CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Rabu, 22 Agustus 2012

Penanganan Konflik, Sengketa dan Perkara Dalam Era OTDA


Penyelesaian Sengketa Pertanahan
Dalam Era Otonomi Daerah1
Oleh
Sarjita, S.H., M. Hum.2
Pendahuluan

Indonesia adalah negara yang bersifat agraris. berdasarkan konstitusi secara tegas meletakkan negara sebagai pembela utama dan penerima amanat paling sah  dalam memastikan terpenuhinya kepentingan dan kesejahteraan, dan tentu saja kedaulatan rakyat bagi petani dan warga pedesaan pada umumnya.3 Hal tersebut Nampak jelas tercermin dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Untuk merealisasikan cita – cita sebut Negara menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Harus diakui bahwa uuPA merupakan "karya besar” yang lahir pada tahun 1960 pada tahap awal penyelenggaraan negara, di tengah-tengah konflik politik dan mendesaknya kebutuhan akan suatu undang-undang yang diharapkan dapat memberi jaminan keadilan terhadap akses untuk memperoleh dan memanfaatkan Sumber Daya Agraria (SDA)
UUPA yang terdiri dari 67 tersebut, ternyata sebanyak 53 pasal mengatur tentang tanah.4 Pengaturan substansi agraria selain tanah ditindaklanjuti dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral, seperti UUD No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Jo. UU No. 19 Tahun 2004 tentang penetapan perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang. UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Perbangan Jo. uu No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU  No. 30 Tahun 2004 tentang Perikanan, uu No. 27 Tahun 27 tentang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, UU No. 18 Tahun 2004 tentang perkbunan, Undang No. 07 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA), dsbnya.
Di samping itu diterbitkan pula undang-undang yang terkait dengan pengelolahan SDA. seperti UUD No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), UU No. 15 Tahun 1997 tentang Transmigrasi, UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman No. 15 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 2l tahun 1997 Jo. UU No. 20 Tahun 2000 tentang BPHTB. Undang Undang Nomor 28 Tahun 2002 tantang Bangunan Gedung serta UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. berbagagi undang-undang sektoral tersebut tidak lain diterbitkan dalam rangka memenuhi kebutuhan pragmatis guna mengakomodasi kepentingan ekonomi moder.
Realitas yang terjadi, pembentukan berbagai undang-undang yang bersifat sektoral tersebut tidak berlandaskan pada prinsip-prinsip UUPA. Bahkan dalam perkembangannya kedudukan UUPA didegradasi menjadi UU yang bersifat sektoral yang hanya mengatur masalah pertanahan. Maria S.W. Sumardjono,5 menyatakan bahwa “…..meskipun berbagai undang-undang sektoral tersebut mengacu pada pasal 33 ayat (3) UUPA, namun substasinya pada umumnya memuliki karakteriktik yangtiah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”

Anatomi dan Kajian Kritis RUU Pengadaan Tanah


Anatomi dan Kajian Kritis RUU Pengadaan Tanah[1]

Oleh
Sarjita, S.H., M.Hum.[2]

A.    Politik Pertanahan di Persimpangan Jalan
Sejak memasuki abad ke-21, Negara-negara Barat sebagai donatur bagi negara-negara berkembang telah memberikan persyaratan baru sebagai pertimbangan utama bagi negara berkembang yang akan memperoleh bantuan dana untuk pembangunan, yaitu menyangkut  demokrasi, pengakuan hak azasi manusia, dan pelestarian lingkungan.[3]  Dengan demikian, persyaratan itu mengindikasikan suatu harapan bahwa  masalah hubungan negara dan rakyatnya menempati posisi sentral dalam proses pembangunan di negara yang sedang berkembang.
Dari uraian di atas, muncul pertanyaan mendasar yang harus dijawab, dan tidak asal menjawab. Yaitu, persoalan adakah hubungan antara demokrasi dengan keberhasilan pembangunan di suatu negara yang sedang berkembang?. Atau dengan kata lain, mana yang harus didahulukan/diprioritaskan sebaiknya pembangunan dulu baru demokrasi atau demokrasi dulu baru pembangunan?.
Sebagai bahan kajian, ternyata ada  dua negara yakni Korea Selatan yang pro Amerika berhadapan dengan Korea Utara yang pro Russia dan Taiwan yang pro Amerika berhadapan dengan Cina Daratan yang Marxizt-Leninist dan diperintah secara otoriter mampu dan cepat menstransformasikan dirinya dari negara agraris ke negara industrial. Kasus dua negara di atas, tidak begitu saja lalu dapat digunakan sebagai ukuran bahwa  pemerintahan otoriter (tidak demokratis)  lebih baik dari pemerintahan demokratis, atau sebaliknya. Demikian juga, untuk menjawab bahwa demokrasi tidak selalu membawa keberhasilan dalam pembangunan atau dengan kata lain bahwa demokrasi bukan merupakan prakondisi untuk keberhasilan pembangunan.
Menurut Francis Fukuyama,[4] pilihan demokrasi liberal bersumber pada keinginan manusia untuk dihargai martabatnya sebagai manusia. Dalam Perkembangannya  secara kuantitas negara yang menganut demokrasi liberal mengalami peningkatan.  Pada tahun 1790 hanya ada 3 Negara,  1900 menjadi 13 negara,  1919 menjadi 27 negara, 1994 menjadi 64 negara. Namun tidak pula kemudian kita mengkultuskan demokrasi tersebut.
Loekman Soetrisno,[5] menegaskan memang demokrasi bukan jamu gendong yang dapat mengobati segala penyakit yang saat ini dihadapai oleh negara-negara yang sedang berkembang. Namun demikian, kita jangan pula menutup mata, bahwa demokrasi liberal (DL) juga punya keterbatasan/kelemahan. Menurut Kenneth Auchincloss,[6] menyebutkan tiga keterbatasan/kelemahan demokrasi liberal yaitu: Pertama, DL tidak secara otomatis akan membawa kemakmuran; Kedua, DL tidak selalu membawa stabilitas, terlebih-lebih apabila DL itu ditanamkan pada suatu negara yang tidak pernah mengenal budaya demokratis; Ketiga, ajaran DL “democrarcy means majority rules” sebenarnya mengandung kelemahan karena demokrasi harus juga mengakui kepentingan dan hak dari kelompok minoritas. Contoh: Disintegrasi di Yugoslavia, disebabkan karena kelompok etnis Serbia yang merupakan etnis mayoritas tidak melindungi hak dan kepentingan kelompok etnis minoritas, yakni etnis Croatia dan Bosnia.
Lalu bagaimana dengan Negara kita Indonesia?  Kita tidak mengambil/menganut  keduanya. Akan tetapi mempunyai kharakteristik yang mampu menbedakan dari kedua model paradigma di atas, yaitu Demokrasi Pancasila. Justru sebenarnya musuh kita bukan liberalisme maupun demokrasi liberal, akan tetapi mereka-mereka yang dengan sengaja menggunakan kekuasaannya melanggar hak azasi manusia Indonesia, dengan cara memperkaya diri mereka sendiri atau orang lain, sehingga sulit untuk mencapai pemerintahan yang “clean government”  dan “accountable government”.
Dalam era reformasi, gerakan yang diperjuangkan oleh rakyat mempunyai motif empat tema, yaitu 1) perbaikan ekonomi; 2) perbaikan tata pemerintahan atau good government; 3) supremasi hukum,  dan; 4) demokrasi.
Sejumlah studi mengindikasikan bahwa  tingkat kemajuan ekonomi merupakan faktor penentu paling penting bagi keberlanjutan demokrasi. Sebagaimana  dikemukakan oleh Barro dan Bremmer,[7] bahwa pada tahap awal perjalanan masyarakat berpenghasilan rendah, tertutup dan belum demokratis, seyogyanya memusatkan uapayanya pada pembangunan ekonomi lebih dahulu. Karena masyarakat yang berpenghasilan rendah masih disibukan dengan kegiatan yang paling mendasar, yaitu bagaimana memenuhi hidupnya dari hari ke hari. Demokrasi akan bersemi manakala tingkat hidup yang lebih tinggi dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi pula.
Oleh karena itu, maka dalam era reformasi hubungan negara dengan  rakyat, harus diformulasikan dalam suatu format baru  yang mengarah pada tercapainnya suatu hubungan yang seimbang antara peran negara (pihak yang memerintah) dan rakyat (pihak yang diperintah).  Patut direnungkan untuk selanjutnya diamalkan apa yang dikemukakan oleh Arthur M. Schlesinger Jr.[8]  yang menyatakan bahwa misi utama dari “democratic statecraft” adalah “to find the means of ordered liberty in a world condmmed to everlasting change” (Perubahan yang terjadi di dunia berjalan dengan sangat cepat. Perubahan yang sangat cepat ini akan menimbulkan suatu kesenjangan antara institusi dan nilai-nilai hidup yang diwarisi oleh suatu bangsa dengan lingkungan mereka yang cepat mengalamai perubahan).
Lebih lanjut  Arthur M. Schlesinger Jr. menegaskan bahwa  bangsa yang tidak mampu menyesuaikan budaya mereka dengan kecepatan perubahan yang terjadi di dunia akan terus menerus mengalami masalah-masalah yang muncul sebagai akibat ketertinggalan mereka dari laju perubahan dunia. Agar suatu bangsa dapat menyesuaikan diri mereka dengan  cepatnya kemajuan jaman, bangsa itu membutuhkan pemimpin-pemimpin yang memimpin bangsanya atas dasar ketentuan konstitusi, mau peka pada kehendak raknyatnya dan memiliki toleransi terhadap budaya kritis di kalangan rakyat yang dipimpinnya. Dalam pepatah Bahasa jawa: dapat disejajarkan dengan makna dari “Ojo rumongso biso, tapi yang biso rumongso.”
Dalam konteks,  tersebut harus dimaknai bahwa Negara secara konstitusional berhak menuntut setiap warganya untuk melaksanakan kewajibannya mereka kepada negara, namun rakyatpun secara konstitusional pula berhak untuk menuntut agar negara juga menghormati hak-hak mereka yang dijamin oleh hukum.
Untuk mengawal implementasi kewajiban negara tersebut, tentunya diperlukan  suatu kelompok pembaharu[9] yang akan menjadi ujung tombak dan pengawal proses transformasi. Namun tumbuhnya kelompok pembaharu diperlukan dua prasyarat, Pertama: pertumbuhan yang menyentuh dan dapat dinikmati oleh sebagain besar rakyat (broad based); dan Kedua:  prosesnya lebih mengandalkan pada kegiatan berdasarkan hasil kerja, inisiatif dan integritas SDM dan bukan  semata dari hasil eksploitasi SDA.
Di Indonesia,  dapat meliputi unsur-unsur reformis dari kaum penguasaha, intelektual, profesional birokrat, pemuda, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan dll.  Yang lebih penting  diantara kelompok pembaharu tersebut, mempunyai kesamaan platform, yaitu keterbukaaan, kebabasan berusaha, good governmence, rule of law dsbnya.[10] Yang paling penting untuk diperhatikan menurut penulis adalah, jangan sampai kita kehilangan “gairah/syahwat” dan stamina untuk melanjutkan pembangunan. Bahkan lebih asyik dan terlena dengan eforia dan hingar-bingar “demokrasi” sehingga melupakan tujuan utama reformasi yang sebenarnya. Demokrasi di sini harus diartikan secara substantif dan mencakup tidak hanya mekanisme formal demokrasi (prosedur belaka)  seperti pemilihan umum yang bebas dan terbuka, multi partai, pembagian kekuasaan antara eksekutif, yudikatif dan legislatif, peran pers dan organisasi kemasyarakatan, dsbnya.) akan tetapi lebih ditekankan pada nilai-nilai dasar keadilan yang tumbuh dan berkembang  di dalam masyarakat yang akhirnya akan memberi sukma/roh demokrasi itu sendiri.