,
adopsi
terhadap klausula kontrol (intervensi) oleh Negara dan modal. Negara dapat
memberi otonomi penuh (akses/ruang) yang cukup dan dikemas dalam peraturan
perundang-undangan kepada masyarakat untuk menyetujui atau tidak menyetujui
(menolak) masuknya segala bentuk pembangunan
ekonomi.[45]
Kelima, membangun
kesepahaman/konsep yang seimbang antara Negara-Masyarakat terhadap hal-hal
terkait dengan sumber daya alam yang akan dikelola. Sebagaimana konsep “pelepasan” ternyata mengandung
pengertian atau pemaknaan yang berbeda antara masyarakat hukum adat di satu
pihak yang memaknai sebagai pemimjaman (pimjam-pakai), dengan masyarakat pendatang atau pihak di
luar masyarakat hukum adat di sisi yang lain yang memaknai sebagai putusnya
hubungan hukum antara pemegang/pemilik dengan tanahnya. Hal ini
dapat mengurangi sedapat mungkin pembangunan yang merugikan masyarakat. Dengan
demikian, perlu dicarikan instrumens/sarana atau bentuk format lain yang dapat mempertemukan kedua
kepentingan atas pemaknaan/persepsi yang berbeda dan mampu menghasilkan
sintesis yang mampu menangkap/menfasilitasi atau menjembatani dua kepentingan antara masyarakat
asli/pribumi-pendatang, sistem hukum negara-hukum adat.
Keenam,
dalam
setiap kegiatan yang terkait dengan proses penguasaan/pemilikan, penggunaan
serta pemanfaatan (sertipikasi) termasuk
perbuatan hukum peralihan tanah hak adat/ulayat, serta pembebanan hak
tanggungan yang objeknya tanah adat/ulayat, hendaknya petugas atau aparat
pemerintah atau siapapun agar memperhatikan azas
pemisahan horizontal,[46]
yang merupakan azas di mana bahwa pemilik tanah tidak sekaligus (otomatis) sebagai
penguasa/pemilik bangunan, tanaman dan benda-benda yang ada di atas tanah,
serta azas-azas hokum lain yang masih berlaku dan digali dari hukum adat (azas rechtverwerking, azas
verjahring/kadaluwarsa, dll.). Kecuali memang telah diperjanjikan secara
tegas di dalam suatu klausul yang telah disepakati kedua belah pihak. Hal ini
untuk menghindari terjadinya sengketa/konflik di kemudian hari, sebagai akibat
ketidak-tahuan aparat/petugas pertanahan yang tidak dibekali pengetahuan yang
cukup dalam melakukan kegiatan yang terkait dengan tanah adat/ulayat. Sebagai
contoh, sengketa/perkara terkait pembatalan sertipikat Hak Pakai Atas Nama
Pemerintah Kota Surabaya (Gelora Bung Karno Surabaya), Sengketa/Perkara
Pembatalan Hak Pakai Atas Nama Pemkot Kota Yogyakarta dalam Kasus Taman Pintar,
Sengketa Tanah Taman Sriwedari Solo, dan lain-lain.
Ketujuh,
untuk mencegah terjadinya konflik dikemudian
hari. Diupayakan terhadap hakim Pengadilan Negara (PN dan PTUN) yang memeriksa
dan mengadili serta memeriksa sengketa/perkara yang substansinya tanah adat/hak ulayat, diwajibkan mempunyai
pemahaman yang utuh, sehingga putusan yang dihasilkan tidak hanya berhenti pada
keadilan prosedural,[47]
dimana bentuk keadilan prosedural yang sejatinya telah melahirkan gap atas
makna keadilan yang dibentuk di ruang sidang pengadilan dengan keadilan yang
hidup dan diangankan masyarakat. Keadilan procedural, hanya dapat dimengerti
oleh pengkaji hukum dan para praktisi hukum tetapi dianggap asing dan bersifat inklusif bagi masyarakat yang
sebenarnya adalah adresat hukum. Dengan strategi pemahaman hakim yang
menyeluruh terhadap hukum adat/ulayat atas tanah, serta menempatkan dan/atau menghargai otoritas yang
dipunyai masyarakat, untuk menerapkan azas konsensualisme/musyawarah, maka
keseimbangan akan terwujud. Jika memang masih tersedia norma, sistem adat,
seperti pranata/peradilan adat/peradilan perdamaian (desa), maka sarana
tersebut patut dipertimbangkan untuk dioptimalkan, disamping sarana lain
seperti Alternative Dispute Resolution
(ADR) dan Mediasi sebagaimana diatur dalam Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2008 Jika
ternyata Hakim tersebut hanya dibekali dengan pola berpikir untuk menerapkan
seni menemukan aturan-aturan dalam suatu kasus (in concreto), maka implikasinya bagaikan memasuki rimba peraturan,
prosedur dan administrasi, bukan lagi medan pencarian keadilan.
Kepastian Hukum Atas Tanah
Pengelolaan sumberdaya
agraria oleh Negara secara konstitusional telah tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa: ”Bumi, air dan
ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Selanjutnya
ketentuan tersebut dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau lebih dikenal dengan Undang-undang
Pokok Agraria (UUPA). Secara khusus kewenangan negara dalam pengelolaan
sumberdaya agraria tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) tentang Hak menguasai
Negara. Yang dimaksud dengan Hak menguasai dari Negara adalah memberi wewenang negara
untuk:
a.
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b.
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c.
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,air dan ruang angkasa.
Dalam konteks kekinian
regulasi tersebut secara politis mendapat dukungan kembali untuk dapat
diimplementasikan, melalui terbitnya Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam. Dalam ketetapan tersebut diamanahkan
bahwa pembaruan agraria mencakup suatu proses berkesinambungan berkenaan dengan
penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya
agraria. Hal tersebut dimaksudkan bahwa pembaruan agraria harus diarahkan untuk
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat dengan memperhatikan
kelestarian lingkungan. Amanah tersebut
mensyaratkan kepada penyelenggara negara untuk menjabarkannya ke dalam berbagai
kebijakan yang memungkinkan untuk dioperasionalisasikan oleh segenap pemangku
kepentingan di bidang keagrariaan.
Kepastian hukum Hak Atas Tanah (HAT) tidak akan terpenuhi
apabila masih terdapat berbagai tumpang tindih antar kebijakan, baik yang
bersifat sektoral maupun non sektoral. UUPA sebagai rujukan utama hukum tanah
nasional dalam implementasinya praktis hanya berjalan efektif kurang dari 5
tahun.
Tumpang Tindih
dengan Sektor Kehutanan
Pemberlakuan UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan
Pokok Kehutanan memunculkan tumpang tindihnya dalam pengelolaan
sumber daya alam baik berupa hutan, tambang maupun
tanah pertanian antara rakyat dengan pemilik modal dan negara. Dalam kaitan
dengan perkembangan pengusahaan hutan (HPH-HTI), pada awalnya kawahan Hak
Pengusahaan Hutan (HPH) berasal dari hutan belantara atas permohonan dan
konsensi, sampai dengan tahun 1990, Pemerintah RI telah memberikaqn konsensi
kepada 578 pemegang HPH, yang mengekploitasi sekitar 59,9 juta hektar hutan.[48]
Akibatnya luas dan letak serta batas-batasnya bersifat acak tidak terpola secara
sistematis. Hak Penguasahaan Hutan (HPH) perlu adanya kepastian kawasan, usaha
dan hukum, sementara menunggu Tata Guna Hutan Kesepkatan (TGHK) yang lebih
mantap dan definitp, Menteri Pertanian mengerbitkan SK Mentan No.
291/Kpts.Um/V/1979 bahwa seluruh kawasan HPH ditetapkan sebagai Hutan Produksi
Tetap (HPT). Sambil menunggu TGHK yang lebih mantap dan definitif, Dirjend
Kehutanan Departemen Pertanian melalui SK Mentan Nomor 680/Kpts/Um/1981
mengambil inisiatif untuk menyusun pedoman Penatagunaan Hutan Kesepakatan
(TGHK).
Selanjutnya di lihat dari PP Nomor 33 Tahun 1970 tentang
Perencanaan Hutan, dan imput data serta
mekanisme proses penyusunannya, maka TGHK dapat dipandang sebagai rencana umum
imajiner penggunaan lahan makro tentang peruntukan, penyediaan, pengadaan dan
penggunaan sumberdaya hutan maupun untuk kepentingan sektor lain. Sesui
Ketentuan PP Nomor 33 Tahun 1970, TGHK
menurut penggunaannya dapat dibagi menjadi Hutan Suaka Alam (HS), Hutan Lindung
(HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi Bebas (HPB), Hutan Produksi
Yang Dapat Dikonversi (HPK) dan Areal Penggunaan Lain (APL).
Pada Era Orde Baru dengan Menerapkan Paduserasi (1990-1998). Proses
Paduserasi antara TGHK dengan Tata Ruang terus berjalan secara bertahap pada
tingkat Provinsi. Hasil Paduserasi antara TGHK dengan Tata Ruang Wilayah Provinsi oleh Departemen akehutanan
diberikan nama Kawasan Hutan dan Perairan (KHP) sesuai wilayah Provinsi yang
bersangkutan. Misalnya KHP Provinsi Jambi dengan SK Nomor 421/Kpts-II/1999
tertanggal 15 Juni 1999 ditetapkan luas
kawasan hutan dan perairan seluas
2.187.440 Hektar dari luas Provinsi
Jambi seluas 5.343.600 Hektar.
Problematikannya muncul, pada saat
dimana KPH Provinsi yang telah disahkan oleh Menteri Kehutanan tersebut tidak seluruhnya menjadi acuan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi maupun Rencana Tata Ruang Wilayah Kab/Kota. Hal ini sering memunculkan konflik areal
antara Departemen Kehutanan (KHP-berdasarkan SK Menteri Kehutanan) dihadapkan
dengan (Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota berdasarkan
Perda). Konflik ini sangat dirasakan
oleh para Penguasaha di arela HPH-HTIO dan Kawasan Konservasi (Suaka Alam dan
Pelestarian Alam). Hal ini menyebabkan adanya ketidakpastian lahan dan hukum
serta kemantapan kawasan hutan.
Pada Era Reformasi 1998-2003, terjadi
pergeseran paradigmatik dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan dari yang
semula bersifat Sentralistik ke Desentralisasi atau dari ekonomi
konglomerasi–ke ekonomi kerakyatan. Pada tahun 1999 diterbitkan UU Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dikeluarkan kebijakan tentang Pengusahaan Hutan
dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi dengan PP Nomor 6 Tahun
1999 yang memberi batasan bahwa HPH bagi
konglomerasi hanya diberikan HPH seluas 100.000 Hektar/Provinsi dan maksimal
400.000 Hektar seluruh Indonesia, kecuali Provinsi Papua dapat memperoleh
konsensi HPH seluas 200.000 Hektar, dan PP Nomor 69 Tahun 1999 memberikan askes
tuntutan reformasi, maka Menteri
Kehutanan dan Perkebunan mengeluarkan
Nomor 317 Tahun 1999 tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat,
Hukum Adat Areal Hutan Produksi.
Situasi dan kondisi saat itu terjadi
perubahan sangat cepat dengan disorong pula oleh perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan tersebut, sementara
SDM di Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota belum siap, untuk menjalankan
kebebasan sebagai bagian dari demokrasi. Hal tersebut berakibat pada carut marutnya pengelolaan yang berkaitan dengan kegiatan/usaha di
bidang kehutanan. Areal HPH banyak yang
di jarah dan diklaim oleh masyarakat. Banyak penguasaha HPH mengalama stagnan
dikarenakan tidak mampu mengimbangi pola
iklim reformasi terkait dengan perizinan yang ditangani oleh Pemerintah
Kab/Kota bahkan masyarakat hukum adat ikut bermain dan mempunyai posisi tawar
terhadap lahirnya HPH baru. Oleh karena itu banyak terjadi tumpang tindih
antara KHP dengan RTRWK (Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ Kota) maupun
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), belum lagi munculnya perizinan
yang bersifat ilegal yang dikeluarkan oleh Masyarakat Hukum Adat.
Situasi menjadi lebih runyam, dimana
SK Menteri Kehutanan yang seharusnya menjadi rujukan dalam proses
perizinan kegiatan HPH-HTI menjadi tidak
berarti dan harus berhadapan dengan kekuatan Gubernur-Bupati-Masyarakat Hukum
Adat. Kondisi ini didukung lagi dengan ditetapkannya Ketetapan MPR Nomor
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum Tata Urutan Peraturan PerUndang-Undangan RI,
dimana SK Menteri kehutanan tidak lagi
diposisikan sebagai produk Peraturan Perundang-undangan (UU, Perpu, PP,
Keppres, Perda Provinsi, Perda Kab/Kota, Perdes). Kondisi ini mengakibatkan
menurunya gairah berusaha/berinvestasi di bidang kehutanan.
Era Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ditindaklanjuti
dengan Revisi UU Nomor 22 Tahun 1999 dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, yang kemudian diikuti lahirnya UU Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana dalam Pasal 7 UU
tersebut posisi Perpu dikembalikan
sejajar dengan UU dan dibawah UU/Perpu ada peraturan perundang-undangan dalam
bentuk PP, Perpres, Perda Provinsi,
Perda Kabupaten/Kota, Perdes. Selanjunya berdasarkan UU Nomor 12 Tahun
2011 UU Nomor 10 Tahun 2004 dinyatakan tidak berlaku.
UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, melakukan pembagian status hutan
menjadi tiga, yaitu Hutan Negara (hutan yang berada pada tanah yang tidak
dibebani dengan hak atas tanah), Hutan Hak (hutan yang berada pada tanah yang
dibebani hak atas tanah: Permenhut Nomor
P.26/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak), dan Hutan Adat
yaitu (hutan negara yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat).
Secara normatif di dalam UU Nomor 41
Tahun 1999 tersebut, tidak merumuskan bagaimana status pelaksanaan
kegiatan di kawasan hutan, khususnya di kawasan hutan lindung. Pasal 38 ayat (4) UU No. 41 Tahun 1999: secara
tegas menyatakan bahwa pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan
penambangan dengan pola pertambangan terbuka; Ketentuan tersebut seharusnya
hanya berlaku terhadap izin pertambangan setelah UU itu diundangkan, dan tidak
diberlakukan surut. Oleh karena itu,
menimbulkan ketidak pas tian hukum dalam berusaha di bdg pertam bangan
di kawasan hutan terutama bagi investor yang telah memiliki izin atau
perjanjian sebelum berlakunyaUU Nomor 41 Tahun 1999. Berdampak pada posisi
sulit bagi pemerintah untuk
mengembangkan iklim investasi dan mendorong minat serta kepercayaan masyarakat
dalam berinvestasi di Indonesia. Diadakan Perubahan UU Nomor 41 Tahun 1999
dengan UU Nomor Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1
Tahun 2004 tgl. 11 Maret 2004. Subtansi: Menambah ketentuan baru dalam Bab
Penutup yang dijadikan Pasal 83A dan 83B. Pasal 83A: “Semua perizinan atau perjanjian
di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku
sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud.” Pasal 83B: “Pelaksanaan
lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 83A ditetapkan dengan
Keputusan Presiden”. Untuk mengukuhkan Perpu Nomor 1 Tahun 2004,
maka ditetapkanlah UU Nomor 19 Tahun 2004 tanggal 13 Agustus 2004
tentang Penetapan perpu No. 1 Tahun 2004 menjadi UU. Konsekuensi dari Ketentuan pasal 83A UU No.
19 Tahun 2004 adalah semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan
yang telah ada sebelum berlakunya UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud.
Secara ringkas berdasarkan kronologisnya penetapan
suatu kawasan hutan yang ada di berbagai daerah di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Register-Register Kawasan Hutan (Hutan Register) yang dibuat
dan merupakan peninggalan pada jaman
Pemerintah Hindia Belanda. Register Kawasan hutan tersebut, kemudian tetap digunakan oleh Pemerintah (Cq.
Departemen Kehutanan/Kementerian Kehutanan) dan berjalan hingga pada jaman
kemerdekaan dan dilanjutkan pada jaman Orde Lama (Orla), bahkan sampai era Orde
Baru, sekitar tahun 1980 meskipun Pemerintah telah menerbitkan UU Nomor 5 Tahun
1967 diterbitkan UU tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan.
b. Selanjutnya pada 1980, Pemerintah menerbitkan kebijakan terkait
Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian.
Kebijakan tersebut, selanjutnya ditindaklanjuti dengan Instruksi Menteri Dalam
Negeri Nomor 26 Tahun 1982 tentang Penetapan Pengesahan Batas Kawasan Tata Guna
Kesepakatan tertanggal 13 Mei 1982 yang pada intinya agar semua Gubernur KDH Tingkat
I seluruh Indonesia sebelum menetapkan/mengesahkan batas kawasan Tata Guna
Hutan Kesepakatan terlebih dahulu memohon persetujuan dari Mendagri Cq.
Direktur Jenderal Agraria dengan menyampaikan naskah TGHK dilampiri naskah peta
TGHK dan telaah mengenai daerah yang termasuk dalam batas Kawasan Tata Guna
Hutan Kesepakatan.
c. Pada era Orde Baru juga, terlahir UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang, maka TGHK masih tetap berjalan, akan tetapi didominasi
oleh kepentingan Pemerintah Daerah Provinsi yang dituangkan dalam bentuk
kebijakan berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi yang berlangsung
sampai tahun 1995.
d. Pada tahun 1995 dan tahun-tahun sebelumnya, mengingat banyak
muncul konflik antara wewenang
Pemerintah Pusat (Cq. Departemen Kehutanan) dengan Pemerintah Provinsi, serta
Pemerintah Kabupaten/Kota yaitu tumpang
tindih antara KHP yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat Cq. Departemen
Kehutanan dengan RTRWK (Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ Kota) maupun
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), belum lagi munculnya perizinan
yang bersifat ilegal yang dikeluarkan oleh Masyarakat Hukum Adat. Pemerintah
melakukan upaya Padu Serasi antara TGHK dengan RTRWP.
e. Berikutnya pada tahun 1999 dengan dikeluarkannya UU Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor Nomor 19
Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan UU
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi UU, maka berlaku kebijakan terkait dengan Penunjukan Kawasan Hutan.
Beberapa hal yang secara khusus dapat
disebutkan sebagai wujud nyata tumpang tindihnya HAT dalam sektor kehutanan
adalah:
1. Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Berdasarkan Permenhut Nomor
P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan tersebut,
penggunaan sebagian kawasan hutan hanya
dimungkinkan bagi kepentingan pembangunan
di luar kegiatan kehutanan. Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan
dimaksud meliputi:
1)
Religi antara lain
tempat ibadah, tempat pemakaman dan wisata rohani;
2)
Pertambangan
meliputi pertambangan minyak dan gas bumi, mineral, batubara dan panas bumi
termasuk sarana dan prasarana;
3)
Instalasi
pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik serta tehnologi energi baru dan
terbarukan;
4)
Jaringan
telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun relay televisi;
5)
Jalan umum, jalan
tol, dan jalur kereta api;
6)
Prasarana
transportasi yang tidak dikategorikan sebagai prasarana transportasi umum untuk
keperluan pengangkutan hasil produksi [pembangunan jalan, kanal, pelabuhan atau sejenisnya untuk keperluan pengangkutan
produksi pertambangan, perkebunan, pertanian, perikanan atau lainnya.];
7)
Sarana dan
prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air, dan saluran air
bersih dan/atau air limbah;
8)
Fasilitas umum;
9)
Industri terkait
kehutanan;
10) Pertanahan dan keamanan, antara lain pusat latihan tempur, stasiun
radar dan menara pengintai;
11) Prasarana penunjang keselamatan umum antara lain keselamatan lalu
lintas laut, lalu lintas udara dan sarana meteorologi, klimatologi dan
geofisika; atau
12) Penampungan sementara korban bencana alam.
Pada prinsipnya penggunaan kawasan
hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kawasan kehutanan tersebut di
atas, didasarkan pada pertimbangan dan
tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, terbatas pada kawasan hutan produksi; dan/atau kawasan hutan lindung, serta dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok
kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu
serta kelestarian lingkungan.
Ketentuan khusus
penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dilakukan dengan
ketentuan:
1) Di kawasan hutan produksi
dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka dan pola pertambangan
bawah tanah.
2) Di kawasan hutan lindung
hanya dapat dilakukan pertambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan
ketentuan dilarang mengakibatkan turunnya permukaan tanah dan berubahnya
peruntukan/fungsi pokok kawasan hutan secara permanen, serta terjadinya
kerusakan akuiver air tanah.
3) Bagi 13 izin/perjanjian di bidang pertambangan sebagaimana
ditetapkan dengan Keppres Nomor 41 Tahun 2004 sesuai dengan UU Nomor 19 Tahun
2004 dapat dilakukan tambang terbuka di hutan lindung.
Terkait dengan kegiatan penggunaan
kawasan hutan lindung untuk penambangan bawah tanah, Pemerintah telah
meregulasi dan menuangkannya dalam
Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2011 tertanggal 19 Mei 2011. Pada
prinsipnya Perpres tersebut menentukan bahwa di dalam kawasan hutan lindung
dapat dilakukan kegiatan penambangan dengan metode penambangan bawah tanah.[49]
Izin penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan penambangan diberikan
melalui 2 (dua) tahapan, yaitu: Pertama,
Penerbitan persetujuan prinsip; dan Kedua,
Penerbitan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Lindung.
2. Pemetaan Kawasan Hutan Tingkat Kabupaten/Kota
Kegiatan pemetaan
kawasan hutan Kabupaten/Kota, yang hasilnya dituangkan dalam bentuk Peta
Kawasan Hutan merupakan produk yang menjadi acuan dalam pengurusan hutan kabupaten/kota
serta menjadi dasar dalam penerbitan izin atau rekomendasi pemanfaatan hutan
dan penggunaan hutan. Pedoman yang dapat digunakan untuk pemetaan kawasan hutan
bagi Pemerintah Kabupaten/Kota didasarkan pada
Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P.20/Menhut-II/2011 tentang Pedoman
Pemetaan Kawasan Hutan Tingkat Kabupaten/Kota tertanggal 30 Maret 2011. Peta Kawasan Hutan
Kabupaten/Kota dibuat dengan tingkat
ketelitian minimal berskala 1 : 100.000. Dalam hal kawasan hutan kabupaten/kota
yang bentangan wilayahnya sempit dapat menggunakan skala 1: 50.000, atau skala
1 : 25.000. Di dalam Permenhut Nomor P.20/Menhut-II/2011 tersebut ditentukan
bahwa pelaksanaan kegiatan pemetaan
kawasan hutan kabupaten/kota dilakukan melalui 3 (tiga) tahap, yaitu penyusunan,
pembahasan dan penilaian, serta penetapan.
3. Penataan Batas Areal Kerja Izin Pemanfaatan Hutan
Penataan Batas Areal Kerja Izin
Pemanfaatan Hutan (IPH) ini semula diregulasi dengan Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan Nomor 900/Kpts-II/1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Kegiatan Survei Potensi, Pengukuran dan Penataan Batas Areal Kerja Hak
Penguasahaan Di Bidang Kehutanan. Penataan batas adalah kegiatan yang meliputi
pembuatan rintis batas, pemasangan pal batas, pengukuran batas, pembuatan dan
penandatanganan berita acara hasil pelaksanaan penataan batas. Batas areal
kerja ijin poemanfaatan hutan dapat berupa:
1) Batas areal kerja izin pemanfataan hutan (BTKIPH) yang merupakan
batas kawasan hutan dengan batas bukan kawasan hutan;
2) Batas areal kerja izin pemanfataan hutan (BTKIPH) yang merupakan
batas fungsi kawasan hutan ; dan/atau
3) Batas areal kerja izin pemanfataan hutan (BTKIPH) yang berada
dalam satu atau lebih fungsi (tidak berimpit dengan batas fungsi).
Hal yang perlu diperhatikan dalam
melaksanakan penataan batas areal kerja IPH adalah batas kawasan hutan yang
telah dikukuhkan/ditata batas, peta hasil tata batas perizinan di bidang
kehutanan, hak-hak atas tanah yang sah
sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan; dan permukiman dalam
desa definitif yang telah mendapat keputusan dari pejabat yang berwenang.
4.
Tukar Menukar
Kawasan Hutan
Regulasi
yang menjadi pedoman teknis dalam
pelaksanaan tukar-menukar kawasan hutan semula diatur dalam: 1) Keputusan
Menteri kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan,
terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2009;
2) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan
Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor SK.48/Menhut-II/2004.
Beberapa regulasi tersebut di atas dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.32/Menhut-II/2010 tertanggal 29 Juli
2010, pada ketentuan Pasal 34-nya mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi.
Tukar
menukar kawasan hutan adalah perubahan Kawasan Hutan Produksi (HP) dan/atau
Kawasan hutan Produksi Terbatas (HPT) menjadi bukan hutan yang diimbangi dengan
memasukan lahan pengganti dari bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan. Untuk
pelaksanaan kegiatan tuykar menukar kawasan hutan diperlukan/dibentuk Tim Tukar
Menukar Kawasan Hutan yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan yang terdiri dari
unsur Kementerian Kehutanan yang bertugas melakukan penelitian dan memberikan
rekomendasi kepada Menteri terhadap permohonan tukar-menukar kawasan hutan
dengan luas paling banyak 2 (dua) hektar dan untuk kepentingan umum terbatas
yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah.
5. Penanganan Konflik, Sengketa dan Perkara Pertanahan
Perlu diketahui bahwa mandat untuk penyelesaian konflik agraria, termasuk di dalamnya
konflik/sengketa pertanahan telah diamanatkan dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketetapan MPR RI
Nomor IX/MPR-RI/2001 ini dengan
diberlakukannya UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (Lembaran Negara RI
Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5254), pada pasal 7
ayat (1) huruf b disebutkan bahwa jenis dan hierarkhi Peraturan
Perundang-undangan terdiri atas: a. UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelsi Permusyawaratan
Rakyat; c... dst-nya. Dengan penempatan
Ketetapan MPR sebagai bagian dari
Peraturan Perundang-undangan , maka dengan sendirinya Ketetapan MPR Nomor
IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
tersebut mempunyai kekuatan mengikat bagi seluruh lembaga negara dan rakyat
Indonesia, tanpa terkecuali. Selanjutnya pada Pasal 5 ayat (1) Ketetapan MPR RI
tersebut ditegaskan bahwa arah kebijaksanaan pembaruan agraria meliputi
diantaranya: menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya
agraria yang timbul selama ini sekaligus
dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin
terlaksanannya penegakan hukum dengan di dasarkan atas prinsip-prinsip
sebagaimana telah ditetapkan dalam pasal 4.
Upaya penyelesaian konflik agraria,
selama ini dirasakan masih sangat lamban, bahkan keadaannya seperti mati suri.
Penyelesaian konflik agraria juga terbentur pada kendala psikologis dan politis
pada masa lalu. Hal tersebut dapat kita lacak, dengan adanya program land reform (pembaruan agraria). Sementara land reform sendiri menjadi momok, di mana orang tidak mau membahas
ataupun menbicarakan lagi. Hal tersebut dikarenakan pada tahun 1965, pernah
dihembuskan stigma, bahwa Land Reform
sebagai programnya Partai Komunis Indonesia (PKI), atau dengan sebutan “aksi
sepihak”. Pernyataan tersebut, diperkuat
dengan analisis Petrivk McAuslan yang
mengemukakan bahwa dalam melaksanakan UUPA dan peratutran pelaksanaan lainnya
di bidang pertanahan sampai sekarang ini belum nampak mewujudkan secara serius,
konkrit dan murni. Kondisi program landreform
di Indonesia sebagaimana diuraikan oleh Petrick Mc Auslan tersebut,
dikarenakan oleh terdapat 3 (tiga)
hambatan yang sunggug-sungguh disadari baik oleh pemerintah maupun oleh
masyarakat luas, yaitu: Pertama,
Hambatan Psikologis yang berkembang sejak tahun 1960-1965, dimana dikatakan
bahwa UUPA sebagai produk PKI; Kedua,
masih sedikitnya jumlah ahli agraria, pada hal Indonesia adalah Negara Agraris;
Ketiga, Hambatan di bidang hukum,
yaitu pihak pelaksana (aparatur) masih adanya ketidaksepahaman terhadap
penafsiran UUPA di antara para petugas agraria dan aparatur pemerintah, subjek
hukum (masyarakat) di mana orang hanya menonjolkan haknya, tetapi tidak
menyadari dan melaksanakan kewajibannya, produk hukum itu sedniri (UUPA beserta
peraturan pelaksanaannya) sering mengalami pergeseran kepentingan atau
ketentuan yang kurang sinkron.
6.
Peradilan Pertanahan
Secara konstitusional Kekuasaan Kehakiman diatur
dalam Pasal 24, 24A, 24B dan 24C Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Dalam Pasal 24 ayat (1)
ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Selanjutnya pada
ayat (2) Pasal tersebut dinyatakan bahwa
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Lebih lanjut dalam Pasal 24 ayat
(3), disebutkan bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Sedangkan mengenai Susunan,
kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan
dibawahnya diatur dengan undang-undang.
Pengadilan khusus di bidang pertanahan, pembentukannya menerapkan ketentuan Pasal 27
UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009
Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara 5076) yang menyebutkan bahwa:
Ayat (1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk
dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
sebagaimana dimaksud Pasal 25;
Ayat (2) Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan undang-undang.
Dalam penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 48
Tahun 2009 yang dimaksud dengan
pengadilan khusus antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga,
pengadilan hak azasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan
hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan
peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata
usaha negara.
Pengadilan khusus
mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara
tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Setelah memperhatikan penjelasan Pasal 27 ayat (1)
UU Nomor 48 Tahun 2009 tersebut, jika digambarkan dalam bentuk bagan maka
Pengadilan Kekhususan yang sudah ada di Indonesia akan nampak sebagai berikut:
Peng. Anak
|
Peng Niaga
|
Peng HAM
|
Peng. TPK
|
Peng. HI
|
Peng. Perikanan
|
Peng. Pajak
|
KELEMBAGAAN
PERTANAHAN
- Struktur Organisasi
Embrio kelembagaan pertanahan muncul setelah
terbitnya UUPA pada tahun 1960. Untuk menjalankan UUPA tersebut dibentuklah
Departemen Agraria yang unsur-unsurnya berasal dari Departemen Dalam Negeri,
Departemen Kehakiman dan Departemen Pertanian. Pada
tahun 1968 mengalami perubahan dan menjadi bagian dari Departemen Dalam Negeri
dengan sebutan Direktorat Jenderal Agraria. Kelembagaan yang lebih mapan mulai
terbentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan
Pertanahan Nasional. Melalui keppres ini kedudukan, tugas dan fungsi Dirjend
Agraria ditingkatkan menjadi lembaga setingkat menteri yang kedudukannya berada
di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada presiden.
Kesejarahan kelembagaan sebagaimana di
atas tampak sebagai dinamika dan pasang surutnya kewenangan lembaga pertanahan.
Kelembagaan Departemen Agraria yang pertama kali dibentuk dianggap tidak
efektif, kemudian disederhanakan menjadi Direktorat Jenderal Agraria di bawah Departemen
Dalam Negeri. Setelah itu kelembagaan pertanahan berubah-ubah dari departemen,
badan, kementerian negara, dan kembali lagi ke Badan.
Pada saat ini penyelenggaraan pemerintahan di
bidang pertanahan menjadi tugas dan wewenang Badan Pertanahan Nasional (BPN). Berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, BPN
adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang mempunyai tugas melaksanakan
tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral.
Kelembagaan pertanahan berdasarkan Perpres 10/2006 ini mengalami perkembangan
yang cukup significant dibandingkan
kelembagaan pertanahan sebelumnya. Struktur kelembagaan yang terdiri dari 7
(tujuh) pejabat setingkat eselon I ini merupakan organisasi pertanahan yang
paling lengkap selama ini.
Struktur
organisasi BPN di tingkat pusat terdiri dari (a) Kepala;
(b) Sekretariat Utama; (c) Deputi Bidang Survei, Pengukuran, dan Pemetaan; (d) Deputi
Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah; (e) Deputi Bidang Pengaturan dan
Penataan Pertanahan; (f) Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan
Masyarakat; (g) Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik
Pertanahan; (h) Inspektorat Utama. Pembentukan 5 kedeputian teknis di BPN
menunjukkan bahwa tugas pokok dan fungsi BPN sudah semakin jelas dan meliputi
berbagai persoalan pertanahan yang muncul dan berkembang seiring perkembangan
pembangunan. Masing-masing kedeputian membawahi beberapa direktorat, beberapa
diantaranya adalah direktorat baru, seperti Direktorat Survei Potensi Tanah,
Direktorat Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu,
Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Kelembagaan.
Terbitnya PP 10/ 2006 yang diikuti dengan munculnya Peraturan Kepala BPN
Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan, merupakan babak baru dalam
pengelolaan dan pelayanan pertanahan. Berdasarkan perpres tersebut fungsi BPN
RI semakin luas dan semakin kuat, terutama berkaitan dengan upaya-upaya untuk
mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyat melalui pendayagunaan sumberdaya
agraria/pertanahan. Dalam konteks peraturan perundang-undangan tersebut, satu
hal yang sangat esensial dan prospektif untuk mewujudkan keadilan sosial dan
kemakmuran masyarakat melalui penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah adalah munculnya direktorat, bidang, sub bidang, seksi dan
sub seksi baru, baik pada level pusat maupun daerah. Berbagai unit/bagian dari
kelembagaan baru ini, nampak sebagai kebijakan yang diupayakan untuk membumikan
dan meng-cover seluruh agenda pengelolaan
pertanahan.
Berdasarkan Perkaban 4/2006 organisasi Kantor Wilayah BPN Provinsi adalah:
(a) Bagian Tata Usaha; (b) Bidang Survei,
Pengukuran, dan Pemetaan; (c) Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah; (d) Bidang
Pengaturan dan Penataan Pertanahan; (e) Bidang Pengendalian Pertanahan dan
Pemberdayaan Masyarakat; dan (f) Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan
Konflik Pertanahan. Masing-masing bidang membawahi seksi teknis yang
berhubungan dengan tugas pokok dan fungsi kanwil BPN. Kanwil BPN merupakan
instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional di Provinsi yang berada di bawah
dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Struktur organisasi pada level kantor
pertanahan kabupaten/kota tidak berbeda jauh dengan struktur organisasi pada
level kanwil BPN provinsi. Sebutan bidang di kanwil BPN menjadi seksi di kantor
pertanahan. Secara lengkap sesuai Perkaban 4/2006 struktur organisasi kantor
pertanahan kabupaten/kota adalah: (a) Subbagian Tata Usaha;
(b) Seksi Survei, Pengukuran dan Pemetaan;
(c) Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah;
(d) Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan;
(e) Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan; dan (f) Seksi
Sengketa, Konflik dan Perkara. Kantor Pertanahan ini adalah instansi vertikal
Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten/Kota yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui
Struktur organisasi BPN ini
dapat dikatakan sudah memadai untuk mendukung tugas pokok dan fungsi
kelembagaan pertanahan nasional, karena sudah mencakup dan melingkupi bidang
kerja pertanahan secara nasional, regional maupun sektoral. Namun demikian
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi BPN belum seluruhnya berjalan efektif karena
berdasarkan evaluasi masih dijumpai
satuan kerja di tingkat kanwil dan kantor pertanahan masih tidak linear dengan
kedeputian di tingkat pusat dan masih timpangnya beban kerja antar wilayah dan
satuan kerja[50].
Persoalan lain yang sering muncul dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi
adalah lemahnya koordinasi dengan institusi lain (kementerian/lembaga)
berkenaan dengan karakter pertanahan yang multidimensi, multisektor dan
multistakeholder. Kondisi ini bisa jadi disebabkan oleh regulasi pembentukan
yang berada pada level peraturan presiden. Untuk mendukung kelembagaan BPN agar
lebih kuat dan mempunyai power yang cukup berhadapan dengan kementerian/lembaga
lain, pengaturan kelembagaan perlu dilakukan melalui undang-undang.
Reformasi
Birokrasi
Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaruan
dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama
menyangkut aspek-aspek kelembagaan, ketatalaksanaan dan sumberdaya manusia. Secara umum
reformasi birokrasi di Indonesia telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden
Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi
2010 – 2025. Grand Design Reformasi
Birokrasi bertujuan untuk memberikan arah kebijakan pelaksanaan reformasi
birokrasi nasional selama kurun waktu 2010-2025 agar reformasi birokrasi di K/L
dan Pemda dapat berjalan secara efektif, efisien, terukur, konsisten,
terintegrasi, melembaga, dan berkelanjutan.
Reformasi
birokrasi bermakna sebagai sebuah perubahan besar dalam paradigma dan tata
kelola pemerintahan Indonesia. Selain itu, reformasi birokrasi juga bermakna
sebagai sebuah pertaruhan besar bagi bangsa Indonesia dalam menyongsong
tantangan abad ke-21[51]. Reformasi birokrasi di BPN telah dilakukan
secara menyeluruh pada tahun 2006. Melalui Perpres 10/2006 tentang BPN,
kelembagaan, tugas pokok dan fungsi, sumberdaya manusia dan sarana prasarana
mulai dilakukan pembaruan. Regulasi ini mengukuhkan tugas BPN semakin besar dan
luas, melalui klausul Pasal 2 yang menyatakan bahwa Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral.
Berkenaan dengan kelembagaan telah dikembangkan struktur organisasi BPN yang
lengkap dan melingkupi seluruh bidang tugas peertanahan.
Reformasi
birokrasi yang dilakukan oleh BPN ternyata linear dengan UU No. 17 Tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Dalam
rangka mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan melalui
pengelolaan pertanahan, pada Bab IV.1.5 angka 11 tertuang:
“menerapkan sistem pengelolaan pertanahan
yang efisien, efektif, serta melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas
tanah dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi.
Selain itu, perlu dilakukan penyempurnaan penguasaan, pemilikan, penggunaan,
dan pemanfaatan tanah melalui perumusan berbagai aturan pelaksanaan land
reform serta penciptaan insentif/disinsentif perpajakan yang sesuai dengan
luas, lokasi, dan penggunaan tanah agar masyarakat golongan ekonomi lemah dapat
lebih mudah mendapatkan hak atas tanah. Selain itu, menyempurnakan sistem hukum
dan produk hukum pertanahan melalui inventarisasi dan penyempurnaan peraturan
perundang-undangan pertanahan dengan mempertimbangkan aturan masyarakat adat,
serta peningkatan upaya penyelesaian sengketa pertanahan baik melalui
kewenangan administrasi, peradilan, maupun alternative dispute resolution.
Selain itu, akan dilakukan penyempurnaan kelembagaan pertanahan sesuai dengan
semangat otonomi daerah dan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia,
terutama yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia bidang
pertanahan di daerah”.
Salah
satu arah pembangunan jangka panjang untuk mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan melalui
pengelolaan pertanahan sebagaiman telah disebutkan, memuat beberapa pokok
persoalan pertanahan yang merupakan bagian dari reformasi birokrasi. Beberapa
hal pokok tersebut meliputi:
(1) Sistem pengelolaan
pertanahan yang efisien dan efektif. Untuk mewujudkan hal ini, sudah mulai
dilakukan melalui berbagai sistem pengelolaan pertanahan dengan mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta ketersediaan sumberdaya
manusia dan sarana penunjangnya. Penerapan Sistem Informasi Manajeman Pertanahan
Nasional (SIMTANAS), Land Office
Computerization (LOC), Komputerisasi Kantor Pertanahan (KKP), Geo KKP dan
Geo KKP berbasis Web merupakan beberapa sistem yang diberlakukan dalam rangka
efisiensi dan efektivitas pelayanan pertanahan. Sistem Layanan Rakyat untuk
Sertifikasi Tanah (Larasita) yang merupakan mobile
services juga diterapkan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik.
(2)
Penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan
menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi. Reformasi
birokrasi dalam hal ini dilakukan melalui penerbitan regulasi yang mengatur
tentang keadilan dalam hak atas tanah. Peraturan Pemerintah No
11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, merupakan
salah satu aturan pelaksanan UUPA yang bertujuan untuk memberikan disinsentif
bagi pemegang hak. Pemegang hak atas tanah yang tidak
menggunakan haknya sesuai peruntukannya atau justru menelantarkannya diambil
oleh negara untuk didayagunakan sesuai kebutuhan, baik menjadi tanah negara
obyek reforma agraria, program strategis nasional maupun untuk cadangan
negara. Regulasi ini merupakan upaya penegakan hukum untuk memberikan rasa
keadilan dalam pemberian hak atas tanah. Upaya penataan penguasaan tanah agar
lebih berkeadilan perlu dilakukan dengan menerapkan reforma agraria sebagai
strategi pembangunan. Reforma agraria ini dapat dijadikan sebagai basis dalam
pengambilan kebijakan yang berhubungan penataan hak atas tanah berprinsipkan
keadilan, transparansi dan demokrasi. Lebih dari itu reforma agraria yang
dimaknai sebagai suatu penataan ulang atau restrukturisasi
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber – sumber agraria,
terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani dan rakyat kecil pada
umumnya ketika terdapat ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan
dan pemanfaatan sumber – sumber agraria, mampu menyelesaikan berbagai persoalan
bangsa berkenaan dengan: a) ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan
tanah; b) persoalan kemiskinan; c) keterbatasan lapangan kerja; d) keterbatasan
akses rakyat terhadap sumber-sumber ekonomi, terutama tanah; e) tingginya
sengketa dan konflik pertanahan; f) semakin menurunnya kualitas lingkungan
hidup; dan g) persoalan ketahanan pangan.
(3) penyempurnaan penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah melalui perumusan berbagai aturan
pelaksanaan land reform. Reformasi
birokrasi dalam hal ini dilakukan melalui percepatan inventarisasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (IP4T). Kegiatan ini kemudian
ditunjang dengan legalisasi asset untuk seluruh wilayah di Indonesia, meskipun
sampai saat ini baru terselesaikan sekitar 44 juta bidang tanah, dari lebih
dari 100 juta bidang. Pendaftaran tanah bergerak melalui Program Larasita perlu
ditingkatkan, mengingat belum optimalnya proses legalisasi asset terhadap
seluruh bidang tanah di Indonesia. Reformasi birokrasi dalam hal kelembagaan
pendaftaran tanah tampaknya masih harus terus dilakukan. Sistem pendaftaran tanah
negatif bertendensi positif perlu dievaluasi untuk menuju sistem pendaftaran
tanah positif yang mampu secara cepat memberikan kepastian hak bagi setiap
warga Negara dan badan hukum pemegang hak.
(4) penciptaan
insentif/disinsentif perpajakan yang sesuai dengan luas, lokasi, dan penggunaan
tanah agar masyarakat golongan ekonomi lemah dapat lebih mudah mendapatkan hak
atas tanah. Mengingat persoalan perpajakan bukan domain BPN maka kegiatan yang
dilakukan dalam rangka mendukung keberhasilan reformasi birokrasi di bidang
perpajakan. Dalam hal ini kegiatan survey potensi tanah yang menghasilkan Zona
Nilai Tanah (ZNT) di setiap wilayah di Indonesia terus dilakukan. ZNT ini dapat
digunakan untuk: (a) penentuan tarif dalam pelayanan
pertanahan; (b) referensi masyarakat dalam transaksi pertanahan dan property;
(c) penentuan ganti rugi dalam pengadaan tanah; (d) inventori nilai asset
publik maupun asset masyarakat; (e) monitoring nilai tanah dan pasar tanah; dan
(f) sebagai referensi dalam penetapan NJOP untuk PBB, agar lebih adil dan
transparan.
(5) penyempurnaan
peraturan perundang-undangan pertanahan dengan mempertimbangkan aturan
masyarakat adat. Reformasi birokrasi dalam bentuk penyempurnaan peraturan
perundang-undangan dilakukan melalui evaluasi dan pencermatan terhadap regulasi
yang mengatur tentang pertanahan, baik pada level undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan/keputusan presiden, instruksi presiden,
peraturan/keputusan menteri/Kepala BPN, surat edaran menteri/kepala BPN sampai
pada level instruksi menteri/kepala BPN. Total regulasi yang dikaji mencapai
538 peraturan perundang-undangan[52].
(6) peningkatan upaya
penyelesaian sengketa pertanahan baik melalui kewenangan administrasi,
peradilan, maupun alternative dispute resolution. Berbagai upaya telah
dilakukan dalam rangka penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan.
Penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan melalui ADR dilakukan melalui
pengembangan tenaga mediator pada kantor wilayah dan kantor pertanahan. Untuk
memacu penanganan
dan penyelesaian konflik pertanahan, telah diterbitkan Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian Dan
Penanganan Kasus Pertanahan. Implementasi regulasi
ini telah dilakukan pemetaan kasus-kasus pertanahan, yang meliputi empat aspek, yaitu: (a) para pihak yang
bersengketa; (b) pokok Permasalahan; (c) bukti-bukti dan dokumen pendukung; dan (d) analisis
dan rekomendasi untuk pertimbangan pimpinan dalam mengambil keputusan. Di samping itu untuk
mempercepat penyelesaian konflik, sengketa dan perkara pertanahan, Kepala BPN RI telah membentuk Tim Ad Hoc terdiri dari 11
(sebelas) Tim dengan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 366/KEP-25.2/IX/2012 tanggal 10 September 2012. Tim ini dibentuk
untuk menangani kasus yang bersifat nasional, sensitif dan yang dapat
mempengaruhi ideologi, politik dan keamanan. Tim serupa juga dibentuk di
lingkungan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan di
daerah. Dengan adanya Tim ini diharapkan dapat membantu penyelesaian kasus
dengan cara win-win solution atau merekomendasikan alternatif
penyelesaiannya kepada Kepala BPN RI.
(7) penyempurnaan
kelembagaan pertanahan sesuai dengan semangat otonomi daerah dan dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Reformasi birokrasi berkenaan dengan
kelembagaan sudah dilakukan secara menyeluruh melalui Perpres 10/2006 tentang
Badan Pertanahan Nasional, sebagaimana telah dijelaskan pada Sub Bab Struktur
Organisasi. Semangat otonomi daerah dalam pengelolaan pertanahan telah
dilakukan melalui pembagian kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota di bidang pertanahan, sebagaimana tertuang dalam PP
38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Regulasi ini secara
substansial sama dengan apa yang tersebut dalam
Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Bidang
Pertanahan. Dimana disebutkan bahwa pemerintah kabupaten atau kota memiliki kewenangan dalam: a) Pemberian izin
lokasi; b) Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; c)
Penyelesaian sengketa tanah garapan; d) Penyelesaian masalah ganti kerugian dan
santunan tanah untuk pembangunan; e) Penetapan subyek dan obyek redistribusi
tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; f) Penetapan dan penyelesaian
masalah tanah ulayat; f) Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; g)
Pemberian izin membuka tanah; h) Perencanaan penggunaan tanah. Semangat
desentralisasi sebagian kewenangan di bidang pertanahan ini dimaksudkan untuk memperkuat
kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di bidang
pertanahan sekaligus memperkuat kerangka wilayah dalam NKRI.
(8) peningkatan kapasitas
sumberdaya manusia bidang pertanahan di daerah. Arah pembangunan jangka panjang
di bidang pertanahan, khususnya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia di
daerah ini, secara khusus belum dilakukan oleh BPN. Peningkatan kapasitas masih
dilakukan secara umum mengikuti pola koordinasi dan sosialisasi yang sudah
terbangun. Peningkatan kapasitas secara khusus melalui pendidikan dan latihan,
konsultansi, pendampingan dan advokasi, baik secara personal maupun secara
kelembagaan belum mengarah pada upaya reformasi birokrasi. Namun demikian,
peran BPN ini tergantikan oleh Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN)
sebagai Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK) bidang pertanahan di bawah BPN. STPN
telah melakukan berbagai upaya penguatan kapasitas sumberdaya manusia bidang
pertanahan di daerah melalui kerjasama pendidikan dan pelatihan. Kerjasama
pendidikan telah dimulai pada tahu 2008 dengan Provinsi Papua yang menyertakan
peserta didik untuk ikut Program Diploma I Pengukuran & Pemetaan Kadastral.
Pada tahun 2012, kerjasama pendidikan dilakukan dengan Pemerintah Provinsi
Papua Barat, Pemerintah Kabupaten Nunukan dan Kota Tarakan. Peserta didik yang
dikirimkan adalah PNS dan masyarakat umum (peserta beasiswa) yang biaya
sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah daerah yang bersangkutan. Setelah selesai
pendidikan, sumberdaya manusia tersebut akan dimanfaatkan sebagai tenaga
pertanahan oleh pemerintah daerah pengirim.
Arah pembangunan di bidang
pertanahan sebagaimana tertuang dalam RPJP Nasional Tahun 2005-2025, telah
direspon & dilaksanakan oleh BPN sebagai bagian dari reformasi birokrasi. Berbagai
aspek berkenaan dengan kelembagaan, ketatalaksanaan dan sumberdaya manusia,
termasuk di dalamnya adalah aspek regulasi telah diupayakan dilakukan secara
maksimal, meskipun belum dapat dikatakan menyeluruh terhadap arah pembangunan
jangka panjang yang telah ditetapkan. Beberapa persoalan yang perlu dilakukan
dalam kerangka reformasi birokrasi adalah: a) penguatan kelembagaan pertanahan
dan perlindungan terhadap pejabat pertanahan dalam menjalankan kewenangannya
secara profesional; b) evaluasi terhadap rejim pendaftaran tanah demi
terselenggaranya percepatan pendaftaran tanah; c) penyelenggaraan reforma agraria;
d) pembentukan kelembagaan peradilan pertanahan; e) pembentukan lembaga
penilaian tanah; dan f) pembentukan bank tanah.
Prioritas Program
Prioritas program nasional di
bidang pertanahan dijabarkan dari visi dan misi pembangunan pertanahan yang
merupakan implementasi dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005-2025.
Visi pembangunan pertanahan yang ditetapkan oleh BPN dalam RPJM 20010-2014
adalah ‘Menjadi lembaga yang mampu mewujudkan tanah dan pertanahan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat, serta keadilan dan keberlanjutan system
kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Republik Indonesia’.
Visi
pembangunan pertanahan yang ditetapkan, ditindaklanjuti dengan penetapan misi
pembangunan pertanahan yang akan dilaksanakan Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia yaitu :
1. Peningkatan kesejahteraan rakyat,
penciptaan sumbersumber baru kemakmuran rakyat, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan
pendapatan, serta pemantapan ketahanan pangan;
2. Peningkatan tatanan kehidupan bersama yang
lebih berkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T);
3. Perwujudan tatanan kehidupan bersama yang
harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa, konflik dan perkara pertanahan di
seluruh tanah air dan penataan perangkat hokum dan sistem pengelolaan
pertanahan sehingga tidak melahirkan sengketa, konflik dan perkara di kemudian
hari;
4. Keberlanjutan sistem kemasyarakatan,
kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada
generasi yang akan datang terhadap tanah sebagai sumber kesejahteraan
masyarakat;
5. Penguatan lembaga pertanahan sesuai dengan
jiwa, semangat, prinsip dan aturan yang tertuang dalam UUPA dan aspirasi rakyat
secara luas untuk mencapai tujuan pembangunan bidang pertanahan yaitu
“Mengelola tanah seoptimal mungkin untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran
rakyat”.
Untuk mewujudkan visi, misi
dan tujuan pembangunan pertanahan BPN RI telah menetapkan 11 Agenda Prioritas
dalam menangani persoalan pertanahan yang meliputi:
1.
Membangun
kepercayaan masyarakat pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (trust building);
2. Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran
tanah serta sertipikasi tanah secara menyeluruh di seluruh Indonesia;
3. Memastikan penguatan hakhak rakyat atas
tanah;
4. Menyelesaikan persoalan pertanahan di
daerah-daerah korban bencana alam dan daerah-daerah konflik di seluruh
Indonesia;
5. Menangani dan menyelesaikan perkara,
masalah, sengketa, dan konflik pertanahan secara sistimatik;
6. Membangun Sistem Informasi dan Manajemen
Pertanahan Nasional (SIMTANAS) dan Sistem Pengamanan Dokumen Pertanahan di
seluruh Indonesia;
7. Menangani masalah KKN serta meningkatkan
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat;
8. Membangun data base penguasaan dan
pemilikan tanah skala besar;
9. Melaksanakan secara konsisten semua
peraturan perundang-undangan pertanahan yang yang telah ditetapkan;
10. Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia ; dan
11. Membangun dan memperbarui politik, hukum
dan kebijakan pertanahan.
Sebelas agenda prioritas yang dicanangkan
dalam Renstra BPN 2010-2014 ini telah dan sedang diimplementasikan dalam
berbagai bentuk program dan kegiatan. Berbagai program dan kegiatan tersebut
diorientasikan untuk mewujudkan tujuan pembangunan pertanahan yakni terwujudnya
kemakmuran,
keadilan, kesejahteraan sosial dan keberlanjutan
dalam bingkai NKRI. Namun demikian, hingga saat ini masih terdapat berbagai
persoalan krusial yang belum tertangani secara baik, seperti: (a) masih
terdapat lebih dari 56% jumlah bidang-bidang tanah yang belum terpetakan; (b)
legalisasi asset tanah sekaligus penilaian assetnya masih jauh dari harapan,
sehingga problematika perpajakan dan ganti rugi tanah selalu menjadi persoalan,
baik dalam proses peralihan hak maupun proses pengadaan tanah untuk
pembangunan; (c) belum terselesaikannya seluruh permasalahan sengketa, konflik
dan perkara pertanahan yang sudah teridentifikasi, bahkan ada kecenderungan
munculnya sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang baru; (d) tersendatnya
pelaksanaan reforma agraria sebagai strategi pembangunan untuk menyelesaikan
berbagai permasalahan ketimpangan dan ketidakadilan agraria; dan (e) kondisi
regulasi pertanahan dan keagrariaan yang belum mampu memberikan.
Berbagai persoalan di
atas perlu mendapatkan perhatian untuk segera dicarikan jalan keluar dan
terobosan baru, sehingga amanat konstitusi khususnya
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menuntut
agar kebijakan pertanahan dan lembaga pertanahan dapat mewujudkan “Tanah untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” dapat terealisasikan. Untuk itu program pertanahan nasional yang saat ini
dan saat mendatang perlu tetap mendapatkan prioritas adalah: (a) percepatan pendaftaran tanah di
seluruh Indonesia; (b) penyelesaian kasus pertanahan; dan (d) reforma agraria.
1. Percepatan
Pendaftaran Tanah
Percepatan Pendaftaran Tanah
atau diagendakan sebagai percepatan legalisasi aset paling tidak dilakukan
melalui tiga kegiatan utama, yakni: (a) percepatan terwujudnya peta dasar
pertanahan; (b) percepatan pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah; dan (3)
pergeseran rejim pendaftaran tanah dari stelsel negatif bertendensi positif
menjadi rejim pendaftaran tanah stelsel positif.
Peta Dasar Pertanahan merupakan
peta dasar yang digunakan untuk kepentingan pengelolaan pertanahan nasional. Peta
dasar Pertanahan saat ini baru meng-cover sekitar 10% dari luas wilayah seluruh
Indonesia. Peta dasar pertanahan ini mutlak diperlukan untuk mendukung
percepatan pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah. Saat ini data terakhir
menunjukkan bahwa baru sekitar 44 juta bidang tanah terdaftar (44%), dari lebih dari 100 juta bidang tanah di seluruh wilayah Indonesia. Data ini dapat dimaknai pula
sebagai data bidang-bidang tanah yang sudah terpetakan. Untuk dapat melakukan
optimalisasi dalam perencanaan pembangunan, pemberian kepastian hukum hak atas
tanah dan mereduksi munculnya sengketa, konflik dan perkara pertanahan maka
pemetaan terhadap seluruh bidang bidang tanah di wilayah NKRI harus segera
diselesaikan. “No
Map No Sertipikat” dan “No Map No Plan”[53],
menunjukkan bahwa pemetaan bidang-bidang tanah di seluruh Indonesia mutlak
dilakukan. Dalam hal ini pemetaan tidak hanya dilakukan dalam rangka penerbitan
sertipikat, tetapi juga untuk peta-peta tematik seperti peta sengketa dan
konflik, peta batas wilayah administrasi dan kawasan, Peta Zona Nilai Tanah dan Peta Zona Nilai Ekonomi
Kawasan, dan lain-lain.
2. Reforma
Agraria
Sebagai strategi pembangunan yang diyakini
mampu menyelesaikan berbagai persoalan bangsa, reforma agraria layak untuk
terus didorong dan diperjuangkan untuk menjadi agenda bangsa secara menyeluruh.
Penerbitan regulasi yang mengatur tentang pelaksanaan reforma agraria yang
mampu mengikat seluruh kementerian/lembaga perlu segera dilakukan. BPN sebagai
lembaga yang mempunyai otoritas di bidang pertanahan perlu melakukan langkah
strategis dan terobosan baru agar agenda ini mendapatkan dukungan dari
kementerian/lembaga terkait.
Istilah
Reforma Agraria atau Pembaruan Agraria merupakan suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan
penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumberdaya
agrarian, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan
hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Gerakan atau
langkah ini telah ditempuh hampir oleh semua Negara yang saat ini kita kenal
sebagai Negara dengan struktur politik, ekonimi dan sosial baik, seperti China,
Jepang, Taiwan dan Amerika Serikat. Reforma agraria atau pembaruan agraria,
bahkan dijadikan sebagai strategi dasar
pembangunan pada sebagain Negara di
Amerika Latin (Venezuela, Brazil, Uruguay, El Savador, Bolivia), Negara-negara
Asia, seperti Vietnam, Thailand, Philipina.
Kegagalan reforma agraria yang dilaksanakan selama ini
dalam bentuk landreform terjadi karena beberapa hambatan, antara lain: (a) rendahnya dukungan
politik, stigma bahwa ideologi landreform berhaluan kiri; (b) kurangnya penegakan
hukum; (c) tidak
tersedianya biaya, data dan informasi yang memadai; (d) peraturan
perundang-undangan yang tidak secara jelas dan tegas mengatur; (d) lemahnya lembaga
pelaksana dan kualitas SDM. Hambatan tersebut akan teratasi apabila skema dan
tahapan reforma agraria dilakukan secara secara sistemik melalui:
a. Penetapan objek Reforma Agraria, yaitu meliputi tanah-tanah Negara dari berbagai sumber yang
menurut peraturan perundang-undangan dapat dijadikan tanah sebagai objek RA,
yang dapat berupa: (1)Tanah Negara bekas
hak barat dan atau swapradja dan tanah Negara lainnya; (2) Tanah Negara bekas
HGU dan HGB yang telah berakhir jangka waktu haknya; (3)Tanah Negara bekas
kawasan hutan; (4) Tanah Terlantar;
b. Penetapan
Subjek RA, melalui kriteria dan
mekanisme serta sistem selekasi, jika memenuhi kemudian diusulkan sebagai calon
subjek RA; Secara umum kriteria subjek RA berdasarkan skala prioritas
penerimanya dapat disajikan dalam bentuk bagan di bawah ini.
Tabel 2. Skala Prioritas
Subjek Penerima Tanah RA
Skala
Prioritas
|
Penerima/
Subjek RA
|
Penjelasan
|
I
|
Penduduk
Setempat
|
Kelomp[ok
Prioritas I, Kelompok Prioritas II
yang menetap dan bekerja di lokasi objek PPAN
|
II
|
Buruh
Tani
|
Kelompok
Prioritas II, Kelompok Prioritas IV yang berstatus Petani Penggarap dan Buruh Tani yang tidak
memiliki tanah pertanian
|
III
|
Petani
Gurem
|
Kelompok
Prioritas III, Kelompok Prioritas IV yang memiliki tanah pertanian pangan
kurang dari 0,5 Hektar.
|
IV
|
Petani
|
Kelompok
Prioritas IV, Kelompok Prioritas V yang juga memiliki tanah pertanian dalam
arti luas termasuk nelayan yang membutuhkan tanah guna kelangsungan kehidupannya.
|
V
|
Penduduk
Miskin
|
Kelompok
Prioritas V dapat mengacu data
penduduk miskin BPS ada informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
|
VI
|
Subjek
lainnya
|
Kelompok
Prioritas VI subjek lain yang kenyataannya diperlukan dan berkaitan langsung
untuk menunjang keberhasilan PPAN
|
Sumber: Joyo Winoto,
2007
c.
Mekanisme pelaksanaan RA dan delivery subjek-objek, yang dikelompokkan
menjadi 3 (tiga) model, yakni: mendekatkan objek ke subjek; mendekatkan subjek
ke objek; subjek dan objek berasal dari
lokasi yang sama, dengan terlebih dahulu dilakukan P4T.
d. Access Reform, antara lain penyediaan infra struktur dan sarana
produksi, pembinaan dan bimbingan teknis kepada penerima manfaat, dukungan
permodalan,
dukungan distribusi dan pemasaran serta dukungan lainnya.
Untuk mempercepat agenda reforma agraria sebagai upaya
penyelesaian berbagai permasalahan pertanahan dan keagrariaan, terdapat dua
kebijakan pokok yang harus diwujudkan, yakni: (a) penerbitan regulasi reforma
agraria; dan (b) pembentukan Sekretariat Reforma Agraria.
Sejak Tahun 2007, BPN telah melaksanakan Program Pembaruan Agraria Nasional
(PPAN) atau yang juga dikenal sebagai Pogram Reforma Agraria Nasional. Namun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa
permasalahan antara lain data subyek dan obyek reforma agraria kadang tidak
tersedia dengan baik. Selain itu, tidak efektifnya pelaksanaan reforma agraria
tersebut karena selama ini PPAN hanya dilaksanakan dalam batas kewenangan
internal BPN. Sedangkan pelaksanaan PPAN seringkali melibatkan banyak sektor
yang memerlukan koordinasi.
Untuk menjamin kesuksesan pelaksanaan kegiatan reforma agraria banyak
komponen diluar kewenangan BPN yang perlu dikoordinasikan agar sejalan dengan
rencana kegiatan. Disamping itu, secara konseptual, access reform yang juga menjadi tahapan selanjutnya dari reforma
agraria yang dilaksanakan oleh BPN juga tidak dapat dilaksanakan tanpa dukungan
dan koordinasi dengan K/L dan Pemerintah Daerah, maupun pihak-pihak lain di
luar pemerintah. Bappenas sebagai lembaga yang memiliki fungsi koordinasi dapat
berperan dalam pelaksanaan PPAN tersebut. Dengan demikian kedepan Sekretariat Bersama
Reforma Agraria di Bappenas menjadi sangat mendesak. Dengan adanya sekretariat
ini maka berbagai urusan yang melibatkan berbagai sektor terkait seperti
Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM, Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Koperasi dan UKM, mendapatkan
akselerasi yang lebih baik.
3. Penyelesaian
Kasus Pertanahan
Penyelesaian kasus pertanahan paling tidak
dapat dilakukan melalui dua kegiatan secara simultan, yang meliputi: (a)
optimalisasi peran kelembagaan konflik, sengketa dan perkara pertanahan; dan
(b) pembentukan Pengadilan Pertanahan.
Mandat
untuk penyelesaian konflik agraria,
termasuk di dalamnya konflik/sengketa pertanahan telah diamanatkan dalam
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketetapan MPR RI
Nomor IX/MPR-RI/2001 ini dengan
diberlakukannya UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, pada pasal 7 ayat
(1) huruf b disebutkan bahwa jenis dan hierarkhi Peraturan Perundang-undangan
terdiri atas: a. UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelsi Permusyawaratan Rakyat; c...
dst-nya. Dengan penempatan Ketetapan MPR
sebagai bagian dari Peraturan
Perundang-undangan, maka dengan sendirinya Ketetapan MPR Nomor IX/MPR-RI/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam tersebut mempunyai
kekuatan mengikat bagi seluruh lembaga negara dan rakyat Indonesia, tanpa
terkecuali. Selanjutnya pada Pasal 5 ayat (1) Ketetapan MPR RI tersebut
ditegaskan bahwa arah kebijaksanaan pembaruan agraria meliputi diantaranya:
menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang
timbul selama ini sekaligus dapat
mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksanannya
penegakan hukum dengan di dasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana telah
ditetapkan dalam pasal 4.
Upaya penyelesaian konflik agraria, selama ini
dirasakan masih sangat lamban, bahkan keadaannya seperti mati suri.
Penyelesaian konflik agraria juga terbentur pada kendala psikologis dan politis
pada masa lalu. Hal tersebut dapat kita lacak, dengan adanya program land reform (pembaruan agraria). Sementara land reform sendiri menjadi momok, di mana orang tidak mau membahas
ataupun menbicarakan lagi. Hal tersebut dikarenakan pada tahun 1965, pernah
dihembuskan stigma, bahwa Land Reform
sebagai programnya Partai Komunis Indonesia (PKI), atau dengan sebutan “aksi
sepihak”. Pernyataan tersebut, diperkuat
dengan analisis Petrick McAuslan yang
mengemukakan bahwa dalam melaksanakan UUPA dan peratutran pelaksanaan lainnya
di bidang pertanahan sampai sekarang ini belum nampak mewujudkan secara serius,
konkrit dan murni. Kondisi program landreform
di Indonesia sebagaimana diuraikan oleh Petrick Mc Auslan tersebut,
dikarenakan oleh terdapat 3 (tiga) hambatan
yang sunggug-sungguh disadari baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat luas,
yaitu: Pertama, Hambatan Psikologis
yang berkembang sejak tahun 1960-1965, dimana dikatakan bahwa UUPA sebagai
produk PKI; Kedua, masih sedikitnya
jumlah ahli agraria, pada hal Indonesia adalah Negara Agraris; Ketiga, Hambatan di bidang hukum, yaitu
pihak pelaksana (aparatur) masih adanya ketidaksepahaman terhadap penafsiran
UUPA di antara para petugas agraria dan aparatur pemerintah, subjek hukum
(masyarakat) di mana orang hanya menonjolkan haknya, tetapi tidak menyadari dan
melaksanakan kewajibannya, produk hukum itu sedniri (UUPA beserta peraturan
pelaksanaannya) sering mengalami pergeseran kepentingan atau ketentuan yang
kurang sinkron.
Dalam konteks kekinian, kekalahan
pemerintah (BPN) dalam berperkara di pengadilan menjadi persoalan penting yang
perlu dievaluasi. Lebih-lebih batalnya eksekusi tanah-tanah terlantar yang
telah ditetapkan oleh Kepala BPN akibat dimenangkannya penggugat oleh
pengadilan. Dalam hal ini perkara pertanahan tersebut ditangani oleh PTUN
ataupun oleh Peradilan Umum.
Berkenaan dengan beberapa permasalahan di
atas penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan menjadi salah satu
agenda prioritas pada tahun 2012 ini di samping agenda redistribusi tanah. Pembentukan
Tim Ad
Hoc penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan melalui Surat Keputusan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 366/KEP-25.2/IX/2012
tanggal 10 September 2012, dilakukan untuk mempercepat proses penyelesaian. Tim ini dibentuk
untuk menangani kasus yang bersifat nasional, sensitif dan yang dapat
mempengaruhi ideologi, politik dan keamanan. Namun demikian, pembentukan
tim ini tidak serta merta mampu menyelesaikan seluruh sengketa, konflik dan
perkara pertanahan. Sampai saat ini masih terdapat sejumlah 4.005 kasus
pertanahan yang belum terselesaikan[54].
Optimalisasi kelembagaan konflik, sengketa
dan perkara pertanahan perlu terus menerus dilakukan, utamanya penyediaan dan
penguatan kapasitas sumberdaya manusia yang mampu menyelesaikan berbagai
persoalan melalui Alternative Dispute
Resolution (ADR). Optimalisai kelembagaan ini perlu didukung dengan upaya
pembentukan Pengadilan Pertanahan.
Pengadilan Pertanahan secara yuridis dapat
dibentuk dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 27 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang menyebutkan bahwa:
Ayat
(1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud Pasal 25;
Ayat (2) Ketentuan
mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana dimakjsud pada ayat (1)
diatur dengan undang-undang.
Dalam penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 48
Tahun 2009 yang dimaksud dengan
pengadilan khusus antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga,
pengadilan hak azasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan
hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan
peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata
usaha negara. Pengadilan
khusus mempunyai kewenangan untuk
memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk
dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung.
Dengan merujuk pada kebutuhan dan dengan
mendasarkan pada regulasi di atas maka pembentukan Pengadilan Khusus Di Bidang
Pertanahan menjadi sebuah keniscayaan untuk mempercepat proses penyelesaian
berbagai kasus pertanahan secara adil dan berkelanjutan.
4. Penguatan Kelembagaan Pertanahan
Argumen pentingnya penguatan kelembagaan
pertanahan dalam konteks pengelolaan pertanahan nasional adalah: (a) lemahnya
koordinasi lintas kementerian/lembaga dalam penyelesaian persoalan-persoalan
pertanahan; (b) sering kalahnya pemerintah (BPN) dalam berperkara di peradilan;
(c) adanya berbagai keraguan bagi pejabat pertanahan sebagai pejabat publik
dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan hak atas tanah dan pemasukan
uang negara baik berhubungan dengan pajak maupun PNBP; (d) belum optimalnya
peran lembaga pendidikan pertanahan dalam menghasilkan sumberdaya manusia di
bidang pertanahan, utamanya dalam level ahli (skor standar kualifikasi 8)[55].
Kelembagaan untuk memperkuat koordinasi
antar kementerian/lembaga perlu kelembagaan pertanahan yang kuat dan diatur
melalui undang-undang. Paling tidak kelembagaan ini berupa kementerian atau
bahkan apabila memungkinkan menjadi kementerian koordinator agraria yang
mengkoordinasikan kementerian sektoral yang menurus sumberdaya agraria dan
sumberdaya alam.
Untuk mempercepat penyelesaian berbagai
kasus pertanahan, sekaligus memperkuat wibawa pemerintah maka penguatan
kelembagaan pertanahan dalam hal peradilan pertanahan perlu dibentuk Pengadilan
Khusus Pertanahan. Pengadilan
Khusus
Pertanahan ini mempunyai kewenangan untuk memeriksa,
mengadili dan memutus perkara pertanahan yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu
lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Dalam rangka memantapkan pejabat pertanahan
selaku pejabat publik dalam menjalankan kewenangannya secara profesional perlu
dibentuk sebuah Majelis Kehormatan Kode Etik dan Profesi. Majelis ini berperan melakukan pengawasan dan
pemeriksaan terhadap pejabat pertanahan yang diduga melanggar etika profesi.
Hal ini penting dilakukan mengingat pelanggaran etika profesi ataupun adanya
dugaan pelanggaran oleh pejabat pertanahan selalu ditangani langsung oleh
penegak hukum (kepolisian ataupun kejaksaan).
Penguatan sumberdaya manusia di bidang
pertanahan merupakan hal utama dalam penguatan kelembagaan. Kebutuhan berbagai
tenaga profesi di bidang pertanahan seperti penilai tanah, pejabat pembuat akta
tanah, mediator kasus pertanahan belum diperoleh dari sebuah lembaga pendidikan
tinggi yang ada. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) sebagai perguruan
tinggi kedinasan di bawah BPN baru menghasilkan tenaga pertanahan pada level
operator dan teknisi (Diploma I dan Diploma IV). Untuk menjawab kebutuhan
sumberdaya manusia bidang pertanahan pada level ahli, STPN perlu didorong untuk
segera membuka program pendidikan pada level yang lebih tinggi (Pendidikan
Profesi, Spesialis 1 atau Magister Terapan).
5. Penguatan Panilaian Tanah
Prioritas percepatan pemetaan
bidang-bidang tanah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari prioritas
percepatan legalisasi aset. Sejumlah lebih dari 56 juta bidang yang belum
terdaftar merupakan persoalan yang harus segera diselesaikan. Agenda legalisasi
aset juga diikuti dengan priotitas dalam penilaian aset. Penilaian
aset bidang-bidang tanah dan kawasan ini penting dilakukan untuk: (1)
penentuan tarif dalam pelayanan pertanahan; (2) referensi masyarakat dalam
transaksi pertanahan dan property; (3) penentuan ganti rugi dalam pengadaan
tanah; (4) inventori nilai asset publik
maupun asset masyarakat; (5) monitoring nilai tanah dan pasar tanah; dan (6)
sebagai referensi dalam penetapan NJOP untuk PBB, agar lebih adil dan
transparan. Pada saat ini pemetaan Zona Nilai Tanah (ZNT) saja baru
sebesar 8% dari total luas tanah di Indonesia. Untuk mempercepat
terselenggaranya penilaian aset untuk setiap bidang tanah, pemetaan ZNT di
seluruh wilayah Indonesia ditargetkan selesai pada akhir tahun 2014.
Argumen pentingnya penilaian tanah menjadi
agenda prioritas antara lain: (a) sistem dan mekanisme pajak tanah yang belum
jelas, bahkan pajak tanah sering dianggap sebagai beban yang menghambat dalam
percepatan pendaftaran tanah; (b) telah dioperasionalkannya Zona Nilai Tanah
(ZNT) yang memunculkan permasalahan baru berkenaan dengan metode penilaian dan
aplikasinya sebagai instrumen penentuan nilai tanah; (c) nilai tanah yang belum
sepenuhnya dibawah kendali pemerintah, dan cenderung mengikuti pasar (liberal).
Berkenaan dengan argumen di atas, terwujudnya kelembagaan penilai tanah yang
menjadi referensi dalam banyak kebutuhan menjadi sesuatu yang urgent.
6.
Pembentukan Bank Tanah
Intensitas pembangunan yang
semakin meningkat dan kondisi keterbatasan persediaan tanah berakibat semakin
sulitnya memperoleh tanah untuk berbagai keperluan, baik yang akan dialokasikan
bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum maupun bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan perusahaan/swasta. Selain itu pertambahan jumlah penduduk,
kelangkaan tanah dan kemunduran kualitas
tanah, alih fungsi penggunaan/peruntukan tanah serta semakin meningkatnya
konflik pertanahan, kemiskinan, sempitnya lapangan kerja, terdesaknya hak-hak
masyarakat hukum adat, dan lain sebagainya mendesak agar Pemerintah menata
ulang berbagai kebijakan di bidang pertanahan.
Kondisi di atas, dihadapkan
lagi dengan melonjaknya harga tanah yang secara tidak terkendali/wajar dari tahun ke tahun untuk berbagai
kepentingan.
Bahkan
ada kecenderungan perkembangan penggunaan tanah yang dilakukan secara tidak
teratur, atau tidak sesuai dengan penggunaan/peruntukan sesuai maksud dan
tujuan pemberian hak atas tanahnya (tanah terlantar/tanah tidur) terutama di
daerah-daerah strategis. Kondisi demikian diperparah lagi dengan terjadinya
rekonsentrasi penguasaan dan/atau pemilikan
tanah di wilayah yang menjadi otoritas pertanahan (BPN-RI), yang selama
ini diperjuangkan untuk redistribusi
tanah. Terjadinya Rekonsentrasi tanah,
ini menjadi tantangan ke depan bagi BPN-RI terkait dengan cita-cita untuk
mewujudkan tanah bagi keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Berdasarkan
beberapa kondisi di atas pemikiran tentang perlunya membentuk lembaga bank
tanah di Indonesia menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi terbatasnya
penyediaan tanah untuk berbagai kebutuhan serta meminimalisir terjadinya
konflik pada saat pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan.
Secara konseptual bank tanah dimaknai sebagai suatu
kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menyediakan tanah, yang akan
dialokasikan penggunaannya di kemudian hari untuk berbagai kepentingan
pembangunan baik bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum (bank tanah umum/general land banking)
maupun kepentingan swasta/perusahaan (bank
tanah khusus/project land banking).
General land banking atau bank tanah umum meliputi
penyelenggaraan penyediaan, pematangan,
dan penyaluran tanah untuk semua jenis penggunaan tanah pada ranah publik maupun privat, tanpa
ditentukan terlebih dahulu penggunaannya dengan tujuan utama untuk
mengendalikan/mengawasi pola perkembangan daerah perkotaan dan/atau mengatur
harga tanah dan/atau memperoleh capital
gains dari nilai lebih sebagai akibat
investasi publik dan/atau mengatur penggunaan tanah, termasuk mengenai waktu,
lokasi, jenis dan skala pengembangannya.
Project land banking/bank tanah khusus
meliputi penyediaan tanah untuk pembaharuan daerah perkotaan, pengembangan
kawasan industri, pembangunan perumahan bagi rakyat menegah/sederhana dan
sangat sederhana serta pembangunan berbagai fasilitas umum (advance land acquisition).
Bank
tanah di Indonesia perlu
diprioritaskan/difokuskan pada bank
tanah yang berfungsi atau mampu
menampung pemenuhan penyediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Hal ini merujuk pada
ketentuan Pasal 1 butir 6, Pasal 3, dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pertimbangan memilih pada bank
tanah umum (general land banking)
didasarkan pada pendekatan agar keberadaan/eksistensi bank tanah tersebut betul-betul mampu mengendalikan penggunnaan
tanah dan dapat mempengaruhi harga tanah yang terjadi di masyarakat.
Lembaga bank tanah menjadi penting untuk diprioritaskan, mengingat mampu
memberikan manfaat dalam:
a. Penghimpun tanah (land keeper), dalam hal
ini terdapat kegiatan inventarisasi
dan identifikasi terhadap objek pengelolaan tanah-tanah yang
menjadi otoritas bank
tanah.
Di samping itu juga mengumpulkan dan
menyediakan data pertanahan secara lengkap, akurat, terpadu dan aktual untuk
selanjutnya dimanfaatkan dengan mudah oleh para pengguna, terutama bagi yang
berkepentingan dengan penyediaan tanah untuk keperluan/kegiatan usahanya;
b. Pengaman
tanah (land warance), dalam hal
ini bank
tanah melaksanakan kegiatan dengan
berpedoman pada Kebijakan rencana tata ruang wilayah Nasional (UU Nomor 26
tahun 2007), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, dan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kab/Kota, dan jika diperlukan mempertimbangkan Rencana Teknis
maupun Detail (RTTR/RDTR) Kecamatan, bahkan termasuk Rencana Tata Ruang Desa
pada level paling bawah. Selanjutnya dalam pelaksanaanya kegiatan Lembaga
Bank Tanah diwajibkan bekerjasama dan
berkoordinasi dengan BAPPENAS (lingkup Nasional), BAPPEDA Provinsi dan BAPPEDA
Kab/Kota.
c. Pengendali
Penguasaan (land
purchaser), terkait dengan
fungsi ini bank tanah berpedoman pada
mekanisme/prosedur perijinan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian, kemungkinan terjadinya rekonsentrasi tanah oleh sekelompok orang/badan hukum tertentu dapat
diminimalkan.
d. Penilai
Tanah (land
value), dalam hal ini bank tanah melakukan upaya
untuk mengatasi harga tanah yang semakin tidak terkendali, terutama tanah-tanah
di daerah perkotaan, atau pusat-pusat kegiatan di luar perkotaan yang
berkembang secara pesat sehingga berpeluang munculnya spekulan tanah dan
berakibat sulitnya mengendalikan harga tanah.
e. Pendistribusian
Tanah (land distributor), dalam konteks ini
bank tanah melakukan kegiatan pembebasan tanah, pematangan tanah kemudian
melakukan pendistribusian tanah sesuai
penggunaan/peruntukannya. Disamping itu juga melakukan pengawasan dan menjamin
bahwa pendistribusian tanah tersebut benar-benar tepat sasaran dan sampai pada mereka yang berhak menerimanya.
f.
Manajemen Tanah (land management), mengingat persoalan
tanah cukup krusial, maka manajemen
dalam pengelolaan tanah yang dijadikan objek bank tanah harus
direncanakan secara baik (transparant dan accountable), bahkan wajib memberikan
ruang bagi masyarakat dengan melibatkan partisipasi publik, sejak tahap
perencanaan sampai tahap pengawasan.
[1] Kekuasaan yang dilembagakan. Kekuasaan
dianggap sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain
sedemikian rupa, sehingga tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan
keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan
(Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan, dalam Miriam Budihardjo) Konsep
Kekuasaan Tinjauan Kepustakaan, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa),
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991: 10..
[2] Kekuasaan
yang dilembagakan, kekuasaan yang tidak hanya de facto menguasai, melainkan
juga berhak untuk menguasai.Wewenang adalah kekuasaan yang berhak untuk
menuntut ketaatan, jadi berhak untuk memberikan perintah. (Frans Magnis
Suseno, Etika Politik Modern Prinsip-prinsip Moral dasar Kenegaraan Modern,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001:53.
[3] Sudjito, menyebut moral religius, yang mengandung karakteristik: teistik,
manusiawi, realistik (Sudjito, Reintegrasi Moral Ke Dalam Ilmu Hukum Suatu
Langkah Menuju Paragdima Holistik Pendidikan Hukum di Indonesia disampaikan
pada Lustrum XII Faklutas Hukum UGM: 3-4.
[4] UU Nomor 26 Tahun
2007.
[5] UU Nomor 41 Tahun
1999 Jo. UU Nomor 19 Tahun 2004.
[6] UU Nomor 18 Tahun
2004
[7] UU Nomor 7 Tahun
2004
[8] UU Nomor 31 Tahun 2004.
[9] UU Nomor 22 Tahun
2001 Jo UU Nomor 4 Tahun 2009.
[11] UU Nomor 27 Tahun
2007
[12] Sudjto, Perkembangan Ilmu Hukum: Dari Positivistik
Menuju Holistik Dan Implikasinya Terhadap Hukumj Agraria Nasional (Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada
Fakultas Hukum UGM), Yogyakarta: 28
Maret 2007.
[13] Mahfud MD, (2006), Amandemen
UUPA No. 5 Tahun 1960 Dalam Perspektif Politik Hukum (Makalah disampaikan pada
Semiloka Nasional Penyempurnaan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA) FH UII- DPD
RI, Yogyakarta, 24 Maret 2006: 4.
[14] UUPA telah
menjadikan nilai sosial tradisional dan modern secara bersamaan sebagai dasar
menetapkan prinsip-prinsipnya. Disamping itu UUPA juga telah mengakomodasikan
kemajemukan masyarakat Indonesia dengan menempatkan nilai-nilai sosial yang
dihayati oleh masing-masing kelompok masyarakat yang berbeda-beda
kepentingannya. (Nurhasan Ismail, Perkembangan
Hukum Pertanahan Indonesia Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik (Disertasi), Program
Pasca Sarjana UGM, 2006: 30.)
[15] Maria S.w.
Sumardjono, Relevansi UUPA Setelah 32
Tahun, Harian Jawa Pos, 24 September
1992.
[16] Sarjita, Perbedaan
Persepsi Antara Masyarakat Hukum Adat dengan Fungsionaris Pemerintah Sebagai
salah Satu Faktor Timbulnya Sengketa Hukum Tanah Di PTUN, Jakarta, Program
Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum (PPLIH)-Hukum Administrasi Negara (HAN) FH-UI,
1995. Hlm. 28-29.
[17] Asas ini diadopsi
dari hukum adat yang menyatakan bahwa
penguasaan dan pemilikan tanah tidak meliputi penguasaan dan pemilikan
benda-benda di atas tanah (bangunan, tanaman, benda bernilai ekonomis lainnya).
Jadi pemilik tanah, tidak otomatis menjadi pemilik benda-benda yang terdapat di
atasnya. Oleh karena itu, jika di dalam suatu jual beli atas [sebidang tanah] juga dimaksudkan
meliputi benda-benda yang ada di atas tanah (misalnya bangunan dan tanah), maka
hal itu harus dinyatakan secara tegas di dalam akta jual beli dimaksud. (Oloan
Sitorus dan Zaki Sierrat, Hukum Agraria Di Indonesia Konsep Dasar dan
Implementasinya, Jogjakarta, MKTI, 2006, hlm. 69
[18] Apabila
diperlakukan sejak tanggal 24 September 1960, perlu diingat bahwa antara tahun
1945-1960 banyak perubahan yang terjadi. Keadaan tahun 1945 tentunya tidak
serupa dan tidak sama dengan keadaan tahun 1960. Meskipun hak ulayat mendapat
jaminan, namun kebebasan seperti terdapat di masa sebelum datangnya perkebunan
tertentu tidak ada lagi. Proses semacam ini
tentu dapat dihindarkan. Apakah pada tanggal 24 September 1960 pada waktu UUPA
mulai berlaku hak ulayat semacam ini dapat dikatakan dalam kenyataannya masih
ada. Terhadap hak ulayat yang kenyataannya masih ada, maka selanjutnya hak
ulayat itu akan diakui, meskipun dengan
pembatasanpembatasan. Sebaliknya jika hak ulayat pada tanggal tersebut dalam kenyataannya tidak ada, maka seterusnya hak ulayat itu
dianggap tidak ada. Pendapat yang demikian menurut Prof. Mahadi dikatakan
pendapat yang tidak konsekuen, yaitu tidak memperhatikan atau menutupmata
terhadap perkembangan hukum adat sesudah tanggal 24 September 1960. Selanjutnya jika ada tidaknya hak ulayat
masyarakat hukum adat ditentukan pada saat kita hendak menerapkan ketentuan
Pasal 3 UUPA ini, ternyata masih ada hak ulayat, meskipun tidak lagi dalam
bentuk yang murni, melainkan telah sumbing di sana-sini, mungkin sedikit,
mungkin banyak, maka harus kita akui hak ulayat itu. Tentunya dengan menerapkan
pembatasan-pembatasan yang ada yaitu: tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan nasional dan Negara berdasarkan persatuan bangsa, tidak
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya. Abdurahman
(dalam) Sarjita, Perbedaan Persepsi Antara Masyarakat Hukum Adat Dengan
Fungsionaris Pemerintah Sebagai Faktor Timbulnya Sengketa Hukum Tanah di PTUN (Program
PL-IH Fakultas Hukum UI), Depok.: 17.
[19] Oloan Sitorus, (2005), Hak Ulayat Dalam
politik Hukum Nasional (Makalah disampaikan pada Lokakarya Kajian Kebijakan Pengelolaan Tanah Adat Di Indonesia,
BAPPENAS, 18 Desember 2005). Jakarta, 2005.
[20] Syahyuti (2006), Nilai-Nilai Kearifan Pada
Konsep Penguasaan Tanah Menurut Hukum Adat Di Indonesia, Forum Penelitian
Agro Ekonomi Volume 24 No.1 Juli 2006, : 14-27.
[21] Syahyuti, (tanpa tahun), Pengaruh Politik Agraria Terhadap
Perubahan pola Penguasaan Tanah Dan Struktur Perdesaan di Indonesia (Paper
sebagai tugas kuliah mata ajaran Perubahan Sosial di IPB Bogor). Hlm. 4-8
[22] Adalah Komunitas, masyarakat
dan bangsa-bangsa asli atau adat adalah mereka yang sembari memiliki kelanjutan
sejarah dengan masyarakat pra-invansi dan pra kolonial yang berkembang di
wilayah mereka, menganggap iri mereka berbeda dari sektor-sektor atau bagian-bagian
lain dari masyarakat yang sekarang mendominasi wilayah tersebut atau sebagian
dari wilayah tersebut. Di masa kini mereka merupakan sector-sektor atau
bagian-bagian yang non-dominan dari masyarakat yang lebih besar, dan mereka
ketetapan untuk melestarikan, mengembangkan dan mewariskan kepada generasi yang
akan dating sebagai basis leluhur mereka, dan identitas etnik mereka, sebagai
basis kelanjutan eksistensi mereka sebagai masyarakat, sesuai dengan pola
budaya, institusi social dan system hokum mereka sendiri. Jose Martinez Cobo, Study of the Problem of Discrimination
Against Indigenous Population, Volume 5, Conclusions Proposal and
Recommendation, U.N. Doc. E/CN.4/Sub.2/1986/7 dan Adds.1-4.
[23] Indigenous berasal dari bahasa Latin
“indigenae” yang digunakan untuk membedakan antara orang-orang yang dilahirkan
di sebuah tempat tertentu dan mereka
yang dating dari tempat lain (advenae). Rafael Edy Bosko, (2006), Hak-Hak
Masyarakat Adat Dalam Konstek Pengelolaan Sumber Daya Alam (terjemahan) The Right of Indigenous Peoples in the
Context of Natural Resources Development, Thenis Dalam Bidang Hukum
Internasional di Raoul Wallemberg Institute of Human Right an Humanitarian Law,
Faculty of Law University of Lund, 1999), Jakarta, ELSAM-LSAM: 52.
[24] Bernad Steny, Pluralisme
Hukum Antara perda Pengakuan Masyarakat Adat dan otonomi Hukum Lokal. Jurnal
Pembaruan Desa Dan Agraria,
Yogyakarta, 84.
[26] August
Kafiar, (1999), Peranan PT. Freeport Indonesia Dalam Pembangunan Masyarakat
Dan Daerah Irian Jaya (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pertanahan
Irian Jaya, IMTB-IRJA STPN dengan IPMIRJA, Yogyakarta, 26-27 Nopember
1999.: 3-4.
[27] J. Sembiring, Pergeseran
Politik Pertanahan Di Indonesia (Makalah disampaikan pada Forum Diskusi dan
Kajian Pertanahan STPN, 30 Maret 2001: 1-2.
[28] Rachmad Syafa’at,
(2008), Metode Advokasi Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Malang, Instrans Publishing Malang: 213.
[29] Rafael Edi Bosco,
Ibid., : 4.
[30] Rafael Edy Bosco,
Ibid., : 109-110.
[31] Maria S.W.
Sumardjono, (2008), Tanah Dalam Perpekstif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya,
Jakarta, Kompas,; 156.
[32] Ari Sukanti
Hutagalung, Perspektif Hukum Penanganan Masalah Tanah Khususnya Tanah Adat
(Makalah disampaikan pada Workshop Nasional Kesiapan Kelembagaan dan Sumber
Daya Manusia Pemda Dalam Melaksanakan Kewenangan Bidang Pertanahan Berdasarkan
Keppres Nomor 34 tahun 2003),: 6-9.
[33] Dalam Revisi UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dimana Pemerintah telah
memutuskan untuk melakukan revisi UU tersebut menjadi ke dalam 3 UU, yaitu : 1(
UU Pemerintahan daerah; 2) UU Desa; dan 3) UU Pemilihan Kepala Daerah. Dalam kontek perumusan RUU Desa, muncul
pertanyaan apakah desa merupakan satu-satunya kesatuan masyarakat hukum adat?.
Tafsir Pertama, sebagai Desa sebagai
“daerah kecil” menjadi desa otonom (local self government( atau daerah
otonom tingkat III yang menhghruskan desentralisasi kepada desa; Tafsir Kedua,
Posisi desa yang tepat sebagai organisasi masyarakat adat atau desa adat (self
governing community) yang mempunyai dan mengelola hak asal usul ; Tafsir
Ketiga, menempatkan posisi desa sebagai unit kerja pemerintahan di bawah dan di
dalam subsistem Pemerintahan Kabupaten. Berdasarkan ketiga Tafsir tersebut
diatas, keberadaan masyarakat hokum adat harus diposisikan pada Tafsir yang
kedua, yaitu tetap mengakui dan menghormati hak asal-usul Desa (Adat).
[34] Menurut
Abdurrahman, pengaturan hak ulayat masyarakat hokum adat dalam Undang-Undang
tersebut di atas, mengundang dua tafsiran, yaitu kita perlu satu Undang-Undang tentang hukum adat, tetapi juga dapat berarti
pengaturannya dapat diselipkan dalam satu
Undang-Undang tertentu. Abdurrahman, (2005), Aspek Perundang-Undangan
Dalam Pengelolaaan Dan penyelesaian Sengketa Tanah Adat, (Makalah disampaikan
pada Lokakarya Kajian Kebijakan Pengelolaan Tanah Adat Di Indonesia),
BAPPENAS, Jakarta, 28 Desember 2005 : 4.
[35]Sutoro Eko dan AA GN
Ari Dwipayana, Mencari Format otonomi Desa Di Tengah Keragaman, Bahan
Bacaan untuk Konsultasi Publik RUU Desa (Kerjasama antara IRE Yogyakarta
–Ditjen PMD Depdagri dan DRSP-USAID, : 4-5.
[36] Sarjita, (2005), Teknik
dan Strategi Penyelesaian Sengketa
Pertanahahn, Yopgyakarta, Tugujogja Pustaka, 12.
[37]
Abdurrahman, Opcit.: 13-19.
[38]
Kurnia Warman, (2008), Pengaturan Sumberdaya Agraria Di Sumatera Barat Pada
Era Desentralisasi
(Interaksi Hukum Adat dan Hukum Negara dalam Perspektif Keanekaragaman dalam
Kesatuan Hukum), Disertasi,
Yogyakarta, Program Pascasarjana UGM,: 165.
[39] Sentralisme hukum
merupakan turunan filsafat positivism hukum yang dipakai meluas menjadi
filsafat hukum yang paling banyak mempengaruhi kehidupan sosial hukum saat ini.
Menurut Grifiths, sentralisme hukum mengutamakan tesis pokok bahwa hukum adalah
kaedah normative yang bersifat memaksa, eksklusif, hierarkhis, sistematis,
berlaku seragam, serta dapat berlaku dua arah: dari atas ke bawah (top downwards), dimana keberlakuannya
tergantung kepada penguasa. Atau dari bawah ke atas (bottom upwards), dimana hokum dipahami sebagai lapisan
kaedah-kaedah normative yang hierarkhis, dari lapisan paling bawah dan
meningkat ke lapisan yang lebih tinggi hingga berhenti pada puncak lapisan yang
dianggap sebagai kaedah utama (grundnorm).
Dengan demikian pluralism lemah merupakan
perpanjangan dari sentralisme hukum.
[40] Notonagoro, (1984),
Politik Hukum Dan Pembangunan Agraria Di Indonesia, PT. Bina Aksara,
Jakarta: 139-140
[41] Bernad Steny,
Opcit., : 85-86.
[42] Boedi Harsono, Tinjauan Hukum Pertanahan di Waktu Lampau,
Sekarang Dan Masa Mendatang (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional
Pertanahan Dalam rangkat HUT UUPA Ke XXXII Tahun 1992, di Yogyakarta), 15
Oktober 1992: 13.
[43] Soetandyo
Wignjosoebroto, (1994), Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional Dinamika
Sosial-Politik Perkembangan Hukum di Indonesia, , Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada,: 240-244.
[44] Mohammad Saleh
Arsad, (2005), Pengakuan PT. Freeport Indonesia Terhadap Hak Ulayat Suku
Komoro Di Kabupaten Mimika Provinsi Papua (Skripsi), Yogyakarta, STPN:
63-83.
[45] Free
and Prior Informed Consent (FPIC). Konsep yang muncul dari masyarakat lokal
di hampir semua Negara yang memiliki komunitas indigenous people. Diketemukan sejumlah ketentuan/regulasi bahwa
untuk mengolah atau membuka suatu wilayah tertentu suatu kelompok masyarakat
harus mendapat ijin/restu dari Tuhan. Jika di atas wilayah tersebut telah ada
penghuninya maka ijin tersebut harus dipoeroleh dari masyarakat setempat. Dalam
FPIC terkait empat hal dasar, yaitu: Free,
berkaitan dengan keadaan bebas tanpa paksaan, artinya kesepkatan hanya
mungkin dilakukan di atas berbagai pilihan bebas masyarakat. Prior, artinya sebelum proyek atau
kegiatan teretntu diijinkan pemerintah terlebih dahulu harus mendapat ijin
masyarakat. Informed, artinya
informasi yang terbuka dan seluas-luasnya mengenai proyek yang akan dijalankan
baik sebab maupun akibatnya. Dan Consent
artinya persetujuan diberikan oleh masyarakat sendiri.Ibid, : 91-90.
[46] Sarjita, (2010),
Asas Pemisahan Horizontal Dalam Hukum Tanah Nasional, (Tidak dipublikasikan).
[47] Yusriyadi, Paradigma Sosiologis Dan
Implikasinya Terhadap Pengembangan Ilmu Hukum Dan Penegakan Hukum Di Indonesia
(Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang Sosiologi Hukum pada Fakultas Hukum
UNDIP (Semarang, 18 Pebruari 2006).: 29.
[48]Endang Suhendar dan
Yohana Budi Winarni, (1977), Petani
dan Konflik Agraria. dalam Muhammad
Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh
Negara Perspektif Baru Untuk Reforma
Agraria. Citra Media, 2007. Hlm. 149
[49] Penambangan bawah
tanah di kawasan hutan lindung adalah
kegiatan penambangan yang kegiatannya
dilakukan di bawah tanah (tidak langsung berhubungan dengan udara luar)
dengan cara terlebih dahulu membuat jalan masuk berupa sumuran (shaft) atau terowongan (tunnel) atau terowongan buntu (adif) termasuk sarana dan prasarana
yang menunjang kegiatan produksi di hutan lindung.
[50] Renstra BPN RI
Tahun 2010-2014 hal 17
[52] Renstra BPN RI
Tahun 2010-2014 hal 20
[53] Sambutan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Pada Acara Pelantikan Dan Pengambilan
Sumpah Jabatan Pejabat Eselon I Dan II Di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia,
Jakarta, 8 November 2012.
[55]Berdasarkan
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) sebagaimana diatur dalam Perpres
8 Tahun
2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia