CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Rabu, 02 Mei 2012

Titik Temu Antara Hukum Negara dengan Hukum Adat (Studi Di Sentani Kabupaten Jayapura Provinsi Papua)


Ketegangan dan Kemungkinan Titik Temu
Antara Negara dan Adat dalam Pengaturan Tanah di Papua
(Studi kasus pada sistem nilai-adat ondoafi, orang Sentani)
Oleh
Sarjita, S.H., M. Hum. Dkk.

A.       Latar Belakang

Papua, salah satu daerah dengan potensi sumber daya agraria terbesar di Indonesia, dengan kompleksitas budaya tradisional yang kental dan ketat, menjadi salah satu arena pertarungan berbagai kepentingan agraria paling rumit dan sengit di negara ini. Keberadaan tanah-tanah yang dinaungi oleh berbagai lapis logika budaya beserta perangkat-perangkat hukum dan norma sosial setempat, rentan bertabrakan dengan berbagai perangkat lain yang datang dari luar, berupa negara dengan segenap otoritas dan logika kekuasaannya, serta berbagai hasrat-hasrat investasi berskala besar.  

Sejarah mencatat, setelah kemerdekaan Indonesia, Belanda begitu ngotot mempertahankan Papua tetap berada dalam kekuasaannya. Bagi pihak Indonesia sendiri, bersebab dari persamaan “tuan” kolonial demikian, sama dijajah Belanda, muncullah  perasaan senasib hingga menjadi pendasaran umum bagi kebanyakan orang Indonesia untuk menganggap Papua sebagai bagian dari Indonesia. Anggapan demikian memaksa Soekarno untuk merebut kembali Papua yang hingga era 1960-an masih (kembali) dikuasai Belanda. Melewati berbagai cara, dari diplomasi di jalur PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) dan bilateral, hingga penyerangan Yos Sudarso, dan melewati PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat), maka keutuhan Papua sebagai bagian NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) tercapai pada tahun 1969. Namun, seluruh proses ini berjalan tidak bersih, juga memakan korban tidak berdosa, khususnya orang-orang Papua yang dipaksa bergabung dengan NKRI. Dalam PEPERA, diperkirakan terdapat seribu orang lebih yang diancam agar memilih NKRI, dan sekitar 30 orang lebih yang ditembak mati akibat ketidakpatuhan. Tidak bersihnya pelaksanaan PEPERA, menjadi bibit di kemudian hari memunculkan OPM (Organisasi Papua Merdeka).[1] 

Luas wilayah Papua 421.981 KM2 (3,5 kali lebih besar dari pada pulau Jawa) dengan topografi meliputi daerah pegunungan dan sebagian besar tanah yang berawa-rawa di daerah pesisir. Papua berbatasan dengan; laut Halmahera dan samudra Pasifik di utara, laut Arafura dan Australia di selatan, negara Papua New Guinea di sebelah timur, dan laut Arafura, laut banda dan Maluku di sebelah barat. Berdasarkan sensus pada tahun 2000, populasi terpadat ada di dataran tinggi di wilayah Jayawijaya sebanyak 417.326 jiwa. Total penduduk asli, yang kaya akan kebudayaan, diperkirakan sekitar 66% dari keseluruhan jumlah penduduk.[2]

Berdasarkan hasil survey penduduk antar sensus (SUPAS) 1995, jumlah penduduk Papua sebanyak 1.942.627 jiwa dengan rata-rata pertumbuhan 3,03 % pertahun, sedangkan pada tahun 1999 sesuai proyeksi penduduk, jumlah tersebut telah  berkembang menjadi 2.165.300 jiwa. Apabila dikaitkan dengan luas wilayahnya maka kepadatan penduduk Papua  hanya 5 jiwa/km. Sementara, hampir di setiap bagian wilayah, terdapat sumber-sumber mineral dan kekayaan flora-fauna luar biasa, menggiurkan hasrat eksploitasi.[3]

Namun, luasan wilayah yang cukup besar dengan kontur yang sulit dan alam yang tak mudah dihadapi, soal pembangunan menjadi terkendala. Sungguhpun eksploitasi berskala besar sudah bermula sejak Papua bergabung dengan NKRI, namun agak ironis kiranya, bahwa dalam masa selama itu (30 tahun lebih integrasi Papua), jalan-jalan lintas darat antar kota dan kabupaten pun belum terwujud, kecuali jalan-jalan lintas dalam kerangka eksploitasi-produksi. Kendala alam selalu menjadi alasan berulangkali oleh pemerintah.

Pemekaran dianggap sebagai alternatif untuk lebih memudahkan pembangunan. Ide ini muncul sudah sejak hampir 20 tahun yang lalu, ketika gubernur Isaac Hindom mengusulkan pemekaran Papua. Namun ide pemekaran tidak pernah terealisasi hingga berakhirnya orde baru, dengan alasan yang selalu sama dari waktu ke waktu, “minimnya anggaran pemerintah pusat”. Baru setelah reformasi, pemekaran Papua digelar kembali, melalui Undang-Undang No 21/1999. Usaha ini tidak sepenuhnya lancar, masih terdapat berbagai perbedaan persepsi antara negara dan masyarakat adat. Akhirnya dalam pasal 76 UU-Otsus Papua menyebutkan, "Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP (Majelis Rakyat Papua) dan DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua) setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia, kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang”.[4] Saat ini, Papua yang sebelumnya bernama Irian Jaya, terbagi dalam dua provinsi, Papua dan Papua Barat.

Dari segi bentukan sejarah dan tradisi yang telah berumur ribuan tahun, masyarakat Papua memiliki asas-asas fundamental dalam menyusun tata pandang hidup bersama. Berbagai asas tersebut tersusun inheren di dalam berbagai bentuk kisah-kisah naratif assosiatif-personifikatif tentang nenek moyang dan asal-usul dunia. Semua asas tersebut, menjadi suatu naungan pembayangan prosedur dalam mengalami dan memaknai dunia sehari-hari

Sebagaimana banyak berlaku dalam berbagai budaya tua, narasi asosiatif-personifikatif muncul dalam usaha memahami situasi alam yang sangat menantang secara geografis. Dalam kata lain, abstraksi yang ada selalu mengacu pada situasi yang kontekstual, dalam satuan sosial kecil. Sehingga tidak ada satu abstraksi besar yang lengkap bagi semua pihak (satuan social besar). Akibatnya tafsiran dan tindakan atas alam menimbulkan keberagaman kebiasaan yang luar biasa. Dalam perkembangan panjangnya, memunculkan keberagaman identitas suku yang sangat sangat besar. Saat ini, setidaknya terdapat sekitar 250 suku asli, dengan berbagai keunikan tradisi-kebiasaan, perbedaan bahasa, dan praktek-praktek ritual-religi yang kuno. Dalam berbagai penelitian antropologi, keberagaman budaya demikian dikategorikan ke dalam tujuh zona kebudayaan di seluruh tanah Papua, antara lain; Saireri (Biak dan sekitarnya), Doberai (Sorong-Fak Fak, Manokwari, dan sekitarnya), Bomberai (Timika dan sekitarnya), Ha-Anim (Jayawijaya dan sekitarnya), Tabi (daerah pinggiran Laut Pasifik), Lani-Paqo (Sentani dan sekitarnya), dan Me-Paqo (Merauke dan sekitarnya).

Setiap suku memiliki peluang untuk membelah, membentuk satuan identitas baru dalam satuan sosial terkecil (klan). Akibatnya, terdapat berbagai perbedaan sistem adat dalam satuan sosial yang kecil-kecil. Kemajemukan dan perbedaan persepsi identitas yang begitu tinggi, beresiko menghambat komunikasi sosial yang luas. Pergesekan menjadi rentan terjadi dalam situasi demikian, hingga dapat memunculkan ketegangan yang berketerusan. Pada akhirnya, perang menjadi media penyelesaian praktis atas berbagai ketegangan yang kompleks.

Pengertian “perang” dalam cara demikian, perlu ditelusuri lagi. Terdapat beberapa “konsep” yang tidak mengandaikan acuan yang sama dalam dunia modern. Pada orang Moni misalnya, terdapat suatu “konsep” untuk “menghargai” para musuhnya ketika berperang. Bayangkan, jikalau musuh kehabisan anak panah dalam perang, orang Moni menghentikan perang dan memberikan sebagian anak panahnya kepada musuh. Setelah itu, perang dilanjutkan. Dibutuhkan lebih banyak lagi metode dan strategi ilmiah untuk memahami berbagai dinamika budaya demikian. Penyederhanaan, penyamaan, dan atau pemerangkapan dalam kategori-kategori tertentu dari luar sistem bersangkutan, bisajadi tidak mewakili apa yang seharusnya, ataupun apa yang ada (das sein, das sollen).

Dalam situasi sosial yang ketat demikian, posisi seorang pemimpin menjadi sangat aktual dan taktis. Pemimpin haruslah orang yang mampu menghadapi berbagai perubahan dan dinamika, serta mampu mengakali kerentanan ruang sosial. Setidaknya terdapat empat sistem besar kepemimipinan dalam budaya asli Papua: disebut sistem bigman, ondoafi, campuran, dan kerajaan. Berikut dibahas ciri utama saja di setiap sistem.

Pertama, sistem politik bigman, kepemimpinan dipegang oleh seorang yang paling berwibawa di antara masyarakat. Kewibawaan menjadi syarat utama bagi seorang pemimpin, dan biasanya ditentukan oleh dua hal: kemampuan enterpreneur dan kemampuan perang. Ukuran ini sesuai dengan semangat zaman yang ada. Enterpreneur disini adalah suatu kemampuan untuk mencari keuntungan dari suatu kegiatan ekonomi tradisional (barter). Sementara kemampuan perang meliputi keberanian dan keterampilan orasi. Siapa saja dalam masyarakat boleh menjadi pemimpin, selama memenuhi dua syarat tersebut. Awal mula kemunculan sistem ini tidak terlacak. Kedua, sistem ondoafi, menerapkan kepemimpinan melalui pewarisan, berdasarkan pada senioritas. Pemimpin memiliki para pembantu, yang khususnya mengurusi soal-soal konseptual dan menangani hal-hal teknis kemasyarakatan. Kekuasaan selain ada pada pemimpin, juga dimiliki oleh dewan adat, yang lebih banyak menyusun berbagai dasar-dasar kemasyarakatan. Ketiga, sistem campuran. Dalam sistem kepemimpinan campuran, terdapat ciri-ciri dari sistem bigman dan ondoafi. Sistem ini lahir dari perubahan-perubahan situasi yang menuntut fleksibilitas sistem. Biasanya, dalam keadaan aman dan bisa bekerja, sistem ini menerapkan kepemimpinan berdasarkan keturunan, atau dekat dengan ciri ondoafi. Namun dalam keadaan terdesak, misalnya peperangan, maka kepemimpinan akan ditentukan oleh kemampuan, atau dekat dengan sistem bigman. Terakhir, sistem kerajaan, menerapkan kepemimpinan berdasarkan keturunan, yaitunya anak sulung dari sang pemimpin. Ketiadaan anak sulung, biasanya digantikan oleh anak laki-lakinya yang lain, atau oleh saudara laki-laki sang pemimpin sendiri. Ciri yang paling khas sistem ini dibanding lainnya, luasan wilayah kekuasaan yang cukup besar dengan perkampungan-perkampungan yang banyak pula.[5]

Dalam setiap sistem kepemimpinan di atas, otoritas para pemimpin adat sangat kuat menyangkut di semua bidang sosial, hingga pengaturan tanah.

Tanah dan alam, termasuk soal-soal genealogis dalam banyak kebudayaan. Bagi orang Papua, aosiasi-personifikasi berlaku kental dalam menyana aspek-aspek genealogis. Misalnya, melalui suatu proses asosiasi, orang Wafom percaya asal-usul nenek moyang mereka adalah dari pohon Pandanus. Di sisi lain, suatu kawasan hutan tertentu bisa dipersonifikasi sebagai “saudara” dari klan mereka.[6]

Genealogi asosiatif menjadi pangkal dari proses penalaran selanjutnya. Sedang personifikasi alam, membentuk rasa kedekatan, harmonisasi manusia dan alam. Asosiasi dan personifikasi demikian dekat dengan suatu kesadaran yang kini disebut “kesadaran ekologi”. Terdapat berbagai ungkapan khas di setiap wilayah yang mengandaikan kedekatan pada ekologi, misalnya, te aro neweak lak-o (alam adalah aku, pada orang Amungme), dan petskha vai (tanah adalah rahim ibu, pada orang Walsa). Contoh-contoh ungkapan demikian terdapat hampir di setiap satuan sosial terkecil di Papua. Sebagaimana dalam ekologi, “tanah” menjadi dasar bangunan pemahaman mengenai diri dan lingkungan. Atau, tanah menjadi aspek terpenting dalam susunan nilai serta cara pandang, dan sikap hidup orang Papua.

Adalah tanah bagi orang Papua sebagai “ibu” yang memberi hidup sejak dulu, hingga sekarang dan terus saja sampai masa depan. Tanah tidak diperuntukkan hanya bagi orang hidup saja, tetapi sudah menjadi hak pula bagi anak yang masih dalam kandungan. Tanah adalah jaminan masa depan, milik bersama dari yang hidup hingga anak-cucu di masa mendatang. Itulah sebabnya tanah tidak bisa dijual. Dan adakah kesanggupan rasionalitas manusia untuk memahami menjual “ibu”? Tanah berarti bukan semata simbolisasi, tetapi adalah keagungan itu sendiri, yang mengandung dasar-dasar teologis.[7]

Sebagai “ibu”, tanah menjadi visi terkuat orang Papua, menjadi asas idea dan moral yang paling dekat dengan diri. Kedekatan manusia dengan tanah menjadi bersifat psikologis, romantik, dan subjektif. Kategori demikian tercermin dalam realitas hidup sehari-hari. Realitas tanah sebagai bentang permukaan (topografi), langsung dibaca sebagai realitas anatomi “ibu”, melalui personifikasi. Sebuah gundukan bukit misalnya, dipersonifikasi sebagai payudara “ibu” yang mengalirkan “air susu” (sungai) ke lembah-lembah, perkampungan tempat tinggal anak-anaknya. Personifikasi demikian berlaku dalam banyak cara orang Papua memahami dan memperlakukan alam. Dalam hal ini juga, ketegangan antar suku, klan atau kampung yang banyak berkisar pada soal pengaturan tanah, diasumsikan karena lebih dalam melibatkan romantisme-subjektif atas tanah. Perang menjadi berlarut atau berulangkali, karena stimulus romantika dan subjetifitas komunal (primordialisme).[8]

Dalam cara pandang demikian, tanah tidak artifisial atau tidak bisa diposisikan sebagai aset ekonomi belaka. Dalam berbagai sistem adat di seluruh Papua, samasekali tidak terdapat sistem jual beli tanah. Tanah bukanlah komoditas. Batas-batas tanah misalnya, tidak ditentukan melalui ketegasan garis tertentu, namun melalui peruntukan dan fungsi alamiahnya, atau bersifat territorial (konteks ekologis). Ada satu teritori yang cocok untuk berburu, ada yang bagus untuk pertanian, ada teritori untuk pemukiman, dan tanah-tanah keramat bagi ritual.

Tanah adalah “ibu”, yang memberi kehormatan. Melakukan penggalian tanah secara besar-besaran (penistaan ekologis), berarti “melubangi ibu”, yang dapat menyakiti “ibu”, melukai, menghina, atau menistai martabat “ibu”.[9] Tanah adalah perekat sosial terkuat, tanpa tanah sebagai “ibu” sosial, maka tiada lagi kepemimpinan sosial, identitas suku, hancurnya tertib adat, rusaknya tata nilai, kacaunya berbagai batasan dan tradisi.

Kejadian “melubangi ibu” seperti demikian, mulai terjadi sejak awal bergabungnya Papua dalam NKRI. Tidak lama setelah Soeharto mulai berkuasa, Papua segera menjadi wilayah utama eksploitasi alam. Soeharto giat membuat regulasi untuk memuluskan modal asing masuk ke Indonesia, giat pula menemui atase modal negara-negara kaya. Pemain tambang yang hampir bangkrut dari Amerika, Freeport McMoran, menjadi perusahaan paling beruntung di dunia ketika itu dengan kesepakatan eksplorasi tambang tembaga selama 30 tahun ke depan di wilayah dengan kandungan emas terbesar di dunia, Timika, Papua. Kontrak karya Freeport ditandatangani pada tahun 1967, ketika Papua belum sepenuhnya utuh dalam NKRI. Lembar kontrak karya pertama ini dalam sejarah Indonesia, dijadikan dasar penyusunan Undang-undang Pertambangan Nomor 11 tahun 1967, yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan bulan berselang setelah penandatanganan kontrak karya Freeport.[10]

Masuknya investasi Freeport[11], menjadi awal dari arogansi dan sikap sepihak negara, yang memaksakan cara pandang tanah sebagai komoditas dan dapat diperjualbelikan. Freeport, pada akhirnya menjadi ikon dari berbagai konflik dan kekerasan yang terjadi di Papua. Ikon tersebut tentu menjelaskan acuan yang sama: masuknya modal masing dengan sangat leluasa di pedalaman Papua tanpa “izin” masyarakat lokal, pengerukan besar-besaran tembaga dan emas tanpa kesejahteraan masyarakat, penggunaan kekerasan dan oknum militer untuk menghadapi protes masyarakat, tidak terendusnya berbagai kekerasan yang terjadi karena berada di pedalaman, dan “cueknya” negara hingga diasumsikan berkat kongkalingkong perusahaan (suap).

Saat ini, terdapat kasus dan sengketa tanah antara masyarakat adat dan negara (baca: negara yang menggandeng modal) secara merata di segenap daratan Papua.

Negara menjadi pendongkrak pintu masuk investasi untuk pengerukan “payudara ibu”[12] tanpa konsolidasi adat. Negara yang menjadi “alat” modal, menutup dialog dan akomodasi atas rakyatnya sendiri, sebaliknya menuntut kepatuhan buta dari rakyatnya. Khususnya di masa orde baru, susunan sejarah Papua dalam konteks sebagai bagian dari NKRI adalah sejarah kekerasan negara atas masyarakat dalam berbagai bentuknya, mulai dari pemaksaan cara pandang, kekerasan budaya (Jawa sebagai acuan), pengabaian nilai, relasi hubungan yang eksploitatif, tanpa adanya pembangunan (pembodohan, pengkolotan), hingga kekerasan militer.

Dari laporan beberapa LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), kualitas SDM (sumber daya manusia) orang Papua di akhir orde baru berada dalam indeks SDM terendah. Dalam laporan lain, sekitar 100 ribu orang Papua mati di tangan TNI selama orde baru. Susunan realitas seperti itu, memproduksi begitu banyak kekecewaan, persepsi negatif, stereotip dan rasa tidak percaya. Sedang orde baru terus melakukan penggiringan opini publik melalui pengetatan media massa dan berita yang berbunyi, bahwa semua baik-baik saja. Berbagai kekerasan TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang terjadi di pedalaman-pedalaman Papua, sengaja diluputkan dari pemberitaan. Saat ini, cukup banyak LSM yang mulai menyuarakan pembongkaran kasus-kasus kekerasan demikian.[13]

Muncul dan semakin maraknya gerakan OPM, menjadi argumen empuk bagi negara (khususnya orde baru) untuk menurunkan operasi militer. Walau tidak bisa dibuktikan secara pasti berapa jumlah OPM bersenjata dan potensi bahayanya bagi negara, operasi militer tetap dijalankan antara tahun 1970-1985. Pada tahun 1977, TNI bahkan melancarkan serangan udara, pemboman di titik yang dianggap kantong-kantong OPM di wilayah Jayawijaya, menghancurkan 17 desa. Kekerasan militer terus berlanjut di era 1990-an, bahkan TNI mulai menembaki warga yang dianggap mendukung OPM.[14]

Ketika kekerasan terus berlangsung, wacana “pembangunan” terus juga menjadi payung negara dalam setiap kebijakannya di Papua. Investasi atas nama pembangunan, namun tanpa pembangunan itu sendiri bagi orang Papua. Ironi berjejalan dimana-mana, kisah-kisah “semut mati di kantong gula” kerap terjadi. Kekayaan alam dikeruk tanpa kemakmuran bagi masyarakat asli. Dalam ironi demikian, “pembangunan” berarti “perampasan”.

Atas nama pembangunan juga, orde baru melakukan penyeragaman demi efektifitas dan efisiensi. Sistem politik lokal yang khas berdasarkan suatu sistem adat ditiadakan. Undang-undang no. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa diterbitkan sebagai pijakan hukum otoriterisme negara menyeragamkan persepsi politik lokal.[15] Desa menjadi satu-satunya satuan politik terkecil yang dianggap sah. Lembaga dan sistem adat yang asli sesuai tradisi, dikebiri dengan dijadikan sebagai bagian dari organisasi state corporatisme. Kondisi demikian berlaku di seluruh wilayah luar Jawa yang memiliki sistem politik lokal bukan desa. Sedang Jawa sendiri memang asal acuan tentang “desa”.[16] Di luar Jawa mulai di tingkat propinsi, kabupaten sampai kecamatan, terbentuk apa yang disebut sebagai Lembaga Masyarakat Adat, suatu organisasi buatan pemerintah yang visi, misi, dan struktur organisasinya tidak selaras dengan konsepsi tradisi dan kebiasaan setempat. Undang-undang no. 5 tahun 1979 menjadi momentum penting dari kekerasan budaya (Jawanisasi) dan pemaksaan cara pandang oleh negara atas keberagaman adat.[17]

Ciri rezim orde baru dekat dengan ciri kepribadian Soeharto. Sementara, hampir di setiap kesempatan protokoler dan pidato kenegaraan, Soeharto mengutip ajaran dari falsafah-falsafah Jawa sebagai asas pandangnya. Dengan demikian, stereotip orde baru dekat dengan stereotip Soeharto yang “Jawa”.[18] Otoriterisme orde baru kemudian berarti juga otoriterisme Soeharto/Jawa. Proses yang disebut “Jawanisasi”, diidentifikasi dalam proses-proses kenegaraan; gaya berkuasa, bahasa dan retorika kekuasaan, protokoler kekuasaan, feodalisme birokrasi, simbolisme kekuasaan, wacana kekuasaan, hingga susunan basa-basi kekuasaan (Soeharto yang murah senyum namun penuh kekerasan).[19]

Proses kekuasaan dengan label-label budaya tertentu, atau Jawa, dengan laku kuasa yang otoriter, membuat munculnya stigma negatif atas Jawa, sebagaimana negatifnya orde baru. Seakan-akan orde baru adalah sejarah kekuasaan Jawa atas suku lain dalam Indonesa modern (NKRI). Dalam konteks Papua, stigma tersebut memunculkan rasa benci terhadap semua orang yang “dari” Jawa. Seakan-akan pula, selama orde baru Papua dijajah oleh Jawa (Jakarta). Di Jawa sendiri, entahlah, apakah ada pihak yang menikmati atau diuntungkan dari situasi tersebut, nyatanya sebagian lain mengalami pula kekerasan orde baru (misalnya kasus Kedung Ombo yang cukup fenomenal). Namun kekerasan di Jawa lebih bersifat kasuistik, ketimbang di luar Jawa yang jauh lebih sistematik sebagai kekerasan budaya.

Kekerasan sistematik terhadap nilai budaya demikian membunuh keberadaan politik lokal dan sistem adat di hampir seluruh wilayah luar Jawa. Regulasi yang muncul samasekali tidak mengakomodasi keberadaan sistem adat. Begitu juga turunannya dalam soal-soal pengaturan tanah.

Dalam UUPA 1960 (Undang-undang Pokok Agraria), tanah adat diakui sebagai salah satu entitas hukum yang sah. Namun undang-undang ini tidak dilengkapi dengan turunan aturan yang mengakomodasi kepastian hak pengaturan tersebut kepada masyarakat adat. Bahkan berbagai regulasi yang muncul, terkesan tidak konsisten dan malah bisa melemahkan posisi masyarakat dan tanah adat. Inkonsistensi terjadi sampai pada penggunaan bahasa yang tidak tertib. Sebagai bahasa hukum, hal ini jelas mencerminkan ketidakseriusan.

Dalam Undang-undang Kehutanan no. 41 Tahun 1999, dipakai istilah “Tanah Adat” untuk menyebut tanah komunal-budaya masyarakat lokal. Sementara dalam beberapa regulasi lainnya, dipakai istilah “Tanah Ulayat” untuk menunjuk objek yang sama dengan undang-undang kehutanan di atas. Lebih jauh, beberapa hal menjadi sangat problematik menyangkut tertib bahasa hukum demikian. Misalnya, dalam Undang-undang Perkebunan no. 18 tahun 2004, pasal 9, ayat 2, berbunyi:

“Dalam hak tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya”.

Kalimat hukum di atas mengandung denotasi bahwa setiap pemohon HGU (Hak Guna Usaha) perkebunan di tanah-tanah ulayat, harus meminta izin terlebih dahulu kepada komunitas ulayat bersangkutan, untuk mendapatkan kesepakatan dan menentukan imbalan (kompensasi). Seakan-akan tidak ada masalah dalam denotasinya.

Namun kalimat ini mengasumsikan konotasi yang seakan-akan apriori. Yaitu, dalam kalimat terakhirnya, ”... untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya”. Kalimat tersebut mengandaikan konotasi bahwa tanah ulayat sudah apriori sebagai objek HGU, dan pemohon HGU bermusyawarah hanya untuk “memperoleh kesepakatan”, seakan-akan masyarakat adat tidak ada hak untuk menolak pemohon HGU. Seterusnya, kalimat “.. penyerahan tanah dan imbalannya”, justru menggiring konotasi yang melemahkan wibawa tanah ulayat. Aspek moral dan kesakralan tanah ulayat menjadi diskredit dengan bubuhan akhir yang stereotip “imbalan”. Disini bisa dibaca pelemahan suatu objek hukum tertentu sudah terjadi melalui susunan bahasa hukumnya sendiri.[20]

Saat ini perundang-undangan nasional Indonesia yang mengatur hak masyarakat adat atas tanah, antara lain, dalam bentuk ‘hak ulayat dan hak milik adat’ (UU No.5 th. 1960), ‘hutan adat’ (UU No.41/1999), dan ‘hak ulayat’ (Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5/1999). Semua undang-undang ini harus dicermati kembali secara mendalam.

Era reformasi kemudian menjadi harapan baru perbaikan hubungan negara dan adat. Dalam konteks Papua, otonomi khusus dengan prioritas akomodasi budaya dan adat, menjadi jawaban. Undang-undang no. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa yang telah membunuh keberadaan sistem politik dan adat lokal beserta worldview yang menghidupi digugat habis-habisan dan tak berlaku lagi.

Wacana kekerasan negara atas adat muncul ke permukaan dengan telanjang pada tahun 1999, dimana moral negara terlihat lebih hitam daripada arang sekalipun. Otonomi daerah menjadi kemestian. Dalam konteks Papua, Undang-undang Otonomi Khusus no. 21 tahun 2001 (UU Otsus) berhasil diterbitkan. Undang-undang ini mengusahakan akomodasi budaya tersebut, sehingga menjadi harapan banyak pihak untuk perbaikan dan penghentian kekerasan di Papua.[21]

Nyatanya sampai hari ini, reformasi politik dan birokrasi nasional beserta lahirnya UU-Otsus, belum membawa banyak perubahan di Papua. Sengketa antara negara dan adat masih lazim. Perbedaaan cara pandang dan orientasi sepertinya masih menjadi persoalan utama. Di sisi lain, ketika pembangunan tak juga bergerak maju, kepercayaan pada reformasi dan otonomi menjadi menurun. Dalam masyarakat Papua sendiri, berkemabang asumsi bahwa UU Otsus tidak serius dan bias pada upaya memecah belah orang Papua. Tidak serius karena tidak ada bukti kerja nyata pemerintah, dan menjadi bias ketika dana yang digelontorkan dalam rangka Otsus sangat besar namun tanpa bukti kerja nyata. Asumsinya, ketika tidak ada pengusutan atau audit dana yang jelas, maka uang tersebut memang dimaksudkan untuk “membayar” para pejabat lokal.[22]

Pengusutan berbagai kasus pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) selama orde baru di Papua juga semakin tidak jelas. Hal ini makin menguatkan asumsi atas ketiadaan niat baik negara bagi orang Papua.

Negara telah berkontribusi besar menghancurkan adat, sistem politik lokal beserta nilai yang melingkupinya. Jika kini ada niatan negara untuk mencoba mengakomodasi adat sebagai suatu bagian sistem kecil dan otonom dalam sistem besar tata negara ini, maka aspek sejarah arogansi negara atas adat harus dibongkar, dan dijadikan bahan atau sarana pembanding untuk kritik diri (self critic/otokritik) oleh negara sendiri. Karena asumsi atas ketidakseriusan negara mengakomodasi adat, sesungguhnya masih merupakan asumsi yang cukup kuat hingga hari ini dengan berbagai indikasi yang masih bertebaran dimana-mana.

B.       Asumsi Penelitian

Papua adalah wilayah dengan struktur perubahan yang tidak bertahap, dari budaya yang masih mengandung banyak unsur-unsur primitif langsung ke modern. Dilaporkan oleh banyak peneliti, bahwa sampai akhir tahun 1960-an, masih berlaku berbagai adat dan tradisi primitif di Papua.[23] Berbagai tradisi tersebut sudah berumur ribuan tahun, berlaku dan dihidupi. Keberagaman dan perbedaan identitas suku bangsa yang ada, menggambarkan kemandirian dalam cara pandang, nilai, norma, bahkan humor yang ada antar setiap suku. Dalam cara itu, struktur objektifitas juga beragam antar klan. Asumsinya, objektifasi kehidupan tidak berlaku menurut standar tertentu yang umum (pengetahuan sistematis), namun khas di setiap satuan sosial terkecil. Biasanya, proses membaca dan memaknai kehidupan dalam kondisi demikian, melewati pola intersubjektif.

Kemudian, perubahan peradaban Papua yang tiba-tiba dan begitu saja, mengasumsikan adanya suatu renik tertentu pada aspek pengalaman dan persepsi identitas. Misalnya, munculnya struktur ketegangan baru dalam pendasaran nilai dan cara pandang, antara tradisi dan modernitas. Sebagai hal pengalaman dan identitas, sifatnya menjadi subjektif, primordial, romantik. Dalam kata lain, bukan soal-soal semata pragmatik-rasional yang mengemuka, namun hal-hal menyangkut sublimasi, internalisasi, peng-aku-an, struktur baru kedekatan atas alam, hingga struktur teologi-kosmos.[24] Sudahkan orang Papua merasa modern? Merasa sebagai orang Indonesia? Bisa diasumsikan, bahwa nilai-nilai dan struktur makna tradisional masih mengakar kuat.

Berbagai perspektif di atas: pengalaman, subjektifitas dan identitas, menjadi pengandaian asumsi-asumsi penting dalam melihat dan membangun fokus penelitian ini. Selanjutnya, dibutuhkan suatu pendekatan dan metode analisis yang sesuai, yang dapat mengakomodasi berbagai asumsi fenomena tersebut.


C.       Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan (deskripsi) demi suatu pemahaman yang utuh (verstehen), untuk menjadi masukan dalam membangun relasi negara dan adat. Adapun  poin-poin penjelasannya, sebagai berikut:

1.       Untuk memahami kendala dan hambatan pelaksanaan kebijakan pengaturan tanah-tanah adat, oleh negara dan masyarakat.
2.      Untuk memahami dan memberikan penjelasan mengenai dinamika kemasyarakatan dan komunitas, hukum, norma, sistem, nilai, dan seterusnya, menyangkut tanah-tanah adat .
3.      Untuk membangun pemetaan persoalan dan sengketa yang menimpa tanah-tanah adat, aktor-aktor yang terlibat, modus keterlibatan, motif, serta model-model resolusi konflik yang telah berjalan.
4.      Untuk memberikan masukan bagi kebijakan yang menjembatani atau bahkan mampu mengintegrasikan sistem, tata nilai dan budaya yang melekat pada pengaturan tanah adat oleh masyarakat adat Papua dengan sistem pertanahan nasional


D.      Rumusan Masalah

Masalah utama yang disoroti dalam peneltitian ini mengenai relasi negara-adat, ketegangan dan kemungkinan titik temu, dalam pengaturan tanah. Rumusannya sebagai berikut:

1.       Bagaimana ketegangan dan kemungkinan titik temu antara negara-adat dalam sisi norma (formal): sistem hukum-sistem adat?
2.      Bagaimana fakta/peristiwa yang ada di lapangan?
3.      Apa dan bagaimana dasar dan struktur, cara pandang dan pemaknaan keduabelah pihak?

E.       Pendekatan dan Perspektif

Penelitian ini menggunakan perspektif fenomenologi Dalam penelitian ini, terdapat dua fokus utama: masyarakat adat dan negara. Dalam pendekatan pada konteks negara (regulasi dan kebijakan), dimungkinkan menyandingkan pendekatan fenomenologis dengan berbagai pendekatan tematik yang berhubungan langsung dengan regulasi dan kebijakan, yang biasanya bertipe deskriptif-evaluatif. Persisnya pendekatan yang akan dipakai dalam melihat regulasi dan kebijakan, belum ditentukan saat ini, dan disesuaikan dengan temuan-temuan lapangan terlebih dahulu agar pendekatan bisa menyentuh sisi-sisi riil. Sedang pilihan pendekatan terhadap masyarakat adat, sudah dijelaskan di awal, sesuai kategori persoalan yang muncul dalam paparan sebelumnya. Yaitu, pendekatan fenomenologi.

Sebagaimana asumsi sebelumnya, pokok-pokok persoalan yang ada kiranya tidak hanya soal-soal permukaan belaka, juga, latar siklus sejarah yang unik. Perspektif dan persoalan-persoalan fenomenologis sebagai dinamika: nilai, pengalaman, subjektifitas, makna, tindakan bertujuan, dan esensi, dinilai inheren berlaku pada bangun sejarah (identitas) Papua dalam NKRI. Fenomenologi berpretensi menguak isi (pengalaman dan makna) realitas, dengan pijakan tempat berangkat dari fenomena dunia sehari-hari.

Fenomenologi bermula dari filsafat, pelopor utamanya adalah Edmund Husserl (fenomenologi transendental). Fenomenologi Husserl berawal Dari konsep tentang Lebenswelt (dunia kehidupan), yaitu suatu wilayah dasar makna, dimana manusia terlibat di dalamnya sebagai hidup yang sehari-hari, dunia yang belum dikerangkai kategorisasi formal. Dunia seperti demikian pada dasarnya belum tersebutkan sebagai “dunia sosial”, “dunia budaya”, “dunia ekonomi”, “dunia politik”, dan berbagai term defenitif lainnya.

Husserl sangat tertarik dengan penemuan makna dan hakikat dari pengalaman. Fenomenologi mengasumsikan bahwa terdapat perbedaan antara fakta dan esensi dalam fakta, atau dengan kata lain perbedaan antara yang riil dan yang tidak. Fenomena tidak berkonvergensi dalam satu bentuk saja, sebagai ‘Kebenaran’, tetapi berdiverensi dalam berbagai bentuk, sebagai “keberagaman kebenaran”. Keberagaman kebenaran muncul dari keberaman konteks beserta pola. Pola konteks inilah yang perlu ditelaaah untuk mendapatkan suatu verstehen.

Turunan fenomenologis dalam definisi sosial akhirnya bergerak pada kajian mikro. Dalam penelitian sosial ini perlu dikutip rintisan fenomenologi Alfred Scutzh, yaitu “fenomenologi sosial”.

Dalam fenomenologi sosial, pola terbentuk dari interaksi pengalaman antar subjek, atau proses makna individual secara intersubjektif. Andaiannya, manusia saling terikat satu sama lain ketika membuat interpretasi kehidupan. Tugas peneliti sosial-lah untuk menjelaskan secara ilmiah proses demikian. Makna intersubjektif ini berawal dari konsep “sosial” dan konsep “tindakan”. Konsep “sosial” didefinisikan sebagai hubungan antara dua orang atau lebih. Sedang konsep “tindakan” didefinisikan sebagai perilaku yang membentuk makna yang pada awalnya subjektif. Seterusnya, adanya konteks kehidupan membuat subjektifitas butuh dimaknai secara sama dan bersama antar individu dalam kehidupan. Oleh karenanya, sebuah makna subjektif dikatakan intersubjektif karena memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan (common and shared).
Schutz menguraikan, bahwa dunia sosial terbentuk melalui proses resiprokal (timbalbalik), sedikitnya antara 2 orang individu, yang keduanya bertindak berdasarkan motif-motif tertentu. Ada 2 motif dalam hal ini, yaitu, motif “supaya” dan motif “karena”. Motif “supaya” adalah proyeksi untuk bertindak. Dalam tindakannya, ia berharap motif “supaya” ini berimplikasi pada motif “karena” pada orang lain, dalam kata lain, orang lain membalas tindakannya.
Ada beberapa tipe hubungan resiprokal seperti di atas. Tipe di atas adalah tipe hubungan langsung, atau tatap muka (face to face relationship) yang membentuk relasi kekitaan (we-relationship). “Kita” sama-sama hidup dalam ruang-waktu yang sama, memiliki kesempatan bertemu yang sama secara intensif, hingga membentuk dialektika motif dari hari ke hari.
Tipe hubungan lainnya adalah hubungan tidak langsung (they-relationship). Para subjek, walaupun berada dalam ruang dan waktu yang sama, namun tidak memiliki kesempatan bertemu secara langsung, atau tidak mengalami dinamika motif subjek lain secara langsung. Situasi menjadi anonim. Maka subjek berusaha saling mengenal melalui pengecapan atau tipifikasi (pen-tipe-an) yang diwariskan secara sosial. Tipifikasi adalah sekumpulan pengetahuan yang “memotret” suatu peran dan tindakan sosial, untuk menjadi skema acuan bagi subjek bersangkutan.
Dalam hubungan langsung tipifikasi pada dasarnya tetap berlaku. Namun subjek secara cepat dan langsung dapat merevisi, mengurangi, atau menambah muatan hubungan, sehingga peran tipifikasi tidak dominan. Tipifikasi lebih bersifat cair dalam hubungan langsung ini. Dalam hubungan tidak langsung, tipifikasi semakin vital sebagai satu-satunya acuan tindakan subjek, karena kesempatan untuk berjumpa atau merevisi secara langsung tidak begitu banyak.
Kategori sebagai “supaya”, “karena”, “subjek”, “hubungan antar subjek” dan “tipifikasi” menjadi pra-andaian dasar dalam melihat fenomena sosial.
Fenomenologi akar dari perpsektif kualitatif-interpretif, yang terus berkembang ke dalam berbagai perspektif penelitian kualitatif: eksistentialism, hermeneutika, teori kritis, etnografi, etnometodologi, interaksi simbolik, semiotika, grounded theory, pengamatan partisipatif, post-strukturalis, dan dekonstruksi. Keberagaman perspektif kualitatif demikian diturunkan menjadi metode penelitian “naturalistik-kualitatif”. Metode ini telah mengandaikan perspektif kualitatif-interpretif di dalamnya. Dijelaskan berikut.


F.        Batasan Konsep dan Istilah

Batasan konsep dan istilah tidak terlalu ditegaskan dari awal, dibiarkan dinamis sesuai jalannya penelitian. Terdapat dua konsep asas, “masyarakat adat” dan “negara” dengan fokus pada “pengaturan tanah”. Dari dua dasar ini, yang fokus pada “pengaturan tanah”, mengandaikan berbagai konsep kategoris turunan, seperti: “hukum agraria”, “instansi agraria”, “hukum adat”, “tanah adat”, dan sebagainya.

Dalam arti yang umum, “Masyarakat adat” adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri.[25] Sedang “Negara” adalah suatu organisasi sosial besar dengan suatu wilayah territori tertentu dan warga masyarakat tertentu, yang dijalankan melalui pemerintahan birokrasi berdasarkan hukum.


G.       Metode Penelitian

Penelitian ini menerapkan metode naturalistik-kualitatif. Naturalistik berarti, unit penelitian didekati secara natural, alamiah atau biasa. Tidak ada kemestian atau protokoler tertentu, hal demikian agar unit penelitian terjaga dalam kealamiahan sehari-hari. Sedang kualitatif berarti jenis penelitian yang tidak menempuh prosedur statistik atau penalaran matematis lainnya. Unit penelitian kualitatif adalah hal-hal berkait pemaknaan dalam subjek tineliti, yang fluktuasi motif dan modusnya tidak mungkin dikuantifikasi ke dalam angka-angka.[26]

Antara peneliti dan responden” (selanjutnya disebut “subjek tineliti”), berada dalam kedudukan sejajar, tidak ada yang lebih. Peneliti perlu juga mewaspadai pra-andaian, pra-konsepsi, atau praduga, yang ada dalam dirinya. Tidak ada seorangpun yang tidak membawa praduga. Praduga bisajadi mengantisipasi temuan, yang beresiko memiskinkan atau mendistorsi fenomena. Berbagai praduga tersebut adakalanya diperlukan, namun harus diwaspadai.

Dalam penelitian kualitatif, tidak ada ketetapan atas suatu metode dan perspektif tertentu saja. Metodologi penelitian yang dipakai bisa multi-metodologi. Naturalistik-kualitatif menjadi contoh utama multi-perspektif. Untuk satu fokus yang sama, dapat diurai menggunakan beberapa perspektif sekaligus: semiotika, etnometodologi, fenomenologi, hermeneutika, feminisme, dekonstruksionisme, etnografi, psikoanalisis, dan studi budaya. Tidak ada pendekatan dan metode atau praktik tertentu yang dianggap unggul, dan tidak ada pula yang serta-merta dapat disingkirkan. Berikut detail metode:

1.      Instrumen Penelitian

Dalam metode ini, peneliti berperan sebagai instrumen utama penelitian. Hanya peneliti sebagai manusia yang dapat menangkap makna dalam interaksi dan tindakan manusia: mimik wajah, intonasi suara, menyelami perasaan, memahami situasi/konteks. Pemakaian instrumen lain dimungkinkan hanya dalam prinsip membantu, bukan instrumen utama.[27]

2.      Setting Penelitian

Lokasi penelitian berada di perkampungan masyarakat adat Ondoafi, Sentani[28], Kabupaten Jayapura, Papua. Sebagaimana umumnya sejarah lokal di Papua, tidak didapat keterangan yang kuat mengenai asal-usul masyarakat Sentani. Orang Sentani menyebut danau Sentani dengan istilah khas Phuyakha, yang jika diindonesiakan menjadi kalimat air yang terletak di tempat terang.

Sistem kepemimpinan orang Sentani adalah ondoafi. Satu ondoafi membawahi beberapa kampung, dan kampung membawahi beberapa klan, dalam klan terdapat beberapa keluarga. Dalam setiap institusi tersebut, terdapat seorang pemimpin. Saat ini terdapat 4 ondoafi di seluruh wilayah Sentani.

Dalam sistem ini kewenangan puncak dalam pengaturan tanah adat berada pada kepala suku/ondoafi setingkat konfederasi. Dewan adat, atau disebut bobot, ikut memberi berbagai dasar pertimbangan dalam pembagian peruntukan tanah. Dalam prosedurnya, pembagian tanah dilakukan secara berjenjang. Ondoafi membagi peruntukan tanah untuk kampung, pemimpin kampung membagi peruntukan tanah untuk klan, dan pemimpin klan membagi peruntukan tanah untuk keluarga dan individu. Walau individu menjadi perhatian, biasanya sangat jarang peruntukannya. Pemimpin ondoafi, menjadi pihak yang paling menentukan, ia bisa saja langsung turun tangan membagi peruntukan tanah di tingkat keluarga. Selain itu, laki-laki adalah pertimbangan utama sebagai subjek tanah. Namun tata wibawa subjek tanah tersebut bukan dalam susunan dari ayah atas anak laki-laki, namun dari paman kepada ponakan laki-laki.

3.     Unit Analisis

Unit analisis adalah fokus analisa, tematik analisis dan subjek tineliti terkait. Sesuai rumusan masalah, terdapat tiga tematik beserta subjeknya. Pertama, relasi adat-negara dalam sistem/hukum, dengan subjek tineliti pemangku adat (PA), masyarakat adat (MA), pemangku negara (PN). Kedua, relasi adat-negara dalam peristiwa sehari-hari yang terkait, dengan subjek tineliti yang sama di atas. Ketiga, relasi adat-negara, dalam cara pandang, dengan subjek tineliti sama di atas. Semua unit analisis ini selalu dibarengi dengan studi literatur (SL) terkait. 

Jumlah subjek tineliti tidak terlalu banyak, karena yang dicari bukan representasi keterwakilan, namun representasi kedalaman holistik. Dalam studi fenomenologis, yang disasar adalah pengalaman dan makna subjektif-intersubjektif. Seterusnya, kategori subjek tineliti bisa saja berkembang. Dalam berbagai penelitian fenomenologis, jumlah subjek tineliti biasanya antara 3 sampai 10 orang. Dalam penelitian yang berdurasi panjang, jumlah subjek tineliti bisa sampai 325 orang (Dukes:1984).

4.     Penggalian Data

Dengan acuan penelitian seperti di atas, maka dapatlah ditentukan jenis kebutuhan sumber dan target data. Adapun pengumpulan data ditempuh dengan beberapa cara, yaitu, melalui studi literatur, observasi lapangan, pengamatan partisipatif, dan wawancara mendalam.

Studi literatur dilakukan untuk mendapatkan data dari berbagai diskursus dan penelitian lainnya, yang berbentuk publikasi buku ataupun laporan lembaga resmi yang belum dipublikasikan. Termasuk ke dalam literatur adalah berbagai dokumen resmi negara yang berkait dengan objek penelitian. Studi literatur dilakukan terus-menerus selama penelitian ini berlangsung. Dengan bekal data awal dari studi literatur, dilakukan observasi lapangan, yaitu, suatu pengamatan atas objek-objek material terkait, misalnya, lokasi dan bentang tanah-tanah adat, bentang alam, bentang sosial dan kondisi infrastruktur. Pengamatan partisipatif kemudian menjadi prioritas, karena pengamatan ini lebih dapat menguak data. Pengamatan partisipatif adalah pengamatan melalui keterlibatan, misalnya, peneliti terlibat mencangkul di sawah bersama subjek tineliti, terlibat panen, terlibat gotong-royong desa, dan sebagainya.[29]

Wawancara memungkinkan munculnya data verbal dan non-verbal. Data verbal adalah apa yang diucapkan oleh subjek tineliti, dan non-verbal adalah bahasa tubuh seketika berbicara. Adakalanya, bahasa tubuh tidak mendukung ucapan yang dilontarkan. Dalam kondisi ini, peneliti bisa berstrategi untuk mencari tahu lebih jauh mengapa demikian. Disini dibutuhkan kepekaan atas konteks budaya setempat.

Pendekatan wawancara pada mulanya tidak berstruktur, karena belum didapat acuan tertentu mengenai ruang pengalaman subjek tineliti. Selanjutnya, wawancara dapat distrukturkan sesuai kategori ruang pengalaman yang muncul.

5.     Acuan Pertanyaan Penelitian

Dari rumusan masalah yang ditaksir untuk membangun pemahaman, diturunkan beberapa acuan pertanyaan penelitian. Acuan pertanyaan tersebut:



Rumusan Masalan

Unit Analisis


Acuan Pertanyaan

1
Bagaimana ketegangan dan kemungkinan titik temu antara negara-adat dalam sisi norma (formal): system hukum-sistem adat?
Relasi Hukum Negara & Adat  (Teks & Fakta)
1
Apa dan bagaimana, aturan negara (regulasi) pengaturan tanah?
2
Apa dan bagaimana, aturan adat ondoafi dalam pengaturan tanah?
3
Bagaimana relasi, koneksi/diskoneksi-nya?
4
Bagaimana kemungkinan ketegangan/titik temunya?
5
Apa dan bagaimana, fakta-fakta terkait relasi formal ini?
2
Bagaimana fakta/peristiwa yang ada?
Relasi Tindakan
6
Bagaimana fakta/peristiwa relasi negara dan adat ondoafi dalam pengaturan tanah?
7
Kronologi? Sejarah? Momentum?
8

Bagaimana persepsi/pengalaman dan pemaknaan
keduabelah pihak terhadap peristiwa tersebut?
9
Adakah suatu titik temu yang bisa dibangun dari peristiwa/pengalaman?
10
Apa implikasinya?
3
Apa dan bagaimana dasar dan struktur, cara pandang dan pemaknaan keduabelah pihak?
Relasi Nilai
11
Apa dasar nilai keduabelah pihak?
12
Bagaimana cara pandang keduabelah pihak?
13
Bagaimana terbentuknya dasar dan struktur tersebut?
14
Apakah ada suatu kemungkinan titik temu dalam cara pandang?

6.     Interpretasi Fenomenologis

Pada dasarnya, langkah-langkah interpretasi tidak dapat ditentukan secara ketat. Setiap peneliti sebagai instrumen, memiliki gaya dan penekanan masing-masing yang berbeda. Hanya saja secara umum, langkah-langkah tersebut yang merupakan prosedur pikiran, bisa dikerangkakan sebagai prosedur berikut:[30]

§  Peneliti memulai dengan gambaran menyeluruh tentang fenomena.
§  Peneliti menemukan pernyataan tentang pengalaman individu dan setiap pengalaman memiliki derajat yang sama, dan akan berkembang apabila daftar pernyataan tidak tumpang tindih.
§  Pernyataan tersebut kemudian di kumpulkan ke dalam unit makna lalu ditulis gambaran tentang bagaimana pengalaman tersebut terjadi.
§  Selanjutnya peneliti merefleksikan gambaran dengan menggunakan variasi imajinasi atau gambaran struktural, semua kemungkinan makna yang nampak dari beragam perspektif. Muncul variasi referensi (diskursus) tentang fenomena, konstruksi dan gambaran mengenai bagaimana fenomena pengalaman.
§  Peneliti kemudian membangun gambaran utuh, keseluruhan makna dan esensi pengalaman.
§  Peneliti kemudian membuat laporan pengalaman setiap partisipan.
§  Setelah itu, gabungan dari gambaran tersebut ditulis (narasi gabungan).
§  Seni dan imajinasi menulis laporan.

Dalam beberapa kategori (teks) yang memiliki konteks diskursus (tekstual), akan diurai secara integratif, dinamika diskursus dan dinamika lapangan (dan konteks penelitian). Adakalanya interpretasi baru berhasil dikonstruksi dalam waktu yang lama, berkat kekurangan imajinasi/perspektif pembanding.

7.      Tahapan Penelitian


Tahapan
April
Mei
Juni
Juli
Agust
Prosedur


Studi Literatur




















 Konsep, Kategori, Fokus, Perspektif

Asumsi  Pendekatan




















Rumusan Masalah, Acuan Pertanyaan, Unit Analisis

Studi Lapang




















Fenomena:  Data Peristiwa-Pengalaman

Pencatatan Data




















Catatan Lapang, Visual, Dokumen, Rekam:

Member Check




















Verifikasi Subjek Tineliti

Koherensi




















Verifikasi: Teks, Konteks, Subjek-Intersubjek

Analisis




















Analisa Hukum, Pola Peristiwa, Pengalaman

Interpretasi




















Esensi

Penulisan 1




















Deskripsi per-Item

Member Check




















SL, PN, PA, MA, Kalangan Diskursus

Penulisan 2




















Narasi Struktur Fenomena

Member Check




















SL, PN, PA, MA, Kalangan Diskursus

Penulisan 3




















Esensi Fenomena

Laporan




















Publish

8.     Member Check

Dalam perspektif fenomenologi, akurasi dan kelayakan data beserta interpretasi harus melewati verifikasi tiap-tiap subjek (member check). Untuk itu, dilakukan verifikasi dan triangulasi kepada semua subjek, serta kalangan diskursus atau para ahli, melalui diskusi dan perbandingan karya tulis. Verifikasi bertujuan untuk menjamin bahwa inquiri data dan analisa sudah sama-sama dipahami.

Reliabilitas penelitian terbentuk melalui konstruksi interpretasi. Reliabilitas dalam fenomenologi tidak mesti berkorespondensi langsung pada realitas, sehingga akan selalu sama bagi setiap penguji. Yang diutamakan adalah konstruksi konseptual yang dalam dan lengkap, atas realitas sehari-hari, melalui rangkaian defenitif, kategoris, hingga proposisi yang saling menguatkan dan konsisten.


9.     Penulisan

Penulisan laporan disasar pada tiga hal, yaitu, uraian deskripsi-evaluasi sistem dan hukum, deskripsi dan narasi struktur peristiwa, dan interpretasi fenomena esensial. Setidaknya, penelitian ini dengan segala keterbatasan waktu, keterbatasan menggali data dan interpretasi, setidaknya diproyeksikan sampai narasi struktur peristiwa (minimal).


H.      Kontribusi Penelitian

Harapan kontribusi penelitian ini mengacu pada program strategis Badan Pertanahan Nasional, sebagaimana kolom berikut:

















I.         Waktu dan Lokasi Penelitian Lapang

Jadwal penelitian lapang pada 7–30 Juni. Lokasi penelitian di kampung masyarakat adat ondoafi, Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua.


J.        Alokasi Kerja Penggalian Data

Demi efektifitas penggalian data, perlu ada pembagian kerja. Tim penelitian ini berjumlah 4 orang. Alokasi pembagian kerja: dua orang menyoroti segenap aspek data pada fokus negara, subjek tineliti pemangku negara (PN). Dua orang lainnya, menyoroti segenap aspek masyarakat adat, dengan subjek tineliti pemangku adat (PA) dan masyarakat adat (MA).

Adapun kemungkinan sumber-sumber data yang terus berkembang kemudian, dilakukan pembagian kerja secara fleksibel di lapangan.


K.       Matrix Penelitian
Terlampir

M. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1.  Kondisi Geografis Provinsi Papua
Berdasarkan Papua Dalam Angka Tahun 2009,[31] Provinsi Papua terletak antara 2º 25´ Lintang Utara - 9º Lintang Selatan dan 130º-141º Bujur Timur. Di sebelah utra Provinsi Papua terbentang Samudra Pasifik, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan laut Arafuru, sementara di sebelah barat berbatasan dengan Laut Seram, Laut Banda, Provinsi Maluku, dan sebelah timur berbatasan dengan Papua New Guinea.
Provinsi Papua ini merupakan pecahan dari Provinsi Irian Jaya yang dahulu luas Provinsi Irian Jaya ± 410.600 Km² atau merupakan 21,99 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Bahkan dengan telah dipecahknya Provinsi tersebut, sampai sekarang Provinsi Papua masih merupakan provinsi dengan wilayah terluas se-Indonesia, yaitu 317.062 Km². Ibukota provinsi adalah Jayapura. Kabupaten Merauke merupakan Kabupaten terluas wilayahnya di Provinsi Papua, yaitu 43.979 Km². atau sekitar 13,87% dari total luas Provinsi Papua. Sedangkan Kabupaten Supiori merupakan Kabupaten dengan luas terkecil, yaitu 775 Km² atau 0,24% dari luas Provinsi Papua.
Provinsi Papua dalam perkembangan pemerintahannya saat ini terdiri atas 19 Kabupaten, yaitu Kabupaten Merauke, Jayawijaya, Jayapura, Paniai, Puncak Jaya, Nabire, Mimika, Yapen Waropen, Biak Numfor, Boven Digul, Mappi, Asmat, Yahukimo, Pegunungnan Bintang, Tolikara, Sarmi, Keerom, Waropen, Supiori,   dan 1 Kota yaitu Kota Jayapura sebagai ibukota Provinsi.
                        Ketinggian wilayah di Provinsi Papua sangat bervariasi. Diukur dari permukaan laut, ketinggian wilayah Papua berkisar antara 0-3000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kabupaten Puncak Jaya dengan ibukota Mulia merupakan daerah tertinggi dengan ketinggian 2.980 mdpl, sedangkan Kota Jayapura merupakan daerah dengan ketinggian terendah, yaitu 4 mdpl.

2.      Sejarah Provinsi Papua
Secara historis, kata “Papua” pertama sekali digunakan oleh Antonio d’Abreau–pimpinan Armada Laut Portugis dari Malaka ke Maluku pada tahun 1511-1512 yang menyebut dengan os papuas atau juga ilha de papo la. Sebutan tersebut diambil dari bahasa Melayu Kuno “papuwah” yang berarti “orang hitam berambut keriting”. Pada tahun 1522 Fransisco Serrao (Portugis) mengunjungi Maluku dan menyebut nama yang sama yang disebut de’Abreau. Demikian juga don Jorge de Meneses dari Portugis melewati rute yang sama dan menamakannya Papua. Sesudah Portugis datang ke Maluku, beberapa tahun kemudian orang Spanyol menjejakkan kakinya di Maluku. Nama Nueva Guinea (Portugis), Niew Guinea (Belanda) dan New Guinea (Inggris), berasal dari bahasa Spanyol Nova Guinee yang diberikan oleh pimpinan Armada Laut Spanyol, Ynigo Ortis de Retes, yang mendapat perintah dari Gubernur Spanyol di Tidore untuk melakukan perjalanan ke Meksiko di Panama antara tahun 1526-1527. Pada saat itu ia singgah sebentar di Pantai Utara Irian dan memberi nama pulau itu Nova Guinee. Nama itu diberikan karena melihat penduduk asli Papua mirip dengan penduduk yang ada di Guinea yang terletak di Pantai Barat Afrika.[32]
Nama Papua kemudian berganti menjadi Irian. Nama itu diambil dari bahasa Biak Numfor “iriyan”  yaitu “rumput kecil yang tumbuh di batu cadas”. Dalam rangka perjuangan mengintegrasikan daerah ini dengan Republik Indonesia, maka nama Irian dipakai sebagai akronim politik yang berarti “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland.”[33]
Sejarah Papua dimulai sejak  tibanya dua orang Penginjil dari Negara Jerman, yaitu Sdr. Carel Williem Ottow dan Johan Gottlob Geisler memulai menginjakan tanah bumi Papua (Nieuw Guinea). Setelah mendapat ijin dari Sultan Tidore dan ditemani para pelaut Muslim dari Ternate dan Tidore,  dua orang Penginjil tersebut mendarat di Teluk Doreri pada tanggal 5 Pebruari 1855. Tepatnya pada hari Minggu pagi, jam enam, sauh segera diturunkan di terjalnya hutan hutan tropis, keganasan nyamuk malaria, dan kerasingan pedalaman. Bersama pedangang Muslim, para evengelis berhasil menjadikan bahasa melayu sebagai lingua franca, yang biasa  menerobos kemacetan komunikasi antarsuku.
                 
3.      Perkembangan Struktur Pemerintahan
Provinsi Papua, yang dahulu merupakan bagian dari Provinsi Irian Jaya pada masa Pemerintahan Hindia Belanda bernama Nederland Nieuw Guinea. Pada tanggal 27 Desember 1949 oleh Ratu Belanda memberlakukan Besluit Bewindsregeling Nieuw Guinea (BBNG). BBNG tersebut substansinya mengatur tentang  Ketatanegaraan baru bagi wilayah dan hak-hak penduduk, dinas-dinas pemerintrah umum, pengangkatan, pemberhentian dewan para kepala jawatan dan bidang kerjanya, dewan penasehat untuk kepentingan pribumi, susunan, kekuasaan dan sidang Dewan Perwakilan Nieuw Guinea, anggaran keuangan, pembagian wilayah, pendidikan, kesehatan dan urusan social, kemakmuran rakyat, perniagaan dan pelayaran. Sedangkan untuk melaksanakan Besluit Bewindsregeling Nieuw Guinea (BBNG) tersebut, Gubernur  menebitkan keputusan tertanggal 14 Juni 1950 Nomor 53 yang mencabut Keputusan Pemerintah Hindia Belanda tertanggal 14 Januari 1949 dan tanggal 13 Juli 1945 tentang Status wilayah Nieuw Guinea sebagai wilayah neolandschap. Dengan demikian, maka terhitung sejak tanggal 1 Juni 1950, Nieuw Guinea menjadi Zelbesturend Landschap (Gouvernementsblad 1950 No. 12).[34]
 Berdasarkan Struktur Pemerintahan pada Jaman Hindia Belanda, maka dapat dijelaskan dengan Gambar sebagai berikut:

Ratu Belanda / Koningin


Ratu Belanda
 



Onder Afdeeling: (23)
Afdeeling: Hollandia, Geelvinkbaai, West Nieuw Guinea, Fak-Fak, Zuid Niauw Guinea, Central Bergland
Kampoeng
District: (73)
Nieuw Guinea  Raad: Anggota 21 Orang, tgl. 5-4-1961 menjadi 28 Orang.
Gouverneur
Gouverneur Secretarie
 





























Gambar 1: Struktur Pemerintahan Pada Masa Nederland Nieuw Guinea (NNG)
                                                                                                                                                      Selanjutnya berdasarkan Perjanjian New York tanggal 15 Agustus 1962, yaitu persetujuan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda mengenai Irian Barat, maka dibentuklah Badan Pelaksana Sementara PBB yang diberi nama United Nations Temporary Authority (UNTEA)[35]. Badan ini berada di bawah kekuasaan Sekretaris Jenderal PBB, dan dipimpin oleh seorang Administrator PBB yang diangkat oleh Sekretaris Jenderal PBB dengan persetujuan dari Pemerintah Indonesia dan Belanda. Administrator ini bertugas  menjalankan pemerintahan di Irian Barat untuk jangka waktu satu tahun sesuai petunjuk Sekretaris Jenderal PBB. Administrator dibantu oleh sebuah Goverrnment Secretariat dan memiliki 6 Division yang dikepalai oleh Divisional Commissioner (Resident). Division dibagi ke dalam Sub-division dan District. Ke-6 Division tersebut adalah: Hollandia (Jayapura), Biak, Manokwari, Fak-Fak, Merauke dan Central Highland (Pegunungan Jayawijaya).
                  Setelah Irian Barat masuk menjadi bagian dari Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah menerbitkan Penetapan Presiden (Pen. Pres.) Nomor 1 Tahun 1963 yang ditindaklanjuti dengan Instruksi Presiden RI Nomor 02/Instr/1963 (RHS) dengan susunan:
a.       Pimpinan pemerintahan dipegang oleh Gubernur;
b.      Wakil Gubernur membantu Gubernur dalam semua tugas pemerintahan dan mewakilinya apabila Gubernur berhalangan;
c.       Dewan Perwakilan Rakyat Daerah[36]
d.      Badan Pemerintah Harian
e.       Gubernur mempunyai Sekretariat yang dikepalai oleh Sekretaris Propinsi;
f.       Dalam menjalankan tugasnya Gubernur dan Wakil Gubernur dibantu oleh Kepala-Kepala Dinas.
g.      Dewan Pembantu dan Penasehat
h.      Provinsi Irian Barat dibagi ke dalam 6 Karesidenan, 23 Kepala Pemerintahan Setempat (KPS) dan 79 Distrik.
Pada tahun 1969 Pemerintah menerbitkan UU Nomor 12 Tahun 1969 dibentuklah Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Irian Barat. Dalam perkembangan berikutnya berdasarkan UU Nomor 5 Tahun1979 tentang Pemerintahan Desa dan PMDN Nomor 4 Tahun 1973  serta Keputusan Gubernur No. 22/GIJ/1974 tertanggal 2 Pebruari 1974 tentang Pembentukan Desa, maka pada tahun 1975 dibentuklah 428 Desa, dan pada tahun 1976 sebanyak 225 Desa yang merupakan penggabungan dari beberapa Kampoeng.[37]         
Kemudian dalam perkembangan berikutnya sebagai ekses dari Era Reformasi dengan dikeluarkanya UU Nomor  22 Tahun 1999 tentang Pemerintaham Daerah, dan tumbuhnya semangat rekonsiliasi diterbitkan UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang tawaran otonomi daerah termasuk  pengaturan pemekaran Irian Jaya ke dalam beberapa provinsi dan kabupaten. Untuk melaksanaka UU Nomor 45 Tahun 1999, Pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan UU Nomor 45 Tahun 1999. UU Nomor 45 Tahun 1999 akhirnya digantikan dengan UU nomor 5 Tahun 2000 tentang perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua. Pada akhirnya berdasarkan UU Nomor  21 Tahun  2001 Provinsi Papua diberikan Otonomi Khusus. Untuk melaksanakan UU tersebut, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 12004 tentang Majelis Rakyat Papua (MRP). MRP ini merupakan representative kultural orang asli papua yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.
Undang Undang  Nomor 21 Tahun 2001  ini kemudian dilakukan perubahan dengan UU Nomor 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57, TLN No. 4842). Penerbitan UU Nomor 1 Tahun 2008 didasarkan pada pertimbangan bahwa  keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat  yang telah berubah menjadi Provinsi Papua Barat telah menjalankan urusan pemerintahan dan pembangunan serta memberikan pelayanan kepada masyarakat sejak tahun 2003, namun belum diberlakukan otonomi Khusus berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2001 yang kemudian dirubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2008, maka Struktur Pemerintahan di Provinsi Papua dapat digambarkan sebagai berikut:












DPR Provinsi Papua
Gubernur
Sekretaris Daerah (Setda)

Kampoeng/Kalurahan
Kabupaten/Kota
District
Dinas/Badan/Kantor Provinsi
MRP
 



























Gambar 2: Struktur Pemerintahan Provinsi Papua Berdasarkan UU Nomor 21  
                   Tahun 2001 Jo. UU Nomor 1 Tahun 2008.

Kemudian jika dicermati dari pola perkampungan di Papua dapat dikelompokkan menurut daerahnya, yaitu:[38]
a.         Daerah pesisir: sebagian besar di atas laut atau di tepi pantai. Rumah mereka dibangun di atas sejumlah tiang-tiang yang dipancangkan ke dalam dasar laut. Tiang-tiang tersebut bertujuan untuk menahan empasan gelombang ombak yang mengamuk sepanjang waktu. Bentuk rumah mereka berjajar di tepi pantai atau di atas laut. Dengan demikian,  pola perkampungan penduduk daerah pesisir dapat dikatakan memanjang (mengelompok panjang). Untuk menghubungkan rumah dengan fasilitas umum seperti balai desa, rumah kepala suku, tempat ibadah, dibuatkan jembatan. Bentuk panggung adat yang dianggap keramat, hanya terdapat di depan rumah para kepala suku.
b.        Daerah pedalaman (pegunungan): pola perkampungan pedalaman mengelompok jarang dan melingkar (kalau tidak dapat disebut memencar). Perumahan di daerah ini umumnya terbuat dari kayu dan alang-alang. Sedang mengenai bentuknya di samping ada yang panjang, juga terdapat yang bulat. Bentuk yang terakhir oleh masyarakat yang bersangkutan disebut honai, sedang yang berbentuk bujur sangkar atau empat persegi panjang disebut siliwo. Rumah ini dapat menampung 5.000 sampai 10.000 jiwa.
Selanjutnya, apabila wilayah Provinsi Papua, dilihat dari sisi penggunaan tanahnya, dapat disajikan dalam Tabel sebagai berikut:

 Tabel 1 : Penggunaan Tanah di Wilayah Provinsi Papua Berdasarkan
                Kabupaten/Kota Kondisi Tahun 2009

Kab/Kota
Jenis Penggunaan
P
S
T
Kbn
Kbn.C
H
S/AA
TR
Dll
Merauke
125.560
41.697
311.024
25.996
958.296
56.927
4.465
10.236
2.863.699
Jayawijaya
21.145
678
628.151
2.408
263.969
4.266
2.284
-
346.099
Kab. Jayapura
36.907
2.603
5.833
68.996
47.907
34.230
1.950
-
1.332.494
Paniai
40.128
4.914
-
-
-
-
-
-
1.376.458
Puncak Jaya
21.851
-
-
-
-
-
-
-
1.063.349
Nabire
148.533
19.659
253.016
991
5.922
17.811
3.610
-
1.181.658
Mimika
4.578
1.331
85.779
3.663
8.025
9.651
5.561
-
1.885.412
Yapen Waropen
27.158
1.916
3.592
4.929
3.357
17.520
11.831
-
242.797
Biak Nuimfor
1.642
77
28.268
778
2.489
1.481
827
-
200.488
Boven Digul
23.517
-
-
-
-
-
-
-
2.823.583
Mappi
19.300
-
-
-
-
-
-
-
2.743.900
Asmat
6.025
-
-
-
-
-
-
-
1.891.575
Yahukimo
516
-
-
-
-
-
-
-
1.576.584
Peg. Bintang
2.813
-
-
-
-
-
-
-
1.687.987
Tolikara
4.406
-
-
-
-
-
-
-
877.194
Sarmi
6.178
2.282
-
103.800
-
-
-
-
2477.940
Keerom
13.646
12.775
-
71.540
-
-
-
-
838.539
Waropen
114
-
-
-
-
-
-
-
2.463.686
Supiori
568
-
-
-
-
-
-
-
76.932
Kota Jayapura
4.402
658
6.593
147
2.484
67.947
-
-
70.047
Sumber: Provinsi Papua Dalam Angka, BPS Provinsi Papua, Tahun 2009:  13-14.
Ket.: P=Pekarangan; S= Sawah, T=Tegalan. Kbn=Kebun, Kbn C=Kebun Campur; H=Hutan,
         S/AA=Semak/Alang-Alang; dan TR=Tanah Rusak, Dll= dan lain-lain.

Dengan memperhatikan tabel di atas, maka dapat diuraikan bahwa penggunaan tanah di wilayah Provinsi Papua, dari seluas ± 317.062 Km². sebagian besar berupa Tegalan seluas 1.322.256 Ha., disusul penggunaan untuk Pekarangan seluas 508.987 Ha.,  Perkebunan seluas 283.158 Ha., dan Persawahan (Sawah) seluas 88.590 Ha. Serta Hutan seluas 29.833 Ha.

Apabila dilihat dari jenis kepemilikan tanah dan sertipikat sebagai tanda buktinya di Provinsi Papua, dari 10 Kabupaten/Kota, dapat disajikan dalam tabel  2 dan 3 sebagai berikut:

Tabel 2: Jenis Kepemilikan Hak Atas Tanahdi Provinsi Papua Tahun 2007

Kabupaten/Kota
Hak Milik
Hak Guna Bangunan
Hak Pakai
Merauke
1.419
65
26
Jayawijaya
655
185
430
Kab. Jayapura
1.221
23
9
Paniai
508
-
2
Puncak Jaya
400
-
30
Nabire
1.366
4
4
Mimika
357
83
1
Yapen Waropen
896
13
150
Biak Nuimfor
565
391
315
Kota Jayapura
252
10
21
Sumber: Provinsi Papua Dalam Angka Tahun2009 BPN Provinsi Papua,
               Jayapura: 16.

Tabel 3: Jumlah Penerbitan Sertipikat Hak Atas Tanah Di Provinsi Papua
              Dari Tahun 2005 s/d 2007.

Kabupaten/Kota
2005
2006
2007
Merauke
711
984
1.510
Jayawijaya
105
471
1.270
Kab. Jayapura
535
436
1.253
Paniai
3.884
260
510
Puncak Jaya
-
-
430
Nabire
1.140
1.152
1.374
Mimika
102
317
441
Yapen Waropen
127
471
859
Biak Nuimfor
911
871
858
Kota Jayapura
1.552
1.073
183
Sumber: Provinsi Papua Dalam Angka Tahun 2009, BPS Provinsi Papua,
               Jayapura: 17.

Sementara dilihat tingkat perkembangan penduduk Provinsi Papua dari tahun 2004 s/d 2008  selalu mengalami peningkatan, yaitu pada tahun 2004 sebanyak 1.857.996, tahun 2005 menjadi 1.875,388, terus mengalami peningkatan pada tahun 2006 menjadi 1.974.932 dan pada tahun 2007 menjadi 2.015.616, serta pada tahun 2008 menjadi 2.056.517.  Dari jumlah penduduk pada tahun 2007 sebanyak  2.015.616 jiwa, sebanyak 793.40  jiwa atau sekitar 39,36 %  merupakan penduduk Miskin.[39]
Provinsi Papua dilihat dari perkembangan tingkat investasi di bidang perindustrian, pertambangan dan energy dari tahun 2003 s/d 2007 ternyata mengalami penurunan. Adapun perkembangan tingkat investasi di bidang tersebut dari tahun 2003 s/d 2007 sebagai berikut: Tahun 2003 sebanyak Rp. 1.862.596.450; pada tahun 2004 mengalami peningkatan menjadi Rp. 1.863.381.706.  Demikian juga pada tahun 2005 investasi meningkat menjadi Rp. 1.864.832.034. Namun demikian mulai tahun 2006 perkembangan investasi mengalami penurunan menjadi Rp. 1.246.032.950, dan pada tahun 2007 meningkat kembali menjadi Rp. 1.266.750.340,-                              

4.      Kabupaten Jayapura
Menyusuri perjalanan sejarah di tanah Papua, khususnya di Dataran Numbay tercatat bahwa pada tanggal 13 Agustus 1768 seorang pelaut berkebangsaan Perancis bernama L.A. Bogainvelle berlabuh di Teluk Numbay atau sekarang bernama Teluk Yos Sudarso dan member nama Gunung Dobonsolo dengan nama Gunung Cyclop yang dalam bahasa Yunani/Grika berarti Raksasa Bermata Satu. Pelaut berkewarganegaraan Perancis ini juga member nama pada sebuah gunung di sebelah Timutr Jayapura yang terletak di sekitar Skouw dengansebutan namanya, yaitu Gunung Bougenville.
Perjalanan singkat sejarah tentang berdirinya Kabupaten Jayapura dimulai dari Pualu Debi di Teluk Yotefa hingga ke Gunung Paniau daratan Dobonsolo Sentani sebagai berikut:
1. Tahun 1990-1910 dimulai dengan dibukannya Pos Pemerintahan di Pulau Debi yang terletak di Teluk Yotefa antara Kampoeng Tobati dan Enggros yang berfungsi sebagai Pusat Pengabaran Injil di Daratan Numbay/Papua.
2. Tahun 1909 berdasarkan Surat keputusan Gubernur Hindia Belanda Nomor 4  tertanggal 28 Agustus 1909, maka berangkatlah satu Detasemen Militer yang terdiri atas 4 Perwira dan 80 Prajurit di bawah pimpinan Kapten Infanteri F.J.P. Sachese dengan menumpang Kapal Perang EDI dan bertolak dari Manokwari menuju daratan Numbay dengan tugas untuk membantu persiapan bagi Komisi Pengaturan Perbatasan Antara Belanda dengan Jerman untuk memegang dan mengendalikan kekuasaan. Satu bulan kemudian pada tanggal 28 September 1909, berhasil mendarat di Teluk Numbay/Humbolt dan membuat markas di Taman Imbi atau yang sekarang dikenal dengan Gedung Sarinah dan Percetakan Labour Jayapura.
3. Tanggal 7 Mei 1910 Pemimpin Perjalanan Sdr. Kapten Infanteri F.J.P. Sachese memproklamasikan Daratan Numbay dengan sebutan baru Hollandia dan dikukuhkan sebagai Ibukota Pemerintahan menggantikan Pos Pemerintahan di Pulau Debi.
4. Setelah berjalannya waktu selama 32 tahun, tepatnya pada tahun 1942, Ibukota Hollandia, Tentara Jepang berhasil mendarat dan menguasai Tanah Papua termasuk Kota Hollandia. Dua tahun kemudian, yaitu tahun 1946, Belanda kembali menguasai tanah Papua dan memindahkan Ibukota Hollandia yang terletak di DFaratan Numbay Teluk Humbolt ke Daratan Makanwai.
5. Tahun 1944-1946  Daratan Makanwai diganti nama menjadi Kota Nica dan menjadi Ibukota Karesidenan New Guinea (Sekarang dikenal dengan Kampung Harapan).
6.  Pada Bulan Maret 1946 Kota Nica di Lembah Makanwai dipindahkan ke Nibi-Abei (bekas Komplek RS Armada ke-VII dan menjadi Kota Nica yang baru akan tetapi, 5 bulan kemudian dirubah kembali namanya menjadi Kota Baru (Sekarang Abepura).
7.  Tahun 1946-1951, karena kepindahan Pemerintahan di Kota Baru menyebabkan Gedung Markas Besar yang menjadi kediaman Jenderal Marc Athur yang terletak di Kamp Seven Fleet (Ifar Gunung Sentani) juga turut dipindahkan. Markas Besar sekarang berada di Kota Baru yang digunakan sebagai Ambdswoning Residen yang kemudian dipergunakan sebagai Istana Gubernur (Sekarang Gedung Fisip Universitas Cendrawasih) yang terletak di Abepura. Tahun 1951-1958 Kota Baru diganti namanya menjadi Hollandia Stad. Tahun 1955-1958, Kota Hollandia Stad yang menajdi Ibukota Kabupaten Jayapura diganti kembali menjadi Hollandia Binnen.
8. Tahun 1958, Ibukota Hollandia Binnen dipindahkan ke Pantai Teluk Numbay/Humbolt (Hollandia Binnen) dan dibangun pula Kantor Gubernur beserta perangkat Kantor-Kantor Dinas di Dok II, yang untuk selanjutnya disebut Hollandia. Tanggal 31 Desember 1962, nama Hollandia diganti menjadi Kota Baru. Berikutnya tanggal 31 Desember 1963, Presiden RI Pertama (Ir. Soekarno)  mengunjungi tanah Papua dan mengganti nama Kota Baru menjadi Soekarnapura dan Teluk Humbolt menjadi Teluk Yos Sudarso.
9.  Pada tahun 1965 atau tepatnya pada saat Gerakan 30 September 1965 melakukan pembrontakan, maka nama Kota Seokarnapura diganti menjadi Djajapura. Selanjutnya pada tahun 1969 ditetapkan pembentukan Kabupaten Jayapura sebagai Daerah Otonomi dengan Ibukota Jayapura berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat.
10. Tahun 1979  kemudioan Kabupaten Jayapura dimekarkan dan memiliki Kota Administratif Jayapura, yang dikukuhkan berdasarkan PP Nomor 26 Tahun 1979 tertanggal 28 Agustus 1979 dengan wilayah yang meliputi dua Kecamatan, yaitu Kecamatan Jayapura Utara dan Kecamatan Jayapura Selatan di bawah pembinaan Kabupaten Jayapura.
11. Selanjutnya pada tahun 1993, melalui beberapa tahapan dan penilaian status Kota Administratif Jayapura  dinaikan statusnya menjadi Kotamadya Jayapura berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1993 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Jayapura, dan diresmikan pada tanggal 21 September 1993 dengan cakupan 4 wilayah kecamatan, yaitu Jayapura Utara, Jayapura Selatan, Abepura dan Kecamatamn Muara Tami.
12. Berdasarkan PP Nomor 65 Tahun 1996, Pasal 36 Di Wilayah Kabupaten Jayapura dibentuk Kecamatan Skamto yang meliputi 3 wilayah desa, yaitu Desa Jaipuri, Skamto  dan Desa Arsopura,  dibentuk pula Kecamatan Kemtuk Gresi yang meliputi wilayah Desa Sama, Manda Yawan, Mamda, Marmei, Nambon, Kwansu, Soaib, Sabeap Kecil dan Sekori,  Kecamatan Nimbokrang  (5 Desa), Kecamatan Sentani Barat (10 desa) , Sentani Timur (6 Desa).
13. Berdasarkan PP Nomor 15 Tahun  2000 tentang Pemindahan Ibukota Kabupaten Jayapura dari Kota Jayapura ke Wilayah Sentani di Kabupaten Jayapura, tertanggal 10 Maret 2000 (LN Tahun 2000 No. 31, TLN No. 3942). Perpindahan Ibukota kabupaten ini sebelumnya telah mendapat persetujuan dari DPRD Kabupaten Jayapura  Nomor 12/KPTS/DPRD-JP/PIMP/1996 tertanggal 19 Juni 1996 tentang Persetujuan Pemindahan Ibukota Kabuoaten Daerah Tingkat II Jayapura.
      Adapun wilayah Kabupaten Jayapura ini meliputi:
1.      Sebagian wilayah Sentani yang terdiri atas dari Kalurahan Sentani Kota, Dobonsolo, Hinekombe, Desa Ifar Besar, Bobrongko, Sereh, Hobong, Atbar dan Yobeh.
2.      Sebagian wilayah Kecamatan Depapre yang terdiri atas: Dewa Waiya, Tablasupa, Yepase dan Entiyebo;
3.      Kecamatan Sentani Timur yang terdiri atas: Desa Nolokla, Itakiwa/Ayapo, Puay Asei Besar, Asei Kecil dan Desa Nendali.
4.      Kecamatan Sentani Barat, yang terdiri dari Desa Dondai, Dosai, Doyo Lama, Doyo Baru, Kanda, Maribu, Sabron Dosai, Sosiri, Waibron dan Yakonde;
5.      Kecamatan Kemtuk Gresi, yang terdiri atas:  Desa Sama, Mamda Yawan, Mamda, Marmei/Mekari, Nanbom, Kwansu, Soaib, Sabeap Kecil, Sekori, Sekoaim.
Kabupaten Jayapura dengan Ibukota Sentani mempunyai batas wilayah:
1.      Sebelah Utara dengan Kecamatan Depapre dan desa Ndale Kecamatan Sentani, Kabupaten Jayapura;
2.      Sebelah Timur dengan Desa Waena dan Desa Yoka Kecamatan Abepura Kota Jayapura;
3.      Sebelah Selatan dengan Desa Puai Kecamatan Arso dan Kecamatan Kemtuk Gresi Kabupaten Jayapura; serta
4.      Sebelah Barat dengan Kecamatan Nimboran dan Kecamatan Demta Kabupaten Jayapura.
Kabupaten Jayapura yang luasnya ± 17.516 Km²   dalam perjalanan waktu akhirnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2002 dimekarkan menjadi 3 (tiga) wilayah Kabupaten, yaitu Kabupaten Jayapura, Kabupaten Keerom dan Kabupaten Sarmi.
Kondisi Geografis Kabupaten Jayapura ditinjau dari sudut astronomi terletak pada 139´ 15” Bujur Barat - 140´ 45” (139º-140º) Bujur Timur dan 2023´10˝ atau (2º) Lintang Utara- 9015´ 00˝  atau (3º) Lintang Selatan, dengan batas-batas wilayah administrative sebagai berikut:
1.      Sebelah  Utara berbatasan dengan Samudera Pasifik dan Kabupaten Sarmi;
2.      Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pegunungan Bintang dan Kabupaten Mamberamo Raya, Mamberamo Tengah dan Kabupaten Yalimo;
3.      Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sarmi; dan
4.      Sebelah Timur berbatasan dengan Kota Jayapura dan Kabupaten Keerom.
Dari sisi tata sumber daya air, Kabupaten Jayapura memiliki rawa-rawa dan beberapa danau. Rawa terletak di Distrik Kaureh seluas ± 7.500 Hektar; dan Distrik Nimboran ± 625 Hektar, disamping itu juga terdapat Danau Sentani yang luasnya ± 9.630 Hektar terdapat di 5 (lima) Distrik, yaitu Distrik Sentani Timur, Distrik Sentani Barat,  dan Distrik Sentani, Distrik Waibu serta Distrik Ebungfauw.
Kabupaten Jayapura terdiri atas 19 Distrik, dengan rincian Distrik terluas yaitu Distrik Kaureh seluas 4.357,9 Km² atau 24,88 % dari luas Kabupaten Jayapura,  dan terkecil yaitu Distrik Sentani Barat seluas 129,2 Km² atau sekitar 0,74% dari luas Kabupaten Jayapura.
Dari sisi kemiringan lahan, sebesar 0,63 % atau 88,99 Km² wilayah Kabupaten Jayapura berupa dataran,  17,98 % atau sekitar 2.545.15 Km² memiliki kemiringan 2%, 4,56% atau sekitar 645.62 Km²  memiliki kemiringan 2-8 %, dan 8-15% seluas 177.12 Km²,  16-25%  seluas 349,74 Km², kemiringan curam seluas 98,73 Km², serta Sangat Curam sekitar 41-65% seluas 3.354,13 Km².
Dari sisi pemerintahan Kabupaten Jayapura memiliki 19 Distrik dengan 137 Desa/Kampoeng, dengan 5 Kalurahan.
Perkembangan Kabupaten Jumlah penduduk di Kabupaten Jayapura dari tahun 2005 s/d 2008 dapat disajikan dalam Tabel  3 sebagai berikut:

Tabel 3: Perkembangan Jumlah Penduduk Kab. Jayapura 2005-2008
Tahun
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
20055
59.158
51.628
110.786
2006
61.038
53.269
114.307
2007
62.979
54.963
117.942
2008
64.982
56.711
121.693
Sumber: Jayapura Dalam Angka 2009, BPN Kabupaten Jayapura, 2009.: 56.

Tingkat Kepadatan Penduduk di masing-masing Distrik Kabupaten Jayapura rata-rata6, 95 jiwa/Km². Wilayah yang mempunyai tingkat kepadatan paling tinggi/terpadat di Distrik  Sentani, yaitu 175,37 Jiwa/Km² dengan luas wilayah 225.90 Km² dengan jumlah penduduk sebanyak 39.615 Jiwa, sedangkan tingkat kepedatan penduduk paling jarang di Distrik Airu yaitu 0,48 Jiwa/Km² dengan luas wilayah 3.009.00 Km² dengan jumlah penduduk sekitar 1.433 Jiwa. Tingkat kepadatan penduduk di masing-masing Distrik di Kabupaten Jayapura dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut:

Tabel 4: Tingkat Kepadatan penduduk Per Distrik Di Kab. JayapuraTahun 2008

No.
Kecamatan/Distrik
Luas WilayahDistrik
(Km²)
Jumlah Penduduk
Jiwa
Tingkat Kepadatan
Jiwa/Km²
1.
Kaureh
4.357.50
10.665
2,45
2.
Airu
3.009.00
1.433
O,48
3.
Yapsi
1.219.30
3.970
3,26
4.
Kemtuk
258.30
3.680
14,25
5.
Kemtuk Gresi
182.40
3.954
21,68
6.
Gresi Selatan
143.90
1.371
9,53
7.
Nimboram
710.20
4.903
6,90
8.
Namblong
193.70
3/728
19,25
9.
Nimbokrang
193.70
8.467
10,93
10.
Unurum Guay
774.80
2.047
0,65
11.
Demta
3.131.30
5.555
11,17
12.
Yokari
497.50
1.863
3,59
13.
Depapre
519.50
4.741
41,86
14.
Reveni Rara
467.40
1.758
14,59
15.
Sentani Barat
129.20
5.409
175,37
16.
Waibu
258.30
3.769
11,80
17.
Sentani
225.90
39.615
21,04
18.
Ebungfau
387.40
4.573
6,95.
19.
Sentani Timur
484.30
10.190
21,04

Jumlah/Total
17.516.60
121.693
6,95
     Sumber: Kabupaten Jayapura Dalam Angka, BPS Kab. Jayapura, Tahun   2009: 59.
                 
Penduduk Kabupaten Jayapura dalam kesehariannya lebih banyak berkecimpung di bidang pertanian, dengan jumlah 22.639 atau 59,94 %, dan sebanyak 2,249 atau 5,95 di bidang industri, sedangkan sisanya sebanyak 12,879 atau sekitar 34,10 % bekerja di bidang Jasa. Kemudian jika dilihat dari tingkat pendidikan yang ditempuh, sebanyak 12.672 atau sekitar 33,55 %  tidak tamat SD, 7,616 atau sekitar 20,17 % berpendidikan SD, sedangkan penduduk yang berpendidikan SLTP sebanyak 6.472 atau 17,14%. Sisanya sebanyak 11.007 atau sekitar 29,14% berpendidikan di atas SLTA.
Yang menarik di Kabupaten Jayapura ditemukan sekitar 836 Lajut Usia Terlantar, 616 jiwa Tuna Susila,  100 jiwa bekas napi, 56 orang Penyandang NAPZA,  156 orang Penyandang HIV/AIDS, serta terdapat Komunitas Adat Terpencil sebanyak  1.211 Keluarga.[40]

5.      Pendapatan Regional Bruto (PDRB) dan Struktur Perekonomian Kabupaten Jayapura
Pertumbuhan Pendapatan Regional Bruto (PDRB) Kabupaten dicermati secara seksama dari nilai nominalnya mengalami peningkatan, akan tetapi dari sisi pertumbuhannya mengalami penurunan kembali pada tahun 2005, dengan perbandingan pertumbuhan pada tahun 2004 sebesar 16,08 % pada 2006 naik menjadi 16,35%, tahun 2006 17,81,   dan kemudian mengalami penurunan   pada tahun 2007 turun menjadi 16,01, serta pada tahun 2008 turun lagi menjadi 15,51. Kemudian dari struktur Perekonomian Kabupaten Jayapura yang akan memberikan kontribusi terhadap sector-sektor ekonomi terhadap total PDRB atas dasar harga berlaku. Mengingat Kabupaten Jayapura sebagian besar atau sekitar 22.639 orang atau 59,94 %, berkecimpung disektor pertanian, dengan demikian dari sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar rata-rata 39,69%/tahunya.
Kontribusi masing-masing sektor terhadap pembentukan PDRB Kabupaten Jayapura Nampak sebagai berikut:

Tabel 5: Peranan Masing-masing Sektor Terhadap Pembentukan PDRB
  Kab. Jayapura Atas Dasar Harga berlaku Tahun 2004-2008

       Sektor
Distribusi Persentase ADB Berlaku
2004
2005
2006
2007
2008
1
Pertanian
44,22
42,23
40,16
37,92
35,46
2
Pertambangan dan Penggalian
2,07
2,09
2,24
2,31
2,39
3
Industri Pengolahan
9,79
29,82
9,68
9,22
9,13
4
Listrik/PDAM
0,32
0,31
0,29
0,27
0,25
5
Bangunan
5,99
6,51
7,14
7,21
7,75
6
Perdagangan/Hotel/Retsoran
9,38
9,37
9,47
9,45
9,70
7
Angkutan/Komunikasi
15,15
14,83
16,31
16,31
17,48
8
Keuangan/Persewaan dan Jasa Perusahaan
1,80
1,80
4,36
4,36
4,90
9
Jasa-Jasa
13,28
13,03
12,81
12,95
12,60

PDRB
100
100
100
100
100
Sumber: PDRB Kab. Jayapura Tahun 2009, BPS Kab. Jayapura: 45.

Dari tabel tersebut di atas, Nampak bahwa sector pertanian mempunyai  peranan sebagai penyumbang terbesar pertama, yaitu sebesar 35,66 % dan sektor Angkutan /Komunikasi sebagai penyumbang terbesar kedua yaitu sebesar 17,61 % di Kabupaten Jayapura.
Dari hasil Index Pembangunan Mausia dan Analisis Situasi Pembangunan Mansuai Kabupaten Jayapura Tahun 2009, diketahui bahwa  Angka Melek Huruf  pada tahun 2008, penduduk usia 15 tahun ke atas yang mempu membaca dan menulis sudah mencapai 96%. Dengan kata lain kemungkinan kecil atau sekitar 4% saja yang belum menikmati pendidikan dengan baik. Sedangkan gambaran rata-rata pengeluaran riil penduduk Kabupaten Jayapura tahun 2008, yaitu sebesar sekitar Rp. 618.260;-/tahun. Dimana yang ideal sebesar Rp. 737.720,- Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan manusia di Kabupaten Jayapura ke depanya perlu lebih mengfokuskan terutama pada peningkatan pembangunan ekonomi baik dari sisi laju pertumbuhannya maupun pemerataannya.[41]

6.      Kecamatan Sentani Timur
Penduduk Kabupaten Jayapura, khusunya di Kecamatan Sentani Timur tempat dilakukan Penelitian diperoleh gambaran sebagai berikut:
Kecamatan ini beribukota di Nolokla, dengan luas kecamatan  ± 484.3Km², jumlah penduduk sebanyak 10.190/jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 21,04 Jiwa/Km². Jumlah penduduk laki-laki sebanyak  5.215 Orang, Perempuan 4.975 Orang. Dengan demikian,  Ratio jenis kelaminnya sekitar  104,81. Persentase Penduduk Papua sekitar 79.54 % orang dan non Papua sekitar 20,46 %.  Kecamatan ini memiliki sarana pendidikan Sekolah dasar sebanyak 8 buah, Sekolah Lanjutan Tingkat pertama (SLTP) sebanyak 3 buah, SMU sebanyak 1 buah, dan SMK sebanyak 1 buah. Di lhat dari  Agama yang dipeluk oleh Penduduk Kecamatan Sentani Timur, sebanyak 5.562 orang beragama Protestan, 1.042 orang beragama Islam, sedangkan yang beragama Katolik sebanyak 154 orang, dan 1 orang beragama Hindu. Apabila dikaitkan antara jumlah penduduk yang memeluk agama dengan sarana prasarana ibadah, maka di Kecamatan Sentani Timur terdapat sebanyak  21 Gereja Protestan, 1 Masjid, dan 1 Gereja Katolik.
O. Hasil Penelitian Dan Pembahasan
1.      Persebaran Suku dan Sub Suku di Kabupaten dan Kota Jayapura Provinsi  Papua. Secara garis besar persebaran Suku dan Sub Suku di Kabupaten/Kota Jayapura Provinsi Papua dapat disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:

No
Kabupaten/Kota, Kecamatan/District
Suku
Sub Suku
1.
    Kota Jayapura:
    1) Jayapura Selatan


    2) Jayapura Utara



    3) Abepura




Teluk Humbolt (Yos Sudaryo)

Teluk Imbi



Teluk Imbi

Enjros, Tobati, Injerau, Metu, Debi.

Meterau, Kayoe Injau, Kayoe Poleoe, Kayoe Batoe

Nafri, Skow (Jambie, Sai, Mabo)


2.
Kabupaten Jayapura:
1)      Ars

2)      Depapre

3)      Bonggo





4)      Nimboran
5)      Kemtuk Gresi
6)      Demta



7)      Kaureh
8)      Tar Atas
9)      Sarmi


10)  Senggi

11)  Sentani





Target/Keerom



Tanah Merah

Pantai Timur







Nimboran/Nambling
Kemtuk Gresi
Demta





Lereh
Tar
Sarmi


Senggi


Sentani


Faya
Uta

Abrab, Manem, Merep, Awi (Beibwo)


Ormoe, Tabla, Tepra, Munggei
Bonggo, Yarsum, Betaf, Bgu (Bgufinti, Kaptiau, Tarfia), Pulau-pulau: Wakde, Masi-masi, Jenna, Padera, Anus, Jarsum)


Namblong, Kwanzu
Kemtuk, Gresi
Sifari (Tarfia, Sau, Ambara, Muris Kecil, Muris Besar, Yauhapsa), Yokari: Bukisi, Meukisi, Kamtumilera, Saroyena, Dernai.
Kaure, Sause, Kasu, Takana.
Foya, Mandes, Subar, Bonerif, Biyu, Daranta, Segar, Bara-bara, Waf, Berik, Kwersupen.
Airaran, Samarokera, Kwerba, Sabari, Sabei.
Find, Warlef, Waina, Malaf.

Sentani (Timur, Barat, Tengah) Dosai dan Maribu
Faya
Uta
Sumber: Anonim, Pengenalan Etnografi Papua, UPT Museum Loka Budaya
                              Universitas Cenderawasih, Jayapura, 2005: 12-13.

2.      Wilayah Adat dan Sistem Kepemimpinan Adat Di Papua.
Batas tanah adat antar suku, kampung, marga dan keluarga inti hanya diketahui oleh masing-masing suku, kampung, marga dan keluarga inti dan suku, kampung, marga dan keluarga inti yang berbatasan. Batas-batas ini difahami dan disampaikan secara lisan secara turun-temurun. Oleh karena itu, jika terjadi sengketa kepemilikan tanah maka jika tidak dapat diselesaikan secara internal oleh pihak yang bersengketa akan dimintakan pendapat (penyelesaian atau banding) kepada suku, kampung, marga dan keluarga inti yang berbatasan.[42]
Aktivitas kepala rakyat pada pokoknya meliputi tiga hal, yaitu:
a.       Tindakan-tindakan mengenai urusan tanah berhubung dengan adanya pertalian yang erat antara tanah dan persekutuan yang menguasai tanah itu;
b.      Penyelenggaraan hukum sebagai usaha untuk mencegah adanya pelanggaran hukum, supaya hukum dapat berjalan sebagaimana mestinya (pembinaan secara preventif);
c.       Menyelenggarakan hukum sebagai pembentukan hukum adat baru setelah hukum itu dilanggar (pembinaan secara represif)[43] Sebagai contoh, dapat dikemukakan terjadinya peradilan adat di Kampung Netar Desa Nendali Kecamatan Sentani Timur Kabupaten Jayapura sebagaimana dituturkan oleh Bapak Ondofollo.  Pada tanggal 5 Maret 2010 di halaman adat (Onggohou Youw) terjadi peristiwa dalam babak sejarah baru, di mana  3 (tiga) Kepala Suku (Koselo) dicopot dari jabatan adatnya oleh Ondofolo Kampung Netar, dikarenakan secara nyata-nyata Kepala Suku (Koselo) tersebut telah terbukti memnjual/ mengalihkan tanah adat milik bersama seluruh masyarakat Adat Kampoeng Netar (Komunal).  Pada awalnya Sdr. Ondofolo menilai bahwa 3 orang Kepala Suku (Koselo) tersebut dapat dipercaya sebagai orang-orang yang baik, dikarenakan setiap ada pertemuan selalu berbicara dan bahkan yang mengatur jalannya komunikasi dalam pertemuan tersebut, berusaha untuk merumuskan pernyataan-pernyataan yang keras bagi masyarakat untuk tidak  menjual/mengalihkan tanah adat. Akan tetapi dalam kenyataannya para Kepala Suku (Koselo) tersebut justeru bertindak sebaliknya, yaitu menjadi oknum utama dalam menual/mengalihkan tanah-tanah adat kepada pihak ketiga (CV. Bintang Mas). Ondofollo telah berjuang untuk melakukan perlawanan terhadap upaya menjual/mengalihkan tanah tersebut, bahkan sampai harus berurusan dengan Pihak Yang Berwajib/Aparat Kepolisian Daerah (Polda) Papua menjadi Tanahan, disamping itu juga melakukan pembinaan dengan cara mengingatkan para Koselo, menegur  serta menasehati agar menghentikan proses pengalihan/penjualan tanah adat, akan tetapi tidak diguperhatikan (digubris). Menurut Onfofollo, peristiwa pencopotan 3 Kepala Suku (Koselo) tersebut, tidak/bahkan belum pernah terjadi dalam sejarah pergantian jabatan adat yang selama ini dilakukan secara  turun-temurun. Jika seorang Koselo meninggal dunia (wafat), maka jabatan/kedudukan akan digantikan/diisi  oleh anaknya yang tertua. Namun dengan terjadinya peristiwa tersebut, membuktikan bahwa  norma-norma hokum adat harus ditegakan untuk mengammankan tanah-tanah adat. Jabatan yang diberikan adalah jabatan adat atau jabatan milik Kampoeng, jika pejabat adat menjual tanah, hal ini berarti yang bersangkutan telah “membunuh” masyarakatnya sendiri, maka mau tidak mau jabatan adatnya harus dicopot. Mengingat jabatan adat adalah milik rakyat dan milik Kampong. Pencopotan itu juga mengandung konsekuensi,  segala hak dan kewajiban pejabat adat lama dengan sendirinya berhenti, dan kemudian berpindah kepada pejabat yang baru (fungsi pengelolaan tanah dan masyarakat), sedangkan pejabat adat yang lama kembali menjadi anggota masyarakat biasa.

3.      Struktur Kepemimpinan Adat dan Sistem Pengaturan Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan Tanah Adat.

Menurut Mansoben[44] dari segi bahasa saja ada dua kelompok utamanya yaitu Austronesia (misalnya Waropen, Wandamen, Biak, Tobati, Iha,Ambai,Maya dan lain lain) dan Non Austronesia misalnya Dani, Sentani, Mee, Asmat, Muyu, Meybrat dan lain sebagainya. Sesuai dengan hasil penelitian Summer Institute Linguistic (SIL) di Papua terdapat sekitar 250 suku bahasa yang berbeda satu sama lainnya. Sedangkan Papua New Guinea memiliki sekitar 670 bahasa suku.
Sistem kepemimpinan tradisonal di Papua menurut Mansoben dibagi dalam beberapa tipe antara lain a.. Tipe kepemimpinan Raja atau sistem kepemimpinan atas dasar pewarisan,  b. Sistem kepemimpinan  Big man atau pria berwibawa dan c. Kepemimpinan campuran.
Kepemimpinan atas dasar warisan atau atas dasar upaya pribadi untuk mencapai kedudukan tersebut.  Menurut Mansoben sistem kepemimpinan atas dasar pewarisan merupakan sistem kerajaan (perdagangan di waktu lalu) di Raja Ampat, di Fak Fak, Kaimana atau sistem  Ondoafi atau Ondofolo di Sentani dan wilayah Kebudayaan Tabi termasuk Genyem  yakni Demou Tru merupakan jabatan tertinggi dalam masyarakat Namblong yang hanya diduduki oleh Wai Iram, kadangkala dianggap jabatan kekal.
Jadi kalau disimak yang dimaksud dengan cirri-ciri bentuk pemerintahan adat sesuai hasill diskusi yang pernah dilakukan oleh AFP3 Papua di Waena belum lama ini adalah tunggal dan otonom, struktur dari orangnya/individu, memiliki karisma dalam kepemimpinan, taat dan patuh karena sangsi adatnya tegas dan jelas, berakar dari adat, wilayah serta batas batas yang jelas, memiliki harta pusaka, merasaka terikat pada satu kesatuan territorial adat. Sedangkan lembaga adat dan pengertiannya adalah seperangkat aturan, norma dan nilai budaya yang mengatur upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat termasuk mengorganisir ke arah peningkatan kesejahteraan masyarakat  dan lembaga juga dapat diartikan sebagai wadah/organisasi tradisional dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat melalui pelbagai kegiatan. Secara detail terdapat tujuh wilayah adat di Papua daerah daerah antara lain, wilayah adat 1 (Mamta) meliputi Port Numbay, Sentani, Genyem, Depapre, Demta, Sarmi, Bonggo, Mamberamo. Wilayah adat 2 (Saireri) yakni Biak Numfor, Supiori, Yapen, Waropen, Nabire bagian pantai. Wilayah adat 3 (Domberay) antara lain Manokwari, Bintuni, Babo, Wondama, Wasi, Sorong, Raja Ampat, Teminabuan, Inawantan, Ayamaru, Aifat, Aitinyo.Wilayah adat 4 kawasan Bomberay meliputi  Fakfak, Kaimana,Kokonao dan Mimika. Wilayah adat 5 kawasan Ha Anim meliputi Merauke, Digoel, Muyu, Asmat dan Mandobo. Wilayah adat 6 kawasan Me Pago antara lain Pegunungan Bintang, Wamena, Tiom, Kurima, Oksibil, Okbibab. Wilayah adat 7 kawasan La Pago antara lain, Puncak Jaya,Tolikara, Paniai, Nabire pedalaman.
Hasil Studi Identifikasi Institusi Masyarakat Adat Papua pada wilayah lima Kabupaten Merauke, Biak Numfor, Mimika, Waropen dan Jayapura  kerja sama BPMD Provinsi Papua dengan Yayasan Konsultasi Independen Pemberdayaan Rakyat (KIPRa-Papua)  Desember 2007 telah menyimpulkan bahwa: a) Semua kabupaten lokasi studi telah memiliki institusi adat pada tingkat kabupaten hingga tingkat distrik dan kampung. Bahkan di Kabupaten Merauke lebih dari satu lembaga adat misalnya Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Marind Anim Ha  tetapi juga ada Dewan Adat Suku Muyu. b) Dalam menyebut lembaga adat masih terdapat beberapa versi tetapi pada hakekatnya memiliki subtansi yang sama. Ada yang masih menggunakan nama atau istilah LMA (Lembaga Masyarakat Adat) seperti di Merauke, DAS atau Dewan Adat Sentani di Kabupaten Jayapura, Dewan Persekutuan Masyarakat Adat (DPMA) Defonsero Utara, Dewan Adat, Lemasko (Lembaga Masyarakat Adat Kamoro) dan Lemasa (Lembaga Masyarakat Adat Amungme) di Kabupaten Mimika mau pun Dewan Adat wilayah di Kabupaten Merauke. Namun yang jelas kelahiran lembaga ini sesuai dengan kebutuhan dan dukungan dari masyarakat. c) Permasalahan yang menonjol pada beberapa kabupaten adalah memandang masyarakat adat sebagai sebuah organisasi yang orientasinya memperjuangkan masyarakat Papua untuk merdeka, sehingga senantiasa dicurigai dan tidak ada dukungan bagi kegiatan kegiatan yang akan dilakukan. Daerah yang paling dominan dan terlihat adanya perselisihan dan resistensi terhadap lembaga adat yakin di Kabupaten Merauke dan Biak Numfor. Kasus pemukulan Ketua LMA Malind Anim Ha dan proyek peluncuran satelit di Biak merupakan indikasi kuat terjadinya pertentangan antara Pemda dan masyarakat adat. d) Hampir sebagian besar institusi tidak memiliki fasilitas kerja yang memadai,baik kantor,peralatan kerja dan juga biaya operasional sehingga dalam pelayanan pada masyarakat adat tidak memadai. Terkecuali di Kabupaten Mimika Lemasko dan Lemasa memiliki dana dan fasilitas yang berkecukupan. e) Masih dialaminya banyak permasalahan oleh institusi secara internal, karena eksistensinya terutama memperjuangkan hak hak dasar masyarakat asli Papua, disamping itu belum tersosialisasinya program program kerja lembaga adat. Namun di sisi lain tercatat telah terjadi degradasi nilai nilai adat yang turut pula mempengaruhi perkembangan masyarakat adat. Ironinya anak anak adat yang duduk sebagai pejabat beberapa di antaranya tidak mempedulikan apa yang diperjuangkan institusi adat, bahkan digiring sebagai gerakan untuk kemerdekaan.
Suku dipimpin oleh Ondoafi[45], pada tiap-tiap suku terdapat Kampung (disebut yoi pada orang Sentani dan yukmo pada orang Balim) yang dipimpin oleh kepala kampung. Dalam satu kampung terdapat beberapa marga (keret), dan dalam satu marga terdapat beberapa keluarga inti (batih). Masing-masing kampung, marga dan keluarga inti mempunyai wilayah adat sendiri-sendiri, sehingga tidak dikenal adanya common property dalam suatu suku, kecuali diperjanjikan antar kampung.
Sistem pemerintahan dan pengaturan hak-hak komunal adat di wilayah budaya ini sangat ketat dan rapi. Para penghulu dengan sebutan ondoafi, ondofolo, eram atau bahkan juga korano adalah tokoh dengan kepemimpinan religius. Kepemimpinan para penghulu ini dengan perintah dan tutur katanya di atas segala-segalanya.[46] Meskipun segala sesuatu selalu disalurkan melalui pembantu-pembantu terdekat dan bukan secara langsung karenanya sering pula disalahgunakan. Sosok pemimpin di sini bukan feodal atau panutan absolut karena hanya memiliki fungsi pelindung bukan menguasai sehingga orang luar (terutama pada masa Pemerintahan NKRI) tidak jarang terkecoh dengan mengatakan kalau pemimpin sudah dipegang maka masa rakyatnya terkuasai. Ini keliru. Anggapan ini ternyata sama sekali tidak demikian. Melalui cara pelimpahan yang terstruktur secara vertikal perintah disalurkan dari sang penghulu kepada rakyatnya dan itu pulalah telah terjadi saling menjatuhkan antara bawahan dan lalu mencari perlindungan di bawah seorang ondoafi.[47]
Untuk menjadi pemimpin harus memenuhi beberapa persyaratan seperti: kaya, bermurah hati, jujur, pandai berdiplomasi dan berpidato. Syarat kaya dinyatakan dalam bentuk memiliki banyak kebun, banyak kulit kerang (mege), banyak babi dan banyak isteri. Seorang pemimpin harus memiliki kebun atau ladang seluas 10 ha, memiliki dua puluh sampai tiga puluh ekor babi, mempunyai isteri lima sampai sepuluh orang, memiliki mege dalam jumlah banyak serta mempunyai anak buah yang sekaligus sebagai tenaga kerja sebanyak sepuluh sampai lima belas orang.[48] Syarat lain adalah kemampuan berorganisasi dalam bentuk pandai mengatur pesta babi dalam arti mengadakan transaksi dengan masyarakat baik anggota masyarakat sendiri maupun yang berasal dari lingkungan-lingkungan lain. Harus pandai berdiplomasi dalam arti bernegosiasi dengan orang lain dalam penyelesaian suatu perkara.[49]
Sesuai dengan perkembangan zaman, terutama yang hidup di perkotaan, pemimpin memiliki rumah permanen dengan perabot rumah tangga yang memadai seperti televisi, radio, telepon, berpendidikan formal yang cukup tinggi (SLTP, SLTA, Sarjana), pejabat pemerintah, wiraswasta, karyawan perusahaan, memiliki kendaraan roda dua maupun empat, Selain itu mempunyai kelebihan di bidang keuangan. Ia harus dermawan, baik hati, selalu berjuang, berkorban untuk kepentingan masyarakat, tidak boleh berisiteri lebih dari satu sesuai ajaran Agama Kristen dll.[50]
Dalam sistem adat Papua, tanah dipegang karena faktor-faktor:
a.         Genealogis, yaitu karena faktor keturunan atau hubungan darah;
b.        Teritorial, yaitu mereka yang pada masa dahulu pertama sekali menempati suatu wilayah tak bertuan;
c.         Perkawinan, yaitu karena adanya perkawinan antara satu suku, kampung, marga, keluarga inti dengan suku, kampung, marga, keluarga inti.
d.         Gabungan dari a, b, c dan d.
Dari ke empat model penguasaan tanah tersebut maka model ke 4 (empat) merupakan model yang paling sulit untuk ditelusuri, karena semua faktor saling kait mengkait. 
a.       Seluruh wilayah yang ada di Papua telah terbagi habis dalam penguasaan ke 4 (empat) bentuk komunalistik tersebut. Oleh karena itu, konsep tanah negara sangatlah sulit dipahami dalam alam fikiran masyarakat adat Papua.
b.      Tanah mempunyai fungsi sosial, oleh karena itu tidak dikenal penguasaan tanah secara individual. Bagi suku, kampung, marga dan keluarga batih yang menguasai tanah, mereka hanya mempunyai hak milik atas tanamannya, bukan tanahnya.
c.       Dalam kedudukannya yang berfungsi sosial, maka tanah menjamin keutuhan sistem komunalistik. Ondoafi, sebagai pemimpin, bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan keamanan masyarakatnya. Ketika fungsi tanah bergeser ke fungsi ekonomi, maka hal tersebut mengakibatkan hancurnya sistem komunalistik. Ondoafi kehilangan peran dan kewibawaannya sebagai pemimpin masyarakat adat. Tanah sebagai simbol mama, bergeser ke tanah sebagai sumber uang. Dalam konteks Papua, masyarakat tidak lagi menggantungkan harapan dan kehidupannya pada ondoafi, karena mereka telah disibukkan dengan hidup dan kehidupannya masing-masing.
d.      Dalam sistem hukum adat, tidak dikenal lembaga jual beli. Proses peralihan hak atas tanah dilakukan melalui lembaga hibah, yaitu sebidang tanah (wilayah) yang diberikan oleh ondoafi (berdasarkan persetujuan kampung, marga dan keluarga inti yang ada dalam suku tersebut) kepada suku lain. Hibah diberikan dengan beberapa pertimbangan, yaitu adanya jasa dari suku penerima hibah kepada suku pemberi hibah dalam peperangan, adanya musibah atau bencana.
e.       Ada sebagian dari hasil berburu dan meramu yang diserahkan kepada ondoafi, yang oleh ondoafi diberikan (didistribusikan) kepada anggota masyarakat adat yang tidak mampu, misalnya sakit atau telah tua.

4.      Masalah Pertanahan Pasca Otonomi Khusus dan Peraturan Daerah Khusus
Ada tujuh butir nilai dasar Otonomi Khusus Papua. Nilai-nilai dasar dimaksud adalah:[51]
a.         perlindungan terhadap hak-hak dasar penduduk asli Papua;
b.        demokrasi dan kedewasaan berdemokrasi;
c.         penghargaan terhadap etika dan moral;
d.        penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia;
e.         supremasi hukum;
f.         penghargaan terhadap pluralisme; dan
g.        persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara.
Selama ini, peradilan adat kurang memperoleh tempat yang layak dalam upaya-upaya penegakan hukum dan pemuasan rasa keadilan di tingkat rakyat Papua. Padahal, sebagai salah satu kesatuan hukum yang mandiri-terutama sebelum masuknya kelembagaan modern yang disebut dengan Negara-masing-masing suku di Tanah Papua memiliki sistem hukum yang mampu menciptakan ketentraman di lingkungan mereka masing-masing maupun dalam membina hubungan antar suku. Peradilan adat memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara dan atau sengketa menurut hukum adat dari pihak yang menjadi korban dan/atau dirugikan. Untuk menegakkan kewibawaan peradilan adat maka perkara atau sengketa yang telah mendapatkan putusan peradilan adat tidak dapat diajukan untuk diadili oleh badan Peradilan Negara sepanjang tidak melanggar hak-hak asasi manusia.[52]
Keberadaan Peradilan Adat tersebut mendapat pengaturan di dalam Pasal 50 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, yang menyatakan bahwa “Di samping kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua, diakui adanya peradilan Adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu.”  Dalam Pasal 50 ayat (3) ditegaskan bahwa Peradilan Adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat  hukum adat, yang mempunyai wewenang memeriksa dan mengadili senketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dikarenakan Peradilan bukan merupakan peradilan Negara, maka  susunannya di atur dalam ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat setempat dan fungsinya memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana adat berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dengan diakuinya Lembaga Peradilan Adat dalam UU otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, diharapkan  akan banyak sengketa perdata dan perkara pidana di antara warga masyarakat hukum adat di Provinsi Papua yang secara tuntas dapat diselesaikan sendiri oleh warga yang bersangkutan tanpa melibatkan pengadilan di lingkungan Pengadilan Negara.
Peradilan adat tidak berlaku, dikecualikan: a)  dari kewenangan untuk memeriksa dan mengadili  sengketa perkara perdata dan perkara pidana adat, dimana salah satu pihak yang bersengketa atau pelakunya pidanan bukan warga masyarakat hukum adatnya. b) Di samping itu Pengadilan Adat juga tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan. Oleh karena itu, sudah sesuai dan tepat, jika Susunan Pengadilan Adat diatur menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Terhadap putusan peradilan adat merupakan putusan final dan berkekuatan hukum tetap dalam hal para pihak yang bersengketa atau berperkara menerimannya. Bahkan Putusan peradilan adat dapat  membebaskan pelaku dari tuntutan pidana menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku. Dengan syarat  diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua PN yang mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan telah terjadinya peristiwa pidana. Konsekuensi hukum terhadap persetujuan tersebut, maka Kejaksaan tidak dapat melakukan penyidikan dan penuntutan. Jika permintaan pernyataan persetujuan oleh Ketua PN ditolak, maka pihak Kepolisian dan Kejaksaan dapat melakukan penyidikan dan penuntutan, dan akhirnya putusan Pengadilan Adat tersebut menjadi bahan pertimbangan hukum bagi PN dalam memutus perkarannya. Dalam penjelasan Pasal 50 UU tersebut, disebutkan bahwa Pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan, membutuhkan pelayanan hukumsecara khusus. (Sebagai contoh dalam hal untuk mempercepat masyarakat memperoleh kepastian hukum terhadap perkara kasasi, MA dapat mempertimbangkan kebijakan khusus bagi penyelesaiannya).
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan peradilan adat ini, George Arnold Awi (selaku Ketua LMA Port Numbay Kota Jayapura)[53] dimungkinkan  norma-norma hukum adat bertentangan dengan normat-norma hukum Negara, karena kadang kala yang menurut norma hukum adat dianggap boleh atau diperbolehkan di dalam hukum adat, ternyata menurut hukum Negara tidak diperbolehkan. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dicari titik temu yang dapat mempertemukan keduannya, sehingga dapat menghasilkan suatu keseimbangan hukum.  Bahkan jika Lembaga Peradilan Adat dapat dibentuk, maka Peradilan Negara bukanlah satu-satunya tempat mencari keadilan, sehingga bila ada masyarakat adat yang merasa mendapatkan pejatuhan sanksi menurut peradilan Negara, dan belum memnuhi nilai-nilai keseimbangan dalam lingkungan kehidupan masyarakat adat, maka dapat mencari keadilan tersesbut pada lembaga peradilan adat.
Peradilan adat di dalam lingkungan masyarakat hukum adat, sebetulnya telah ada dan tumbuh sejak jaman Pemerintahan Hindia Belanda. Setelah adanya Pemerintahan Republik Indonesia, dengan diberlakukannya UU Nomor 90 Tahun 1950 tentang MA dan UU Darurat tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan (UU Nomor 1 Tahun 1951)  dilakukan unifikasi tata peradilan  yang efektif untuk seluruh Indonesia. Atas kuasa UU Darurat tersebut, badan-badan pengadilan adat di Luar Jawa dan Madura ditiadakan sehingga dengan demikian tidaklah akan ada peradilan resmi yang diperbolehkan untuk diselenggarakan kecuali peradilan yang diselenggarakan oleh Negara.[54]
Terkait dengan pelaksanaan Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, khususnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam termasuk tanah tentunya harus memperhatikan ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2001, yang menyatakan bahwa  Perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global diarahkan dan diupayakan dapat menciptakan sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan  seluruh rakyat Papua dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan. Pasal 38 ayat (2): Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memnafaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya di tetapkan dengan Perdasus.
Sebagai wujud kongkrit dari pelaksanaan ketentuan Pasal 38 tersebut, Pemerintah Provinsi Papua telah menerbitkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 23 Tahun 2008 tentang         Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.
Meskipun Perdasus Nomor 23 Tahun 2008 tersebut tidak secara tegas, menyebutkan jika terjadi sengketa Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dan Atau Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah diwajibkan terlebih dahulu diselesaikan melalui Peradilan Adat, namun secara tersirat ada isyarat dalam Pasal 14 ayat (1) penyelesaiannya dapat diselesaikan menurut “hukum adat setempat,” yang berarti mengikuti pranata hukum adat yang berlaku di daerah yang bersangkutan. Bahkan dalam Pasal 14 ayat (2):  terhadap penyelesaian sengketa hak ulayat masyarakat hukum adat, bagi pihak-pihak yang tunduk pada hukum  adat yang berlainan, apabila menghendaki penyelesaian melalui atau memilih hukum adat sebagai mekanisme penyelesaiannya, maka penyelesaian dapat dilakukan melalui forum penyelesaian sengketa antar masyarakat hukum adat dengan melibatkan para ahli mengenai hukum adat yang mengikat kedua belah pihak. Selanjutnya dalam Pasal 14 ayat (3): Penyelesesaian sengketa baik melalui pengadilan atau sebaliknya diserahkan sepenuhnya secara sukarela kepada para pihak yang bersengketa. Dengan demikian, dapat ditarik benang merangnya bahwa, penyelesaian sengketa hak ulayat masyarakat hukum adat (tanah ulayat) tetap meprioritaskan/mendahulukan atau mengutamakan dan menjunjung tinggi norma-norma hukum adat masyarakat yang bersangkutan.
                                               
5.      Konflik Pertanahan.
Bagi orang Balim, terdapat 3 (tiga) faktor yang dapat menulut terjadinya perang antar Clan, yaitu faktor tanah, wanita dan babi. Tanah bukanlah sekedar tempat untuk hidup, tetapi juga lahan yang mengikat anggota-anggota suatu kampung (yukmo) tertentu dalam suatu persekutuan adat. Tanah merupakan hak milik komunal Clan tertentu di mana kepala Clan berdasarkan musyawarah Clan membagikan lahan-lahan untuk diolah oleh para anggotanya.Hak atas tanah tetap berada pada Clan masing-masing.  Pertanyaan yang mengusik adalah bagaimana setiap Clan mengetahui batas-batas lahannya?  Rupanya para kepala Clan dan tetua adat mengenali batas-batas alam seperti bukit, sungai dan tanaman yang menjadi patokan untuk mengetahui batas lahan suatu Clan.[55]
Berkurangnya peranan aliansi/konfederasi[56] dan meningkatnya peranan antar suku mungkin berawal sejak dilarangnya perang antar suku oleh pemerintah RI dan juga atas pengaruh gereja. Perang yang menjadi salah satu fungsi pokok yang dijalankan oleh aliansi tidak dapat lagi dilakukan. Hal ini mengakibatkan aliansi yang bersifat tidak tetap itu kehilangan salah satu peranan pentingnya. Orang-orang Balim kini bertumpu pada klen mereka masing-masing untuk pengelolaan tanah mereka. Hal ini bukanlah berarti bahwa peranan aliansi hilang sama sekali. Hingga kini upacara-upacara adat besar seperti pesta babi besar masih dipimpin oleh kepala aliansi. [57]
Gambaran perkara yang terkait dengan tanah di wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat yang masuk di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura secara garis besar tertinggi terjadi pada tahun  2008 sebanyak 8 perkara pertanahan atau 61,53% dari 13 perkara sengketa TUN dan tidak ada gugatan di PTUN pada Tahun  2002 dan tahun 2004. Namun dilihat dari jumlah perkara sengketa yang masuk di PTUN  lebih terfokus di wilayah Hukum Kantor Pertanahan Kota Jayapura, sedangkan di Kabupaten Jayapura hanya terdapat 2 perkara atau 7,2 %, yaitu perkara nomor 13/G.TUN/2008 dan perkara Nomor 02/G.TUN/2006 dari 27 sengketa TUN yang terdaftar Di PTUN Jayapura dari Tahun 200-2009.

 Jumlah Perkara sengketa tanah di PTUN Jayapura dapat disajikan pada Tabel 6 sebagai berikut:


Tabel 6: Jumlah Perkara yang masuk dan diselesaikan di PTUN Jayapura
        Tahun 2000-2009

No
No Perkara
Para Pihak Yang Berperkara
Tgl Putusan PTUN JPR
Persentase Perkara Tanah dibandingkan dgn Jenis Perkara Lainnya
1.
O6/G.TUN/2000
Ny. Juleha Mahuse dgn Kakantah Kab. Fakfak
6 -3-2001:
14, 28 %
2.
09/G.TUN/2001

12/G.TUN/2001
Peter Hans dgn Walikota Sorong/Bappeda Sorong
Yoshepina S. Kwano dgn Kabag Pengelolaan Kekayaan Daerah Kota Jayapura
16-8-2001

26-11-2001
16,66 %
3.
2002 (Nihil)



4.
01/G.TUN/2003

02/G.TUN/2003

03/G.TUN/2003

04/G.TUN/2003

06/G.TUN/2003

12/G.TUN/2003

13/G.TUN/2003
Ny. Linda Modouw dgn Kakantah Kota Jayapura
Hj. Hasan Kasnang dgn Kakantah Kab. Sorong
Mulyo Warsito dgn Kakantah Kota Jayapura
Hendrik dawir dgn Kakantah Kota Jayapura
Yason Abekop dgn Kakantah Kab Biak Numfor
Ny. Erni dgn Kantah Kota Jayapura

Gandhi Gan dgn Kantah Kota Jayapura
9-7-2003

17-7-2003

23-9-2003

18-12-2003

29-01-2003

23-4-2004

17-11-2004

41,17 %
4.
2004 (Nihil)



5.
09/G.TUN/2005

10/G.TUN/2005
Wa Ode Indohae dgn Kakantah Kab Sorong
Wa Ode Indohae dgn Kakantah Kab. Sorong

15-09-2005

10-05-2006
18, 18 %
6.
02/G.TUN/2006
Laurent Mahue dgn Kanwil BPN Prov Papua dan Kantah Kab. Jayapura
23-08-2006
16,16%
7.
01/G.TUN/2007

09/GTUN/2007
Mexi Hamadi dgn Kakantah Kota Japura

Dolfie Kondoy dgn Kakantah Kab Manokwari
14-04-2007

22-09-2007
20%
8.
02/G.TUN/2008

03/G.TUN/2008
04/G.TUN/2008
05/G.TUN/2008

06/G.TUN/2008

11/G.TUN/2008

12/G.TUN/2008


13/G.TUN/2008

Barend Hamadi dgn dgn Kakantah Kota Jayapura
Soni Hamadi dgn Kakantah Kota Jayapura
Rizal dgn Kakantah Kota Jayapura
Nehemia Olua dgn Kakantah kota Jayapura
Sumartini S.Hadi dgn Ketua Yayasan Harapan Bangsa Jayapura
Yermias Yehowe dgn Kakantah Kota Jayapura
Rentor Uncen dgn Kakantah Kota Jayapura

Henny Jones dgn Kakantah Kab. Jayapura
10-6-2008

17-09-2008
22-09-2008
11-12-2008

04-12-2008

`4-05-1009

14-06-1009


19-05-2009
61,53 %
9.
02/G.Tun/2009
04/G.TUN/2009

07/G.TUN/2009
09/G.TUN/2009

19/G.TUN/2009

20/G.TUN/2009
Bernard Sia dgn Kakantah Kota Jayapura
Roby Esau Itar dgn Kakantah Kota Jayapura
F.X. Sucipto dgn Kakantah Kota Jayapura
Herman Hamadi dgn Kakantah Kota Jayapura
Gandhi Gan dgn Kakntah Kota Jayapura

SM. Poerbaraya dgn Ketua DPRD Kota Jayapura
03-06-2009
12-10-2009

10-12-2009
26-11-2009

-

15-03-2010
30 %
Sumber: Olahan Data Sekunder PTUN Jayapura Tahun 2010.

6.      Kampung Netar Desa Nendali Distrik Sentani Timur Kabupaten Jayapura
a.       Oranf Sentani tersebar pada 3 Kecamatan, yaitu Kecamatan Sentani Kota, Kecamaran Sentani Barat dan Kecamatan Sentani Tumur. Permukiman mereka tersebar di  Kawasan Pinggiran Danau Sentani dan di beberapa Pulau-Pulau yang berada di Tengah Danau Sentani. Pulau-Pulau dimaksud antara lain Pulau Asei, Pulau Ajau, Pulau Kwadeware. Dari asal-usulnya, Masyarakat Kelompok Sentani Barat berasal dari suatu tempat bernama Ponong Yokai Wayo  (sebuah daerah di wilayah Papua New Guinea/PNG). Sedangkan Masyarakat Kelompok Sentani Timur atau Heram Rasim terbagi ke dalam 2 (dua)  kelompok asli yang berasal dari sebuah Bukit Yamokoyo Waliyauyo dan warga pendatang (Orang yang diterima oleh Masyarakat secara adat) Kelompok masyarakat Sentani Kota (Tengah) dimulai dari Clann Asabo dan Pow. Komunitas Kampong (yo) yang vterdiri dari beberapa rumah (Imyea) di bawah kepemimpinan seorang Ondofollo (Ondoafi). Sedangkan komunitas yang lebih besar  terdiri dari beberapa kampong yang sekan-akan membentuk sebuah konfederasi di bawah pemimpin Ondoafi Besar (Hu Ondofolo/Iwaiwa Ondofolo).[58]
b.      Danau Sentani merupakan danau terbesar di Papua menerima 24 mata air aliran kali dan sumur bawah tanah dari Gunung Cycloop dengan outlet sungai Tami. Di seputar danau Sentani tersebut hiduplah Suku Bangsa Sentani, ras Papua-Melanesia, kelompok etnis Sentani-Tanamera (Demta), sub-etnis Sentani, wilayah budaya Tabi, tersebar di Distrik Sentani Kabupaten Jayapura dan Distrik Abepura, Kota Jayapura.[59]
c.       Nama istilah Sentani dalam bahasa daerah Sentani tidak mempunyai arti khusus. Berdasarkan tradisi setempat mereka menjelaskan bahwa penduduk di sepanjang pesisir danau Sentani menamakan dirinya dengan kata istilah heram. Istilah heram ini agaknya diberikan oleh penduduk yang kemudian baru menetap di Sentani yang merubah kata itu menjadi Setam, yang akhirnya menjadi nama Sentani pada masa kini.[60]
d.      Penduduk dari danau Sentani menamakan dirinya dan danau ini bu jakala, artinya air jernih. Agaknya ini merupakan suatu nama kehormatan di dalam kata heram untuk menyebut ondofolo dari keret Ohei, yaitu Heram Tasingkrebeuw. Sampai tahun 1955 sekeliling danau ini terdapat 24 kampung dengan penduduk berkisar 6.000 jiwa, hampir pasti setiap kampung memiliki paling tidak satu ondofolo. Seiring dengan waktu karena berbagai persoalan, kampung-kampung baru terbentuk terpisah dari kampung-kampung induk sehingga jumlahnya semakin bertambah banyak juga jumlah penduduknya. Misalnya, kampng Asei Pulau terpisah dari Asei Besar yang bertempat di pinggir danau sama halnya dengan Doyo Lama dan Doyo Baru.
Penduduk di sini terkonsentrasi dalam tiga bagian. Setiap bagian terpusat pada satu pulau induk yang disinilah sejarah lokal berlangsung dan yang dari sini pula terjadi pemisahan-pemisahan. Di bagian timur terletak Pulau Asei dengan kampung Asei, yang kemudian berkembang menjadi ayapo, Asei Kecil, Waena dan Yoka, kecuali Pue sejak dahulu telah berdiri sendiri. Di bagian tengah terletak pula Ajauw dengan kampung induk Ifar-Besar, Ifar Kecil, Siboiboi, Ifar Babrongko, Abar, Simporo dan Netar dengan sejarahnya sendiri. Di barat terletak pulau Yonoqom dengan kampung lama Qwadeware yag kelak berkembang menjadi kampung Kwadeware, Doyo Lama, Doyo Baru, Sosirih, Yakonde dan Dondai juga cerita masa lampaunya dendiri. Tiga konsentrasi itu jugalah yang mebentuk bahasa Sentani terbagi dalam tiga dialek atau varian yaitu Sentani Timur, Sentani Tengah dan Sentani Barat.[61] Hanyalah mereka yang menduduki bagian tengah danau adalah merupakan penduduk anak negeri asli hingga kini. Di sini para Ondofolo menganggap diri sebagai garis keturunan langsung dari orang-orang besar (Big Man sistem) yang berkuasa dan berwibawa.[62]

Tanah ulayat biasanya berupa hutan, semak belukar, tanah kosong, danau dan sungai-sungai. Pada danau tidak ada batasan tegas antara wilayah adat dari suatu masyarakat adat dengan masyarakat adat yang berbatasan.
Ondoafi selaku kepala negara mendapatkan tanah (jabatan) koselo-koselo, dan akan diberikan kepada penggantinya, namun secara pribadi juga mendapatkan tanah garapan untuk penghidupannya.
Pelepasan hak ulayat:
a.       Pada tanah penguasaan perorangan melalui proses pendaftaran tanah (PRONA), dengan persetujuan kepala suku, ondoafi, kepala desa dan camat.
b.      Pada tanah ulayat, melalui pernyataan pelepasan yang dibuat oleh oleh kepala suku (termasuk kepala suku yang berbatasan), ondoafi, kepala desa, dan Camat.

7.      Sengketa Tanah PT. Skyline Kurnia dengan Masyarakat Adat
Tanah diperoleh secara bertahap sejak tahun 1984 – 1998, total luas + 60 ha melalui pelepasan hak yang dituangkan dalam Surat Pernyataan Pelepasan Tanah Milik Adat yang ditandatangani oleh Kepala Suku (Pemilik dan yang berbatasan), Ondoafi, Kepala Desa dan Kepala Distrik. Nilai ganti rugi tanah bervariasi namun tergantung pada kesepakatan, harga kesepakatan ada yang sesuai dengan NJOP, di bawah/di atas NJOP. Dari keseluruhan tanah tersebut, tersisa 10 ha yang belum didaftarkan,dengan jumlah sertifikat sebanyak 11 sertifikat a.n. Billy Gan. Sejak tahun 1996 oleh P.T. Skyline Kurnia dilakukan pengusahaan Galian C[63] berupa batu untuk pondasi bangunan, krikil untuk pengaspalan serta aspal. Luas areal Galian C sekitar 2 ha, dengan memperkerjakan penduduk setempat. Sebagian dari areal tersebut dipinjamkan kepada P.T. Bumi Kemawa untuk melakukan pengusahaan yang sama. Sekitar tahun ....ada klaim dari Suku Taime yang menyatakan bahwa tanah yang diusahakan adalah tanah ulayat mereka, sehingga muncul klaim baru pada P.T. Skyline Kurnia. Konflik ini mengakibatkan penduduk Desa Nendali terpecah karena sebagian mendukung P.T. Skyline Kurnia. Ketika P.T. Skyline Kurnia memperpanjang KP-nya, Pemerintah Kabupaten Jayapura memfasilitasi penyelesaian konflik dimaksud, dan diperoleh kesepakatan bahwa P.T. Skyline Kurnia diwajibkan menyisihkan 10 % dari produksi (berupa uang) dan diberikan kepada masyarakat adat di Nendali dalam rekening Yayasan Dewan Adat Nendali. Sebelumnya, penguasaan tanah adat oleh perusahaan dilakukan dengan sewa, namun masy. yang bersangkutan meminta agar tanah tersebut di ‘beli’ saja. Ondoafi suku Wali dituntut secara pidana oleh P.T. Skyline Kurnia karena memalang jalan dan juga melakukan penganiayaan karyawan perusahaan tsb.
DAFTAR PUSTAKA


Anonim. Catatan Kondisi HAM di Papua. Elsam Briefing Paper, Jakarta, 2007

Conoras, Yusman (ed). MRP (Majelis Rakyat Papua), Kitong Pu Honai. Foker LSM Papua, Jayapura, 2008

Deny. Desa, Riwayatmu Kini. Jurnal Wacana, No. 9 / Juli - Agustus 1997

Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln. (Eds). Handbook of Qualitative Research. Penerj. Dariyatno, Badrus, Abi, Jhon. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009

Frans Reumi, Pluralisme Hukum dan Sengketa Tanah Hak Ulayat Masyarakat Adat Papua. Makalah Universitas Cendrawasih, Jayapura, tanpa tahun

Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2008

Karim, Niniek L. dan Bagus Takwin. Di Balik Senyum Sang Jenderal, Sebuah Analisis Psikologis terhadap Kepribadian Soeharto. Lembar khusus Bentara Kompas, 5 Mei 2004

Raco, JR. Metodologi Penelitian Kualitatif, Jenis, Karakterisktik, dan Keunggulan. Penerbit Grasindo, Jakarta. 2010

Richardson, Don. Anak Perdamaian . Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 1974

Safitri, Myrna A. dan Tristam Moeliono (ed). Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia. Kerjasama Huma, Van Vollenhoven Institute, dan KITLV-Jakarta, Jakarta, 2010

Samsul, Inosentius.  Analisis Yuridis Proteksi Terhadap Orang Asli Papua di Bidang Ekonomi dan Sumber Daya Alam. Laporan Penelitian, peneliti madya bidang hukum P3DI, Setjen DPR RI, 2007

Serpara, J.S.. Garis-Garis Besar Hak-Hak Adat atas Tanah di Papua. Makalah “Konsultasi Publik Kerangka Kebijakan Pertanahan Nasional Fase 2 di Makasar, 21-22 Februari 2005”, Jayapura, 2005

Sugandi, Yulia. Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua. Friederich Ebert Stiftung, Jakarta, 2008

Maria S.W Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008


Nasution, MA. Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Penerbit Tarsito, Bandung, 1988

Ngadisah. Gerakan Sosial di Kabupaten Mimika, Studi Kasus Tentang Konflik Pembangaunan Proyek Pertambangan Freeport. Disertasi Doktoral, Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2002

Wibawa, Samodra. Otonomi Daerah dalam Defenisi Sejarah. Lembaga Press Universitas Gadjah Mada, 2001

Widjojo, Muriodan S. (ed). Papua Road Map, Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future. Kerjasama LIPI, Yayasan Obor dan Yayasan Tifa, Jakarta, 2009

Yermias Degei, Tanah dan Masa Depan Masyarakat Adat Papua. Makalah Lembaga Pendidikan Papua Education of Papua Spirit (edPapas), tanpa tahun
---------------------------------------------------
Afriani, AS. Iyan. Metode Penelitian Kualitatif. On-line Library Universitas Negeri Malang, 17 Januari 2009. Sumber: http://www.penalaran-unm.org/index.php/artikel-nalar/penelitian/116-metode-penelitian-kualitatif. pdf. Diakses, 2 Mei 2010.

Anonim. Catatan Pelanggaran HAM di Papua, Briefing Paper. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Jakarta, tanpa tahun. Hlm. 1-2. Sumber: http://www.elsam.or.id/pdf/CATATAN%20 PELANGGAR AN%20HAM%20DI%20PAPUA.pdf. Diakses 2 Mei 2010.

Anonim. Profil Papua dalam portal nasional Republik Indonesia,
                      http://www.indonesia.go.id/. Diakses 2 Mei 2010.

Julitasari S, Rosmi. Rakyat Papua Kian Miskin di Tanah yang Kaya. Artikel Voice of Human Right Media, 2007. Sumber; http://www.vhrmedia. com/vhr-corner/cakrawala,Rakyat-Papua-Kian-Miskin-di-Tanah-yang-Kaya-30.html. Diakses 12 April 2010.

Kholifan, Mohammad. Alternatif Pemekaran Papua. Dalam Suara Pembaharuan, 19 November 2004

Proton. Situasi Sosial Politik di Tanah Papua, Provinsi Papua Barat. Makalah Prakarsa Rakyat, 2007. Sumber; http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/inisiatif/ artikel.php?aid=23452. Diakses 12 April 2010.

Nanang, Bramantyo dan Indra Kurniawan. Hukum Adat dan HAM. Dalam Modul Pemberdayaan Masyarakat Adat. IRE-Jogja. Tanpa tahun. Sumber: http://ireyogya.org/adat/modul_hukum_ adat_ham.htm. Diakses 2 Mei 2010.
Film :

“God Must Be Crazy”, rilis tahun 1980, skenario dan sutradara oleh Jamie Uys.


[1] Anonim. Catatan Pelanggaran HAM di Papua, Briefing Paper. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Jakarta, tanpa tahun. Hlm. 1-2. Sumber: http://www.elsam.or.id/pdf/CATATAN%20 PELANGGARAN%20HAM%20DI%20 PAPUA.pdf. Diakses 2 Mei 2010.
[2] Profil Papua dalam portal nasional Republik Indonesia,  http://www.indonesia.go.id/. Diakses 2 Mei 2010.
[3] Ibid.
[4] Mohammad Kholifan. Alternatif Pemekaran Papua. Dalam Suara Pembaharuan, 19 November 2004.
[5] Joszhua Robert Mansoben. Sistem Politik Tradisonal di Irian Jaya. Seri terbitan LIPI-RUL, Jakarta, 1995. Hlm. 81-307.
[6] Dari Elmberg (1955:99), dikutip oleh, Joszhua Robert Mansoben (1995: 93, 128, 131, 148).
[7] Mengutip pemikiran Karel Phil Erari. Tanah Kita, Hidup Kita, Hubungan Manusia dan Tanah di Irian Jaya sebagai Persoalan Teologis. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999.
[8] Bukankah ekspresi yang selalu menuntut durasi panjang dalam pengungkapannya, adalah ekspresi romantis. Perang-perang adat berkepanjangan menyangkut tanah, masih kerap terjadi hingga era 1960-an. Saat ini, durasi perang demikian semakin pendek oleh adanya usaha pemerintah yang melarang tradisi ini.
[9] Frans Reumi. Tanah Adat Papua. Makalah, disampaikan pada kegiatan Diskusi Publik tentang “Perlindungan Hukum Dalam Kaitan Dengan Pemanfaatan Tanah Untuk Kegiatan Investasi Di Papua” Dilaksanakan oleh CV. Kawan Karya Sentosa. Tgl 23 September 2008 di Hotel Yasmin Jayapura.
[10] Ngadisah. Gerakan Sosial di Kabupaten Mimika, Studi Kasus tentang Konflik Pembangunan Proyek Pertambangan Freeport. Disertasi Doktor Sosiologi, Universitas Indonesia, 2002. Hlm 45.
[11] PT Freeport McMoran adalah perusahaan pertama yang mengekspolitasi Papua. Perusahaan ini membuka tambang di pegunungan Grasberg yang berada di ketinggian 4.268 mdpl. Saat ini, kedalaman wilayah penggalian sudah melebih ukuran demikian, atau berada pada kedalaman di bawah permukaan laut. Jalan yang ditempuh ke lokasi terdalam, melewati dinding bagian sisi dalam gunung melingkar berpuluh kilometer.
[12] Bukit-bukit dan gunung yang dilubangi.
[13] Yulia Sugandi. Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua. Laporan Penelitian pada Friederich Ebert Stiftung, Jakarta, 2008. Hlm. 2.
[14] Ibid. Hlm. 3-10.
[15]  Deny. Desa, Riwayatmu Kini. Jurnal Wacana, No. 9 / Juli - Agustus 1997
[16] Desa di Jawa sendiri dibentuk oleh Sir Stanford Raffles demi kemudahan adiministrasi dan manajemen penyewaan tanah. Seterusnya untuk memudahkan manajemen penarikan pajak dan tanam paksa. Sebelumnya, satuan politik terkecil di Jawa adalah Karisidenan, atau afdeeling/kabupaten, yang berada dalam kekuasaan dan pengaturasn kerajaan. Lihat, Samodra Wibawa, Otonomi Daerah dalam Defenisi Sejarah. Lembaga Press Universitas Gadjah Mada, 2001.
[17] Bramantyo dan Nanang Indra Kurniawan. Hukum Adat dan HAM. Dalam Modul Pemberdayaan Masyarakat Adat. IRE-Jogja. Tanpa tahun. Sumber: http://ireyogya.org/adat/modul_hukum_ adat_ham.htm. Diakses 2 Mei 2010.
[18] Tentu bukan Jawa sejatinya, tapi “Jawa” sebagaimana yang disebut/ditunjukkan Soeharto.
[19] Niniek L Karim dan Bagus Takwin. Di Balik Senyum Sang Jenderal, Sebuah Analisis Psikologis terhadap Kepribadian Soeharto. Lembar khusus Bentara Kompas, 5 Mei 2004.
[20] Analisis yuridis, menggunakan perspektif analitika bahasa paling awam (denotasi-konotasi). Lihat Ludwig Wittgenstein (Tractatus Logico Philosopicus), juga terdapat berbagai jenis analitika lain dengan penekanan sedikit berbeda (Saussure, JL Austin, Peirce, Barthes, Gadamer, dst).
[21] Inosentius Samsul.  Analisis Yuridis Proteksi Terhadap Orang Asli Papua di Bidang Ekonomi dan Sumber Daya Alam. Laporan Penelitian, peneliti madya bidang hukum P3DI, Setjen DPR RI, 2007. Hlm. 1-6.
[22] Para pejabat lokal “dibayar” agar tidak ikut mengusahakan “Papua Merdeka”. Ibid.
[23] Pada akhir tahun 1960 masih terdapat tradisi memakan manusia, mengayau kepala, pengkhianatan, perkelahian untuk memperebutkan perempuan, dan persembahan anak manusia untuk perdamaian di wilayah Haenam, pada orang Sawi. Diperkirakan pada masa yang sama di semua wilayah di Papua masih menerapkan beberapa tradisi primitif demikian. Lihat Don Richardson. Anak Perdamaian . Yayasan Kalam Hidup, Bandung, 1974.
[24] Sebagai contoh yang bagus, film “God Must Be Crazy” memberi penggambaran yang jenaka ketika modernitas dengan begitu saja dan tiba-tiba, mendatangi dan mendampingi primitifitas. Film ini dirilis tahun 1980, skenario dan sutradara oleh Jamie Uys. Pengambilan film ini dilangsungkan di Botswana dan Afrika Selatan, mengisahkan seorang bernama Xi, dari suku Sho di padang Kalahari, suku yang tidak memiliki pengetahuan tentang dunia luar, dan tiba-tiba harus menghadapi pergulatan teologis-kosmos gara-gara sebuah botol coca-cola yang jatuh dari langit (pesawat terbang).
[25] Op-cit. Bramantyo dan Nanang Indra Kurniawan. Berdasarkan Keputusan KMAN (Kongres Masyarakat Adat Nusantara) No. 01/KMAN/1999 dalam rumusan keanggotaan.
[26] Nasution, MA. Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Penerbit Tarsito, Bandung, 1988. Hlm. 1-20
[27] Ibid.
[28] Pilihan lokasi penelitian bisa berubah sewaktu-waktu, sesuai perkembangan informasi penelitian yang ada, maupun karena pertimbangan-pertimbangan teknis.
[29] Op-cit. Nasution, MA. Hlm. 60-62.
[30] Iyan Afriani, AS. Metode Penelitian Kualitatif. On-line Library Universitas Negeri Malang, 17 Januari 2009. Sumber: http://www.penalaran-unm.org/index.php/artikel-nalar/penelitian/116-metode-penelitian-kualitatif. pdf. Diakses, 2 Mei 2010.
[31] Papua Dalam Angka 2009,  BPS Provinsi Papua, Jayapura: 3-7
[32] Frits Bernard Ramandey, Paskalis Worot Keagop dan Lucky Ireeuw, 2005, Profil Otonomi Khusus Papua, AJI Papua,: 118-119.
[33] Ibid,: 119.
[34] John R.G. Djopari, (1993), Pembrontakan Organisasi Papua Merdeka, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo), Jakarta: 26.
[35] Tugas-tugas UNTEA, yaitu: 1) menerima penyerahan pemerintahan atas wilayah Irian Barat dari Pihak Belanda; 2) menyelenggarakan pemerintahan yang stabil di Irian Barat selama masa tertentu; 3) menyerahkan pemerintahan atas Irian Barat kepada Pihak Republik Indonesia. Badan ini memiliki 8 departemen dan masing-masing Departemen dipimpin oleh seorang Direktur. 8 Departemen dimaksud adalah; Dep. Of Cultural Affair (including Education); Dep. Of Economic Affair; Dep. Of Finance; Dep. Of Internal Affair; Dep. Of Public Health; Dep. Of Public Works; Dep. Of Social Affair and Justice; Dep. of Tranport and Power.
[36] Bandingkan dengan The Liang Gie-F. Suoegeng Istanto, Pertumbuhan Pemerintahan Propinsi Irian Barat Dan Kemungkinan Perkembangan Otonominya Di Hari Kemudian (Djilid I), Jogjakarta, Seksi Pemerintahan Fakultas Sospol dan Politik UGM:  82.  
[37] Tentang Struktur Pemerintahan Provinsi Irian Barat, lihat   The Liang Gie-F. Suoegeng Istanto, Pertumbuhan Pemerintahan Propinsi Irian Barat Dan Kemungkinan Perkembangan Otonominya Di Hari Kemudian (Djilid I), Jogjakarta, Seksi Pemerintahan Fakultas Sospol dan Politik UGM:  118.  

[38] Anonim, 1988, Dampak Modernisasi terhadap Hubungan Kekerabatan Daerah Irian Jaya, Proyek Inventarisasi dan dokumentasi Kebudayaan Daerah Irian Jaya: 19-20
[39]Provinsi Papua Dalam Angka Tahun 2009, BPS Provinsi Papua, Jayapura, 2009: 92.
[40] Jayapura Dalam Angka Tahun 2009, BPS Kab. Jayapura, Jayapura: 125.
[41] Index Pembangunan Manusia dan Analisis Situasi Pembangunan Manusia Kabupaten Jayapura Tahun 2009, BPS Kab. Jayapura, Jayapura: 29-31.



[42] Berbeda dengan upaya hukum dalam sistem hukum nasional yang mana proses upaya hukum dilakukan secara vertikal (banding, kasasi, peninjauan kembali), maka proses penyelesaian (banding) dalam sistem hukum adat di Papua dilakukan secara horizontal.
[43] Suroyo Wignyodipuro, 1989, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, CV.Haji MasAgu ng, hal.105-106.

[44] Hammah Sagrim, ‘Masyarakat Adat dan Lunturnya Nilai Adat’ dalam Tabloid Jubi, 11 Mei 2008.



[45] Ondoafi, adalah sebutan untuk kepala suku pada Suku Tabla yang kemudian diseragamkan oleh Belanda untuk seluruh suku di Papua (Wawancara dengan Bpk. Frans Reumi, Dosen Fak. Hukum UNCEN pada tanggal 11 Juni 2010 di Museum UNCEN). Isitilah lain dari ondoafi antara lain ondofolo, eram, sera (Waropen), mambri (Biak Numfor) korano (Biak, meminjam istilah dari Ternate dan Tidore yaitu Kolano), cram atau dekening (Nimboran) dsb.
[46] Josh Mansoben dalam Don A.L. Falsi, 2007, opcit, hal.5.
[47] Don A.L. Falsi, 2007, ibid, hal.5.
[48] Mansoben dalam Anonim, 2004, Identifikasi Masyarakat Hukum Adat dan Pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua (Studi pada Kabupaten Paniai dan Nabire), Laporan Penelitian, Tim Peneliti Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih Jayapura bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan Provinsi Papua, hal.31.
[49] Ibid, hal.31.
[50] Ibid, hal.35-36.
[51] Anonim, 1988, op.cit, hal7-8.
[52] Ibid, hal.29.
[53] George Arnold Awi, Peradilan Adat Berlaku Sistem Musyawarah Mufakat, Harian Bintang Papua: 12 Agustu 2009.
[54] Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia,  PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 207-208.
[55] Ery Seda, ‘Beberapa Catatan Mengenai Konfederasi dan Aliansi pada Masyarakat Balim di Lembah Balim Irian Jaya’, dalam Astrid S. Susanto-Sunario (Penyunting), 1996, Pembangunan Masyarakat Pedesaan. Suatu Telaah Analitis Masyarakat Wamena, Irian Jaya , Pustaka Sinar Harapan dan LIPI, hal.30.
[56] Disebut juga dengan klen besar yang berfungsi sebagai kesatuan adat, terutama upacara-upacara adat, seperti pesta babi. Kepala klen besar dibantu oleh kepala klen adat dan kepala klen perang. Tugas klen perang adalah menjadi penasehat dan pengatur strategi perang. Namun yang menentukan perang atau tidak adalah tetap kepala klen besar.. Sedang klen adat bertugas menangani masalah-masalah adat serta kesuburan tanah. Lihat Ibid, hal.102.
[57] Ibid, hal.82-83.
[58] Suebu, dalam  Andi Syamsul Rijal, Seabad Perkembangan Masyarakat Sentani 1900-2000, Direktorat Sejarah/Proyek Pemanfaatan Kebudayaan,:  2-3.
[59] Don A.L. Falsi, 2007, Etno Artistik Sentani, Motif Gaya Rias. Kompetitif, dualisme-harmoni, kontradiktif. Sebuah Refleksi, Jakarta, Balai Pustaka, hal.1
[60] Jac Hoogerbrugge, 1999, Mite dan Ornamen Danau Sentani (diterjemahkan oleh Pdt.L.Jenbise, M.Th.), Murray, 1999, hal.1-2.
[61] Don A.L. Falsi, 2007, op.cit, hal.10.
[62] Jac Hoogerbrugge, 1999, op.cit. hal.3
[63] Proses pengusahaan oleh P.T. Skyline Kurnia dilakukan dengan melakukan Akte Perjanjian dengan pemilik tanah (Billy Gan).