CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Rabu, 07 Agustus 2013

Senyari Bhumi

Senyari Bhumi:
Beberapa Pemikiran Membenahi Penanganan Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan serta Kelembagaan BPN RI Ke Depan
Oleh
Sarjita, SH., M. Hum.

Ada hal penting yang perlu menjadi renungan bersama berkenaan dengan substansi persoalan-persoalan  pertanahan pada khususnya dan keagrariaan pada umumnya, yaitu terkait dengan pemaknaan “pembangunan”. Hal ini penting mengingat bahwa tanah tidak akan langsung memberikan/mendatangkan kemakmuran (kesejahteraan) bagi umat manusia, akan tetapi kegiatan pembangunan di atas tanah oleh manusia itulah yang dapat langsung menghadirkan kemakmuran  itu sendiri. Keberadaan atau eksistensi manusia  untuk melaksanakan dan membawa misi pembangunan  di atas permukaan bumi tersebut, sering kali bias (menyimpang) dari tujuan untuk mencapai kemakmuran. Oleh karena itu, sayogyanya pada diri manusia sebagai kalifatullah di muka bumi harus dilengkapi/dibekali  pula dengan legitimasi[1] (keabsahan) kekuasaan, otoritas[2] (outhority) atau wewenang (dalam ranah hukum publik dan kecakapan/kemampuan bertindak dalam ranah hukum privat/perdata), moral (hatinurani)[3]  dan aklaq al- karimah atau budi penguasa. 

A.   Problematika UU Nomor 5 Tahun 1960
Dikaji dari sudut pandang nilai, maka nilai-nilai yang tertuang/terkandung  dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau sering disebut dengan istilah UUPA khususnya pasal 1 s/d 15, meskipun wacana untuk melakukan pembaruan terhadap substansinya  setelah mengalami beberapa kali pengkajian ternyata UUPA masih relevan dengan dinamika pembangunan kekinian. Dengan kata lain wacana untuk melakukan perubahan/penggantian UUPA, tidak diperlukan lagi.  Yang lebih dipentingkan adalah bagaimana konsep-konsep/nilai-nilai luhur yang terkandung dalam UUPA itu bisa di implementasikan dalam pengelolaan Agraria (tata ruang,[4] kehutanan,[5] perkebunan,[6] tata air,[7]  perikanan[8] dan pertambangan,[9] serta pertanahan,[10]  wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil[11])  yang menghadirkan keadilan dan kesejahteraan sesuai amanat konstitusi.
Menurut Sudjito,[12] UUPA masih relevan sesuai dengan asumsi-asumsi dasar konsep hukum progresif, sepanjang  dibaca dan diterjemahkan atau dimaknai hukum agraria harus dibenahi dan disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan kekinian secara utuh dengan mengedepankan jalinan hubungan antara Tuhan-manusia dan tanah.
Menurut Mahfud M.D.[13] pembangunan hukum agraria yang substansinya tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA),  mengingat proses pembuatan UUPA  yang partisipasif dan isi yang aspiratif, maka UUPA merupakan hukum yang berkarakter responsive. Selanjutnya jika UUPA dilihat dari nilai sosial yang mendasarinya, maka UUPA merupakan hukum prismatik[14] yang ideal, karena mengkombinasikan (mengambil segi-segi baik) dua ekstrem  pilihan nilai sosial yaitu nilai social paguyuban (gemeinschap) dan nilai sosial patembayan (geselschap) dengan titik berat pada nilai kepentingan yang populistik (kemakmuran bersama) tanpa menghilangkan hak individu. Berdasarkan pada berbagai pertimbangan filosofis tersebut, Mahfud MD, berkeyakinan bahwa  UUPA secara prinsip tidak perlu dirubah, sebab pada dasarnya sudah baik, tetapi yang menjadi masalah adalah implementasinya. Dari sisi filosofi sudah baik, akan tetapi  pilihan kepentingan dan nilai social oleh Pemerintah telah menggeser pesan subtantif filosofis yang mendasarinya. Sebagai contoh bergesernya penggunaan hak menguasai  yang berintikan “mengatur” dalam kerangka populisme menjadi “memiliki” secara mutlak dalam rangka pragmatisme untuk melaksanakan program pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan.
Problem utama yang dihadapi dalam pelaksanaan UUPA, sebagaimana sering dilontarkan oleh para pemerhati di bidang ke-agrariaan, salah satunya Maria SW Sumardjono[15] menegaskan bahwa UUPA  tidak dapat berdiri sendiri, melainkan membutuhkan berbagai peraturan pelaksanaan. Selain masih banyak berbagai peraturan pelaksanaan yang belum tercipta, ternyata peraturan pelaksanaan yang sudah ada pun  kerapkali masih mengandung permasalahan. Sedangkan peraturan pelaksanaan yang sudah ada/memenuhi, ada kemungkinan pelaksanaannya tidak konsekuen dan konsisten.

1.     Pemberlakuan UUPA Di  Beberapa Daerah Di Indonesia
Sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) beserta peraturan pelaksanaannya berlaku di Indonesia, yaitu pada tanggal 24 September 1960. Pemberlakukan UU Nomor 5 Tahun 1960 ini ternyata tidak berlaku secara serentak di seluruh Wilayah NKRI. Pemberlakuaan UUPA Di Indonesia, ternyata terdapat 2 (dua) Provinsi  yang mengalami keterlambatan dalam memberlakukan UUPA, yaitu Provinsi Irian Barat (Irian Jaya) sekarang Papua dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Untuk Provinsi DIY dan Irian Barat (Papua) didasarkan pada 2 (dua) peraturan perundang-undangan yang berbeda.
Untuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tanggal  1 April 1984 berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor  33 Tahun 1984 tentang Pemberlakukan Sepenuhnya UU Nomor 5 Tahun 1960 Di Provinsi DIY. Sedangkan untuk  Provinsi Irian Barat (Irian Jaya) sekarang Provinsi Papua dan Papua Barat, pemberlakuan UUPA beserta Peraturan pelaksanaanya baru terhitung pada tanggal 26 September 1971 berdasarkan PMDN No. 8 Tahun 1971 tentang Pelaksanaan UUPA di Provinsi Irian Barat. Pemberlakuan UUPA yang berbeda di kedua wilayah provinsi tersebut,  tentunya membawa konsekuensi hukum pula, yaitu sehubungan pelaksanaan ketentuan Konversi baik itu yang menyangkut hak-hak barat maupun terhadap hak-hak adat Indonesia.
Pertama, keterlambatan dalam pelaksanaan UUPA[16] di Provinsi Irian Jaya (Papua) untuk konversi Hak-hak Barat  berdasarkan SK Mendagri Nomor SK.59/DJA/1973 tertanggal 30 Mei 1973 ditentukan batas waktu pendaftaran konversi bekas hak barat tanggal 26 September 1973, sedangkan batas akhir jangka waktu  berlakunya tanah bekas konversi hak barat maksimal tanggal 26 September 1991 (SK Mendagri Nomor  SK. 21/DJA/1980 tanggal 15 April 1980). Sementara untuk pelaksanaan Konversi bekas hak adat Indonesia yang didasarkan pada Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria (PMPA) Nomor 2 Tahun 1962 baru dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Irian Jaya Nomor 247 Tahun 1988.
Kedua, keterlambatan pemberlakukan UUPA sepenuhnya di DIY berdasarkan Keppres Nomor 33 Tahun 1984 tertanggal 9 Mei 1984, dan Kepres itu berlaku surut terhitung sejak tanggal 1 April 1984 (Pasal 3 Kepres Nomor 33 Tahun 1984). Pasal 1 Kepres tersebut menyatakan bahwa: UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan pelaksanaannya, dinyatakan berlaku sepenuhnya untuk seluruh wilayah Propinsi DIY. Selanjutnya pada Pasal 2 ditegaskan, bahwa Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diatur oleh Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 2 Keppres tersebut, diterbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor  66 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Pemberlakuan Sepenuhnya UU No. 5 Tahun 1960 Di Provinsi DIY. Yang kemudian diikuti Pembentukan Kantor Agraria Kabupaten Sleman, Kulonprogo, Gunung Kidul dan Kantor Agraria Kotamadya Yogyakarta berdasarkan Kepmendagri Nomor 67 Tahun 1984.Yang untuk selanjutnya disusul beberapa Keputusan Menteri Dalam Negeri, yaitu: 1) Kepmendagri Nomor 68 Tahun 1984 tentang Pemberlakukan PMDN Nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah Di Propinsi DIY; 2) Kepmendagri Nomor  69 Tahun 1984 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Hak Atas Tanah Hak Milik Perorangan Berdasarkan Perda DIY Nomor 5 Tahun 1954 di Provinsi DIY; 3) Kepmendagri Nomor SK.590.34-746 tentang Pengesahan Perda Provinsi DIY Nomor 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UU No. 5 Tahun 1960 Di Provinsi DIY; 4) Perda Provinsi DIY No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UU No. 5 Tahun 1960 Di Provinsi DIY.5) Surat Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor: 590/1885 tertanggal 29 Oktober 1984 kepada Bupati Kepala Daerah Se-DIY tentang diperlakukannya UUPA Secara Penuh di Provinsi DIY.
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat digambarkan bahwa pemberlakuan hukum tanah di Wilayah Indonesia sebagai berikut:

Waktu/Daerah/
Wilayah
D.I.Y
Irian Barat
(Irian Jaya)/
Papua
Daerah/Wilayah Indonesia selain DIY dan Irian Barat/
Jaman Pemerintah Hindia Belanda (VOC/1602  s/d 14 Agustus 1942 Perjanjian Kalijati)
Hukum Adat, Agraische Wet (S. 1870-55) Jo S. 1925-447), Rijskblaad Kasultanan Jogjakarta Tahun 1918 No. 16 Rijsblaad Kadipaten Paku Alaman  Tahun 1918 nomor 18., Stb. Tahun 1941 No. 47 (Persetujuan atau kontrak Politik Antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Kasultanan Jogjakarta tertanggal 18 Maret 1940). Psl.39-40, 41: Penguasaan atas Tanah
Hukum Adat, Agraische Wet (S. 1870-55) Jo S. 1925-447), Domeinverklaring S.1870-118, Algemene, Buku Ke II KUH Perdata

Hukum Adat, Agraische Wet (S. 1870-55) Jo S. 1925-447), Domeinverklaring S.1870-118, Algemene Domein verklaring S. 1875-119a, Domein Verklaring Sumatra S. 1874-94f, Domeinverklaring Menado S. 1877-55, Domeinverklaring residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo S. 1888-58, KB tgl. 16 April 1872 (S. 1872-117, Buku Ke II KUH Perdata
Jaman Pemerintah Bala Tentara Jepang (8 Maret 1942 s/d 14 Agustus 1945)
Hukum Adat, Agraische Wet (S. 1870-55) Jo S. 1925-447), Rijskblaad Kasultanan Jogjakarta Tahun 1918 No. 16 Rijsblaad Kadipaten Paku Alaman  Tahun 1918 nomor 18.,
-sda-
-sda-
Jaman Pemerintah RI17-8-1945 s/d 24 September 1960
-sda-
-sda-
-sda-
s/d 25 September 1971
Hukum Adat, Rijskblaad Kasultanan Jogjakarta Tahun 1918 No. 16 Rijsblaad Kadipaten Paku Alaman  Tahun 1918 nomor 18.,
-sda-
UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria beserta Peraturan pelaksanaannya.
26 September 1971 s/d sekarang
Hukum Adat, Rijskblaad Kasultanan Jogjakarta Tahun 1918 No. 16 Rijsblaad Kadipaten Paku Alaman  Tahun 1918 nomor 18.,
UU PA beserta Peraturan pelaksanaannya.
UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria beserta Peraturan pelaksanaannya.
Mulai 1 April 1984 – sekarang.
UUPA beserta Peraturan pelaksanaannya.
UUPA beserta Peraturan pelaksanaannya.
UUPA beserta Peraturan pelaksanaannya.

Secara garis besar, Hukum  Tanah yang berlaku sebelum diberlakukannya UU  Nomor 5 Tahun 1960, berlaku  2 (dua) perangkat hukum tanah, yaitu hukum tanah barat yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan hukum tanah adat yang bersumber pada hukum adat.
Kedua perangkat hukum tersebut, mempunyai asas yang berbeda dalam  menyikapi hubungan antara tanah dengan benda-benda yang ada di atasnya.  Hukum tanah barat yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), berlaku ketentuan bahwa benda-benda atau bangunan menjadi bagian dari tanahnya karena berlaku asas perlekatan (asas natrekking atau asas accesie) sebagaimana diatur dalam Pasal 500 KUHPerdata). Atas dasar asas itu, maka pemilikan atas tanah menurut Hukum Barat itu meliputi juga pemilikan dari bangunan yang ada di atasnya (Pasal 571 KUHPerdata). Bangunan yang didirikan di atas tanah kepunyaan pihak lain menjadi milik yang empunya tanah (Pasal 601 KUH Perdata), kecuali diperjanjikan lain. Sedangkan menurut Hukum Adat (dikenal dengan hak-hak atas tanah Adat Indonesia) tunduk pada asas Pemisahan Horizontal[17] (Horizontale Scheiding) antara tanah dengan bangunan atau benda-benda yang ada atau berdiri di atasnya. Dengan kata lain, pihak yamg membangun adalah pemilik dari bangunan tersebut.



2.     Hak Penguasaan Atas  Tanah Dalam UUPA
Hak-hak penguasaan atas tanah dapat berupa: (a) lembaga hukum, kalau belum dihubungkan dengan subjek dan objek  tertentu; dan (b) hubungan hukum, kalau sudah dihubungkan dengan subjek tertentu sebagai pemegang haknya dan dengan tanah tertentu sebagai objeknya.
Dengan berpangkal pada adanya 2 wujud penampilan hak penguasaan atas tanah itu,  peraturan-peraturan hukum pertanahan tersusun sebagai suatu sistem dengan sistematika yang khas, yang membedakan dengan sistem bidang-bidang hukum lainnya. Secara garis besar struktur penguasaan hak atas tanah di dalam UUPA terdiri atas:
a.  Hak Bangsa Indonesia, yang merupakan hak yang tertinggi, yang bersifat abadi dan mengandung unsur keperdataan dan publik, meliputi semua tanah bersama di seluruh wilayah Negara (Pasal 1);
b.  Hak menguasai Dari Negara, yang merupakan tugas kewenangan di bidang hukum publik semata, meliputi 3 (tiga) kewenangan atas semua tanah bersama (Pasal 2 ayat (2) UUPA yang merupakan interpretasi otentik mengenai pengertian di-“kuasai” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
c.  Hak Ulayat Masyarakat-Masyarakat Hukum Adat, yang merupakan hak bersama para warga masyarakat hukum adat tertentu yang bersangkutan atas tanah ulayatnya yang merupakan tanah bersama, sepanjang menurut kenyataannya hak itu masih ada (Pasal 3 UUPA). Penafsiran ketentuan Pasal 3 UUPA yang menyatakan “Keberadaan hak ulayat harus diperhatikan, sepanjang menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum adat yang bersangkutan,” telah menimbulkan suatu permasalahan tersendiri. Sepanjang dalam kenyataannya masih ada tersebut dihitung sejak kapan?. Apakah sejak tanggal 24 September 1960 ataukah pada saat hendak  memberlakukan ketentuan Pasal 3 UUPA tersebut (pelaksanaan PMNA/Ka. BPN Nomor 5 Tahun 1999, yaitu dalam rangka meneliti untuk menilai masih ada tidaknya eksistensi/keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan?. Terkait dengan penerapan ketentuan Pasal 3 UUPA tersebut, Prof. Mahadi[18] menekankan perlunya perhatian secara khusus akan hal tersebut. Mengingat bahwa penguasaan hak ulayat oleh masyarakat hukum adat telah ditingkatkan dan menjelma menjadi Hak Bangsa, maka konsep dalam Hukum Pertanahan Nasional Hak Ulayat sebagai lembaga hukum tidak ada lagi. Yang masih ada dan diakui keberadaannnya dalam Pasal 3 UUPA adalah hak ulayat sebagai hubungan hukum. Hal yang sama dikemukakan pula oleh Oloan Sitorus[19] yang berasumsi bahwa ketentuan Pasal 3 UUPA hanya mengakui hak ulayat sebagai  hubungan hukum konkrit dan bukan sebagai lembaga hukum, yang pada aliran realisme hukum (legal realism)  yang mengharapkan UUPA sebagai  a tool of social engineering. Sepanjang menurut kenyataannya masih ada pada suatu masyarakat hukum adat keberadaannya diakui, tetapi pelaksanan hak subyektif tersebut harus disesuaikan dengan kepentingan nasional dan Negara. Bahkan kalau dalam kenyataannya tidak ada lagi tidak akan dihidupkan kembali, dermikian pula tidak akan diciptakan hak ulayat baru.
d.  Hak-hak perorangan, yang memberi kewenangan untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan dan.atau mengambil manfaat tertentu dari suatu bidang tanah tertentu yang merupakan bagian dari tanah bersama tersebut berupa: Hak-hak atas tanah (HM, HGU, HGB, dan Hak Pakai) (Pasal 4 dan Bab II Pasal 16), serta Hak Atas tanah Wakaf (Pasal 49); dan
e.  Hak Tanggungan, sebagai hak jaminan atas tanah (Pasal 51 UUPA).

Secara garis besar menurut Syahyuti,[20] terdapat 4 (empat) karakteristik penguasaan tanah menurut Hukum Adat.  Penguasaan tersebut dilandasi pada paradigma, bahwa sesungguhnya tanah adalah sumberdaya yang khas (jumlahnya terbatas), tidak sebagaimana sumberdaya ekonomi lain yang dapat dijadikan sebagai komoditas pasar yang bebas. Keempat karakteristik itu adalah:
1)  tidak adanya kepemilikan mutlak.
2)  penguasaan yang bersifat inklusif;
3)  larangan untuk meperjual-belikan tanah (meskipun untuk tanah yang sudah dikuasai secara pribadi);
4)  lebih dihargainnya manusia dan kerjannya dibanding tanah.
Sementara itu, jika dilakukan pengamatan/kajian secara historis menurut Syahyuti[21] pola penguasaan tanah dapat dikelompokan menjadi: 1) Sistem Feodalisme, dimana hak tanah penguasaan tanah ada pada kerajaan, sehingga petani hanyalah sebagai penggarap, maka perolehan oleh petani sangat terbatas. Penguasaan tanah oleh kerajaan ini, menjadikan tanah sebagai alat politik pihak kerajaan, agar dapat mengontrol seluruh warga dan terutama pembantu pembantunya di level desa; 2) Masa Pemerintahan Kolonial, dimana posisi kerajaan digantikan oleh Pemerintah Belanda, dengan mengembangkan pola sewa atau pajak sebagai instrument yang penting dalam memajukan pertanian, meskipun ini bersifat sepihak yaitu untuk kepentingan dirinya. Kondisi ini berdampak pada Petani tetaplah seorang penggarap dengan kewajiban menyerahkan sebagian hasilnya kepada pihak penguasa; 3) Masa Kemerdekaan (Era Orde Lama dan Orde Baru). Masa ini ditandai dengan lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1960, yang menunjukan bahwa Pemerintah telah secara serius memperhatikan pentingnya permasalahan agraria. Meskipun dengan lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1960 telah terjadi proses pemoderan, yaitu menggabungkan dualisme hukum  antara hukum Belanda (Barat) dengan Hukum Adat. Dikala awal berlakunya UU ini, program landreform digulirkan, namun kemudian gagal karena ditunggangi oleh muatan politik PKI sebagai partai yang menggunakan politik populis. Selanjutnya pada masa Orde Baru selama tiga dasawarsa, dapat dikatakan program landreform tidak dilaksanakan sama sekali (stigma masa lalu sebagai produk PKI). Namun demikian program atau usaha privatisasi tanah tetap diusahakan oleh Pemerintah melalui program sertipikasi tanah meskipun kurang memuaskan. Menggalakan program perkebunan-perkebunan berskala besar dengan penguasaan tanah yang cukup luas oleh Insvestor, dan mengakibatkan sejumlah petani menjadi tidak bertanah (tuna kisma), sementara optimalisasi tanah perkebunan secara fisik (penggunaan dan/atau pemanfaatan) nya tidak maksimal sehingga menimbulkan penelantaran tanah.

3.     Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Dalam beberapa literature,  “masyarakat adat”[22]  merupakan terjemahan dari  indigeneous[23] peoples (masyarakat tradisional), tribal peoples  (masyarakat suku/pribumi), dan native people (masyarakat asli), serta forest peoples (masyarakat hutan) atau dalam bahasa Belanda, inheems.[24]  
Secara terminologis, peristilahan atau sebutan masyarakat adat, juga digunakan oleh Departemen Sosial dengan istilah suku-suku bangsa terasing. Sedangkan Koentjaraningrat menggunakan istilah masyarakat yang diupayakan berkembang. Kemudian Kusumaatmadja menggunakan istilah kelompok penduduk rentan primitife, peladang berpindah, orang minoritas (minorities), orang gunung (highlanders). Terminologi penggunaan sebutan “masyarakat adat” juga telah mendapatkan  kesepakatan secara aklamasi dalam Konggres Masyarakat Adat Nusantara yang diselenggarakan di Jakarta, 15-22 Maret 1999.
Pada umunya mereka (masyarakat adat) tersebut  menduduki dan mendiami wilayah  yang sangat kaya mineral dan sumber daya alam lainnya. Sebagai Contoh, Daerah Reservasi (bagi orang Indian) di Amerika Serikat[25] yang dianggap sebagai daerah yang kurang berharga pada abad ke-19, tetapi kini daerah tersebut terbukti menyimpan sejumlah besar cadangan mineral, kayu, margasatwa, dan sumber air. Diperkirakan  65% cadangan uranium Amerika Utara terdapat di daerah reservasi Indian Amerika. Wilayah Reservasi ini  merupakan  tempat bagi 80% penambangan uranium yang dilakukan di AS dan pemrosesan uranium seluruhnya (100%) dilakukan di daerah resevasi ini.  Sedangkan Contoh di Indonesia,[26] adalah   ditemukannya cadangan tembaga dan emas di oleh  James Robert “Jim Bob” Moffett  sebagai Chief Executif Officer (CEO), bahwa di Grasberg (Tenogoma-Enagasin). Daerah ini mengandung cadangan tembaga nomor tiga terbesar dan cadangan emas nomor satu terbesar di dunia.
          Mereka disebut indigenous karena akar turum temurun kehidupan mereka menjadi satu kesatuan tak terpisahkan dengan tanah dan wilayah di mana mereka huni, atau akan huni (dalam arti kembali di wilayah tersebut setelah mengalami peminggiran atau pengusiran paksa). Mereka juga disebut peoples karena merupakan komunitas yang unik dan eksistensi serta identitas mereka yang berkelanjutan secara turun temurun, yang menghubungkan mereka dengan komunitas, suku atau bangsa dari sejarah masa lampaunya.
          Secara politik mereka tidak memiliki posisi tawar menawar yang kuat. Secara ekonomi mereka tidak terjamin kerberlanjutan hidupnya. Kohesitas dan perasaan anggotanya sebagai satu masyarakat yang berasal dari akar yang sama telah terkikis oleh pelbagai tawaran yang bersifat memecah belah. Sedangkan integritas dan indentitas mereka sebagai manusia dan sebagai warga komunitas tengah terancam oleh modernisasi, mereka tidak siap untuk menjadi masyarakat lain yang menamakan dirinya sebagai modern, sementara di sisi lain nilai-nilai dan sisten hidup tradisional mereka terancam sirna.
J. Sembiring,[27] menyatakan bahwa dengan memimjam pendapat Alvin Toffler dalam bukunya “The Third Wave” terdapat tiga gelombang  dalam sejarah kehidupan manusia, yaitu Pertama, Pola Hidup Agraris (8000 SM-1700). Kedua, Pola Hidup Sosial Industri (1700-1970) dan Ketiga, Pola Hidup Sosial Era Informasi [1970- sekarang].  Mengingat bahwa sebagian daerah di Indonesia   (Sumatera, Kalimantan, dan Irian/Papua) masih terdapat kelompok masyarakat  hidup secara nomaden dengan pola pertanian (shifting cultivation). Dengan demikian sebagian masyarakat Indonesia  berada dalam keadaan shock sebab transisi itu mendadak dan dalam rentang waktu yang relatif singkat. Kondisi tersebut akan menimbulkan perbedaan persepsi dalam memandang fungsi tanah dalam pembangunan. Di sisi lain hadirnya  otonomi daerah dan upaya penguatan masyarakat lokal masih belum membuahkan hasil dan masih harus berhadapan dengan kepentingan ekonomi global, sehingga politik pertanahan dihadapkan dengan dimensi baru yang semakin konpleks.
          Menurut Wignyosoebroto, (dalam) Rachmad Syafa’at,  paradigma dan kebijakan dasar pembangunan yang dominan saat rezim Orde Baru berorientasi pada industrialisasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Paradigma tersebut bersumber pada idiologi kapitalisme yang bersandar pada paradigma Ilmu Pengetahuan Modern yang menggagap bahwa tradisi adalah suatu masalah dan menghmbat pembangunan.  Untuk itu diciptakan pula banyak sekali perangkat peraturan perundang-undangan dan politik yang sangat sentralistik bercorak teknokratis dan represif. Hukum Nasional diseragamkan dengan mengabaikan disparitas regional dan lokal, yang pada gilirannya mematikan otonomi, hukum dan kelembagaan masyarakat adat. Proses peminggiran (marginalisasi) masyarakat adat dalam pembangunan dan pengelolaan SDA ini pada gilirannya membangkitkan Cultural Counter Movement, gerakan perlawanan budaya masyarakat adat terhadap persitensi dan penyingkiran kelembagaan dan hukum lokal yang selama ini dihargai dan dikukuhi dalam pengelolaan SDA.[28]
Keberadaan atau eksistensi mereka yang rentan dan terimbas oleh pengaruh kepentingan ekonomi global tersebut, masih dihadapkan pula pada beragam masalah yang secara garis besar dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu:
a.     Masalah hubungan masyarakat adat dengan tanah dan wilayah di mana mereka hidup dan dari mana mereka mendapatkan penghidupannya, termasuk sumber daya alamnya.
b.     Masalah self-determination yang sering berbias politik dan hingga sekarang masih menjadi perdebatan sengit;
c.      Masalah identification, yaitu soal siapakah yang dimaksud masyarakat adat itu, apa saja kriterianya, apa bedanya dengan masyarakat adat yang bukan adat/asli/pribumi (non-indigenous peoples).
Dari ketiga permasalahan tersebut di atas, maka masalah yang paling krusial yang relevan dan terkait dengan bidang tugas pokok kita adalah masalah pada huruf a terkait hubungan mereka dengan tanah dan wilayah di mana mereka hidup dan dari mana mereka mendapatkan penghidupannya, termasuk sumber daya alamnya.  Namun demikian bukan berarti merendahkan permasalahan yang lainnya, persoalan pada huruf c juga layak untuk dilakukan pengkajian secara lebih mendalam untuk menemu-kenali eksistensi mereka.


  1. Regulasi  Hak-Hak Masyarakat Adat

1.  Dimensi Global/Internasional
Secara hukum Internasional, menurut S. James Anaya (dalam) Rafael Edy Bosko,[29]  mereka (masyarakat adat) memiliki hak-hak atas: hak untuk tidak diskriminasikan, hak-hak atas tanah dan sumber daya (alam), hak-hak kebudayaan, hak-hak untuk berpartisipasi baik dalam politik maupun dalam bidang kebudayaan secara umum, hak-hak atas lingkungan yang sehat, dan hak-hak atas persetujuan.
Dalam perkembangannya masyarakat Internasional telah menunjukan komitmenya yang lebih besar pada usaha-usaha untuk memecahkan masalah berkenaan dengan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Sebagai contoh dikeluarkannya  Deklarasi International Labor Organisation (ILO) No. 169 Tahun  1989 berjudul Konvensi tentang Masyarakat Adat dan Kesukuan Di Negara-Negara Merdeka (Convention concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries) telah menegaskan dengan cukup kuat hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka dan sumber daya alamnya.
Demikian halnya juga pada Agenda 21 dari United Nation Conference on Enviromental and Development yang secara tegas mengaitkan penghormatan terhadap hak atas tanah adat dengan kebijakan global perlindungan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Hal senada dilakukan pula oleh Bank Dunia yang telah mengapdosi Petunjuk Pelaksanaan (Operational Direktive)  Bank Dunia 4.20, yang mencerminkan prinsip-prinsip integritas kebudayaan dan pembangunan diri-sendiri masyarakat adat (self-development) dalam Konvensi ILO 1969 yang secara khusus terkait dengan pengakuan terhadap sistem kepemilikan tanah adat dalam proyek-proyek yang didanainya. Dengan Petunjuk Pelaksanaan tersebut, menjamin bahwa masyarakat adat,  mendapat keuntungan dari proyek pembangunan, dan mencegah dampak merugikan terhadap masyarakat adat yang disbebakan oleh kegiatan-kegiatan proyek yang dibantu oleh Bank Dunia.  Para Perencana Bank Dunia harus menjamin bahwa masyarakat adat tidak mengalami dampak merugikan dan dapat menikmati keuntungan social dan ekonomi yang selaras  dengan kebudayaan mereka, dengan penghormatan penuh terhadap martabat, hak azasi, dan keunikan budaya mereka. Lebih jauh perencanaan proyek harus melibatkan/mempertimbangkan penuh terhadap pilihan-pilihan yang disukai oleh masyarakat adat dan meningkatkan atau mendorong pengalihan lebih awal manajemen proyek kepada penduduk lokal demi partisipasi secara sadar dan sukarela (informed participation).[30]  
Bahkan Kelompok Kerja mengenai Populasi Adat (Working Group on Indigenous Population-WGIP), menyampaikan Draf Deklarasi PBB tentang Hak Hak Masyarakat Adat. Secara lebih lengkap dimensi global penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dalam berbagai konvesi internasional sebagaimana dikemukakan oleh Maria S.W. Sumardjono,[31] selain telah disebutkan di atas, tertuang dalam:
a.  The United Nation Charter (1945);
b.  The Universal declaration of Human Right (1948);
c.   The United Nations Convention on the Trevention and Punishment of the Crime of Genocide;
d.  4)The Internatiopnal Convention on Economic, Social, and Cuktural Rights (1966);
e.  Rio Declaration on Enviroment and Development (1992);
f.   Technical  Review of the  UN Draf Declaration on the Right of Indigenous Peoples, as agreed Upon by the Members of the Working Group at ist Eleventh Sesseion, UN Doc. E/CN.4Sub2/1994/Add.1 (20 April 1994).

2.  Dimensi Nasional
Pada Era Kemerdekaan:  Pertama, adopsi pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dapat diketemukan dalam Konstitusi Dasar Negara kita, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) “ hak menguasai negara” yang menggantikan konsep “domein” yang digunakan oleh Pemerintah Kolonial (Agrarishe Wet 1870). Kedua,  Penjelasan Pasal 18 Angka Romawi II, Negara mengakui bahwa di Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgetneenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, Negeri [Nagari] di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.
Selanjutnya pada Dimensi Nasional,  penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat  untuk pertama kalinya tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor  2043).  Ari Sukanti,[32] menyatakan bahwa pengaturan Hukum Adat, Dalam Peraturan Perundang-undangan dapat diketemukan dalam: a) Konsiderant UUPA; b) Penjelasan Umum angka III ayat (1) UUPA; c) Pasal 5 dan Penjelasan Pasal  UUPA; d) Penjelasan Pasal 16; e) Pasal 56; dan f) Pasal 58. Sedangkan untuk Tanah Adat/Ulayat, dapat diketemukan dalam: a)  Pasal 5 UUPA; b) Pasal 3 UUPA; 
Pada Era Reformasi,  adopsi pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dapat diketemukan dalam Konstitusi Dasar Negara kita, yaitu pada Perubahan Kedua Tahun 2000 yang tertuang dalam Pasal 18B ayat (2): Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya[33] sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang[34].
Jika diperhatikan secara seksama, maka pengaturan Pasal 18B ayat (2) Dalam Konstitusi Negara yang mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya tersebut dilihat dari pengaturannya masuk dalam Bab VI tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu, seharusnya regulasi atau pengaturan substansi pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya masuk dalam Undang Undang Pemerintahan Daerah, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004.
Namun jika dicermati lebih lanjut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah  hanya menyinggung pengaturan substansi masyarakat adat, hanya dalam 2 (dua) pasal dan 1 (satu) Penjelasan Pasal saja, yaitu Pasal  2 ayat  (9) tentang Pengakuan dan Penghormatan, dan Pasal 203 ayat (3) tentang Pemilihan Kepala Desa,  serta Penjelasan Pasal 204 tentang Masa Jabatan Kepala Desa. 
Pasal 2 ayat (9): 
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.”
Pasal 203 ayat (3):
“Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.”
Penjelasan Pasal 204:
“Masa jabatan Kepala Desa dalam ketentuan ini dapat dikecualikan bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang keberadaannya masih hidup dan diakui yang ditetapkan dengan Perda.”
Pasal 28 I ayat (3): Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Berdasarkan regulasi/pengaturan yang terkait dengan keberadaan desa, dapat dibedakan menjadi tiga jenis desa yang memiliki karakteristik yang berbeda di antara ketiganya, yaitu: 1) Desa Adat (self governing community)  berbentuk Desa Adat atau sekadar organisasi komunitas yang mempunyai pemerintahan sendiri dan mempunyai otonomi asli. Komunitas ini memiliki  struktur yang lepas dari atau di luar struktur birokrasi Negara, berazaskan rekognisi (pengakuan dan penghormatan, sebagai contoh Desa Adat di Bali dengan otoritas kewenangan yang dimiliki bersifat asal usul, mengelola urusan-urusan masyarakat yang berskala lokal, sususnan asli, musyawarah. Kelebihan atau keuanggulan sesuai konstek sejarah yang mempunyai asal usul jauh sebelum lahir NKRI, relevan dengan konsep pengakuan dan penghormatan yang teruang dalam konstitusi (Pasal 18 B UUD 1945), mengakomodasikan keragaman desa-desa di Indonesia;  2) Desa Otonom (Local Self Government). Merupakan  unit pemerintahan lokal otonom yang berada dalam subsistem pemerintahan NKRI, Desentralisasi (penyerahan), Contoh Desa Swapradja atau desapradja,  status desa seperti Desa otonom, penyerahan urusan menjadi kewenangan desa, institusi politik demokrasi modrn (electoral dan perwakilan),  keunggulan Desa otonom ini adalah memperjelas pembagian urusan dari pemerintah kepada desa, memungkinkan terjadinya modernism versi tradisionalisme atau antara desa dinas/administrasi dan desa adat, menjadi lebih modern dan dinamis; 3) Desa Administrasi (Local state government). Merupakan unit birokrasi sebagai kepanjangan tangan dari Negara di tingkat lokal, sebagai satuan kerja perangkat pemerintah daerah, delegasi atau tugas pembantuan, contoh Kalurahan, desa memiliki dan berkewajiban menjalankan tugas-tugas administrative dan pelayanan yang ditugaskan pemerintah, mempunyai institusi demokrasi dan tidak ada otonomi.[35]
Demikian juga dalam Pasal 4 huruf  j Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam Pasal 4 Tap MPR tersebut, disebutkan bahwa  Pembaruan agrarian dan pengelolaan sumberdaya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip: j. mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agrarian/sumberdaya alam.
Selanjutnya dalam dimensi nasional, sebagai pengaruh tekanan/tuntutan reformasi, dikeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria (PMNA)/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat hukum Adat. PMNA/Ka. BPN ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1960 yang meletakan penghormatan dan perlindungan hak ulayat masyarakat hukum adat.  PMNA/Ka. BPN Nomor 5 Tahun 1999 ini kemudian ditindaklanjuti dengan Instruksi Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan PMNA/Ka. BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.  Sebagai tindak lanjut dari Instruksi Kepala BPN tersebut,   Deputi Bidang Pengukuran dan Pendaftaran tanah BPN menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 600-1999-D.IV tertanggal 3 Juli 2000, tentang Petunjuk Teknis Pilot Proyek Identifikasi Tanah Ulayat berupa Kegiatan Pengukuran dan Pemetaaan di Negarai Tigo Jangko Sumatera Barat.[36]
Di samping itu pengakuan dan penghormatan serta perlindungan juga tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral,   seperti UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah uraikan di atas,  UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan,  UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang  Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi  Papua Jo. UU Nomor 35 Tahun 2008, UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, Jo UU UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,  dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dll.

3.  Dimensi Lokal
Sementara dimensi pengaturan dan pengakuan serta penghormatan, perlindungan hak-hak masyarakat adat  yang bersifat regional,[37] dapat diketemukan antara lain:
a.  Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok  Pemerintahan Nagari dan Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat Dan Pemanfaatannya;
b.  Perdasus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang  Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah;
c.  Perda Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang  Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy;
d.  Perda Kabupaten Nunukan Nomor 03 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat;
e.  Perda Kabupaten Nunukan Nomor 04 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lundayeh Kabupaten Nunukan.
f.   Perda Provinsi Daerah Istimewa  Aceh Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat.
Deskripsi yuridis di atas menunjukan bahwa Negara tidak kekurangan peraturan perundang-undangan yang memberikan pengakuan terhadap hukum adat dalam kerangka hukum nasional.  Namun demikian menurut  Kurnia Warman,[38] banyaknya peraturan yang tersedia ternyata belum memberikan jaminan secara kontruktif terhadap keberadaan hukum adat, khususnya hak ulayat.
Sehubungan dengan pengaturan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berdimensi lokal dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda)/Perdasus Provinsi maupun Perda Kabupaten tersebut, memunculkan pertanyaaan. Apakah   masuk dalam konsep pluralisme hukum ataukah merupakan perpanjangan (kontrol) dari sentralisasi hukum?.[39]  Pluralisme (perbedaan) hukum mengandung beberapa ciri, yaitu: a) tidak ada satu sitem tunggal sebagai sumber hukum; b) adanya semi outonomous social fields yang memiliki kapasitas membuat aturan; c. terdapat beragam kaedah normatif terhadap kenyataan yang bersumber pada tiap aktivitas pengaturan diri sendiri dari berbagai wilayah  sosial (semi-aoutonomous social fields) yang beragam. d) berbagai aktivitas wilayah sosial tersebut saling pengaruh, tumpang tindih, kompetisi maupun isolasi dengan aktivitas wilayah sosial yang ada di sekelilingnya. 
Dalam kaitan ini, Notonagoro[40] menyatakan bahwa Dualisme dalam soal hukum tanah, masih simpang siur dengan pluralisme (perbedaan) yang terdapat  dalam hukum adat sendiri, sehingga tidak terdapat persamaan antar daerah yang satu dengan yang lain. Dalam garis besarnya dalam hukum adat terdapat hak komunal yang mempunyai  subjek masyarakat hukum dan hak perserorangan.
Selanjutnya jika dikaji secara mendalam, hubungan antara hukum masyarakat lokal dengan penjajah kolonial serta kelanjutan relasinya. Ada dua kategori konseptual,[41] yaitu Pertama pluralisme hukum lemah, yaitu pengakuan hukum lokal berdasarkan ketentuan hukum negara dalam bentuk apapun. Kedua, pluralisme hukum kuat, yaitu masyarakat tidak lagi tunggal sebagai unit yang hanya taat pada sistem hukum lokal sendiri, tetapi juga mempunyai pilihan bebas terhadap berbagai hukum lain.

      Hubungan Fungsional Hukum Adat dan Hukum Tanah Nasional
Hukum Tanah Nasional disusun berdasarkan hukum adat tentang tanah. Demikian diamanatkan dalam Konsideran UUPA.  Pernyataan tersebut dapat kita jumpai juga dalam: a. Pasal 5 UUPA, yang menyatakan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat. b. Penjelasan Umum angka III.(1) UUPA; c. Penjelasan Pasal 5 UUPA. d. Penjelasan Pasal 16 UUPA; e. Pasal Peralihan, yaitu Pasal 56 UUPA dan secara tidak langsung juga dalam Pasal 58 UUPA.
Hukum Tanah Nasional (HTN) merupakan suatu perangkat peraturan-peraturan hukum tertulis, yang berlaku secara nasional sebagai hasil unifikasi hukum tanah, yang  bersumber utama pada hukum adat mengenai tanah (konsepsi, azas-azas dan lembaga-lembaganya).  Dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan masih berlaku mengenai hal-hal yang belum mendapat pengaturan dalam hukum yang tertulis (perundang-undangan) sebagai upaya untuk mencegah kevakuman (kekosongan)  hukum atau (recht vacuum).
Boedi Harsono[42] menegaskan bahwa kedudukan hukum adat setempat itu bukan berada di luar atau berhadapan dengan HTN, melainkan merupakan bagian daripadanya yang tidak tertulis. Mengingat Hukum Adat  yang diterapkan dalam rangka memenuhi kebutuhan yang masih bersifat sederhana, maka Hukum Tanah Nasional dilengkapi dengan lembaga-lembaga hak-hak atas tanah, yang semula hanya dua macam, yaitu Hak Milik dan Hak Pakai, menjadi empat macam, yaitu Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) dalam rangka memenuhi kebutuhan  masyarakat modern. Di samping itu juga dilengkapi dengan lembaga Hak Tanggungan (HT) sebagai lembaga hak jaminan atas tanah untuk keperluan perkreditan modern, yang kemudian diikuti dengan lembaga Pendaftaran Tanah yang dirasakan keperluannya untuk kapastian hukum dalam masyarakat modern.
Dalam upaya hendak mengangkat dan memperjuangkan hukum rakyat, yaitu hukum adat menjadi hukum nasional yang modern, semenjak jaman kolonial telah dirintis dan dilakukan oleh Soepomo (UI), Djodjodigoeno (UGM), dan Koenoe (Unair). Berdasarkan kajian beberapa tokoh tersebut di atas, ternyata hukum adat merupakan hukum yang memiliki keunggulan dalam hal keluwesan dan gayutannya dengan perasaan keadilan masyarakat lokal yang berbagai-bagai hal. Sementara Pemerintah Kolonial menunjukan diri dengan sikap nihilisme (negativisme) terhadap hukum adat. 
Para perintis hukum adat, juga menyatakan bahwa hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi Pembangunan Hukum Nasional[43] menuju kepada unifikasi hukum. Soepomo menunjukan 4 (empat) azas, pranata dan konsep hukum adat yang yang mempunyai nilai universal. Keempat azas tersebut adalah azas gotomg royong, azas fungsi sosial manusia dan miliknya, azas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum, dan azas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan. Sedangkan pranata yang dimaksud, Soerojo menyebutkan bahwa pranata maro (dalam Hukum Internasional disebut production sharing contract), pranata panjer (dalam Hukum Internasional disebut commitment fee atau down payment), pranata kebiasaan untuk mengijinkan tetangga tanpa perlu meminta izin secara eksplisit terlebih dahulu (dalam hukum internasional disebut innocent passage), pranata dol oyodan atas tanah (yang berpadanan dalam Hukum Internasional dengan voyage charter atau time charter), dan pranata jonggolan (yang berpadanan dengan lien atau mortgage dalam Hukum Internasional). Dalam hal konsep, Soerojo menyebut bahwa konsep tanah wewengkon atau tanah ulayat yang dalam hukum internasional dikenali sebagai konsep teritorialitas atau daerah yuridiksi. Konsep hak meminta perlindungan ke bawah kekuasaan seseorang penguasa agar terhindar dari sanksi adat dalam hukum internasional disebut hak asilum atau hak meminta suaka.
Berdasarkan beberapa realitas di atas, butir-butir penting pemikiran terkait dengan regulasi hak-hak adat/hak ulayat atas tanah adalah sebagai berikut:
Pertama, penggunaan istilah atau sebutan  “pengakuan” atau “kesepakatan”. Pada istilah pengakuan maka mengandung konsekuensi tanpa pengakuan Hukum Negara, maka Hukum Lokal tidak dapat diterapkan atau diaplikasikan. Konsekuensi lebih lanjut, yaitu pengakuan memberi batasan terhadap bagian mana yang saja yang diakui dan bagian mana saja yang dilarang. Sedangkan pada istilah “kesepakatan” lebih merupakan kontrol terhadap Negara untuk menghargai wilayah sosial yang telah memiliki hukum sendiri, sehingga tetap ada otonomi dalam wilayah sosial hukum. Disamping itu relasi antara Negara-masyarakat selalu dalam relasi sejajar yang dibangun atas berbagai kesepakatan yang dinamis dan terbuka. Sebagai contoh,[44] kesepakatan yang dibangun antara Kepala Suku Taparu Sub Suku Koperapoka/Nawaripi dan Sub Suku Tipuka dengan PT. Freeport Indonesia untuk penyerahan tanah hak ulayat serta kesanggupan PT Freeport Indonesia  untuk membiayai pembangunan fisik Program Rekognitie sebagai bentuk pengakuan terhadap hak ulayat Suku Komoro. Kesepakatan tersebut difasilitasi oleh  Pemerintah yang dalam hal ini Bupati Mimika yang dituangkan dalam SK Bupati Mimika Nomor 3 Tahun 1998 tertanggal 9 Pebruari 1998. Dengan melibatkan Yayasan Sejati, Yayasan Nawaripi dan Lembaga Adat Masyarakat Tipuka.
Kedua, sebagai parameter untuk pengakuan atau penghormatan terhadap pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat, apakah bertentangan atau tidak dengan kepentingan nasional dan Negara, maka dapat diterapkan 4 (empat) prinsip bahwa pelaksanannnya diwajibkan berkontribusi secara nyata yaitu 1) Meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat; 2) Meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitan dengan penguasaan, pemilikan tanah, dan penggunaan serta pemanfaatan tanah; 3) Menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaaan, dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat-tanah; dan 4) Menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.
Ketiga, dalam hal eksistensi/keberadaan masyarakat hukum adat setelah dilakukan penelitian kemudian ditetapkan dan memperoleh pengakuan serta penghormatan terhadap hak-hak tradisionalnya, maka  dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan  lebih diarahkan pada karakteristik sebagai Desa adat (self governing community) yang mempunyai dan memiliki otoritas/kewenangan berdasarkan hak asal-usul.
Keempat, adopsi terhadap klausula kontrol (intervensi) oleh Negara dan modal. Negara dapat memberi otonomi penuh (akses/ruang) yang cukup dan dikemas dalam peraturan perundang-undangan kepada masyarakat untuk menyetujui atau tidak menyetujui (menolak) masuknya segala bentuk pembangunan ekonomi.[45]
Kelima, membangun kesepahaman/konsep yang seimbang antara Negara-Masyarakat terhadap hal-hal terkait dengan sumber daya alam yang akan dikelola. Sebagaimana konsep “pelepasan” ternyata mengandung pengertian atau pemaknaan yang berbeda antara masyarakat hukum adat di satu pihak yang memaknai sebagai pemimjaman (pimjam-pakai),  dengan masyarakat pendatang atau pihak di luar masyarakat hukum adat di sisi yang lain yang memaknai sebagai putusnya  hubungan hukum antara pemegang/pemilik dengan tanahnya. Hal ini dapat mengurangi sedapat mungkin pembangunan yang merugikan masyarakat. Dengan demikian, perlu dicarikan instrumens/sarana atau bentuk format  lain yang dapat mempertemukan kedua kepentingan atas pemaknaan/persepsi yang berbeda dan mampu menghasilkan sintesis yang mampu menangkap/menfasilitasi atau menjembatani dua   kepentingan antara masyarakat asli/pribumi-pendatang, sistem hukum negara-hukum adat.
Keenam, dalam setiap kegiatan yang terkait dengan proses penguasaan/pemilikan, penggunaan serta pemanfaatan (sertipikasi)  termasuk perbuatan hukum peralihan tanah hak adat/ulayat, serta pembebanan hak tanggungan yang objeknya tanah adat/ulayat, hendaknya petugas atau aparat pemerintah atau siapapun agar memperhatikan azas pemisahan horizontal,[46] yang merupakan azas di mana bahwa pemilik tanah  tidak sekaligus (otomatis) sebagai penguasa/pemilik bangunan, tanaman dan benda-benda yang ada di atas tanah, serta azas-azas hokum lain yang masih berlaku dan digali dari hukum adat (azas rechtverwerking, azas verjahring/kadaluwarsa, dll.). Kecuali memang telah diperjanjikan secara tegas di dalam suatu klausul yang telah disepakati kedua belah pihak. Hal ini untuk menghindari terjadinya sengketa/konflik di kemudian hari, sebagai akibat ketidak-tahuan aparat/petugas pertanahan yang tidak dibekali pengetahuan yang cukup dalam melakukan kegiatan yang terkait dengan tanah adat/ulayat. Sebagai contoh, sengketa/perkara terkait pembatalan sertipikat Hak Pakai Atas Nama Pemerintah Kota Surabaya (Gelora Bung Karno Surabaya), Sengketa/Perkara Pembatalan Hak Pakai Atas Nama Pemkot Kota Yogyakarta dalam Kasus Taman Pintar, Sengketa Tanah Taman Sriwedari Solo, dan lain-lain.
Ketujuh, untuk mencegah terjadinya konflik dikemudian hari. Diupayakan terhadap hakim Pengadilan Negara (PN dan PTUN) yang memeriksa dan mengadili serta memeriksa sengketa/perkara yang substansinya  tanah adat/hak ulayat, diwajibkan mempunyai pemahaman yang utuh, sehingga putusan yang dihasilkan tidak hanya berhenti pada keadilan prosedural,[47] dimana bentuk keadilan prosedural yang sejatinya telah melahirkan gap atas makna keadilan yang dibentuk di ruang sidang pengadilan dengan keadilan yang hidup dan diangankan masyarakat. Keadilan procedural, hanya dapat dimengerti oleh pengkaji hukum dan para praktisi hukum tetapi dianggap asing dan bersifat inklusif bagi masyarakat yang sebenarnya adalah adresat hukum. Dengan strategi pemahaman hakim yang menyeluruh terhadap hukum adat/ulayat atas tanah, serta  menempatkan dan/atau menghargai otoritas yang dipunyai masyarakat, untuk menerapkan azas konsensualisme/musyawarah, maka keseimbangan akan terwujud. Jika memang masih tersedia norma, sistem adat, seperti pranata/peradilan adat/peradilan perdamaian (desa), maka sarana tersebut patut dipertimbangkan untuk dioptimalkan, disamping sarana lain seperti Alternative Dispute Resolution (ADR) dan Mediasi sebagaimana diatur dalam Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2008 Jika ternyata Hakim tersebut hanya dibekali dengan pola berpikir untuk menerapkan seni menemukan aturan-aturan dalam suatu kasus (in concreto), maka implikasinya bagaikan memasuki rimba peraturan, prosedur dan administrasi, bukan lagi medan pencarian keadilan.

        
     Kepastian Hukum Atas Tanah
Pengelolaan sumberdaya agraria oleh Negara secara konstitusional telah tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa: ”Bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Selanjutnya ketentuan tersebut dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau lebih dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Secara khusus kewenangan negara dalam pengelolaan sumberdaya agraria tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) tentang Hak menguasai Negara. Yang dimaksud dengan Hak menguasai dari Negara adalah memberi wewenang negara untuk:
a.  Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b.  Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c.  Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,air dan ruang angkasa.
Dalam konteks kekinian regulasi tersebut secara politis mendapat dukungan kembali untuk dapat diimplementasikan, melalui terbitnya Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam ketetapan tersebut diamanahkan bahwa pembaruan agraria mencakup suatu proses berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria. Hal tersebut dimaksudkan bahwa pembaruan agraria harus diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.  Amanah tersebut mensyaratkan kepada penyelenggara negara untuk menjabarkannya ke dalam berbagai kebijakan yang memungkinkan untuk dioperasionalisasikan oleh segenap pemangku kepentingan di bidang keagrariaan.
Kepastian hukum Hak Atas Tanah (HAT) tidak akan terpenuhi apabila masih terdapat berbagai tumpang tindih antar kebijakan, baik yang bersifat sektoral maupun non sektoral. UUPA sebagai rujukan utama hukum tanah nasional dalam implementasinya praktis hanya berjalan efektif kurang dari 5 tahun.


      Tumpang Tindih dengan Sektor Kehutanan
Pemberlakuan UU Nomor  5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kehutanan memunculkan tumpang tindihnya dalam pengelolaan sumber daya alam baik berupa hutan, tambang maupun tanah pertanian antara rakyat dengan pemilik modal dan negara. Dalam kaitan dengan perkembangan pengusahaan hutan (HPH-HTI), pada awalnya kawahan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) berasal dari hutan belantara atas permohonan dan konsensi, sampai dengan tahun 1990, Pemerintah RI telah memberikaqn konsensi kepada 578 pemegang HPH, yang mengekploitasi sekitar 59,9 juta hektar hutan.[48] Akibatnya luas dan letak serta batas-batasnya bersifat acak tidak terpola secara sistematis. Hak Penguasahaan Hutan (HPH) perlu adanya kepastian kawasan, usaha dan hukum, sementara menunggu Tata Guna Hutan Kesepkatan (TGHK) yang lebih mantap dan definitp, Menteri Pertanian mengerbitkan SK Mentan No. 291/Kpts.Um/V/1979 bahwa seluruh kawasan HPH ditetapkan sebagai Hutan Produksi Tetap (HPT). Sambil menunggu TGHK yang lebih mantap dan definitif, Dirjend Kehutanan Departemen Pertanian melalui SK Mentan Nomor 680/Kpts/Um/1981 mengambil inisiatif untuk menyusun pedoman Penatagunaan Hutan Kesepakatan (TGHK).
Selanjutnya di lihat dari PP Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan,  dan imput data serta mekanisme proses penyusunannya, maka TGHK dapat dipandang sebagai rencana umum imajiner penggunaan lahan makro tentang peruntukan, penyediaan, pengadaan dan penggunaan sumberdaya hutan maupun untuk kepentingan sektor lain. Sesui Ketentuan PP Nomor 33 Tahun 1970,  TGHK menurut penggunaannya dapat dibagi menjadi Hutan Suaka Alam (HS), Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi Bebas (HPB), Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK) dan Areal Penggunaan Lain (APL).
Pada Era Orde Baru dengan Menerapkan Paduserasi (1990-1998). Proses Paduserasi antara TGHK dengan Tata Ruang terus berjalan secara bertahap pada tingkat Provinsi. Hasil Paduserasi antara TGHK dengan Tata Ruang  Wilayah Provinsi oleh Departemen akehutanan diberikan nama Kawasan Hutan dan Perairan (KHP) sesuai wilayah Provinsi yang bersangkutan. Misalnya KHP Provinsi Jambi dengan SK Nomor 421/Kpts-II/1999 tertanggal 15 Juni 1999  ditetapkan luas kawasan hutan  dan perairan seluas 2.187.440 Hektar  dari luas Provinsi Jambi seluas 5.343.600 Hektar.
Problematikannya muncul, pada saat dimana KPH Provinsi yang telah disahkan oleh Menteri Kehutanan tersebut tidak seluruhnya menjadi acuan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi maupun Rencana Tata Ruang Wilayah Kab/Kota. Hal ini sering memunculkan konflik areal antara Departemen Kehutanan (KHP-berdasarkan SK Menteri Kehutanan) dihadapkan dengan (Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota berdasarkan Perda). Konflik  ini sangat dirasakan oleh para Penguasaha di arela HPH-HTIO dan Kawasan Konservasi (Suaka Alam dan Pelestarian Alam). Hal ini menyebabkan adanya ketidakpastian lahan dan hukum serta kemantapan kawasan hutan.
Pada Era Reformasi 1998-2003, terjadi pergeseran paradigmatik dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan dari yang semula bersifat Sentralistik ke Desentralisasi atau dari ekonomi konglomerasi–ke ekonomi kerakyatan. Pada tahun 1999 diterbitkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dikeluarkan kebijakan tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi dengan PP Nomor 6 Tahun 1999  yang memberi batasan bahwa HPH bagi konglomerasi hanya diberikan HPH seluas 100.000 Hektar/Provinsi dan maksimal 400.000 Hektar seluruh Indonesia, kecuali Provinsi Papua dapat memperoleh konsensi HPH seluas 200.000 Hektar, dan PP Nomor 69 Tahun 1999 memberikan askes tuntutan reformasi,  maka Menteri Kehutanan dan Perkebunan mengeluarkan  Nomor 317 Tahun 1999 tentang Hak Pemungutan Hasil Hutan Masyarakat, Hukum Adat Areal Hutan Produksi.
Situasi dan kondisi saat itu terjadi perubahan sangat cepat dengan disorong pula oleh perubahan paradigma  penyelenggaraan pemerintahan tersebut, sementara SDM di Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota belum siap, untuk menjalankan kebebasan sebagai bagian dari demokrasi. Hal tersebut berakibat pada   carut marutnya pengelolaan  yang berkaitan dengan kegiatan/usaha di bidang kehutanan. Areal HPH  banyak yang di jarah dan diklaim oleh masyarakat. Banyak penguasaha HPH mengalama stagnan dikarenakan tidak mampu mengimbangi  pola iklim reformasi terkait dengan perizinan yang ditangani oleh Pemerintah Kab/Kota bahkan masyarakat hukum adat ikut bermain dan mempunyai posisi tawar terhadap lahirnya HPH baru. Oleh karena itu banyak terjadi tumpang tindih antara KHP dengan RTRWK (Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ Kota) maupun Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), belum lagi munculnya perizinan yang bersifat ilegal yang dikeluarkan oleh Masyarakat Hukum Adat.
Situasi menjadi lebih runyam, dimana SK Menteri Kehutanan yang seharusnya menjadi rujukan dalam proses perizinan  kegiatan HPH-HTI menjadi tidak berarti dan harus berhadapan dengan kekuatan Gubernur-Bupati-Masyarakat Hukum Adat. Kondisi ini didukung lagi dengan ditetapkannya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum Tata Urutan Peraturan PerUndang-Undangan RI, dimana  SK Menteri kehutanan tidak lagi diposisikan sebagai produk Peraturan Perundang-undangan (UU, Perpu, PP, Keppres, Perda Provinsi, Perda Kab/Kota, Perdes). Kondisi ini mengakibatkan menurunya gairah berusaha/berinvestasi di bidang kehutanan.
Era Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ditindaklanjuti dengan Revisi UU Nomor 22 Tahun 1999 dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diikuti lahirnya UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana dalam Pasal 7 UU tersebut  posisi Perpu dikembalikan sejajar dengan UU dan dibawah UU/Perpu ada peraturan perundang-undangan dalam bentuk  PP, Perpres, Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, Perdes. Selanjunya berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 UU Nomor 10 Tahun 2004 dinyatakan tidak berlaku.
UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang  Kehutanan, melakukan pembagian status hutan menjadi tiga, yaitu Hutan Negara (hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani dengan hak atas tanah), Hutan Hak (hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah: Permenhut Nomor P.26/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak), dan Hutan Adat yaitu  (hutan negara yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat).
Secara normatif di dalam UU Nomor 41 Tahun 1999  tersebut,  tidak merumuskan bagaimana status pelaksanaan kegiatan di kawasan hutan, khususnya di kawasan hutan lindung. Pasal  38 ayat (4) UU No. 41 Tahun 1999: secara tegas menyatakan bahwa pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka; Ketentuan tersebut seharusnya hanya berlaku terhadap izin pertambangan setelah UU itu diundangkan, dan tidak diberlakukan surut. Oleh karena itu,  menimbulkan ketidak pas tian hukum dalam berusaha di bdg pertam bangan di kawasan hutan terutama bagi investor yang telah memiliki izin atau perjanjian sebelum berlakunyaUU Nomor 41 Tahun 1999. Berdampak pada posisi sulit bagi pemerintah  untuk mengembangkan iklim investasi dan mendorong minat serta kepercayaan masyarakat dalam berinvestasi di Indonesia. Diadakan Perubahan UU Nomor 41 Tahun 1999 dengan UU Nomor Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2004 tgl. 11 Maret 2004. Subtansi: Menambah ketentuan baru dalam Bab Penutup yang dijadikan Pasal 83A dan 83B. Pasal 83A: “Semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud.” Pasal 83B: “Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 83A ditetapkan dengan Keputusan Presiden”. Untuk mengukuhkan Perpu Nomor 1  Tahun 2004,  maka ditetapkanlah UU Nomor 19 Tahun 2004 tanggal 13 Agustus 2004 tentang Penetapan perpu No. 1 Tahun 2004 menjadi UU.  Konsekuensi dari Ketentuan pasal 83A UU No. 19 Tahun 2004 adalah semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud.
Secara ringkas berdasarkan kronologisnya penetapan suatu kawasan hutan yang ada di berbagai daerah di Indonesia adalah sebagai berikut:
a.  Register-Register Kawasan Hutan (Hutan Register) yang dibuat dan  merupakan peninggalan pada jaman Pemerintah Hindia Belanda. Register Kawasan hutan tersebut,  kemudian tetap digunakan oleh Pemerintah (Cq. Departemen Kehutanan/Kementerian Kehutanan) dan berjalan hingga pada jaman kemerdekaan dan dilanjutkan pada jaman Orde Lama (Orla), bahkan sampai era Orde Baru, sekitar tahun 1980 meskipun Pemerintah telah menerbitkan UU Nomor 5 Tahun 1967  diterbitkan UU tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan.
b.  Selanjutnya pada 1980, Pemerintah menerbitkan kebijakan terkait Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang dikeluarkan oleh Menteri Pertanian. Kebijakan tersebut, selanjutnya ditindaklanjuti dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 1982 tentang Penetapan Pengesahan Batas Kawasan Tata Guna Kesepakatan tertanggal 13 Mei 1982 yang pada intinya agar semua Gubernur KDH Tingkat I seluruh Indonesia sebelum menetapkan/mengesahkan batas kawasan Tata Guna Hutan Kesepakatan terlebih dahulu memohon persetujuan dari Mendagri Cq. Direktur Jenderal Agraria dengan menyampaikan naskah TGHK dilampiri naskah peta TGHK dan telaah mengenai daerah yang termasuk dalam batas Kawasan Tata Guna Hutan Kesepakatan.
c.  Pada era Orde Baru juga, terlahir UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, maka  TGHK  masih tetap berjalan, akan tetapi didominasi oleh kepentingan Pemerintah Daerah Provinsi yang dituangkan dalam bentuk kebijakan berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi yang berlangsung sampai tahun 1995.
d.  Pada tahun 1995 dan tahun-tahun sebelumnya, mengingat banyak muncul konflik antara  wewenang Pemerintah Pusat (Cq. Departemen Kehutanan) dengan Pemerintah Provinsi, serta Pemerintah Kabupaten/Kota yaitu   tumpang tindih antara KHP yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat Cq. Departemen Kehutanan dengan RTRWK (Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/ Kota) maupun Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), belum lagi munculnya perizinan yang bersifat ilegal yang dikeluarkan oleh Masyarakat Hukum Adat. Pemerintah melakukan upaya Padu Serasi antara TGHK dengan RTRWP.
e.  Berikutnya pada tahun 1999 dengan dikeluarkannya UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi UU, maka berlaku kebijakan  terkait dengan Penunjukan Kawasan Hutan.

Beberapa hal yang secara khusus dapat disebutkan sebagai wujud nyata tumpang tindihnya HAT dalam sektor kehutanan adalah:

1.    Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Berdasarkan Permenhut Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan tersebut, penggunaan sebagian kawasan hutan  hanya dimungkinkan  bagi kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dimaksud meliputi:
1)     Religi antara lain tempat ibadah, tempat pemakaman dan wisata rohani;
2)     Pertambangan meliputi pertambangan minyak dan gas bumi, mineral, batubara dan panas bumi termasuk sarana dan prasarana;
3)     Instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik serta tehnologi energi baru dan terbarukan;
4)     Jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun relay televisi;
5)     Jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api;
6)     Prasarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai prasarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi [pembangunan jalan, kanal, pelabuhan  atau sejenisnya untuk keperluan pengangkutan produksi pertambangan, perkebunan, pertanian, perikanan atau lainnya.];
7)     Sarana dan prasarana sumber daya air, pembangunan jaringan instalasi air, dan saluran air bersih dan/atau air limbah;
8)     Fasilitas umum;
9)     Industri terkait kehutanan;
10)  Pertanahan dan keamanan, antara lain pusat latihan tempur, stasiun radar dan menara pengintai;
11)  Prasarana penunjang keselamatan umum antara lain keselamatan lalu lintas laut, lalu lintas udara dan sarana meteorologi, klimatologi dan geofisika; atau
12)  Penampungan sementara korban bencana alam.
Pada prinsipnya penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kawasan kehutanan tersebut di atas,  didasarkan pada pertimbangan dan tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, terbatas pada kawasan hutan  produksi; dan/atau kawasan hutan lindung,  serta dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
Ketentuan khusus penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dilakukan dengan ketentuan:
1)  Di kawasan hutan produksi dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka dan pola pertambangan bawah tanah.
2)  Di kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan pertambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang mengakibatkan turunnya permukaan tanah dan berubahnya peruntukan/fungsi pokok kawasan hutan secara permanen, serta terjadinya kerusakan akuiver air tanah.
3)  Bagi 13 izin/perjanjian di bidang pertambangan sebagaimana ditetapkan dengan Keppres Nomor 41 Tahun 2004 sesuai dengan UU Nomor 19 Tahun 2004 dapat dilakukan tambang terbuka di hutan lindung.
Terkait dengan kegiatan penggunaan kawasan hutan lindung untuk penambangan bawah tanah, Pemerintah telah meregulasi dan menuangkannya dalam  Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2011 tertanggal 19 Mei 2011. Pada prinsipnya Perpres tersebut menentukan bahwa di dalam kawasan hutan lindung dapat dilakukan kegiatan penambangan dengan metode penambangan bawah tanah.[49] Izin penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan penambangan diberikan melalui 2 (dua) tahapan, yaitu: Pertama, Penerbitan persetujuan prinsip; dan Kedua, Penerbitan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Lindung.

2.    Pemetaan Kawasan Hutan Tingkat Kabupaten/Kota
          Kegiatan pemetaan kawasan hutan Kabupaten/Kota, yang hasilnya dituangkan dalam bentuk Peta Kawasan Hutan merupakan produk yang menjadi acuan dalam pengurusan hutan kabupaten/kota serta menjadi dasar dalam penerbitan izin atau rekomendasi pemanfaatan hutan dan penggunaan hutan. Pedoman yang dapat digunakan untuk pemetaan kawasan hutan bagi Pemerintah Kabupaten/Kota didasarkan pada  Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor P.20/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pemetaan Kawasan Hutan Tingkat Kabupaten/Kota tertanggal  30 Maret 2011. Peta Kawasan Hutan Kabupaten/Kota   dibuat dengan tingkat ketelitian minimal berskala 1 : 100.000. Dalam hal kawasan hutan kabupaten/kota yang bentangan wilayahnya sempit dapat menggunakan skala 1: 50.000, atau skala 1 : 25.000. Di dalam Permenhut Nomor P.20/Menhut-II/2011 tersebut ditentukan bahwa  pelaksanaan kegiatan pemetaan kawasan hutan kabupaten/kota dilakukan melalui 3 (tiga) tahap, yaitu penyusunan, pembahasan dan penilaian, serta penetapan.

3.    Penataan Batas Areal Kerja Izin Pemanfaatan Hutan
          Penataan Batas Areal Kerja Izin Pemanfaatan Hutan (IPH) ini semula diregulasi dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 900/Kpts-II/1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kegiatan Survei Potensi, Pengukuran dan Penataan Batas Areal Kerja Hak Penguasahaan Di Bidang Kehutanan. Penataan batas adalah kegiatan yang meliputi pembuatan rintis batas, pemasangan pal batas, pengukuran batas, pembuatan dan penandatanganan berita acara hasil pelaksanaan penataan batas. Batas areal kerja ijin poemanfaatan hutan dapat berupa:
1)  Batas areal kerja izin pemanfataan hutan (BTKIPH) yang merupakan batas kawasan hutan dengan batas bukan kawasan hutan;
2)  Batas areal kerja izin pemanfataan hutan (BTKIPH) yang merupakan batas fungsi kawasan hutan ; dan/atau
3)  Batas areal kerja izin pemanfataan hutan (BTKIPH) yang berada dalam satu atau lebih fungsi (tidak berimpit dengan batas fungsi).
          Hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan penataan batas areal kerja IPH adalah batas kawasan hutan yang telah dikukuhkan/ditata batas, peta hasil tata batas perizinan di bidang kehutanan,  hak-hak atas tanah yang sah sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan; dan permukiman dalam desa definitif yang telah mendapat keputusan dari pejabat yang berwenang.

4.    Tukar Menukar Kawasan Hutan
                   Regulasi yang  menjadi pedoman teknis dalam pelaksanaan tukar-menukar kawasan hutan semula diatur dalam: 1) Keputusan Menteri kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan, terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16/Menhut-II/2009; 2) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Kehutanan  Nomor SK.48/Menhut-II/2004.  Beberapa regulasi tersebut di atas dengan dikeluarkannya  Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.32/Menhut-II/2010 tertanggal  29 Juli 2010, pada ketentuan Pasal 34-nya mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi.
                   Tukar menukar kawasan hutan adalah perubahan Kawasan Hutan Produksi (HP) dan/atau Kawasan hutan Produksi Terbatas (HPT) menjadi bukan hutan yang diimbangi dengan memasukan lahan pengganti dari bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan. Untuk pelaksanaan kegiatan tuykar menukar kawasan hutan diperlukan/dibentuk Tim Tukar Menukar Kawasan Hutan yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan yang terdiri dari unsur Kementerian Kehutanan yang bertugas melakukan penelitian dan memberikan rekomendasi kepada Menteri terhadap permohonan tukar-menukar kawasan hutan dengan luas paling banyak 2 (dua) hektar dan untuk kepentingan umum terbatas yang dilaksanakan  oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

5.  Penanganan Konflik, Sengketa dan Perkara Pertanahan
Perlu diketahui bahwa mandat untuk  penyelesaian konflik agraria, termasuk di dalamnya konflik/sengketa pertanahan telah diamanatkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR-RI/2001 ini  dengan diberlakukannya UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara RI Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5254), pada pasal 7 ayat (1) huruf b disebutkan bahwa jenis dan hierarkhi Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:  a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelsi Permusyawaratan Rakyat; c... dst-nya.  Dengan penempatan Ketetapan MPR sebagai  bagian dari Peraturan Perundang-undangan , maka dengan sendirinya Ketetapan MPR Nomor IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam tersebut mempunyai kekuatan mengikat bagi seluruh lembaga negara dan rakyat Indonesia, tanpa terkecuali. Selanjutnya pada Pasal 5 ayat (1) Ketetapan MPR RI tersebut ditegaskan bahwa arah kebijaksanaan pembaruan agraria meliputi diantaranya: menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama  ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksanannya penegakan hukum dengan di dasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana telah ditetapkan dalam pasal 4.
Upaya penyelesaian konflik agraria, selama ini dirasakan masih sangat lamban, bahkan keadaannya seperti mati suri. Penyelesaian konflik agraria juga terbentur pada kendala psikologis dan politis pada masa lalu. Hal tersebut dapat kita lacak, dengan  adanya program land reform (pembaruan agraria). Sementara land reform sendiri menjadi momok, di mana orang tidak mau membahas ataupun menbicarakan lagi. Hal tersebut dikarenakan pada tahun 1965, pernah dihembuskan stigma, bahwa Land Reform sebagai programnya Partai Komunis Indonesia (PKI), atau dengan sebutan “aksi sepihak”.  Pernyataan tersebut, diperkuat dengan  analisis Petrivk McAuslan yang mengemukakan bahwa dalam melaksanakan UUPA dan peratutran pelaksanaan lainnya di bidang pertanahan sampai sekarang ini belum nampak mewujudkan secara serius, konkrit dan murni. Kondisi program landreform di Indonesia sebagaimana diuraikan oleh Petrick Mc Auslan tersebut, dikarenakan  oleh terdapat 3 (tiga) hambatan yang sunggug-sungguh disadari baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat luas, yaitu: Pertama, Hambatan Psikologis yang berkembang sejak tahun 1960-1965, dimana dikatakan bahwa UUPA sebagai produk PKI; Kedua, masih sedikitnya jumlah ahli agraria, pada hal Indonesia adalah Negara Agraris; Ketiga, Hambatan di bidang hukum, yaitu pihak pelaksana (aparatur) masih adanya ketidaksepahaman terhadap penafsiran UUPA di antara para petugas agraria dan aparatur pemerintah, subjek hukum (masyarakat) di mana orang hanya menonjolkan haknya, tetapi tidak menyadari dan melaksanakan kewajibannya, produk hukum itu sedniri (UUPA beserta peraturan pelaksanaannya) sering mengalami pergeseran kepentingan atau ketentuan yang kurang sinkron.

6.   Peradilan Pertanahan
Secara konstitusional Kekuasaan Kehakiman diatur dalam Pasal 24, 24A, 24B dan 24C Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  Dalam Pasal 24 ayat (1) ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Selanjutnya pada ayat (2) Pasal tersebut dinyatakan bahwa  Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan  militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Lebih lanjut dalam Pasal 24 ayat (3), disebutkan bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Sedangkan mengenai Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan undang-undang.
Pengadilan khusus di bidang pertanahan,  pembentukannya menerapkan ketentuan Pasal 27 UU Nomor  48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157,  Tambahan Lembaran Negara  5076) yang menyebutkan bahwa:
Ayat (1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud Pasal 25;
Ayat (2) Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan undang-undang.
Dalam penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009  yang dimaksud dengan pengadilan khusus antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak azasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara.
Pengadilan khusus  mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Setelah memperhatikan penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tersebut, jika digambarkan dalam bentuk bagan maka Pengadilan Kekhususan yang sudah ada di Indonesia akan nampak sebagai berikut:

Peng. Anak
Peng Niaga
Peng HAM
Peng. TPK
Peng. HI
Peng. Perikanan
Peng. Pajak


KELEMBAGAAN PERTANAHAN
         
  1. Struktur Organisasi
Embrio kelembagaan pertanahan muncul setelah terbitnya UUPA pada tahun 1960. Untuk menjalankan UUPA tersebut dibentuklah Departemen Agraria yang unsur-unsurnya berasal dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Kehakiman dan Departemen Pertanian. Pada tahun 1968 mengalami perubahan dan menjadi bagian dari Departemen Dalam Negeri dengan sebutan Direktorat Jenderal Agraria. Kelembagaan yang lebih mapan mulai terbentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional. Melalui keppres ini kedudukan, tugas dan fungsi Dirjend Agraria ditingkatkan menjadi lembaga setingkat menteri yang kedudukannya berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada presiden.
Kesejarahan kelembagaan sebagaimana di atas tampak sebagai dinamika dan pasang surutnya kewenangan lembaga pertanahan. Kelembagaan Departemen Agraria yang pertama kali dibentuk dianggap tidak efektif, kemudian disederhanakan menjadi Direktorat Jenderal Agraria di bawah Departemen Dalam Negeri. Setelah itu kelembagaan pertanahan berubah-ubah dari departemen, badan, kementerian negara, dan kembali lagi ke Badan.
Pada saat ini penyelenggaraan pemerintahan di bidang pertanahan menjadi tugas dan wewenang Badan Pertanahan Nasional (BPN). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, BPN adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Kelembagaan pertanahan berdasarkan Perpres 10/2006 ini mengalami perkembangan yang cukup significant dibandingkan kelembagaan pertanahan sebelumnya. Struktur kelembagaan yang terdiri dari 7 (tujuh) pejabat setingkat eselon I ini merupakan organisasi pertanahan yang paling lengkap selama ini.
Struktur organisasi BPN di tingkat pusat terdiri dari (a) Kepala; (b) Sekretariat Utama; (c) Deputi Bidang Survei, Pengukuran, dan Pemetaan; (d) Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah; (e) Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan; (f) Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat; (g) Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan; (h) Inspektorat Utama. Pembentukan 5 kedeputian teknis di BPN menunjukkan bahwa tugas pokok dan fungsi BPN sudah semakin jelas dan meliputi berbagai persoalan pertanahan yang muncul dan berkembang seiring perkembangan pembangunan. Masing-masing kedeputian membawahi beberapa direktorat, beberapa diantaranya adalah direktorat baru, seperti Direktorat Survei Potensi Tanah, Direktorat Wilayah Pesisir, Pulau-Pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu, Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Kelembagaan.
Terbitnya PP 10/ 2006 yang diikuti dengan munculnya Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan, merupakan babak baru dalam pengelolaan dan pelayanan pertanahan. Berdasarkan perpres tersebut fungsi BPN RI semakin luas dan semakin kuat, terutama berkaitan dengan upaya-upaya untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran rakyat melalui pendayagunaan sumberdaya agraria/pertanahan. Dalam konteks peraturan perundang-undangan tersebut, satu hal yang sangat esensial dan prospektif untuk mewujudkan keadilan sosial dan kemakmuran masyarakat melalui penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah adalah munculnya direktorat, bidang, sub bidang, seksi dan sub seksi baru, baik pada level pusat maupun daerah. Berbagai unit/bagian dari kelembagaan baru ini, nampak sebagai kebijakan yang diupayakan untuk membumikan dan meng-cover seluruh agenda pengelolaan pertanahan.
Berdasarkan Perkaban 4/2006 organisasi Kantor Wilayah BPN Provinsi adalah: (a) Bagian Tata Usaha; (b) Bidang Survei, Pengukuran, dan Pemetaan; (c) Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah; (d) Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan; (e) Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat; dan (f) Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. Masing-masing bidang membawahi seksi teknis yang berhubungan dengan tugas pokok dan fungsi kanwil BPN. Kanwil BPN merupakan instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional di Provinsi yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Struktur organisasi pada level kantor pertanahan kabupaten/kota tidak berbeda jauh dengan struktur organisasi pada level kanwil BPN provinsi. Sebutan bidang di kanwil BPN menjadi seksi di kantor pertanahan. Secara lengkap sesuai Perkaban 4/2006 struktur organisasi kantor pertanahan kabupaten/kota adalah: (a) Subbagian Tata Usaha; (b) Seksi Survei, Pengukuran dan Pemetaan; (c) Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah; (d) Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan; (e) Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan; dan (f) Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara. Kantor Pertanahan ini adalah instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten/Kota yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui
                   Struktur organisasi BPN ini dapat dikatakan sudah memadai untuk mendukung tugas pokok dan fungsi kelembagaan pertanahan nasional, karena sudah mencakup dan melingkupi bidang kerja pertanahan secara nasional, regional maupun sektoral. Namun demikian pelaksanaan tugas pokok dan fungsi BPN belum seluruhnya berjalan efektif karena berdasarkan evaluasi masih dijumpai satuan kerja di tingkat kanwil dan kantor pertanahan masih tidak linear dengan kedeputian di tingkat pusat dan masih timpangnya beban kerja antar wilayah dan satuan kerja[50]. Persoalan lain yang sering muncul dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi adalah lemahnya koordinasi dengan institusi lain (kementerian/lembaga) berkenaan dengan karakter pertanahan yang multidimensi, multisektor dan multistakeholder. Kondisi ini bisa jadi disebabkan oleh regulasi pembentukan yang berada pada level peraturan presiden. Untuk mendukung kelembagaan BPN agar lebih kuat dan mempunyai power yang cukup berhadapan dengan kementerian/lembaga lain, pengaturan kelembagaan perlu dilakukan melalui undang-undang.


Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaruan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan, ketatalaksanaan  dan sumberdaya manusia. Secara umum reformasi birokrasi di Indonesia telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025. Grand Design Reformasi Birokrasi bertujuan untuk memberikan arah kebijakan pelaksanaan reformasi birokrasi nasional selama kurun waktu 2010-2025 agar reformasi birokrasi di K/L dan Pemda dapat berjalan secara efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi, melembaga, dan berkelanjutan.  
Reformasi birokrasi bermakna sebagai sebuah perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia. Selain itu, reformasi birokrasi juga bermakna sebagai sebuah pertaruhan besar bagi bangsa Indonesia dalam menyongsong tantangan abad ke-21[51]. Reformasi birokrasi di BPN telah dilakukan secara menyeluruh pada tahun 2006. Melalui Perpres 10/2006 tentang BPN, kelembagaan, tugas pokok dan fungsi, sumberdaya manusia dan sarana prasarana mulai dilakukan pembaruan. Regulasi ini mengukuhkan tugas BPN semakin besar dan luas, melalui klausul Pasal 2 yang menyatakan bahwa Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Berkenaan dengan kelembagaan telah dikembangkan struktur organisasi BPN yang lengkap dan melingkupi seluruh bidang tugas peertanahan.
Reformasi birokrasi yang dilakukan oleh BPN ternyata linear dengan UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Dalam rangka mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan melalui pengelolaan pertanahan, pada Bab IV.1.5 angka 11 tertuang:
“menerapkan sistem pengelolaan pertanahan yang efisien, efektif, serta melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi. Selain itu, perlu dilakukan penyempurnaan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah melalui perumusan berbagai aturan pelaksanaan land reform serta penciptaan insentif/disinsentif perpajakan yang sesuai dengan luas, lokasi, dan penggunaan tanah agar masyarakat golongan ekonomi lemah dapat lebih mudah mendapatkan hak atas tanah. Selain itu, menyempurnakan sistem hukum dan produk hukum pertanahan melalui inventarisasi dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan pertanahan dengan mempertimbangkan aturan masyarakat adat, serta peningkatan upaya penyelesaian sengketa pertanahan baik melalui kewenangan administrasi, peradilan, maupun alternative dispute resolution. Selain itu, akan dilakukan penyempurnaan kelembagaan pertanahan sesuai dengan semangat otonomi daerah dan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, terutama yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia bidang pertanahan di daerah”.
Salah satu arah pembangunan jangka panjang untuk mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan melalui pengelolaan pertanahan sebagaiman telah disebutkan, memuat beberapa pokok persoalan pertanahan yang merupakan bagian dari reformasi birokrasi. Beberapa hal pokok tersebut meliputi:
(1)  Sistem pengelolaan pertanahan yang efisien dan efektif. Untuk mewujudkan hal ini, sudah mulai dilakukan melalui berbagai sistem pengelolaan pertanahan dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta ketersediaan sumberdaya manusia dan sarana penunjangnya. Penerapan Sistem Informasi Manajeman Pertanahan Nasional (SIMTANAS), Land Office Computerization (LOC), Komputerisasi Kantor Pertanahan (KKP), Geo KKP dan Geo KKP berbasis Web merupakan beberapa sistem yang diberlakukan dalam rangka efisiensi dan efektivitas pelayanan pertanahan. Sistem Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah (Larasita) yang merupakan mobile services juga diterapkan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik.
(2)  Penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi. Reformasi birokrasi dalam hal ini dilakukan melalui penerbitan regulasi yang mengatur tentang keadilan dalam hak atas tanah. Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, merupakan salah satu aturan pelaksanan UUPA yang bertujuan untuk memberikan disinsentif bagi pemegang hak.  Pemegang hak atas tanah yang tidak menggunakan haknya sesuai peruntukannya atau justru menelantarkannya diambil oleh negara untuk didayagunakan sesuai kebutuhan, baik menjadi tanah negara obyek reforma agraria, program strategis nasional maupun untuk cadangan negara. Regulasi ini merupakan upaya penegakan hukum untuk memberikan rasa keadilan dalam pemberian hak atas tanah. Upaya penataan penguasaan tanah agar lebih berkeadilan perlu dilakukan dengan menerapkan reforma agraria sebagai strategi pembangunan. Reforma agraria ini dapat dijadikan sebagai basis dalam pengambilan kebijakan yang berhubungan penataan hak atas tanah berprinsipkan keadilan, transparansi dan demokrasi. Lebih dari itu reforma agraria yang dimaknai sebagai suatu penataan ulang atau restrukturisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber – sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani dan rakyat kecil pada umumnya ketika terdapat ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber – sumber agraria, mampu menyelesaikan berbagai persoalan bangsa berkenaan dengan: a) ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah; b) persoalan kemiskinan; c) keterbatasan lapangan kerja; d) keterbatasan akses rakyat terhadap sumber-sumber ekonomi, terutama tanah; e) tingginya sengketa dan konflik pertanahan; f) semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup; dan g) persoalan ketahanan pangan.  
(3)  penyempurnaan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah melalui perumusan berbagai aturan pelaksanaan land reform. Reformasi birokrasi dalam hal ini dilakukan melalui percepatan inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (IP4T). Kegiatan ini kemudian ditunjang dengan legalisasi asset untuk seluruh wilayah di Indonesia, meskipun sampai saat ini baru terselesaikan sekitar 44 juta bidang tanah, dari lebih dari 100 juta bidang. Pendaftaran tanah bergerak melalui Program Larasita perlu ditingkatkan, mengingat belum optimalnya proses legalisasi asset terhadap seluruh bidang tanah di Indonesia. Reformasi birokrasi dalam hal kelembagaan pendaftaran tanah tampaknya masih harus terus dilakukan. Sistem pendaftaran tanah negatif bertendensi positif perlu dievaluasi untuk menuju sistem pendaftaran tanah positif yang mampu secara cepat memberikan kepastian hak bagi setiap warga Negara dan badan hukum pemegang hak.
(4)  penciptaan insentif/disinsentif perpajakan yang sesuai dengan luas, lokasi, dan penggunaan tanah agar masyarakat golongan ekonomi lemah dapat lebih mudah mendapatkan hak atas tanah. Mengingat persoalan perpajakan bukan domain BPN maka kegiatan yang dilakukan dalam rangka mendukung keberhasilan reformasi birokrasi di bidang perpajakan. Dalam hal ini kegiatan survey potensi tanah yang menghasilkan Zona Nilai Tanah (ZNT) di setiap wilayah di Indonesia terus dilakukan. ZNT ini dapat digunakan untuk: (a) penentuan tarif dalam pelayanan pertanahan; (b) referensi masyarakat dalam transaksi pertanahan dan property; (c) penentuan ganti rugi dalam pengadaan tanah; (d) inventori nilai asset publik maupun asset masyarakat; (e) monitoring nilai tanah dan pasar tanah; dan (f) sebagai referensi dalam penetapan NJOP untuk PBB, agar lebih adil dan transparan.
(5)  penyempurnaan peraturan perundang-undangan pertanahan dengan mempertimbangkan aturan masyarakat adat. Reformasi birokrasi dalam bentuk penyempurnaan peraturan perundang-undangan dilakukan melalui evaluasi dan pencermatan terhadap regulasi yang mengatur tentang pertanahan, baik pada level undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan/keputusan presiden, instruksi presiden, peraturan/keputusan menteri/Kepala BPN, surat edaran menteri/kepala BPN sampai pada level instruksi menteri/kepala BPN. Total regulasi yang dikaji mencapai 538 peraturan perundang-undangan[52].
(6)  peningkatan upaya penyelesaian sengketa pertanahan baik melalui kewenangan administrasi, peradilan, maupun alternative dispute resolution. Berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan. Penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan melalui ADR dilakukan melalui pengembangan tenaga mediator pada kantor wilayah dan kantor pertanahan. Untuk memacu penanganan dan penyelesaian konflik pertanahan, telah diterbitkan Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian Dan Penanganan Kasus Pertanahan. Implementasi regulasi ini telah dilakukan pemetaan kasus-kasus pertanahan, yang meliputi  empat aspek, yaitu: (a) para pihak yang bersengketa; (b) pokok Permasalahan; (c) bukti-bukti dan dokumen pendukung; dan (d) analisis dan rekomendasi untuk pertimbangan pimpinan dalam mengambil keputusan. Di samping itu untuk mempercepat penyelesaian konflik, sengketa dan perkara pertanahan, Kepala BPN RI telah  membentuk Tim Ad Hoc terdiri dari 11 (sebelas) Tim dengan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 366/KEP-25.2/IX/2012 tanggal 10 September 2012. Tim ini dibentuk untuk menangani kasus yang bersifat nasional, sensitif dan yang dapat mempengaruhi ideologi, politik dan keamanan. Tim serupa juga dibentuk di lingkungan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan di daerah. Dengan adanya Tim ini diharapkan dapat membantu penyelesaian kasus dengan cara win-win solution atau merekomendasikan alternatif penyelesaiannya kepada Kepala BPN RI.
(7)  penyempurnaan kelembagaan pertanahan sesuai dengan semangat otonomi daerah dan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Reformasi birokrasi berkenaan dengan kelembagaan sudah dilakukan secara menyeluruh melalui Perpres 10/2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, sebagaimana telah dijelaskan pada Sub Bab Struktur Organisasi. Semangat otonomi daerah dalam pengelolaan pertanahan telah dilakukan melalui pembagian kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di bidang pertanahan, sebagaimana tertuang dalam PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Regulasi ini secara substansial sama dengan apa yang tersebut dalam  Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Bidang Pertanahan. Dimana disebutkan bahwa pemerintah kabupaten atau kota  memiliki kewenangan dalam: a) Pemberian izin lokasi; b) Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; c) Penyelesaian sengketa tanah garapan; d) Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; e) Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; f) Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat; f) Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; g) Pemberian izin membuka tanah; h) Perencanaan penggunaan tanah. Semangat desentralisasi sebagian kewenangan di bidang pertanahan ini dimaksudkan untuk memperkuat kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di bidang pertanahan sekaligus memperkuat kerangka wilayah dalam NKRI.
(8)  peningkatan kapasitas sumberdaya manusia bidang pertanahan di daerah. Arah pembangunan jangka panjang di bidang pertanahan, khususnya peningkatan kapasitas sumberdaya manusia di daerah ini, secara khusus belum dilakukan oleh BPN. Peningkatan kapasitas masih dilakukan secara umum mengikuti pola koordinasi dan sosialisasi yang sudah terbangun. Peningkatan kapasitas secara khusus melalui pendidikan dan latihan, konsultansi, pendampingan dan advokasi, baik secara personal maupun secara kelembagaan belum mengarah pada upaya reformasi birokrasi. Namun demikian, peran BPN ini tergantikan oleh Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) sebagai Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK) bidang pertanahan di bawah BPN. STPN telah melakukan berbagai upaya penguatan kapasitas sumberdaya manusia bidang pertanahan di daerah melalui kerjasama pendidikan dan pelatihan. Kerjasama pendidikan telah dimulai pada tahu 2008 dengan Provinsi Papua yang menyertakan peserta didik untuk ikut Program Diploma I Pengukuran & Pemetaan Kadastral. Pada tahun 2012, kerjasama pendidikan dilakukan dengan Pemerintah Provinsi Papua Barat, Pemerintah Kabupaten Nunukan dan Kota Tarakan. Peserta didik yang dikirimkan adalah PNS dan masyarakat umum (peserta beasiswa) yang biaya sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah daerah yang bersangkutan. Setelah selesai pendidikan, sumberdaya manusia tersebut akan dimanfaatkan sebagai tenaga pertanahan oleh pemerintah daerah pengirim.
Arah pembangunan di bidang pertanahan sebagaimana tertuang dalam RPJP Nasional Tahun 2005-2025, telah direspon & dilaksanakan oleh BPN sebagai bagian dari reformasi birokrasi. Berbagai aspek berkenaan dengan kelembagaan, ketatalaksanaan dan sumberdaya manusia, termasuk di dalamnya adalah aspek regulasi telah diupayakan dilakukan secara maksimal, meskipun belum dapat dikatakan menyeluruh terhadap arah pembangunan jangka panjang yang telah ditetapkan. Beberapa persoalan yang perlu dilakukan dalam kerangka reformasi birokrasi adalah: a) penguatan kelembagaan pertanahan dan perlindungan terhadap pejabat pertanahan dalam menjalankan kewenangannya secara profesional; b) evaluasi terhadap rejim pendaftaran tanah demi terselenggaranya percepatan pendaftaran tanah; c) penyelenggaraan reforma agraria; d) pembentukan kelembagaan peradilan pertanahan; e) pembentukan lembaga penilaian tanah; dan f) pembentukan bank tanah.

Prioritas Program
                   Prioritas program nasional di bidang pertanahan dijabarkan dari visi dan misi pembangunan pertanahan yang merupakan implementasi dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005-2025. Visi pembangunan pertanahan yang ditetapkan oleh BPN dalam RPJM 20010-2014 adalah ‘Menjadi lembaga yang mampu mewujudkan tanah dan pertanahan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, serta keadilan dan keberlanjutan system kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Republik Indonesia’.
          Visi pembangunan pertanahan yang ditetapkan, ditindaklanjuti dengan penetapan misi pembangunan pertanahan yang akan dilaksanakan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yaitu :
1.    Peningkatan kesejahteraan rakyat, penciptaan sumbersumber baru kemakmuran rakyat, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta pemantapan ketahanan pangan;
2.    Peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T);
3.    Perwujudan tatanan kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa, konflik dan perkara pertanahan di seluruh tanah air dan penataan perangkat hokum dan sistem pengelolaan pertanahan sehingga tidak melahirkan sengketa, konflik dan perkara di kemudian hari;
4.    Keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang terhadap tanah sebagai sumber kesejahteraan masyarakat;
5.    Penguatan lembaga pertanahan sesuai dengan jiwa, semangat, prinsip dan aturan yang tertuang dalam UUPA dan aspirasi rakyat secara luas untuk mencapai tujuan pembangunan bidang pertanahan yaitu “Mengelola tanah seoptimal mungkin untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
                   Untuk mewujudkan visi, misi dan tujuan pembangunan pertanahan BPN RI telah menetapkan 11 Agenda Prioritas dalam menangani persoalan pertanahan yang meliputi:
1.     Membangun kepercayaan masyarakat pada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (trust building);
2.     Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran tanah serta sertipikasi tanah secara menyeluruh di seluruh Indonesia;
3.     Memastikan penguatan hakhak rakyat atas tanah;
4.     Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam dan daerah-daerah konflik di seluruh Indonesia;
5.     Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa, dan konflik pertanahan secara sistimatik;
6.     Membangun Sistem Informasi dan Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS) dan Sistem Pengamanan Dokumen Pertanahan di seluruh Indonesia;
7.     Menangani masalah KKN serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat;
8.     Membangun data base penguasaan dan pemilikan tanah skala besar;
9.     Melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan pertanahan yang yang telah ditetapkan;
10.  Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia ; dan
11.  Membangun dan memperbarui politik, hukum dan kebijakan pertanahan.
Sebelas agenda prioritas yang dicanangkan dalam Renstra BPN 2010-2014 ini telah dan sedang diimplementasikan dalam berbagai bentuk program dan kegiatan. Berbagai program dan kegiatan tersebut diorientasikan untuk mewujudkan tujuan pembangunan pertanahan yakni terwujudnya kemakmuran, keadilan, kesejahteraan sosial dan keberlanjutan dalam bingkai NKRI. Namun demikian, hingga saat ini masih terdapat berbagai persoalan krusial yang belum tertangani secara baik, seperti: (a) masih terdapat lebih dari 56% jumlah bidang-bidang tanah yang belum terpetakan; (b) legalisasi asset tanah sekaligus penilaian assetnya masih jauh dari harapan, sehingga problematika perpajakan dan ganti rugi tanah selalu menjadi persoalan, baik dalam proses peralihan hak maupun proses pengadaan tanah untuk pembangunan; (c) belum terselesaikannya seluruh permasalahan sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang sudah teridentifikasi, bahkan ada kecenderungan munculnya sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang baru; (d) tersendatnya pelaksanaan reforma agraria sebagai strategi pembangunan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan ketimpangan dan ketidakadilan agraria; dan (e) kondisi regulasi pertanahan dan keagrariaan yang belum mampu memberikan.
  Berbagai persoalan di atas perlu mendapatkan perhatian untuk segera dicarikan jalan keluar dan terobosan baru, sehingga amanat konstitusi khususnya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menuntut agar kebijakan pertanahan dan lembaga pertanahan dapat mewujudkan “Tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” dapat terealisasikan. Untuk itu program pertanahan nasional yang saat ini dan saat mendatang perlu tetap mendapatkan prioritas adalah: (a) percepatan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia; (b) penyelesaian kasus pertanahan; dan (d) reforma agraria.   

1.  Percepatan Pendaftaran Tanah
Percepatan Pendaftaran Tanah atau diagendakan sebagai percepatan legalisasi aset paling tidak dilakukan melalui tiga kegiatan utama, yakni: (a) percepatan terwujudnya peta dasar pertanahan; (b) percepatan pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah; dan (3) pergeseran rejim pendaftaran tanah dari stelsel negatif bertendensi positif menjadi rejim pendaftaran tanah stelsel positif.
Peta Dasar Pertanahan merupakan peta dasar yang digunakan untuk kepentingan pengelolaan pertanahan nasional. Peta dasar Pertanahan saat ini baru meng-cover sekitar 10% dari luas wilayah seluruh Indonesia. Peta dasar pertanahan ini mutlak diperlukan untuk mendukung percepatan pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah. Saat ini data terakhir menunjukkan bahwa baru sekitar 44 juta bidang tanah terdaftar (44%), dari lebih dari 100 juta bidang tanah di seluruh wilayah Indonesia. Data ini dapat dimaknai pula sebagai data bidang-bidang tanah yang sudah terpetakan. Untuk dapat melakukan optimalisasi dalam perencanaan pembangunan, pemberian kepastian hukum hak atas tanah dan mereduksi munculnya sengketa, konflik dan perkara pertanahan maka pemetaan terhadap seluruh bidang bidang tanah di wilayah NKRI harus segera diselesaikan. No Map No Sertipikat” dan “No Map No Plan[53], menunjukkan bahwa pemetaan bidang-bidang tanah di seluruh Indonesia mutlak dilakukan. Dalam hal ini pemetaan tidak hanya dilakukan dalam rangka penerbitan sertipikat, tetapi juga untuk peta-peta tematik seperti peta sengketa dan konflik, peta batas wilayah administrasi dan kawasan, Peta  Zona Nilai Tanah dan Peta Zona Nilai Ekonomi Kawasan, dan lain-lain.  

2.  Reforma Agraria
Sebagai strategi pembangunan yang diyakini mampu menyelesaikan berbagai persoalan bangsa, reforma agraria layak untuk terus didorong dan diperjuangkan untuk menjadi agenda bangsa secara menyeluruh. Penerbitan regulasi yang mengatur tentang pelaksanaan reforma agraria yang mampu mengikat seluruh kementerian/lembaga perlu segera dilakukan. BPN sebagai lembaga yang mempunyai otoritas di bidang pertanahan perlu melakukan langkah strategis dan terobosan baru agar agenda ini mendapatkan dukungan dari kementerian/lembaga terkait. 
Istilah Reforma Agraria atau Pembaruan Agraria merupakan suatu proses  yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumberdaya agrarian, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Gerakan atau langkah ini telah ditempuh hampir oleh semua Negara yang saat ini kita kenal sebagai Negara dengan struktur politik, ekonimi dan sosial baik, seperti China, Jepang, Taiwan dan Amerika Serikat. Reforma agraria atau pembaruan agraria, bahkan dijadikan sebagai  strategi dasar pembangunan  pada sebagain Negara di Amerika Latin (Venezuela, Brazil, Uruguay, El Savador, Bolivia), Negara-negara Asia, seperti Vietnam, Thailand, Philipina.
Kegagalan reforma agraria yang dilaksanakan selama ini dalam bentuk landreform terjadi karena beberapa hambatan, antara lain: (a) rendahnya dukungan politik, stigma bahwa ideologi landreform berhaluan kiri; (b) kurangnya penegakan hukum; (c) tidak tersedianya biaya, data dan informasi yang memadai; (d) peraturan perundang-undangan yang tidak secara jelas dan tegas mengatur; (d) lemahnya lembaga pelaksana dan kualitas SDM. Hambatan tersebut akan teratasi apabila skema dan tahapan reforma agraria dilakukan secara secara sistemik melalui:
a.       Penetapan objek Reforma Agraria, yaitu meliputi  tanah-tanah Negara dari berbagai sumber yang menurut peraturan perundang-undangan dapat dijadikan tanah sebagai objek RA, yang dapat berupa:  (1)Tanah Negara bekas hak barat dan atau swapradja dan tanah Negara lainnya; (2) Tanah Negara bekas HGU dan HGB yang telah berakhir jangka waktu haknya; (3)Tanah Negara bekas kawasan hutan; (4) Tanah Terlantar;
b.      Penetapan Subjek RA, melalui  kriteria dan mekanisme serta sistem selekasi, jika memenuhi kemudian diusulkan sebagai calon subjek RA;  Secara umum kriteria  subjek RA berdasarkan skala prioritas penerimanya dapat disajikan dalam bentuk bagan di bawah ini.
         Tabel 2. Skala Prioritas Subjek Penerima Tanah RA
Skala Prioritas
Penerima/ Subjek RA
Penjelasan
I
Penduduk Setempat
Kelomp[ok Prioritas I, Kelompok Prioritas II yang menetap dan bekerja di lokasi objek PPAN
II
Buruh Tani
Kelompok Prioritas II, Kelompok Prioritas IV yang berstatus  Petani Penggarap dan Buruh Tani yang tidak memiliki tanah pertanian
III
Petani Gurem
Kelompok Prioritas III, Kelompok Prioritas IV yang memiliki tanah pertanian pangan kurang dari 0,5 Hektar.
IV
Petani
Kelompok Prioritas IV, Kelompok Prioritas V yang juga memiliki tanah pertanian dalam arti luas termasuk nelayan yang membutuhkan tanah guna kelangsungan  kehidupannya.
V
Penduduk Miskin
Kelompok Prioritas V dapat mengacu  data penduduk miskin BPS ada informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
VI
Subjek lainnya
Kelompok Prioritas VI subjek lain yang kenyataannya diperlukan dan berkaitan langsung untuk menunjang keberhasilan PPAN
Sumber: Joyo Winoto, 2007
c.       Mekanisme pelaksanaan RA dan delivery subjek-objek, yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) model, yakni: mendekatkan objek ke subjek; mendekatkan subjek ke objek;  subjek dan objek berasal dari lokasi yang sama, dengan terlebih dahulu dilakukan P4T.
d.      Access Reform, antara lain  penyediaan infra struktur dan sarana produksi, pembinaan dan bimbingan teknis kepada penerima manfaat, dukungan permodalan, dukungan distribusi dan pemasaran serta dukungan lainnya.
Untuk mempercepat agenda reforma agraria sebagai upaya penyelesaian berbagai permasalahan pertanahan dan keagrariaan, terdapat dua kebijakan pokok yang harus diwujudkan, yakni: (a) penerbitan regulasi reforma agraria; dan (b) pembentukan Sekretariat Reforma Agraria.
Sejak Tahun 2007, BPN telah melaksanakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau yang juga dikenal sebagai Pogram Reforma Agraria Nasional.  Namun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa permasalahan antara lain data subyek dan obyek reforma agraria kadang tidak tersedia dengan baik. Selain itu, tidak efektifnya pelaksanaan reforma agraria tersebut karena selama ini PPAN hanya dilaksanakan dalam batas kewenangan internal BPN. Sedangkan pelaksanaan PPAN seringkali melibatkan banyak sektor yang memerlukan koordinasi.
Untuk menjamin kesuksesan pelaksanaan kegiatan reforma agraria banyak komponen diluar kewenangan BPN yang perlu dikoordinasikan agar sejalan dengan rencana kegiatan. Disamping itu, secara konseptual, access reform yang juga menjadi tahapan selanjutnya dari reforma agraria yang dilaksanakan oleh BPN juga tidak dapat dilaksanakan tanpa dukungan dan koordinasi dengan K/L dan Pemerintah Daerah, maupun pihak-pihak lain di luar pemerintah. Bappenas sebagai lembaga yang memiliki fungsi koordinasi dapat berperan dalam pelaksanaan PPAN tersebut. Dengan demikian kedepan Sekretariat Bersama Reforma Agraria di Bappenas menjadi sangat mendesak. Dengan adanya sekretariat ini maka berbagai urusan yang melibatkan berbagai sektor terkait seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Koperasi dan UKM, mendapatkan akselerasi yang lebih baik.

3.  Penyelesaian Kasus Pertanahan

Penyelesaian kasus pertanahan paling tidak dapat dilakukan melalui dua kegiatan secara simultan, yang meliputi: (a) optimalisasi peran kelembagaan konflik, sengketa dan perkara pertanahan; dan (b) pembentukan Pengadilan Pertanahan.
Mandat untuk  penyelesaian konflik agraria, termasuk di dalamnya konflik/sengketa pertanahan telah diamanatkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR-RI/2001 ini  dengan diberlakukannya UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, pada pasal 7 ayat (1) huruf b disebutkan bahwa jenis dan hierarkhi Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:  a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelsi Permusyawaratan Rakyat; c... dst-nya.  Dengan penempatan Ketetapan MPR sebagai  bagian dari Peraturan Perundang-undangan, maka dengan sendirinya Ketetapan MPR Nomor IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam tersebut mempunyai kekuatan mengikat bagi seluruh lembaga negara dan rakyat Indonesia, tanpa terkecuali. Selanjutnya pada Pasal 5 ayat (1) Ketetapan MPR RI tersebut ditegaskan bahwa arah kebijaksanaan pembaruan agraria meliputi diantaranya: menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama  ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksanannya penegakan hukum dengan di dasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana telah ditetapkan dalam pasal 4.
Upaya penyelesaian konflik agraria, selama ini dirasakan masih sangat lamban, bahkan keadaannya seperti mati suri. Penyelesaian konflik agraria juga terbentur pada kendala psikologis dan politis pada masa lalu. Hal tersebut dapat kita lacak, dengan  adanya program land reform (pembaruan agraria). Sementara land reform sendiri menjadi momok, di mana orang tidak mau membahas ataupun menbicarakan lagi. Hal tersebut dikarenakan pada tahun 1965, pernah dihembuskan stigma, bahwa Land Reform sebagai programnya Partai Komunis Indonesia (PKI), atau dengan sebutan “aksi sepihak”.  Pernyataan tersebut, diperkuat dengan  analisis Petrick McAuslan yang mengemukakan bahwa dalam melaksanakan UUPA dan peratutran pelaksanaan lainnya di bidang pertanahan sampai sekarang ini belum nampak mewujudkan secara serius, konkrit dan murni. Kondisi program landreform di Indonesia sebagaimana diuraikan oleh Petrick Mc Auslan tersebut, dikarenakan  oleh terdapat 3 (tiga) hambatan yang sunggug-sungguh disadari baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat luas, yaitu: Pertama, Hambatan Psikologis yang berkembang sejak tahun 1960-1965, dimana dikatakan bahwa UUPA sebagai produk PKI; Kedua, masih sedikitnya jumlah ahli agraria, pada hal Indonesia adalah Negara Agraris; Ketiga, Hambatan di bidang hukum, yaitu pihak pelaksana (aparatur) masih adanya ketidaksepahaman terhadap penafsiran UUPA di antara para petugas agraria dan aparatur pemerintah, subjek hukum (masyarakat) di mana orang hanya menonjolkan haknya, tetapi tidak menyadari dan melaksanakan kewajibannya, produk hukum itu sedniri (UUPA beserta peraturan pelaksanaannya) sering mengalami pergeseran kepentingan atau ketentuan yang kurang sinkron.
Dalam konteks kekinian, kekalahan pemerintah (BPN) dalam berperkara di pengadilan menjadi persoalan penting yang perlu dievaluasi. Lebih-lebih batalnya eksekusi tanah-tanah terlantar yang telah ditetapkan oleh Kepala BPN akibat dimenangkannya penggugat oleh pengadilan. Dalam hal ini perkara pertanahan tersebut ditangani oleh PTUN ataupun oleh Peradilan Umum.
Berkenaan dengan beberapa permasalahan di atas penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan menjadi salah satu agenda prioritas pada tahun 2012 ini di samping agenda redistribusi tanah. Pembentukan Tim Ad Hoc penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan melalui Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 366/KEP-25.2/IX/2012 tanggal 10 September 2012, dilakukan untuk mempercepat proses penyelesaian. Tim ini dibentuk untuk menangani kasus yang bersifat nasional, sensitif dan yang dapat mempengaruhi ideologi, politik dan keamanan. Namun demikian, pembentukan tim ini tidak serta merta mampu menyelesaikan seluruh sengketa, konflik dan perkara pertanahan. Sampai saat ini masih terdapat sejumlah 4.005 kasus pertanahan yang belum terselesaikan[54].
Optimalisasi kelembagaan konflik, sengketa dan perkara pertanahan perlu terus menerus dilakukan, utamanya penyediaan dan penguatan kapasitas sumberdaya manusia yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan melalui Alternative Dispute Resolution (ADR). Optimalisai kelembagaan ini perlu didukung dengan upaya pembentukan Pengadilan Pertanahan.
Pengadilan Pertanahan secara yuridis dapat dibentuk dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 27 UU Nomor  48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa:
Ayat (1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud Pasal 25;
Ayat (2) Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana dimakjsud pada ayat (1) diatur dengan undang-undang.
Dalam penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009  yang dimaksud dengan pengadilan khusus antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak azasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara. Pengadilan khusus  mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Dengan merujuk pada kebutuhan dan dengan mendasarkan pada regulasi di atas maka pembentukan Pengadilan Khusus Di Bidang Pertanahan menjadi sebuah keniscayaan untuk mempercepat proses penyelesaian berbagai kasus pertanahan secara adil dan berkelanjutan.  

4.  Penguatan Kelembagaan Pertanahan
Argumen pentingnya penguatan kelembagaan pertanahan dalam konteks pengelolaan pertanahan nasional adalah: (a) lemahnya koordinasi lintas kementerian/lembaga dalam penyelesaian persoalan-persoalan pertanahan; (b) sering kalahnya pemerintah (BPN) dalam berperkara di peradilan; (c) adanya berbagai keraguan bagi pejabat pertanahan sebagai pejabat publik dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan hak atas tanah dan pemasukan uang negara baik berhubungan dengan pajak maupun PNBP; (d) belum optimalnya peran lembaga pendidikan pertanahan dalam menghasilkan sumberdaya manusia di bidang pertanahan, utamanya dalam level ahli (skor standar kualifikasi 8)[55].
Kelembagaan untuk memperkuat koordinasi antar kementerian/lembaga perlu kelembagaan pertanahan yang kuat dan diatur melalui undang-undang. Paling tidak kelembagaan ini berupa kementerian atau bahkan apabila memungkinkan menjadi kementerian koordinator agraria yang mengkoordinasikan kementerian sektoral yang menurus sumberdaya agraria dan sumberdaya alam.
Untuk mempercepat penyelesaian berbagai kasus pertanahan, sekaligus memperkuat wibawa pemerintah maka penguatan kelembagaan pertanahan dalam hal peradilan pertanahan perlu dibentuk Pengadilan Khusus Pertanahan. Pengadilan Khusus Pertanahan ini  mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara pertanahan yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Dalam rangka memantapkan pejabat pertanahan selaku pejabat publik dalam menjalankan kewenangannya secara profesional perlu dibentuk sebuah Majelis Kehormatan Kode Etik dan Profesi. Majelis ini berperan melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap pejabat pertanahan yang diduga melanggar etika profesi. Hal ini penting dilakukan mengingat pelanggaran etika profesi ataupun adanya dugaan pelanggaran oleh pejabat pertanahan selalu ditangani langsung oleh penegak hukum (kepolisian ataupun kejaksaan).
Penguatan sumberdaya manusia di bidang pertanahan merupakan hal utama dalam penguatan kelembagaan. Kebutuhan berbagai tenaga profesi di bidang pertanahan seperti penilai tanah, pejabat pembuat akta tanah, mediator kasus pertanahan belum diperoleh dari sebuah lembaga pendidikan tinggi yang ada. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) sebagai perguruan tinggi kedinasan di bawah BPN baru menghasilkan tenaga pertanahan pada level operator dan teknisi (Diploma I dan Diploma IV). Untuk menjawab kebutuhan sumberdaya manusia bidang pertanahan pada level ahli, STPN perlu didorong untuk segera membuka program pendidikan pada level yang lebih tinggi (Pendidikan Profesi, Spesialis 1 atau Magister Terapan).
 

5.  Penguatan Panilaian Tanah
Prioritas percepatan pemetaan bidang-bidang tanah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari prioritas percepatan legalisasi aset. Sejumlah lebih dari 56 juta bidang yang belum terdaftar merupakan persoalan yang harus segera diselesaikan. Agenda legalisasi aset juga diikuti dengan priotitas dalam penilaian aset. Penilaian aset bidang-bidang tanah dan kawasan ini penting dilakukan untuk: (1) penentuan tarif dalam pelayanan pertanahan; (2) referensi masyarakat dalam transaksi pertanahan dan property; (3) penentuan ganti rugi dalam pengadaan tanah; (4) inventori nilai asset publik maupun asset masyarakat; (5) monitoring nilai tanah dan pasar tanah; dan (6) sebagai referensi dalam penetapan NJOP untuk PBB, agar lebih adil dan transparan. Pada saat ini pemetaan Zona Nilai Tanah (ZNT) saja baru sebesar 8% dari total luas tanah di Indonesia. Untuk mempercepat terselenggaranya penilaian aset untuk setiap bidang tanah, pemetaan ZNT di seluruh wilayah Indonesia ditargetkan selesai pada akhir tahun 2014.
Argumen pentingnya penilaian tanah menjadi agenda prioritas antara lain: (a) sistem dan mekanisme pajak tanah yang belum jelas, bahkan pajak tanah sering dianggap sebagai beban yang menghambat dalam percepatan pendaftaran tanah; (b) telah dioperasionalkannya Zona Nilai Tanah (ZNT) yang memunculkan permasalahan baru berkenaan dengan metode penilaian dan aplikasinya sebagai instrumen penentuan nilai tanah; (c) nilai tanah yang belum sepenuhnya dibawah kendali pemerintah, dan cenderung mengikuti pasar (liberal). Berkenaan dengan argumen di atas, terwujudnya kelembagaan penilai tanah yang menjadi referensi dalam banyak kebutuhan menjadi sesuatu yang urgent.

6.     Pembentukan Bank Tanah
Intensitas pembangunan yang semakin meningkat dan kondisi keterbatasan persediaan tanah berakibat semakin sulitnya memperoleh tanah untuk berbagai keperluan, baik yang akan dialokasikan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum  maupun bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan perusahaan/swasta. Selain itu pertambahan jumlah penduduk, kelangkaan tanah dan kemunduran kualitas  tanah, alih fungsi penggunaan/peruntukan tanah serta semakin meningkatnya konflik pertanahan, kemiskinan, sempitnya lapangan kerja, terdesaknya hak-hak masyarakat hukum adat, dan lain sebagainya mendesak agar Pemerintah menata ulang berbagai kebijakan di bidang pertanahan.
Kondisi di atas, dihadapkan lagi dengan melonjaknya harga tanah yang secara tidak terkendali/wajar  dari tahun ke tahun untuk berbagai kepentingan. Bahkan ada kecenderungan perkembangan penggunaan tanah yang dilakukan secara tidak teratur, atau tidak sesuai dengan penggunaan/peruntukan sesuai maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya (tanah terlantar/tanah tidur) terutama di daerah-daerah strategis. Kondisi demikian diperparah lagi dengan terjadinya rekonsentrasi penguasaan dan/atau pemilikan  tanah di wilayah yang menjadi otoritas pertanahan (BPN-RI), yang selama ini diperjuangkan  untuk redistribusi tanah.  Terjadinya Rekonsentrasi tanah, ini menjadi tantangan ke depan bagi BPN-RI terkait dengan cita-cita untuk mewujudkan tanah bagi keadilan dan kesejahteraan rakyat. 
Berdasarkan beberapa kondisi di atas pemikiran tentang perlunya membentuk lembaga bank tanah di Indonesia menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi terbatasnya penyediaan tanah untuk berbagai kebutuhan serta meminimalisir terjadinya konflik pada saat pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan.
Secara konseptual bank tanah dimaknai sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menyediakan tanah, yang akan dialokasikan penggunaannya di kemudian hari untuk berbagai kepentingan pembangunan baik bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum (bank tanah umum/general land banking) maupun kepentingan swasta/perusahaan (bank tanah khusus/project land banking).
General land banking  atau bank tanah umum meliputi penyelenggaraan  penyediaan, pematangan, dan penyaluran tanah untuk semua jenis penggunaan  tanah pada ranah publik maupun privat, tanpa ditentukan terlebih dahulu penggunaannya dengan tujuan utama untuk mengendalikan/mengawasi pola perkembangan daerah perkotaan dan/atau mengatur harga  tanah dan/atau memperoleh capital gains dari  nilai lebih sebagai akibat investasi publik dan/atau mengatur penggunaan tanah, termasuk mengenai waktu, lokasi, jenis dan skala pengembangannya.
Project land banking/bank tanah khusus meliputi penyediaan tanah untuk pembaharuan daerah perkotaan, pengembangan kawasan industri, pembangunan perumahan bagi rakyat menegah/sederhana dan sangat sederhana serta pembangunan berbagai fasilitas umum (advance land acquisition).
Bank tanah di Indonesia perlu diprioritaskan/difokuskan  pada bank tanah yang berfungsi atau mampu menampung pemenuhan penyediaan tanah bagi pembangunan  untuk kepentingan umum. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 1 butir 6, Pasal 3, dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2  Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pertimbangan memilih pada bank tanah umum (general land banking) didasarkan pada pendekatan agar keberadaan/eksistensi bank tanah tersebut  betul-betul mampu mengendalikan penggunnaan tanah dan dapat mempengaruhi harga tanah yang terjadi di masyarakat.
Lembaga bank tanah menjadi penting untuk diprioritaskan, mengingat mampu memberikan manfaat dalam:
a.  Penghimpun tanah (land keeper), dalam hal ini terdapat kegiatan inventarisasi dan identifikasi  terhadap objek pengelolaan tanah-tanah yang menjadi otoritas bank tanah. Di samping itu juga mengumpulkan   dan menyediakan data pertanahan secara lengkap, akurat, terpadu dan aktual untuk selanjutnya dimanfaatkan dengan mudah oleh para pengguna, terutama bagi yang berkepentingan dengan penyediaan tanah untuk keperluan/kegiatan usahanya;
b.  Pengaman tanah (land warance), dalam hal ini bank tanah melaksanakan kegiatan  dengan berpedoman pada Kebijakan rencana tata ruang wilayah Nasional (UU Nomor 26 tahun 2007), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kab/Kota, dan jika diperlukan mempertimbangkan Rencana Teknis maupun Detail (RTTR/RDTR) Kecamatan, bahkan termasuk Rencana Tata Ruang Desa pada level paling bawah. Selanjutnya dalam pelaksanaanya kegiatan Lembaga Bank  Tanah diwajibkan bekerjasama dan berkoordinasi dengan BAPPENAS (lingkup Nasional), BAPPEDA Provinsi dan BAPPEDA Kab/Kota.
c.  Pengendali Penguasaan (land purchaser), terkait dengan fungsi ini bank tanah  berpedoman pada mekanisme/prosedur perijinan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, kemungkinan terjadinya rekonsentrasi tanah  oleh sekelompok orang/badan hukum tertentu dapat diminimalkan.
d.  Penilai Tanah (land value),  dalam hal ini bank tanah melakukan upaya untuk mengatasi harga tanah yang semakin tidak terkendali, terutama tanah-tanah di daerah perkotaan, atau pusat-pusat kegiatan di luar perkotaan yang berkembang secara pesat sehingga berpeluang munculnya spekulan tanah dan berakibat sulitnya mengendalikan harga tanah.
e.  Pendistribusian Tanah (land distributor), dalam konteks ini bank tanah melakukan kegiatan pembebasan tanah, pematangan tanah kemudian melakukan pendistribusian  tanah sesuai penggunaan/peruntukannya. Disamping itu juga melakukan pengawasan dan menjamin bahwa pendistribusian tanah tersebut benar-benar tepat sasaran dan sampai pada  mereka yang berhak menerimanya.
f.   Manajemen Tanah (land management), mengingat persoalan tanah cukup krusial, maka manajemen  dalam pengelolaan tanah yang dijadikan objek bank tanah harus direncanakan secara  baik (transparant dan accountable), bahkan wajib memberikan ruang bagi masyarakat dengan melibatkan partisipasi publik, sejak tahap perencanaan sampai tahap pengawasan.




[1]  Kekuasaan yang dilembagakan. Kekuasaan dianggap sebagai kemampuan pelaku untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan (Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan, dalam Miriam Budihardjo) Konsep Kekuasaan Tinjauan Kepustakaan, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991: 10..
[2] Kekuasaan yang dilembagakan, kekuasaan yang tidak hanya de facto menguasai, melainkan juga berhak untuk menguasai.Wewenang adalah kekuasaan yang berhak untuk menuntut ketaatan, jadi berhak untuk memberikan perintah. (Frans Magnis Suseno, Etika Politik Modern Prinsip-prinsip Moral dasar Kenegaraan Modern, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001:53.
[3] Sudjito, menyebut moral religius,  yang mengandung karakteristik: teistik, manusiawi, realistik (Sudjito, Reintegrasi Moral Ke Dalam Ilmu Hukum Suatu Langkah Menuju Paragdima Holistik Pendidikan Hukum di Indonesia disampaikan pada Lustrum XII Faklutas Hukum UGM: 3-4.
[4] UU Nomor 26 Tahun 2007.
[5] UU Nomor 41 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 19 Tahun 2004.
[6] UU Nomor 18 Tahun 2004
[7] UU Nomor 7 Tahun 2004
[8]  UU Nomor 31 Tahun 2004.
[9] UU Nomor 22 Tahun 2001 Jo UU Nomor 4 Tahun 2009.
[10] Dalam proses perumusan RUU Pertanahan di BPN-RI
[11] UU Nomor 27 Tahun 2007
[12] Sudjto,  Perkembangan Ilmu Hukum: Dari Positivistik Menuju Holistik Dan Implikasinya Terhadap Hukumj Agraria Nasional (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar  pada Fakultas Hukum  UGM), Yogyakarta: 28 Maret 2007.
[13] Mahfud MD, (2006), Amandemen UUPA No. 5 Tahun 1960 Dalam Perspektif Politik Hukum (Makalah disampaikan pada Semiloka Nasional Penyempurnaan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA) FH UII- DPD RI, Yogyakarta, 24 Maret 2006: 4.
[14] UUPA telah menjadikan nilai sosial tradisional dan modern secara bersamaan sebagai dasar menetapkan prinsip-prinsipnya. Disamping itu UUPA juga telah mengakomodasikan kemajemukan masyarakat Indonesia dengan menempatkan nilai-nilai sosial yang dihayati oleh masing-masing kelompok masyarakat yang berbeda-beda kepentingannya. (Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik (Disertasi),   Program  Pasca Sarjana UGM, 2006: 30.)
[15] Maria S.w. Sumardjono, Relevansi UUPA Setelah 32 Tahun, Harian Jawa Pos, 24 September  1992.
[16] Sarjita, Perbedaan Persepsi Antara Masyarakat Hukum Adat dengan Fungsionaris Pemerintah Sebagai salah Satu Faktor Timbulnya Sengketa Hukum Tanah Di PTUN, Jakarta, Program Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum (PPLIH)-Hukum Administrasi Negara (HAN) FH-UI, 1995. Hlm. 28-29.
[17] Asas ini diadopsi dari hukum adat  yang menyatakan bahwa penguasaan dan pemilikan tanah tidak meliputi penguasaan dan pemilikan benda-benda di atas tanah (bangunan, tanaman, benda bernilai ekonomis lainnya). Jadi pemilik tanah, tidak otomatis menjadi pemilik benda-benda yang terdapat di atasnya. Oleh karena itu, jika di dalam suatu jual beli atas [sebidang tanah] juga dimaksudkan meliputi benda-benda yang ada di atas tanah (misalnya bangunan dan tanah), maka hal itu harus dinyatakan secara tegas di dalam akta jual beli dimaksud. (Oloan Sitorus dan Zaki Sierrat, Hukum Agraria Di Indonesia Konsep Dasar dan Implementasinya, Jogjakarta, MKTI, 2006, hlm. 69
[18] Apabila diperlakukan sejak tanggal 24 September 1960, perlu diingat bahwa antara tahun 1945-1960 banyak perubahan yang terjadi. Keadaan tahun 1945 tentunya tidak serupa dan tidak sama dengan keadaan tahun 1960. Meskipun hak ulayat mendapat jaminan, namun kebebasan seperti terdapat di masa sebelum datangnya perkebunan tertentu tidak ada lagi.  Proses semacam ini tentu dapat dihindarkan. Apakah pada tanggal 24 September 1960 pada waktu UUPA mulai berlaku hak ulayat semacam ini dapat dikatakan dalam kenyataannya masih ada. Terhadap hak ulayat yang kenyataannya masih ada, maka selanjutnya hak ulayat  itu akan diakui, meskipun dengan pembatasanpembatasan. Sebaliknya jika hak ulayat  pada tanggal tersebut dalam kenyataannya  tidak ada, maka seterusnya hak ulayat itu dianggap tidak ada. Pendapat yang demikian menurut Prof. Mahadi dikatakan pendapat yang tidak konsekuen, yaitu tidak memperhatikan atau menutupmata terhadap perkembangan hukum adat sesudah tanggal 24 September 1960.  Selanjutnya jika ada tidaknya hak ulayat masyarakat hukum adat ditentukan pada saat kita hendak menerapkan ketentuan Pasal 3 UUPA ini, ternyata masih ada hak ulayat, meskipun tidak lagi dalam bentuk yang murni, melainkan telah sumbing di sana-sini, mungkin sedikit, mungkin banyak, maka harus kita akui hak ulayat itu. Tentunya dengan menerapkan pembatasan-pembatasan yang ada yaitu: tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara berdasarkan persatuan bangsa, tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya. Abdurahman (dalam) Sarjita, Perbedaan Persepsi Antara Masyarakat Hukum Adat Dengan Fungsionaris Pemerintah Sebagai Faktor Timbulnya Sengketa Hukum Tanah di PTUN (Program PL-IH Fakultas Hukum UI), Depok.: 17.
[19]  Oloan Sitorus, (2005), Hak Ulayat Dalam politik Hukum Nasional (Makalah disampaikan pada  Lokakarya Kajian Kebijakan  Pengelolaan Tanah Adat Di Indonesia, BAPPENAS, 18 Desember 2005). Jakarta, 2005.
[20]  Syahyuti (2006), Nilai-Nilai Kearifan Pada Konsep Penguasaan Tanah Menurut Hukum Adat Di Indonesia, Forum Penelitian Agro Ekonomi Volume 24 No.1 Juli 2006, : 14-27.
[21] Syahyuti, (tanpa tahun), Pengaruh Politik Agraria Terhadap Perubahan pola Penguasaan Tanah Dan Struktur Perdesaan di Indonesia (Paper sebagai tugas kuliah mata ajaran Perubahan Sosial di IPB Bogor). Hlm. 4-8
[22]  Adalah Komunitas, masyarakat dan bangsa-bangsa asli atau adat adalah mereka yang sembari memiliki kelanjutan sejarah dengan masyarakat pra-invansi dan pra kolonial yang berkembang di wilayah mereka, menganggap iri mereka berbeda dari sektor-sektor atau bagian-bagian lain dari masyarakat yang sekarang mendominasi wilayah tersebut atau sebagian dari wilayah tersebut. Di masa kini mereka merupakan sector-sektor atau bagian-bagian yang non-dominan dari masyarakat yang lebih besar, dan mereka ketetapan untuk melestarikan, mengembangkan dan mewariskan kepada generasi yang akan dating sebagai basis leluhur mereka, dan identitas etnik mereka, sebagai basis kelanjutan eksistensi mereka sebagai masyarakat, sesuai dengan pola budaya, institusi social dan system hokum mereka sendiri. Jose Martinez Cobo, Study of the Problem of Discrimination Against Indigenous Population, Volume 5, Conclusions Proposal and Recommendation, U.N. Doc. E/CN.4/Sub.2/1986/7 dan Adds.1-4.
[23] Indigenous berasal dari bahasa Latin “indigenae” yang digunakan untuk membedakan antara orang-orang yang dilahirkan di sebuah tempat tertentu  dan mereka yang dating dari tempat lain (advenae).  Rafael Edy Bosko, (2006), Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konstek Pengelolaan Sumber Daya Alam (terjemahan) The Right of Indigenous Peoples in the Context of Natural Resources Development, Thenis Dalam Bidang Hukum Internasional di Raoul Wallemberg Institute of Human Right an Humanitarian Law, Faculty of Law University of Lund, 1999), Jakarta, ELSAM-LSAM: 52.
[24] Bernad Steny, Pluralisme Hukum Antara perda Pengakuan Masyarakat Adat dan otonomi Hukum Lokal. Jurnal Pembaruan Desa Dan Agraria,  Yogyakarta, 84.
[25] Rafael Edy Bosco, Ibid. Opcit.: 84-85.
[26] August Kafiar, (1999), Peranan PT. Freeport Indonesia Dalam Pembangunan Masyarakat Dan Daerah Irian Jaya (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pertanahan Irian Jaya, IMTB-IRJA STPN dengan IPMIRJA, Yogyakarta, 26-27 Nopember 1999.: 3-4.
[27] J. Sembiring, Pergeseran Politik Pertanahan Di Indonesia (Makalah disampaikan pada Forum Diskusi dan Kajian Pertanahan STPN, 30 Maret 2001: 1-2.
[28] Rachmad Syafa’at, (2008), Metode Advokasi Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,  Malang, Instrans Publishing Malang: 213.
[29] Rafael Edi Bosco, Ibid., : 4.
[30] Rafael Edy Bosco, Ibid., : 109-110.
[31] Maria S.W. Sumardjono, (2008), Tanah Dalam Perpekstif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, Jakarta, Kompas,; 156.
[32] Ari Sukanti Hutagalung, Perspektif Hukum Penanganan Masalah Tanah Khususnya Tanah Adat (Makalah disampaikan pada Workshop Nasional Kesiapan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia Pemda Dalam Melaksanakan Kewenangan Bidang Pertanahan Berdasarkan Keppres Nomor 34 tahun 2003),: 6-9.
[33] Dalam Revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dimana Pemerintah telah memutuskan untuk melakukan revisi UU tersebut menjadi ke dalam 3 UU, yaitu : 1( UU Pemerintahan daerah; 2) UU Desa; dan 3) UU Pemilihan Kepala Daerah.  Dalam kontek perumusan RUU Desa, muncul pertanyaan apakah desa merupakan satu-satunya kesatuan masyarakat hukum adat?. Tafsir Pertama, sebagai Desa sebagai  “daerah kecil” menjadi desa otonom (local self government( atau daerah otonom tingkat III yang menhghruskan desentralisasi kepada desa; Tafsir Kedua, Posisi desa yang tepat sebagai organisasi masyarakat adat atau desa adat (self governing community) yang mempunyai dan mengelola hak asal usul ; Tafsir Ketiga, menempatkan posisi desa sebagai unit kerja pemerintahan di bawah dan di dalam subsistem Pemerintahan Kabupaten. Berdasarkan ketiga Tafsir tersebut diatas, keberadaan masyarakat hokum adat harus diposisikan pada Tafsir yang kedua, yaitu tetap mengakui dan menghormati hak asal-usul Desa (Adat).
[34] Menurut Abdurrahman, pengaturan hak ulayat masyarakat hokum adat dalam Undang-Undang tersebut di atas, mengundang dua tafsiran, yaitu kita perlu satu Undang-Undang tentang  hukum adat, tetapi juga dapat berarti pengaturannya dapat diselipkan dalam satu Undang-Undang tertentu. Abdurrahman, (2005), Aspek Perundang-Undangan Dalam Pengelolaaan Dan penyelesaian Sengketa Tanah Adat, (Makalah disampaikan pada Lokakarya Kajian Kebijakan Pengelolaan Tanah Adat Di Indonesia), BAPPENAS, Jakarta, 28 Desember 2005 : 4.
[35]Sutoro Eko dan AA GN Ari Dwipayana, Mencari Format otonomi Desa Di Tengah Keragaman, Bahan Bacaan untuk Konsultasi Publik RUU Desa (Kerjasama antara IRE Yogyakarta –Ditjen PMD Depdagri dan DRSP-USAID, : 4-5.
[36] Sarjita, (2005), Teknik dan Strategi Penyelesaian Sengketa  Pertanahahn, Yopgyakarta, Tugujogja Pustaka, 12. 
[37] Abdurrahman, Opcit.: 13-19.
[38] Kurnia Warman, (2008), Pengaturan Sumberdaya Agraria Di Sumatera Barat Pada Era Desentralisasi (Interaksi Hukum Adat dan Hukum Negara dalam Perspektif Keanekaragaman dalam Kesatuan Hukum), Disertasi, Yogyakarta, Program Pascasarjana UGM,: 165.
[39] Sentralisme hukum merupakan turunan filsafat positivism hukum yang dipakai meluas menjadi filsafat hukum yang paling banyak mempengaruhi kehidupan sosial hukum saat ini. Menurut Grifiths, sentralisme hukum mengutamakan tesis pokok bahwa hukum adalah kaedah normative yang bersifat memaksa, eksklusif, hierarkhis, sistematis, berlaku seragam, serta dapat berlaku dua arah: dari atas ke bawah (top downwards), dimana keberlakuannya tergantung kepada penguasa. Atau dari bawah ke atas (bottom upwards), dimana hokum dipahami sebagai lapisan kaedah-kaedah normative yang hierarkhis, dari lapisan paling bawah dan meningkat ke lapisan yang lebih tinggi hingga berhenti pada puncak lapisan yang dianggap sebagai kaedah utama (grundnorm). Dengan demikian pluralism lemah merupakan  perpanjangan dari sentralisme hukum.
[40] Notonagoro, (1984), Politik Hukum Dan Pembangunan Agraria Di Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta:  139-140 
[41] Bernad Steny, Opcit., : 85-86.
[42] Boedi Harsono,  Tinjauan Hukum Pertanahan di Waktu Lampau, Sekarang Dan Masa Mendatang (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pertanahan Dalam rangkat HUT UUPA Ke XXXII Tahun 1992, di Yogyakarta), 15 Oktober 1992: 13.
[43] Soetandyo Wignjosoebroto, (1994), Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional Dinamika Sosial-Politik Perkembangan Hukum di Indonesia, , Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,: 240-244.
[44] Mohammad Saleh Arsad, (2005), Pengakuan PT. Freeport Indonesia Terhadap Hak Ulayat Suku Komoro Di Kabupaten Mimika Provinsi Papua (Skripsi), Yogyakarta, STPN: 63-83.
[45]  Free and Prior Informed Consent (FPIC). Konsep yang muncul dari masyarakat lokal di hampir semua Negara yang memiliki komunitas indigenous people. Diketemukan sejumlah ketentuan/regulasi bahwa untuk mengolah atau membuka suatu wilayah tertentu suatu kelompok masyarakat harus mendapat ijin/restu dari Tuhan. Jika di atas wilayah tersebut telah ada penghuninya maka ijin tersebut harus dipoeroleh dari masyarakat setempat. Dalam FPIC terkait empat hal dasar, yaitu: Free, berkaitan dengan keadaan bebas tanpa paksaan, artinya kesepkatan hanya mungkin dilakukan di atas berbagai pilihan bebas masyarakat. Prior, artinya sebelum proyek atau kegiatan teretntu diijinkan pemerintah terlebih dahulu harus mendapat ijin masyarakat. Informed, artinya informasi yang terbuka dan seluas-luasnya mengenai proyek yang akan dijalankan baik sebab maupun akibatnya. Dan Consent artinya persetujuan diberikan oleh masyarakat sendiri.Ibid, : 91-90.
[46] Sarjita, (2010), Asas Pemisahan Horizontal Dalam Hukum Tanah Nasional, (Tidak dipublikasikan).
[47]  Yusriyadi, Paradigma Sosiologis Dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Ilmu Hukum Dan Penegakan Hukum Di Indonesia (Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang Sosiologi Hukum pada Fakultas Hukum UNDIP (Semarang, 18 Pebruari 2006).: 29.
[48]Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni, (1977),  Petani dan Konflik Agraria.  dalam Muhammad Bakri,  Hak Menguasai Tanah Oleh Negara  Perspektif Baru Untuk Reforma Agraria. Citra Media, 2007. Hlm. 149
[49] Penambangan bawah tanah di kawasan hutan lindung  adalah kegiatan penambangan yang kegiatannya  dilakukan di bawah tanah (tidak langsung berhubungan dengan udara luar) dengan cara terlebih dahulu membuat jalan masuk berupa sumuran (shaft) atau terowongan (tunnel) atau terowongan buntu (adif) termasuk sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan produksi di hutan lindung.
[50] Renstra BPN RI Tahun 2010-2014 hal 17
  [51] Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi   2010-2025.
[52] Renstra BPN RI Tahun 2010-2014 hal 20
[53] Sambutan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Pada Acara Pelantikan Dan Pengambilan Sumpah Jabatan Pejabat Eselon I Dan II Di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Jakarta, 8 November 2012.
[54] ibid
[55]Berdasarkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) sebagaimana diatur dalam Perpres 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia